14 - Lethal Woman


Petir menyambar beberapa kali. Membuat pola indah bercabang yang hanya terjadi sekejap. Sepertinya untuk sementara benda-benda di darat aman, berkat beberapa penangkal petir yang dipasang di puncak-puncak bangunan yang tinggi.

Agak terhuyung akibat terpaan angin, Alex terus melangkahkan kaki. Menuju sesuatu yang menuntunnya sejak tadi. Penciumannya menghidu aroma segar yang dirindukan. Sekujur kulitnya mencari arah yang membuatnya merasa nyaman. Pendengarannya seperti menangkap samar bunyi latar yang menenangkan.

Payung lipat mungil Alex membutuhkan keahlian penggunanya untuk membaca arah angin apabila tak ingin rangka tipisnya terbalik di engsel—atau lebih parah lagi, patah. Ukuran yang tak terlalu memadai untuk melindungi dari hujan yang terlalu deras membuat sebagian bahu dan ujung-ujung celana penggunanya basah. Embusan angin dingin yang terus-terusan berubah arah sangat tidak membantu kondisi anak yang mulai menggigil kedinginan itu.

Beberapa kali sudut matanya menangkap tempat berteduh yang aman atau setidaknya cukup lowong untuk menambah penghuni barang seorang anak lelaki, tetapi sesuatu yang sedari tadi menggelitik sebagian besar inderanya menahan Alex untuk berhenti dan berlindung. Makin jauh dia melangkah mendekati tujuannya, makin sepi jalanan yang dia lalui. Seolah-olah orang-orang lain diusir oleh sesuatu.

Bagi yang mampu merasakan, memang ada sesuatu yang aneh. Arah tujuan Alex berjalan terasa seperti mata badai yang tenang bila dibandingkan dengan amukan angin dan hujan petir. Akan tetapi di ujung tujuannya dia merasakan ada pusaran sesuatu yang mengalir deras dan menyebar ke segala arah.

Curahan butiran air deras tiba-tiba mereda. Alex bisa merasakan ujung persebaran sesuatu yang mengundangnya mulai terasa jelas. Perbedaannya serasa ada tabir atau tirai tipis yang mudah ditembus oleh siapa saja.

Semakin jauh dia melangkah tabir-tabir yang harus dia lewati terasa semakin menebal. Namun tak ada perasaan tak nyaman. Malah setiap langkahnya terasa semakin ringan.

Sensasi yang belum pernah dia alami sebelumnya itu membuat Alex tidak menyadari bahwa beberapa puluh meter di belakangnya ada seorang laki-laki yang berusaha membuntuti. Untungnya laki-laki itu tidak bermaksud buruk. Sayangnya, mungkin nasib laki-laki itu yang nantinya akan mendapatkan pengalaman buruk.

Asyik menikmati sensasi asing dan menyenangkan itu juga membuatnya lupa untuk memperhatikan sekeliling. Ketika sadar, dia sudah sampai di sebuah tempat terbuka. Sepertinya plaza mungil yang dahulu pernah menjadi salah satu tempat mengambil air dan berkumpul bagi para pekerja di instansi-instansi sekitar situ, bila melihat bekas sumur yang kini sudah ditutup dan dijadikan monumen kecil.

Di salah satu sudut plaza, beberapa orang berwajah ketimuran melihat ke arahnya. Ekspresi mereka kombinasi antara: terkejut, panik, dan marah.

Sambil menunjuk dengan berang ke arahnya, mereka meneriakkan sesuatu. Seketika anak itu teringat insiden beberapa tahun lalu, ketika instruktur beladirinya mengajar untuk terakhir kali.

Apakah orang-orang itu juga mengincarnya lagi karena salah sasaran, seperti yang terjadi saat itu?

"A-aku tak bermaksud ... Aku hanya mengikuti ... Uhh aroma tempat ini!" Alex mencoba berkilah.

