05 - New Teacher
Lelaki bernama Karl Weber sebetulnya cukup pandai. Dia berhasil lulus pendidikan dasar. Walau tidak dengan prestasi cemerlang tetapi tak ada nilainya yang merah.
Seperti anak-anak yang besar di lingkungan pemukiman para pekerja lain, dia mengira masa depannya tak akan terlalu jauh dari pegawai pabrik, pertukangan, kebersihan atau pekerjaan buruh kontrak lainnya. Berharap bisa naik posisi jadi karyawan tetap, pegawai senior, atau paling maksimal mandor.
Mereka yang berada di lingkungan itu adalah orang-orang yang gagal mendapat tempat di masyarakat menengah atau keturunan imigran tanpa keahlian khusus. Keluarganya dari golongan yang terakhir.
Tidak terlalu jelek. Nasibnya masih jauh lebih baik daripada para imigran ilegal—terutama mereka yang tertangkap basah. Paling bagus bila hanya dideportasi, rumor mengatakan mereka akan diinterogasi berminggu-minggu, lalu dipaksa mengakui kejahatan yang mungkin tak pernah mereka lakukan.
Karena itu, seperti teman-temannya juga, Karl mengincar sekolah kejuruan teknik sebagai bekal ilmu sebelum mulai mencari pekerjaan.
Namun—entah bisa dikatakan sebagai keberuntungan atau bukan, dia menarik perhatian guru ketika mengajari teman-teman sekelas di pendidikan dasar. Tak terlalu istimewa, hanya menuntun mereka untuk mengerjakan PR saja.
Alih-alih sekolah kejuruan teknik, dia pun mendapat rekomendasi untuk melanjutkan sekolah kejuruan untuk menjadi guru. Paman yang menjadi wali awalnya tak setuju, sampai dengan iming-iming biaya sekolah gratis—sepenuhnya tak keluar uang sepeser pun, plus uang saku mencapai telinganya.
Karl Weber pun diizinkan bersekolah di sana hingga lulus. Nilainya biasa saja. Tak ada yang jelek tetapi juga tak sampai mendapat medali penghargaan. Begitu saja sudah cukup untuk mengantongi syarat untuk mengajar kelas umum di pendidikan dasar. Gajinya hanya sedikit di atas honor buruh tetapi sudah cukup untuk membiayai hidup sehari-hari.
"Kenapa kau tidak mengambil sertifikasi spesialis?" tanya guru pembimbingnya ketika dia datang untuk mengambil ijazah. "Sertifikasi itu bisa untuk mengajar di sekolah yang lebih tinggi. Bukan tawaran jelek, bukan?"
Tetapi dengan nilai-nilainya yang hanya masuk rata-rata, agak sulit untuk mendapat beasiswa penuh.
Guru yang sama menyarankan Karl untuk mengambil kelas sertifikasi sambil bekerja sebagai staf magang. Guru itu yang akan menuliskan surat rekomendasi.
"Dengan gaji setara karyawan kontrak, kamu hanya perlu membantu mencatat pembukuan dan mengetik dokumen umum pabrik, sehari hanya 3 sampai dengan 4 jam kerja. Kau bisa membagi waktu dengan kelas sertifikasi."
Pamannya sudah terlalu tua untuk bekerja. Sedangkan uang pensiun lelaki yang menjadi walinya itu tak cukup untuk biaya sekolah dirinya dan adik perempuannya, Inge. Karl pun menyanggupi tawaran guru pembimbing itu. Yang dia tak tahu, membagi waktu dengan jadwal sekolahnya sering membuat dia harus mengambil shift malam untuk pekerjaan di pabrik.
Kesibukan sekolah dan bekerja cukup menyita waktunya, bahkan setelah pindah dari apartemen tempat paman dan adiknya tinggal ke mess khusus pegawai yang lokasinya sangat dekat dengan pabrik tempatnya bekerja. Butuh waktu lama untuk terbiasa.
Keberadaan teman-teman barunya di pabrik ternyata banyak membantu. Mereka tidak meremehkan dirinya yang berusia paling muda. Tidak juga mengejek usahanya mengejar sertifikasi untuk bekerja di tempat yang lebih baik. Malah seringkali mereka yang memberi bantuan ketika dia kesulitan.
Seperti saat pamannya jatuh sakit. Maupun saat adiknya harus pindah dari apartemen mereka karena sang Paman meninggal. Saat mereka bingung memutuskan langkah selanjutnya bagi adiknya setelah lulus pendidikan dasar—untuk langsung mencari kerja atau meneruskan pendidikan.
Teman-temannya juga yang mempertemukan Inge dengan nenek kandung yang sudah lama terpisah dari keluarga—reuni mereka tak berlangsung lama, tetapi cukup memberi bekal untuk adiknya. Terutama tentang gelang perak yang membantu adiknya untuk hidup normal dalam lingkungan Plate.
