02 - Sick Boy
Semua terjadi begitu cepat. Padahal beberapa saat sebelumnya dia masih menikmati sarapan bersama kedua orangtuanya. Menonton perdebatan mereka mengenai tayangan televisi. Lalu tiba-tiba dia merasa seperti ada yang menekan tombol saklar fungsi tubuhnya.
Tungkai-tungkai di tubuh kecilnya yang tiba-tiba kehilangan kekuatan. Kemudian seolah-olah dirinya lupa bagaimana cara menjaga keseimbangan. Gelas berisi susu yang ikut limbung karena tak sengaja tersenggol. Jerit panik Ibu yang memanggil namanya. Mengikuti nyeri berdenyut-denyut di kepalanya, muncul rasa panas yang tiba-tiba menyengat di bola mata kanan. Hanya sesaat karena setelah itu kesadarannya hilang sama sekali.
Ketika anak itu membuka mata, walau pandangannya masih buram dia menyadari bahwa seseorang membawanya ke kamar tidur. Panas di mata kanannya sudah berkurang. Dibanding sebelumnya, kini hanya terasa seperti terlalu lama membuka mata di bawah air.
"Alex," panggil suara bariton lembut. Itu ayahnya.
Kepalanya terasa berdenyut hanya dengan gerakan kecil saja, tetapi dia mencoba untuk menoleh ke asal suara. Sebentuk siluet jangkung—karena pandangannya masih buram, terlihat berwarna-warni hangat yang menenangkan, bergerak mendekat.
"Bagaimana perasaanmu?"
Rupanya siluet yang berwarna hangat menenangkan itu adalah ayahnya.
Dia ingin menjawab, tetapi tenggorokannya terasa kering. Sulit untuk mengeluarkan suara. Sungguh aneh. Seingatnya sarapan pagi tadi tidak ada yang bisa memicu alergi.
"Kalau masih pusing, tak usah memaksakan diri."
Terkadang ayahnya seperti bisa menebak apa yang ada dalam benak anak itu. Namun dia tetap mengangguk lemah.
Alex sedang dibantu untuk lebih mudah meneguk air minum, ketika bel pintu rumah mereka berbunyi. Bel tiga nada itu berbunyi beberapa kali, sebelum samar terdengar seseorang membukakan pintu.
"Ayah," gumam bocah delapan tahun itu lirih. "Ada orang-orang yang datang."
Mata biru terang ayahnya sempat membulat mendengar itu sebelum tersenyum dan mengusap lembut rambut cokelat anaknya.
"Terimakasih, akan Ayah temui. Kau tetap istirahat di sini dulu, ya."
Satu kecupan ringan terasa di ubun-ubun, sebelum siluet jangkung yang menenangkan itu pergi keluar dari kamar tidurnya.
Alex kecil sangat tidak suka terbaring tak berdaya dan hanya bisa menerima bantuan dari orang-orang di sekitar. Akan tetapi dia terpaksa mengikuti saran ayahnya untuk melanjutkan beristirahat. Jangankan bangun dan turun untuk mengambil air minumnya sendiri, memaksakan diri untuk tetap membuka mata melihat warna-warna buram di sekelilingnya saja sudah cukup membuatnya pening. Apalagi sesekali dia seperti bisa melihat pendaran yang makin membuat mata kanannya berdenyut.
Butuh beberapa lama hingga pandangannya kembali seperti semula dan tubuhnya menurut lagi.
Sejak demam tinggi setelah terjatuh sewaktu bermain di taman beberapa tahun sebelumnya, anak itu pelan-pelan menyadari bahwa tubuhnya tak sesehat orang lain. Penyebabnya tak terlalu jelas. Percakapan dokter dengan kedua orang tuanya, setiap kali tubuh kecilnya tiba-tiba terasa berat dan sulit digerakkan, belum bisa dipahami.
"Anak ini hanya kelelahan," adalah satu dari sedikit kalimat yang bisa dia tangkap. Karena itu kedua orangtua—terutama ibunya, berusaha untuk tidak membiarkan Alex kecil terlalu banyak melakukan kegiatan yang melelahkan. Gizi dan pola hidup dijaga ketat. Apa yang diperkirakan bisa mengganggu stamina dan kesehatan, dijauhkan.
Walau bola warna-warni yang dimainkan anak-anak tetangga terlihat menyenangkan, dia tak boleh ikut mengejar. Jajanan menggiurkan di sepanjang jalan dekat sungai dan pusat pertokoan juga tak boleh dia makan. Hewan-hewan peliharaan di Taman Kanak-Kanak juga tak boleh dia dekati.
Tidak. Untuk para hewan-hewan lucu itu, dia tak perlu menjauh. Mereka sendiri yang akan menghindar. Kemudian, tak butuh waktu lama untuk anak-anak sebayanya juga turut menghindari dirinya.
"Anakku hanya sedang tidak sehat!"