Namun orang yang kelihatan paling tak sabaran di antara mereka tiba-tiba saja sudah melesat ke arahnya.

Dalam kondisi normal, Alex hanya bisa menghindar dengan gerakan seminimal mungkin untuk menghemat energi. Kali ini gerakannya terasa jauh lebih ringan dan cepat. Tanpa dia sadari, lelaki yang menerjang ke arahnya sudah tergeletak di lantai paving.

"Terbanting?" gumam Alex tak percaya. Sikap tak sabaran dan asal terjang dari lawannya memang sangat membantu, tetapi biasanya anak itu perlu menggunakan lebih banyak teknik untuk menjatuhkan lawan.

"Bantingan yang bagus, Bocah!" komentar seorang perempuan. Ada sedikit logat ketimuran di beberapa suku kata yang diucapkan olehnya.

Alex sempat mengira perempuan itu juga bagian dari orang-orang kasar yang masih terus mengata-ngatai dirinya dalam bahasa yang tak dia mengerti sama sekali. Hanya karena mereka sama-sama berwajah ketimuran. Namun kemudian orang-orang yang lain kini berbalik menuding pada perempuan yang baru datang.

"Aku? Kalian sendiri yang sembarangan maju menyerang warga sipil dan malah terbanting."

Sepertinya perempuan itu memahami kata-kata yang lain walau memilih tetap membalas dengan bahasa yang dimengerti oleh Alex. Mungkin untuk menunjukkan bahwa perempuan itu tidak memiliki keterkaitan dengan para begundal yang kini makin ribut memaki dalam bahasa asing itu.

"Gyaa ... Gyaaa ... Gyaaa. Kalian seperti unggas yang tak pernah keluar dari kandang. Ribut karena hal-hal kecil hanya karena kalian merasa tak pernah melihat. Lalu kenapa kalau anak ini punya kemampuan untuk membanting orang bodoh yang jadi bagian dari diri kalian?"

Perempuan itu makin menambah kata-kata provokasi dalam kalimatnya. Ditambah gestur mengorek salah satu lubang telinga dengan jari kelingking dan ekspresi acuh-tak acuh, sementara tangan yang lain disampirkan ke pinggang.

"Maaf, Nona?" Alex akhirnya mencoba menyapa pada perempuan itu, agak takut-takut. "Kalau bisa aku tidak ingin diikutkan dalam keributan ini."

Perempuan itu tergelak. "Mana mungkin, kau sudah membanting salah satu rekan mereka. Dengan mulus pula. Berani taruhan, setelah selesai denganku, mereka akan menjadikanmu sasaran amukan berikutnya, Bocah."

Alex menelan ludah. Melihat pandangan para begundal berganti-ganti dari dirinya dan perempuan itu. Seolah sedang memilih mangsa mana yang hendak diserang lebih dahulu.

"Apa ... Ada yang bisa kulakukan untuk keluar dari masalah ini?" tanyanya pada akhirnya.

Perempuan itu tersenyum senang lalu menjawab, "Bantu aku, Bocah!"

"Kau bisa memilih, antara: menjatuhkan mereka, atau menemukan alat yang menimbulkan lubang buatan pada Plate ini," perempuan itu menambahkan.

"Lubang?" ulang Alex. Seketika menyadari apa yang menyebabkan perasaan segar dan nyaman baginya. Anak itu mendongak, untuk melihat salah satu konstruksi segi enam tak kasat mata di atas langit sana yang seharusnya tertutup sempurna dan berpendar bergantian, kini hilang satu.

Area tempat mereka berada kini menjadi satu-satunya tempat yang tidak terpengaruh oleh Plate.

"A-apa?!" gumamnya nyaris tak percaya. "Tapi ... mengapa tidak terjadi kekacauan di sekeliling kita? Apakah tak ada alarm yang mendeteksi keberadaan lubang itu?"

"Oh?" Perempuan itu terlihat kagum. "Kau bisa melihatnya, Bocah?"

