DELAPAN BELAS

BAB INI GAK SANTAI!!!!

Tolong yang belum pernah komentar, ayo komentar. Kan aku mau kenal sama kamu juga :-D Yang setia meninggalkan komentar untukku, terima kasih banyak.

***

Malissa yang mendengarkan Lamar bercerita. Yang memberi Lamar buku catatan ini, sebagai salah satu cara untuk mengurangi duka.

Salah satu mimpi Lamar memang sudah terlepas dari genggaman. Tetapi kini ada lagi satu mimpi yang berada dekat dalam jangkauan. Mimpi yang sama. Dengan orang yang berbeda. Lamar kembali menulis paragraf selanjutnya. Menurut salah satu artikel yang dibaca Lamar, waktu yang tepat untuk mencintai lagi setelah kehilangan pasangan untuk selama-lamanya adalah dua atau tiga tahun kemudian. Bukan dua atau tiga bulan. Alasannya, dalam kurun waktu tiga tahun seseorang sudah berdamai dengan kenyataan, menyadari kesepian bukanlah modal yang baik untuk memulai hubungan, dan menghormati perasaan pasangan yang sudah meninggal.

"Have a conversation with yourself," saran Elmar—yang menemani Lamar sampai ke mobil—saat Lamar pamit pulang dari acara syukuran kelahiran Rainar beberapa waktu yang lalu. "Jalani hidupmu dengan mendengarkan keinginanmu. Mendengarkan suara hatimu. Tutup telingamu, supaya apa yang dikatakan orang lain tidak terdengar. Ingat, setiap orang memerlukan waktu yang berbeda untuk berduka. Sebentar atau lama, itu tidak ada hubungannya dengan besarnya cinta."

Berdiskusi dengan diri sendiri. Seperti yang dilakukan Lamar sekarang. Dunia, yang semula mengkhiatani Lamar dengan mengambil Thalia tanpa seizinnya, kini seperti tengah membantunya. Melalui Elmar dan Malissa. Elmar memberi saran, Malissa menyediakan media. Dengan bantuan buku catatan di tangannya ini, selama beberapa waktu ke depan, Lamar akan mendengarkan apa yang diinginkan hatinya.

***

"Thanks, God, you are here." Malissa, yang berdiri di depan toko sendirian, tersenyum lega melihat Lamar keluar dari mobil. Toko sudah tutup dan semua relawan sudah pulang. "Ada kucing di atas situ. Kamu bisa naik buat ambil nggak? Kita punya tangga yang bisa dipakai buat naik ke atap."

"Kamu menyuruhku datang ke sini cuma buat mengambil kucing?"

"Hei, kucing juga makhluk hidup. Harus dibantu kalau kesusahan. Cepat naik!"

"Kenapa bukan kamu saja yang naik?" Di atas sana, memang seekor kucing kurus sedang mengeong-ngeong tiada henti. Lamar tidak menyalahkannya. Beberapa orang—hewan juga tampaknya—grogi jika berada di tempat tinggi.

"Aku nggak berani." Malissa menggigiti jempolnya, tanda bahwa dia sedang sangat khawatir atau takut. "Tapi kucing itu harus ditolong, Lamar. Kasihan dia. Masih kecil."

"Aku juga takut ketinggian. Kenapa kamu nggak panggil pemadam kebakaran saja?" Lamar tidak menyukai ketinggian. Atau berada di tempat tinggi.

Itu adalah salah satu ironi terbesar dalam hidup Lamar yang sering dipertanyakan banyak orang. Walaupun sudah terlibat dalam banyak pembangunan—stasiun kereta, stadion, jembatan, bahkan roller coaster, dan banyak lagi—namun spesialisasi Lamar adalah bangunan pencakar langit. Tugas Lamar, sederhananya, menghitung dan merancang kekuatan serta stabilitas suatu bangunan. Seperti apa pun desain yang diinginkan arsitek—indah memukau, tinggi hingga memecahkan rekor dunia, atau sekadar untuk keren-kerenan saja—structural engineer seperti Lamar harus memastikan bangunan tersebut tetap berdiri, berfungsi dengan baik, dan berumur panjang, di tengah segala cuaca, angin kencang, gempa, beratnya muatan di dalam atau di atasnya, dan lain-lain. Kalau seseorang melihat suatu jembatan yang sangat panjang, bisa dilewati ribuan kendaraan dalam satu waktu, dan bisa bertahan puluhan tahun tanpa roboh, maka jembatan tersebut pasti memiliki struktur yang baik. Struktur tersebut dihitung dan dirancang oleh structural engineer seperti Lamar.