Seruan Sonje terdengar nyaring hingga ke lantai dua, tempat kamar tidur mereka berada. Tidak biasanya ibu dari anak itu mengeluarkan suara keras. Walau merasa terganggu karena suatu sebab, perempuan yang selalu berpenampilan anggun itu jarang mengumbar ekspresinya.
Tanpa mendengar suara langkah-langkah kaki yang mendekat pun Alex tahu, ada dua orang asing turut menaiki tangga rumah. Ibunya terlihat gusar. Sementara ayahnya ... Ayahnya berdiri diam, menanti di lorong dekat pijakan teratas tangga. Tenang.
Melongok kepada orang-orang yang datang dan istrinya yang masih memandang dari bawah sana dengan cemas. Satu anggukan dari sang Ayah memberikan kebebasan pada Ibunya untuk kembali ke ruang makan. Menenangkan diri di sana.
Dibanding dengan ibunya yang bisa sangat tegas dan kaku pada peraturan, Alex lebih tenang bila bersama ayahnya. Tidak sampai menghujaninya dengan pertanyaan dan cerita, tetapi juga tak pernah sampai kehabisan obrolan saat sedang bersama. Namun apabila ayah yang riang itu terlihat lebih diam dari biasanya, Alex merasa lebih takut daripada saat ibunya marah.
"Halo, tuan-tuan yang terhormat," ayah Alex menyapa orang asing yang baru saja mencapai lorong. "Ada angin apa yang membawa Anda sekalian hingga mampir ke rumah kami?"
Dari suaranya, Alex bisa membayangkan senyum ramah tersungging dengan baik di wajah tampan sang ayah. Beliau bisa bersikap sopan tetapi tetap menimbulkan tekanan yang sulit dijelaskan.
"Kami hanya ingin menjenguk putra Anda, Herr Schwarzewald," jawab orang yang tiba lebih dulu. Alex tidak bisa melihat detail seragam maupun tanda-tanda kepangkatan di pakaiannya, tetapi postur tegap dan suara yang tegas membuat siapapun langsung tahu, bahwa orang itu adalah petugas yang berwenang menjaga keamanan negara mereka.
"Tanpa membawa buah tangan? Putraku akan sangat kecewa. Mungkin Biro Keamanan perlu mempertimbangkan pelatihan ulang para petugasnya, terutama untuk tatakrama."
Intonasi ringan dengan ekspresi tenang itu, seketika membuat lawan bicaranya merah padam, terlihat menahan amarah.
"Apa yang Anda bicarakan. Apakah Anda bermaksud menyarankan suap dari Aparat Keamanan?"
"Mana mungkin," balas ayahnya sambil menambahkan tawa kecil. "Kalau ada di antara kita yang seharusnya memberikan suap, harusnya dari pihak kami, bukan?"
"Cukup bercandanya!" potong sosok yang beberapa langkah di belakang petugas pertama. Sama tegap tetapi dengan gerak-gerik tak sekaku rekannya. "Sikap seenaknya dan sok tenang seperti itulah yang membuatku benci orang-orang ber-privilege, Friederich." Ada emosi kompleks yang menguar dari intonasi bicara petugas yang kedua.
"Kukira siapa, rupanya Petugas Fassbender. Tak banyak di antara kalian yang ingat nama depanku. Sungguh!"
Melihat lawan bicaranya hanya menatap geram, ayah Alex itu meneruskan, "Sebagai penerima medali-medali emas untuk berbagai prestasi—baik setelah bertugas maupun saat masih di kampus dulu, sepertinya kau perlu lebih banyak mengambil liburan, Petugas Fassbender."
Kemudian—sebelum salah satu dari kedua lawan bicaranya sempat menanggapi, Beliau menambahkan, "Karena terlalu rajin bertugas, hingga lupa bahwa baik kau maupun aku dulu sama-sama membutuhkan uang beasiswa untuk membeli diktat?"
"Ada beda yang jelas ...," desis Fassbender di sela-sela gertakan geliginya, "...antara penerima beasiswa dari kalangan jelata dengan penyandang gelar Markgraf, yang bahkan menggunakan salah satu wilayah negara sebagai nama keluarga, von Schwarzewald!"
Alex tahu, ayahnya masih tersenyum ketika mendengar ucapan petugas itu. Namun ketika mulai membuka mulut untuk membalas, intonasi yang terdengar sudah tak lagi seringan sebelumnya. Satu-persatu kata dilontarkan dengan lebih tenang, jelas, dan menekan.
"Oh, maksudmu gelar yang walau tak memberikan kuasa apa-apa tetapi menarik pajak tinggi padahal kami hanya bekerja dan digaji sebagai warga negara biasa? Gelar yang membuat kami wajib melaporkan setiap akta dan birokrasi lebih rumit dan lebih merepotkan daripada warga negara manapun itu? Yang membatasi ruang gerak, profesi, bahkan prestasi yang boleh diraih walau hanya perlombaan anak-anak?"