Kini setelah dia akhirnya diterima sebagai pengajar baru di Rabe Gesamtschule, giliran Karl yang berjuang untuk membalaskan budi teman-temannya. Dia memutuskan untuk membantu keluarga teman-temannya yang kesulitan akibat insiden penangkapan beberapa tahun yang lalu.
Mereka terbukti tidak bersalah di pengadilan. Penangkapan teman-temannya ternyata salah sasaran, akibat fitnah dari sasaran yang sesungguhnya. Entah apakah para buron itu sudah tertangkap atau belum, Karl sudah tak peduli lagi.
Dia hanya kesal karena tidak ada permintaan maaf secara terbuka dari pemerintah, padahal berita bahwa mereka pernah ditangkap petugas terlanjur menyebar. Walau pabrik masih mau menerima mereka bekerja lagi, keluarga teman-temannya jadi kesulitan mendapat pekerjaan yang layak di tempat lain.
Tapi apa yang bisa mereka lakukan. Tidak dideportasi saja sudah bagus. Mereka tak punya kenalan maupun pengetahuan untuk hidup di luar Plate.
"Ada surat untukmu."
Inge meletakkan sepucuk amplop dengan kop bergambar siluet hitam burung gagak di meja. Keduanya memutuskan untuk pindah dari kamar sewa dan mess mereka yang lama untuk tinggal bersama lagi. Karl khawatir insiden Penyesuaian Kekuatan Plate secara mendadak akan terulang saat dirinya tak ada di dekat Inge.
"Sepagi ini? Tahun ajaran baru bahkan baru akan dimulai sebulan lagi," omel Karl, tetapi tetap meletakkan cangkir kopinya untuk meraih amplop tersebut.
"Apa katanya?" Inge melongok dari pundak kakak laki-lakinya dengan wajan masih meletup-letup oleh minyak untuk menggoreng telur dan sosis.
"Aku disuruh menemui Kepala Sekolah—Ah ... Hei! Hati-hati, wajanmu!" Karl berjengit menjauhkan surat di tangannya dari teror percikan minyak beraroma sosis goreng.
Tanggal pengiriman yang tercantum di pojok surat adalah sehari sebelumnya. Dia sempat membatin, mengapa sekolah tidak menelepon ke apartemen tempat dia dan adiknya tinggal saja, daripada repot-repot mengirimkan surat yang makan waktu lama. Walau tak ada pesawat telepon pribadi, apartemen mereka menerima jasa penitipan pesan melalui telepon di ruang penjaga dan pengurus gedung.
"Kau akan dipecat?"
"JANGAN BERCANDA!"
"Aku hanya bertanya," Inge memindahkan isi wajannya ke piring di tengah meja. "Tak perlu marah begitu."
Karl membaca ulang ketikan rapi kalimat formal tetapi singkat yang tercantum dalam surat.
"Untunglah. Di sini tidak disebutkan soal pemecatan ... Tapi aku harus bersiap-siap karena diharapkan sampai di sekolah pada hari Sabtu, sebelum pukul 9, pagi ini—Itu ...," dia melirik jam meja di buffet, "Sekitar 2 jam lagi!"
Melihat kakaknya buru-buru bangkit, Inge menghadang dengan spatula. "Setidaknya makanlah sesuatu dulu. Setelah itu kau boleh membersihkan diri sebelum berangkat!"
Karl meraih dua lembar roti gandum, melapisinya dengan telur mata sapi, lalu cepat-cepat menjejalkan itu semua ke mulut. Tegukan sisa kopi di cangkir membantu untuk membuat makanannya meluncur melalui kerongkongan.
Kurang dari satu jam untuk bersiap-siap. Sepuluh menit bersepeda menuju parkiran di halte trem. Lalu sekitar dua puluh menit lagi perjalanan menuju pusat kota.
Hanya beberapa menit berjalan dari halte dan beberapa menit lagi menyeberangi halaman sekolah untuk mencapai bangunan yang dituju. Setelah berusaha menguatkan diri akibat mendapat teror mental dari staf yang merangkap sekretaris Kepala Sekolah, Karl mengetuk pintu.
Setelah mendapat persetujuan dari empunya ruangan, dia pun melangkah masuk.
Di ruangan itu, seorang lelaki dengan rambut yang mulai memutih bangkit dari kursinya di belakang meja kayu yang bagus.
"Karl Weber!" panggil lelaki itu, cerah. "Kau tepat pada waktunya. Aku suka itu. Nah, duduklah dulu!" Lelaki itu menunjuk pada kursi-kursi kosong di seberang meja bagusnya.
"Ah, baik." Karl bergumam mengiyakan tetapi matanya tertuju pada sosok seorang lagi yang sudah duduk di hadapan Kepala Sekolah. Walau tanpa seragam, sikap dan posturnya membuat Karl langsung mengenali bahwa orang itu adalah bagian dari aparat keamanan negara.