Memang Lamar tidak sampai pingsan saat diminta berdiri lantai teratas gedung pencakar langit yang sedang dia inspeksi. Tetapi kaki Lamar berubah menjadi karet. Lemas. Lamar selalu memejamkan mata saat harus menaiki hoist—lift yang berbentuk seperti kerangkeng—dan diangkat menuju salah satu lantai beton—belum dipasang ubin—di gedung supertinggi yang sedang dikerjakannya. Jantung Lamar meloncat keluar dari rongganya setiap kali hoist bergetar dan berderit. Kadang, kalau harus naik sampai ketinggian lebih dari enam puluh lantai, Lamar merasa hampir pipis di celana. Memang ini terdengar tidak jantan, tapi Lamar tidak pernah menutup-nutupi fobianya. Pekerjaan tetap dilakukan, karena tidak ada pilihan lain, tapi bukan berarti Lamar tidak merasa takut.

"Apa pemadam kebakaran mau datang cuma untuk masalah kecil?" Malissa masih menggigiti kuku jempolnya. "Kalau nggak diturunkan, dia akan kelaparan di situ. Sudah mau hujan juga. Gimana tadi dia bisa naik ke situ ya?"

"Pemadam kebakaran pernah dipanggil buat menyembuhkan orang kesurupan. Mengambil kucing sih kecil." Lamar merangkul pundak Malissa. Untuk mengurangi kekhawatiran di hati Malissa. God, ini sudah pukul tiga sore, kenapa Malissa tidak bau keringat atau apa. Berdiri pada jarak sedekat ini, dengan kepala Malissa menempel di dadanya, Lamar bisa mencium dengan jelas wangi rambut Malissa. Kalau Lamar menundukkan kepalanya, dia akan bisa merasakan lembutnya rambut Malissa di bibirnya.

Dan Lamar melakukannya. Menyentuhkan bibirnya di puncak kepala Malissa. Benar-benar lembut bagaikan sutra dan beraroma seperti surga. Tidak ada protes dari Malissa, karena Malissa masih fokus mengamati kucing yang sedang ketakutan di atas.

"Gimana dong? Sudah mendung banget." Malissa semakin khawatir.

Hell, Lamar ingin memberanikan diri naik ke sana, melawan ketidaknyamanannya terhadap ketinggian demi bisa membahagiakan Malissa. Kalau dulu Lamar tidak tahu dia akan menggunakan sisa hidupnya untuk apa, sekarang dia tahu. Untuk menghapus kekhawatiran di hati Malissa. Untuk membuat Malissa tersenyum dan tertawa. Untuk mengusap air matanya.

"Aku telepon pemadam kebakaran dulu." Di internet, Lamar mencari nomor telepon kantor pemadam kebakaran terdekat, bicara dengan mereka, dan setelah selesai, dia tertawa. "God, Lissa. Kantor mereka dekat dari sini. Mereka cukup jalan kaki ke sini."

"Aku nggak tahu kamu juga takut ketinggian. Kamu pernah cerita tentang naik-naik ke gedung tinggi, karena pekerjaanmu. Aneh banget kamu memilih pekerjaan begitu. Kenapa nggak jadi arsitek aja?"

"Candaan waktu kuliah dulu, kami menyebut arsitek itu engineer yang nggak bisa matematika." Lamar terbahak. "Karena aku sangat jago matematika, jadi aku nggak memilih pekerjaan itu."

"Gimana mereka membagi luas bangunan, kalau nggak bisa matematika?" Malissa membela arsitek. "Terus gimana caranya kamu naik ke gedung tinggi, Wahai Ahli Struktur Gedung Tinggi?"

"Setiap aku harus naik ke lantai delapan puluh tujuh, aku bawa kantung muntah. Hei, yang kudatangi bukan bangunan yang sudah jadi ya. Tapi masih terdiri dari rangka-rangka dan lantai beton, belum ada dindingnya. Jadi kamu bisa membayangkan gimana rasanya berdiri di lantai delapan puluh atau lebih dan nggak ada tembok sama sekali di sekelilingmu. Pasti kamu akan takut juga."

"Kukira kamu sempurna. Aku jadi lega kamu punya kelemahan juga."

Lamar tertawa keras. "Mana ada manusia yang sempurna di dunia ini, Malissa?"

Malissa menyipitkan mata. "Kesan pertamaku waktu aku ketemu kamu pertama kali, waktu balikin dompet itu, kamu sempurna. Ganteng, keren, kaya."

