06 - New Students

Tahun ajaran baru dimulai. Angin sejuk bulan ke 9 mulai menggantikan panas terik yang kadang-kadang terasa di bulan-bulan sebelumnya. Karl melangkahkan kaki dengan lebih berat dari biasanya menuju tempat kerja.

"Apa tidak bisa cerah sedikit?" tegur adik perempuannya sebelum mereka berpisah di halte trem. "Orang bisa mengira kau baru saja kehilangan pekerjaan dengan tampang seperti itu!"

Dia tidak dipecat. Jabatannya malah baru saja naik. Namun terlalu mendadak, dengan alasan yang cukup absurd pula.

Sempat terpikir untuk membeli obat lambung. Sayangnya ketika hendak turun dari trem, halte tempat dia bisa membeli obat sudah keburu terlewat. Kini Karl hanya bisa berharap dari persediaan obat di ruang kesehatan sekolah.

Mereka menyediakan obat untuk guru juga, bukan? Setidaknya dia berharap semoga guru kroco tidak ditarik bayaran lebih mahal.

"Bersemangatlah sedikit, Weber!" asisten guru bidang yang seharusnya menempati jabatannya berkata seraya menepuk pundaknya. "Kudengar kelas baru yang akan kau pegang diisi oleh murid-murid pandai dan berkualitas. Aku jadi iri."

Padahal dia sendiri yang menolak jabatan yang sedang dipegang Karl sekarang.

Caranya mengucapkan kalimat itu seolah apa yang akan dihadapi oleh Karl adalah berkah langka. Bagus kalau murid-murid yang katanya pandai itu adalah makhluk-makhluk manis dan penurut. Pada kenyataannya, istilah: berkualitas, ini sering mengacu pada anak-anak berdarah bangsawan atau dari kalangan atas yang sok dan sulit diatur.

Langkahnya terhenti di depan pintu ganda. Sempit dan tinggi. Papan disusun menyirip di atas dan bawahnya menjadi ventilasi tambahan. Obrolan riuh anak-anak belasan tahun terdengar.

Perut Karl mulai terasa mulas.

Namun dia bukan orang yang menghindar bila diberi tanggung jawab walau mungkin masih bisa merasa ogah-ogahan. Dan memang itu yang terasa dalam benak dan gerakan tangannya ketika meraih gagang pintu. Salah satu dari sepasang daun pintu berayun membuka.

Seketika kelas menjadi hening. Berpasang-pasang mata menatap ke arahnya. Wajah-wajah lugu dengan rasa penasaran yang tinggi. Pandangan meremehkan. Lalu ada juga pandangan yang hanya menatap sepintas pada Karl lalu kembali menekuni apapun yang sedang dilakukan dengan tak acuh.

Setelah mencapai mejanya, Karl meletakkan buku-buku panduan dan meraih map daftar absensi. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berkata, "Selamat pagi, kalian semua. Saya Karl Weber, guru bidang sains kalian mulai semester ini."

Dia membuka map daftar absensi, melihat sepintas deretan kotak-kotak di bawah tanggal dan hari itu. "Bagus, tidak ada yang absen hari ini. Kita bisa mulai pelajarannya."

Di luar dugaan, kelas berlangsung cukup lancar. Beberapa murid butuh bimbingan lebih. Beberapa lagi perlu sedikit lirikan galak atau malah sentilan ringan untuk tetap fokus ke pelajaran.

Dua murid yang terlihat paling tenang dan tekun sepertinya bisa meraih peringkat 10 besar nantinya. Urutan duduk memang ditentukan lewat daftar hadir, jadi mudah mengeceknya. Mata Karl terhenti di salah satu nama. Menyipit.

Alexander Ludwig von Schwarzewalde.

Anak bangsawan, batin Karl sedikit pahit. Walau sekarang terlihat tekun kalau nanti ada apa-apa, pasti guru yang disalahkan. Apalagi dirinya yang bukan dari kalangan berada.

Anak tekun kedua, berkacamata. Terlihat sangat serius dan kaku. Ketika Karl mengecek namanya di daftar, dia menghela napas lega.

Theodor Hoffman.

Walau penampilannya sama rapi dan necis dengan anak di bangku sebelah, setidaknya yang ini bukan anak bangsawan. Mungkin Karl bisa menggunakan si Hoffman ini untuk memudahkan bicara dengan si anak bangsawan.

Ternyata dia salah.

Setelah beberapa kali pertemuan. Watak sesungguhnya para murid pun mulai terlihat. Justru Bocah Hoffman lebih sulit daripada si anak bangsawan, von siapa-itu-panjang-banget.