"Nona juga?"

"Aku tak bisa. Mereka juga tak ada yang bisa," jawab perempuan itu, sedikit membuat harapan Alex untuk bertemu dengan sesamanya, pudar. "Tapi aku tahu mereka bermaksud melakukan sesuatu dengan mengaktifkan alat yang bisa menetralisir plat dari Plate. Sihir atau semacamnya, mungkin?"

Alex mengamati orang-orang tersebut. Mereka tidak terlihat hendak melakukan perbuatan amal. Dengan penampilan yang berusaha tak mencolok dan semirip mungkin dengan warga setempat, mereka malah makin terlihat menonjol dengan ekspresi penuh kemarahan dan kebencian.

Apa yang mereka benci? Apa yang membuat mereka begitu marah?

"Oh, aku tak terlalu peduli dengan alasan dan tujuan kalian," ucap perempuan itu lagi, acuh-tak acuh. "Tugasku hanyalah membekuk kalian dan menonaktifkan alat yang kalian gunakan. Caranya terserah padaku!"

Baik Alex maupun orang-orang itu tersentak melihat sorot mata perempuan yang kini mengeluarkan dua bilah pedang. Entah dari mana. Sepertinya panjang dua benda itu tak akan masuk ke dalam saku ukuran normal.

"Kalian paham? Kesalahan kalian adalah mengira di dalam Plate ini tidak ada yang bisa menggunakan mantra maupun sihir. Dengan memasang alat itu, kalian juga rugi karena harus berhadapan dengan lawan sepertiku."

Berikutnya, seperti sedang menonton adegan laga secara nyata, Alex melihat bagaimana perempuan itu melesat dan bermanuver dengan lincah. Membuat lawan-lawannya bingung lalu satu-persatu mulai membuat mereka jatuh terduduk kesakitan ataupun pingsan.

Lenguhan panjang dari orang yang tadi dia banting, membuat Alex buru-buru mencari cara untuk membuat orang itu tetap menempel lantai. Dia tak membawa tali. Tak juga memiliki borgol. Membunuh dengan gunting keterampilan jelas bukan pilihan yang bagus.

"Ugh ...." keluh orang itu lagi, kali ini mulai bergerak.

"Aduh, jangan bangun dulu!" Sedikit panik Alex mencoba menggeledah, mencari-cari siapa tahu mantan penyerangnya tadi membawa alat yang bisa dia gunakan.

Yang dilakukannya tak terlalu berhasil. Orang itu tadi memang membawa senjata, tetapi jatuh dan tak sengaja terpelanting agak jauh dari posisi mereka. Anak itu mendongak pada perempuan yang terlalu sibuk menghindar dan melawan beberapa orang lain, sepertinya tak bisa dimintai bantuan.

Dia harus mencari sendiri sesuatu. Apa saja. Apapun yang bisa membuat lawannya tak bangun untuk sementara.

Di tengah kepanikan karena orang yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya mulai bangkit dengan gerungan. Mata kanannya tiba-tiba menangkap sesuatu, seperti titik-titik merah yang berpendar di tubuh orang itu. Salah satu titik terlihat berpendar makin kuat, ketika Alex memfokuskan penglihatannya pada pendaran tersebut orang itu pun roboh kembali.

"Wah. Boleh juga kau, Bocah!" seru perempuan yang kini berdiri seorang diri sementara lawan-lawannya terkapar.

Gerungan dan keluhan kesakitan terdengar di sana-sini.

"Apa yang kau lakukan tadi?!" seru satu orang yang terlihat masih segar, walau memegangi lengannya yang terluka cukup parah. Logatnya jauh lebih kental dari perempuan yang merobohkan rekan mereka. Mungkin baru menyadari bahwa sedari tadi Alex sama sekali tidak memahami perkataan mereka.