"Oh, ya. Kenalkan ... Beliau ini adalah Herr Jan Fassbender, dari Keamanan Khusus."
Melihat warna di wajah Karl menghilang, Kepala Sekolah buru-buru menambahkan, "Oh, Beliau tidak datang untuk berurusan denganmu, Weber. Tenang saja."
Ada sedikit rasa lega mendengar ucapan Kepala Sekolah itu, tetapi kekakuan di ekspresi Fassbender ketika memberi anggukan sopan sebagai ganti jabat tangan, tidak mengendurkan syaraf-syarat Karl yang masih tegang.
"Benar. Aku memang tidak datang untuk menemuimu, Karl Weber. Tapi untuk formalitas, aku perlu tahu bagaimana pendapatmu tentang Paul Becker."
Alis Karl naik mendengar nama seniornya, sesama guru sains disebut. Sejujurnya dia tak terlalu menyukai orang yang selalu muram dan tampak sering mengomel tak jelas itu tetapi tidak mungkin juga menjawab gamblang.
"Paul Becker yang guru senior di bidang yang sama denganku?" Karl mengulang, memastikan. Setelah mendapat konfirmasi berupa anggukan singkat, barulah dia menjawab, "Aku tak terlalu mengenal dia—hanya bertemu dengan yang bersangkutan di ruang guru atau di lorong sekolah, saat pergantian pelajaran. Sebagai guru baru, tugasku masih menjadi asisten guru bidang tapi kami belum pernah bekerja bersama."
Fassbender melirik pada Kepala Sekolah. Beberapa anggukan dari lelaki di belakang meja itu memberi kepastian bahwa pernyataan Karl adalah benar.
"Terimakasih banyak atas kerjasamanya, Karl Weber," ucap Fassbender sambil menorehkan tinta di salah satu lembar dari buku catatan sakunya. "Kata-katamu tadi akan kami catat sebagai pernyataan resmi terhadap Paul Becker."
"Euh ... Apakah ada sesuatu dengan Becker?"
"Dia ...," kata-kata Kepala Sekolah terhenti sejenak, "Tidak menjalankan kewajibannya selaku guru bidang. Karena itu dengan berat hati kami memberikan hukuman berupa skorsing hingga waktu yang belum ditentukan."
Hanya skorsing saja seharusnya tidak sampai memunculkan manusia seram seperti Fassbender. Namun Karl tidak berani berkomentar.
"Dan, yah ... saat seharusnya dia datang untuk menyerahkan surat pernyataan permohonan maaf dan kunci ruang kelas, kami malah tidak bisa menghubunginya sama sekali. Herr Fassbender di sini datang untuk membantu karena pihak sekolah tak mungkin datang melapor ke kantor aparat keamanan, bukan?"
Melihat Karl tertegun dengan mulut terbuka, Kepala Sekolah buru-buru menambahkan, "Ta-tapi soal ini tak perlu kau katakan pada siapa-siapa, Weber. Kau kupanggil hanya untuk memberitahu bahwa untuk semester baru nanti akan menggantikan posisinya sebagai guru bidang saja."
Bukannya senang, Karl malah semakin bingung.
"Maaf, tapi ... kenapa saya? Bukankah ada guru baru lain yang menjadi asisten Becker?"
Mata Kepala Sekolah melirik pada Fassbender yang terlihat tak acuh, asyik dengan catatannya.
"Kita katakan saja, asisten Becker merasa keberatan untuk menerima posisi yang kami tawarkan dan memilih untuk jadi asisten guru bidang lain."
Seketika Karl memahami. Entah apa yang dilakukan oleh Becker hingga mendapat sanksi, asistennya tak mau catatan karirnya tercoreng karena dianggap berkaitan dengan guru yang bermasalah. Secara tertulis Karl bisa saja menolak penugasan ini, tetapi pada kenyataannya dia yang hanya dari keluarga buruh tidak punya kuasa sama sekali.
Salah-salah, mungkin malah dirinya mendapat sanksi seperti Becker atau bahkan dipecat.
"Baiklah," ucap Karl pada akhirnya. "Saya terima penugasan ini, Kepala Sekolah."
Wajah atasannya itu menjadi cerah mendengar pernyataan Karl. Dengan riang lelaki itu melangkah mengitari meja untuk menyalami guru bidangnya yang baru. Kemudian bergegas memanggil sekretarisnya untuk menyiapkan dokumen yang dibutuhkan, seolah tak ingin Karl berubah pikiran.
Bagi Karl sendiri, sebetulnya tugas barunya itu bukanlah hal yang buruk. Penghasilannya memang belum setara guru bidang tetap, tetapi naik cukup banyak dibandingkan dengan sebelumnya. Dia hanya berharap semoga tahun ajaran baru nanti tidak akan terjadi masalah selagi dia menggantikan posisi Becker.
(Bersambung ke semester baru)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top