Hoffman terlalu kaku. Saklek taat aturan. Bocah itu bisa mempertanyakan banyak hal dan frustrasi perkara hal-hal sepele. Ketika ada yang bertanya atau sekadar menyarankan si Bocah Hoffman untuk sedikit santai, dia akan bersikap defensif.

Si anak bangsawan yang awalnya terlihat diam dan pasif, sedikit demi sedikit akan bergerak untuk membantu sekelilingnya. Cukup menenangkan melihat wajah pucatnya menjadi sedikit cerah karena bantuannya diterima.

Murid menonjol yang lain adalah Juliana Muller. Prestasi dan daya tangkapnya di kelas biasa-biasa saja, tetapi gadis itu sangat aktif. Bila ada yang tak dimengerti, Juliana tak malu untuk bertanya. Dia juga paling pandai bersosialisasi.

Kalau ada kekurangan gadis itu yang lain adalah, emosinya yang mudah tersulut.

Menarik juga melihat bagaimana si anak bangsawan menerjemahkan kalimat ketus si Hoffman pada gadis Muller yang hampir saja naik darah pada saat mereka dikumpulkan menjadi satu kelompok untuk tugas praktek. Seandainya tidak mempengaruhi penilaian dirinya sebagai guru bidang, Karl tadinya akan membiarkan saja si Hoffman adu argumen dengan gadis Muller.

Terlepas dari beberapa bocah kurang ajar yang malas-malasan, nyaris tidak menyentuh perlengkapan praktek kelompok mereka. Sungguh kelas yang bisa dibilang, diberkati. Karl sudah akan menertawakan rekan sesama (mantan) guru asisten yang menolak posisinya, ketika tiba-tiba terjadi sesuatu.

Di tengah mencatat hasil praktek, Si anak bangsawan tiba-tiba menjatuhkan pensilnya. Ketika Karl baru akan mengembalikan pensil itu, dia melihat bagaimana anak yang sejak awal selalu terlihat lebih pucat dari yang lain itu makin membiru. Napasnya tersenggal dan tak bisa mengeluarkan suara dengan baik.

Theodor Hoffman yang duduk di sebelahnya terlihat panik mencari cara untuk berkomunikasi, hingga menyodorkan pensil dan merobek halaman kosong buku catatannya begitu saja sebelum menyodorkan kedua benda itu pada si anak bangsawan.

"Inhaler ... nya ... ada ... dalam ... tas?" si Bocah Hoffman membaca tulisan yang susah payah ditorehkan di sobekan kertas itu.

"Bukankah tas kalian masih di ruang homeroom?" ucap Karl panik. Menyadari butuh beberapa menit berlari ke ruangan yang dimaksud. Apalagi dia tak tahu kantong mana inhaler keparat itu berada.

"Aku tahu!" seru Muller lalu melesat pergi ke luar kelas praktek. Sebelum Karl sempat mencegah.

"Herr Weber, kita perlu bawa dia ke klinik, segera!" Kali ini si Bocah Hoffman yang berkata, sambil memapah si anak bangsawan.

"Oh, euh ... Benar juga," gumam Karl, gugup. Kemudian dia teringat sesuatu, "Tapi bagaimana dengan Muller? Dia sudah terlanjur pergi ke ruang homeroom!"

"Kalau Anda yang lari dari sekarang, seharusnya masih sempat."

Berani betul si Hoffman menyuruh dirinya melanggar peraturan untuk tidak lari di lorong sekolah.

"Ini darurat!" Hoffman kembali berkata, dengan penuh kesungguhan.

Karl tak punya pilihan lain. Dia bergegas memaksa kaki-kaki dan sendi usia kepala tiganya untuk berlari menyusuri lantai licin lorong sekolah. Mencari Muller.

Kemampuan anak muda memang tidak bisa diremehkan. Karl baru mencapai setengah perjalanan ketika kepala berambut merah dikepang dua menabrak perutnya dengan kecepatan tinggi.

"Herr Weber, kenapa Anda ada di sini?" tanya Muller sedikit terengah-engah. Memandang heran pada Karl yang sedang meringkuk di lantai karena ulu hatinya serasa ditonjok.

"Hoffman ... dan anak bangsa—maksudku ... von Schwarzewald itu ... pergi ... ke klinik," rintih Karl sambil menahan sakit.

"Oh, baiklah. Aku ke sana!"

Lalu si Gadis Muller itu kembali melesat, kali ini menuju ke ruang klinik sekolah.

Ketika Karl berhasil mencapai klinik juga—setelah rasa sakitnya jauh berkurang dan sudah memberikan instruksi tambahan pada murid lain untuk menghentikan praktek, bagi yang berlum berhasil untuk diganti dengan membaca dan menjawab pertanyaan teori— Gadis Muller itu sudah tak ada di klinik. Begitu juga dengan Hoffman.