Lamar tidak menjawab, sebab sebuah mobil pemadam kebakaran—kecil—berwarna merah memasuki area parkir toko. Salah satu petugas turun lebih dulu dan menanyai Malissa, yang langsung menunjuk di mana kucing yang dimaksud berada. Hanya perlu waktu lima menit untuk mengambil kucing tersebut. Setelah kucing aman di pelukan Malissa, petugas meminta data diri Malissa. Tidak lama kemudian, truk merah tersebut meninggalkan toko.

"Thank you! Kamu menyelamatkan kucing ini." Malissa menghambur ke pelukan Lamar dan berjinjit untuk mencium pipi Lamar. "Aku nggak mikir telepon pemadam kebakaran."

Lamar memutar wajahnya sehingga bibir Malissa mendarat bukan di tempat yang dituju. Melainkan di bibir Lamar. Malissa, yang kaget dengan perubahan tersebut, hampir terjengkang ke belakang. Dengan sigap lengan Lamar menahan punggung Malissa.

***

Dunia yang tadinya ingar-bingar kini sunyi senyap. Seperti ada lubang yang menyedot seisi dunia—suara, manusia, bangunan, percakapan, kendaraan, semuanya—dan hanya menyisakan mereka berdua. Lengan Lamar melingkari punggung Malissa dan satu tangannya berada di tengkuk Malissa. Belum sempat Malissa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, bibir Lamar lebih dulu mendarat di bibir Malissa. Dengan tegas, tapi lembut pada waktu bersamaan, Lamar mencicipi dan menjelajahi bibir Malissa. Dengan lidahnya Lamar membuat jalan untuk bisa memperdalam ciumannya. Ketika hidung Malissa menangkap aroma tubuh Lamar—sangat jantan, maskulin, seksi—akal sehat Malissa menghilang tidak tahu ke mana.

Sentuhan Lamar bagaikan api yang menyulut kayu kering. Pusat gairah Malissa terbakar dan menjalar ke setiap bagian tubuhnya. Seperti yang pernah dibayangkan Malissa, bibir Lamar bergerak dengan penuh keyakinan. Sangat persuasif, mengajak bibir Malissa untuk menari bersama. Malissa, yang selama ini berpikir dirinya tidak mampu mengimbangi keterampilan seseorang dalam memadu kasih, kini mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. Bukan salah Malissa kalau almarhum suaminya tidak puas dan bahagia setelah berciuman dan bercinta dengan Malissa. Buktinya Lamar mengeluarkan geraman keras dan beberapa kali tidak mampu melepaskan Malissa dari pelukannya.

Lamar sedikit mengangkat wajahnya, hanya untuk berbisik,"I dreamed about you. A thousand and one times. But none were like this." 

Seluruh permukaan kulit Malissa menggelenyar. Kepala Malissa semakin ringan. Otak Malissa tidak bisa berpikir rasional saat Lamar menarik tubuh Malissa semakin merapat pada badannya. Kalau seperti ini rasanya dicintai oleh Lamar, Malissa tidak akan mau lagi mengingkari bahwa dirinya jatuh cinta kepada Lamar. Erangan Malissa sepertinya dianggap sebagai undangan kedua oleh Lamar.

***

Teman, dukung aku untuk mengumpulkan modal menulis cerita berikutnya :-) Aku berencana menulis cerita dengan pekerjaan dua tokoh yang sangat menarik--aku yakin banyak dari kita yang belum mengetahui--dan ber-setting di luar negeri. Risetnya akan memakan biaya--setiap riset buku ssebenarnya--tapi kali ini agak lebih hahaha. Aku membiayainya dari hasil penjualan buku sebelumnya. Diputer terus biar bisa terus jalan.

Gimana cara mendukungku?

1) Kamu bisa membaca bukuku yang sudah terbit di  Gramedia Digital. Sedang ada diskon untuk pembelian Fiction Premium Package. Dengan Rp 31.500 kamu bisa membaca semua bukuku yang terbit di Elex Media, selama sebulan penuh. Pembelian paket hari ini sampai 8 Juli nanti.

2) Untuk bukuku yang self-published, kamu bisa membacanya di Google Play Store. Karena harga e-book-ku di sana di atas Rp 50.000, maka ada diskon Rp 25.000 dari Google Play Store :-)

3) Cek juga bundle-bundle hemat di Shopee/Tokopedia ikavihara.

4) Membaca bab ekstra di karyakarsa.com/ikavihara.

Terima kasih banyak :-)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top