"Apa saja boleh, kan?" gerutu perempuan itu, sepertinya mulai malas berurusan dengan orang-orang keras kepala itu. "Kalian toh setelah ini akan kuserahkan pada klienku. Sekarang menyerahlah! Setidaknya kalian masih bisa dipulangkan dalam keadaan hidup—walau entah berapa tangan dan kaki yang masih bisa kalian miliki."

Perempuan itu tidak terlihat bercanda. Kalau Alex yang dikatakan demikian, anak itu dengan senang hati akan memilih untuk menyerah. Namun orang yang sebelah lengannya mulai meneteskan darah itu malah menggertakkan gigi dengan wajah teramat kesal.

"Daripada menyerah pada pengkhianat sepertimu, lebih baik aku mati saja di sini! Semua demi membalaskan dendam orang-orang kami yang kalian habisi!!!"

Segera setelah ucapannya selesai, sesuatu melesat dengan cepat. Salah satu dari bilah pedang yang ada dalam genggaman perempuan itu melesat dari gagangnya dan menancap menembus jantung lawan. Begitu cepat, hingga lebih seperti ditembakkan daripada dilempar.

Orang-orang yang masih sadar sama sekali tak mendengar suara letupan ketika bilahnya meluncur, juga tak tercium sisa aroma mesiu. Mereka mendesis ngeri.

"Lihat, tak perlu mantra panjang dan mewah. Asalkan tepat guna, aku sekalipun bisa melakukan ini."

"Bi-bilahnya sudah berkurang satu! Serang!!!" seru salah satu dari para begundal yang terlihat masih bisa bergerak.

Satu orang merangsek maju, dengan seringai berdarah. Siap menjadi tumbal untuk menerima bilah perempuan itu yang tersisa. Lecutan kencang dari pedang kedua membuatnya terhenti, sebelum tersungkur.

"Awas!" seru Alex ketika melihat ada dua lagi yang datang.

Perempuan itu menarik salah satu sudut bibitnya, membentuk senyuman angkuh.

Kemudian terdengar suara gemerincing rantai yang ditarik. Dan bilah-bilah kembali menari, merobohkan siapa saja yang berani melangkah masuk jangkauan serangan perempuan itu.

"Hu-huaaa!!!" lenguh satu orang yang tak sempat maju. Namun alih-alih ikut menyerang, orang tersebut malah berlari menjauh. Diikuti dengan orang berikutnya.

Tentu saja kedua bilah milik perempuan itu kembali melecut dan dalam sekejap dua pelarian itu roboh berturut-turut.

Rasa ngeri tetapi juga kagum memenuhi benak Alex, tetapi belum sempat dia mengatakan sesuatu. Sesosok laki-laki yang dia kenali muncul dari balik tubuh yang baru saja roboh terakhir.

"Herr Weber?" tanyanya heran.

Mempertanyakan bagaimana guru sekolahnya bisa berada di tempat itu. Namun kondisinya saat itu juga memungkinkan Alex untuk melihat apa yang selama ini tak terlalu dia perhatikan. Ada benang-benang berpendar yang terjalin sangat tipis, mengelilingi Karl Weber.

Terbawa oleh rasa penasaran, dia mengulurkan tangan untuk mencari tahu, benda yang terlihat sangat rapuh tetapi juga sangat fleksibel menepis berbagai partikel tak baik yang menyasar ke arah gurunya. Namun begitu tangannya menyentuh benang-benang itu, pendarannya langsung memudar lalu sirna.

"Hei, memangnya tak apa kau menulifikasi mantra orang itu?" celetuk perempuan yang sudah mencabut kembali pisaunya.

"Aku melakukan apa?" Alex malah balik bertanya dengan heran.

Karl yang seharusnya lebih tahu sedang tidak dalam kondisi yang bisa ditanya. Karena segera setelah benang-benang pelindungnya lenyap, lelaki itu juga kehilangan kesadarannya. 


(Bersambung ke chapter berikutnya)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top