"Mana yang lain?" tanyanya pada si Anak Bangsawan yang sedang duduk tenang, menggunakan inhalernya.

"Muller tadi sempat kemari menyerahkan inhaler, sedangkan Hoffman sudah kembali ke kelas sejak tadi."

Ah, sepertinya Karl memang melihat Hoffman di antara murid-murid di kelas ketika dia menyuruh untuk menghentikan praktek. Hanya saja dia tak sempat bertanya padanya karena berusaha secepat mungkin menyusul ke klinik.

"Kau ... eh, Anda ... sudah tak ap—?"

"MANA YANG PINGSAN?!"

Pintu ruang klinik nyaris didobrak ketika orang yang berseru itu masuk.

"Oh, cuma kau, Weber," gerutu lelaki dengan jas panjang berwarna putih di atas kemeja dan celana biru. Menggaruk kepala yang rambutnya mulai banyak warna kelabu dengan ogah-ogahan. "Lalu mana yang pingsan?"

"Tidak ada yang pingsan, Keller. Anak ini hanya ... Euh, kurang darah? Kurang oksigen? Entahlah. Kau yang orang medis. Kau periksa saja. Aku perlu kembali ke kelas."

Guru klinik yang bernama Keller itu melirik pada anak yang sedang menghirup inhaler dalam diam.

"Rupanya begitu. Bocah lelaki tadi berlebihan, harusnya aku bisa mampir merokok dulu kalau tak dia cegat tadi."

Langkah Karl terhenti. "Bocah laki-laki?"

"Ya ... tadi tiba-tiba ada bocah mencegatku waktu lewat kelas—oh, kelas praktek sains hari siang ini giliranmu, ya? Katanya aku harus segera ke klinik karena ada sesuatu yang gawat. Kukira ada yang pingsan atau kepala bocor."

Karl bergidik pada kata terakhir dari kalimat rekan kerjanya. "Aku harap tidak akan ada yang sampai kepalanya bocor selagi aku mengajar, Keller."

"Aku juga lebih suka kepala para murid tetap mulus, Weber."

"Kalau begitu sebaiknya kau kurangi kebiasaan menghisap tembakau itu dan lebih sering berjaga di sini!" tegas Karl, agak berang.

"Hei, yang beban tugasnya bertambah karena si Becker sialan itu menghilang bukan hanya kau, tahu! Apa salahnya kalau aku menikmati sedikit waktu istirahat dengan menghisap barang sebatang rokok?" Frank Weber, guru yang bertugas menjaga ruang klinik sekolah itu membalas, tak kalah berangnya.

Untuk sesaat keduanya diam sambil saling pandang dengan geram. Kemudian suara inhaler dihisap memecahkan suasana.

"Ah, pasienmu, tuh!" gumam Karl.

"Ya, kau juga sana kembali ke kelas!" timpal Frank.

Di akhir jam sekolah, Karl menyempatkan diri untuk mampir lagi ke ruang klinik. Hanya ada Frank di sana. Sibuk mencatat sesuatu.

"Tidak marah-marah kali ini?" sindir guru klinik itu. Masih sambil menulis dengan bolpennya

"Bagaimana dengan anak bangsawan tadi?" tanya Karl, pura-pura tidak mendengar sindiran Frank itu.

"Dia kuizinkan kembali ke kelas setelah memastikan napas dan nadinya sudah kembali teratur ... Kenapa?" pertanyaan Frank itu ditujukan karena kening Karl terlihat berkerut. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Tidak. Hanya saja ... Penyakit anak itu sebetulnya apa?"

Frank mengangkat bahu. "Ada banyak macam penyebab gejala asma seperti yang terjadi pada anak itu. Bisa alergi, bisa memang ada kelainan pada sistem pernapasannya, bisa juga psikosomatis."

"Apa aku perlu penyebab kambuhnya?" Karl terlihat amat sangat khawatir ketika menanyakan itu. Bagaimanapun juga ini tugas pertamanya sebagai guru bidang. Kalau sampai muridnya kenapa-kenapa, apalagi murid dengan embel-embel bangsawan. Bisa-bisa tidak hanya dipecat, keluarganya bisa turun derajat hingga setara para imigran ilegal.

Frank menghentikan gerakan bolpennya lalu meraih sebuah buku dari tumpukan terdekat. "Dia tak boleh terlalu lelah atau terlalu stres, itu saja yang ditulis di catatan," ucapnya setelah membuka halaman tertentu dari buku yang dipegang.

"Hanya itu? Tapi ... Dia tak terlihat lelah atau kesulitan ketika pelajaran tadi."

"Kalau begitu penyebab lelahnya adalah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan pelajaranmu, Weber." 


(Bersambung ke chapter berikutnya)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top