Semakin jauh kalimat-kalimat ayahnya terucap, makin pudar juga keramahan yang sebelumnya masih terpasang dengan baik.
"Seandainya bisa, dengan senang hati akan kuserahkan padamu, Petugas Fassbender. Tetapi, bukankah orang-orang di atas kalian yang memaksakan gelar itu ke tangan kami, rantai pengaman yang berkedok penghargaan ini?" ayahnya kembali menambahkan.
Tenang dan dingin.
Menyiram panas emosi yang sebelumnya membuat para petugas meradang.
Fassbender masih sempat memicingkan mata sebelum mengalihkan pandangan, getir. Petugas lain yang bersamanya bahkan tak berani mendongak sama sekali. Lidah mereka berdua kelu.
"Untuk sekarang, segera selesaikan apapun yang kalian perlu lakukan," ucap ayahnya. Kembali ke intonasi ringannya semula. "Tetapi setidaknya, bersikaplah seperti orang yang sedang menjenguk, kita tidak ingin membuat putraku ketakutan, bukan?"
Tiga orang dewasa melangkah menuju pintu kamarnya. Alex kecil masih merasa otot-ototnya terlalu lemas untuk duduk. Mungkin belum cukup pulih untuk memberi salam, apalagi menjawab pertanyaan.
Anak itu memutuskan untuk menutup mata dan mengerahkan tenaga untuk memutar badan, menghadap tembok. Pura-pura tidur. Biasanya cara itu berhasil untuk membuat ibu dan para staf medis yang datang, segera menyelesaikan urusan mereka dan pergi.
Pintu kamar berayun terbuka. Ayahnya yang pertama melangkah masuk. Disusul kedua petugas.
"Kamar yang bagus," komentar Petugas Fassbender, tak bisa menghilangkan rasa iri dalam intonasinya.
"Terimakasih. Sonje selalu mendidik putra kami untuk menjaga kerapian dan kebersihan barang-barang pribadi," balas ayahnya. "Kalian para petugas juga bisa mempraktekkan hal serupa untuk taraf minimal."
Kini setelah mereka satu ruangan, Alex baru bisa menyadari aroma masam dan sedikit garam dari keringat. Sepertinya sejak pagi kedua orang itu sudah bergerak ke sana-sini dengan seragam tebal. Rasa segan anak itu perlahan berubah jadi simpati.
"Apa anakmu tidur?" tanya Fassbender, mencoba mengenyahkan rasa dongkol.
"Bagaimana kelihatannya menurutmu?"
Untuk pertama kalinya hari itu Alex bersyukur tubuhnya terlalu lemas. Kalau tidak, dia pasti tak akan bisa menahan geli.
Sebelum Fassbender kembali tersulut, Petugas yang lain angkat bicara, "Mohon izin, Herr Schwarzewald. Kami perlu memeriksa sesuatu."
"Tidak akan lama," petugas itu buru-buru menambahkan.
Setelah mendapat persetujuan, Petugas itu berjalan mendekati tempat tidurnya.
Suara kain yang bergesek beberapa kali menandakan petugas itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket seragamnya. Alex bertanya-tanya, apakah buku catatan seperti yang sering dibawa-bawa oleh boneka petugas di tontonan sore. Baunya tak seperti camilan.
Tiba-tiba pipinya tersentuh sesuatu yang bulat dan dingin. Seperti ada yang menempelkan kelereng sebesar bola pingpong. Anak itu harus menahan diri untuk tidak menyingkirkan benda asing itu dari wajahnya.
"Apa itu?" Suara ayahnya kembali kehilangan nada riang.
"Hanya alat untuk mendeteksi, Friederich."
"Aku tak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."
Langkah jenjang terdengar mendekat gusar.
"Apa yang kalian sodorkan pada putraku?!"
"Tenang sedikit, Herr Markgraf!"
Keributan di dekat tempat tidurnya membuat Alex sangat ingin mengintip apa yang terjadi. Namun di saat yang bersamaan, dia juga takut bila tiba-tiba bergerak. Kelereng yang menempel di pipinya akan bereaksi tidak baik.
"Pemeriksaan selesai!" seru Petugas yang menggunakan kelereng. Menghentikan apapun yang akan dilakukan oleh Ayah Alex dan Fassbender. "Hasilnya negatif."
"Apa kau yakin?!" Fassbender terdengar kurang percaya.
"Pemeriksaan maksimum selama 30 detik, hasilnya tak terdeteksi energi magis dari putra Herr Schwarzewald," jelas sang Petugas, yakin.
Setelah mencatat hasil pemeriksaan alat deteksi, kedua petugas akhirnya melangkah meninggalkan kamar Alex. Ayahnya hanya mengantar hingga tangga. Selanjutnya Sonje yang memberi mereka sedikit luapan ketidaksenangannya sebelum mengantar hingga gerbang.
"Mereka sudah pergi, Alex," ucap Ayahnya lembut. "Kau sudah boleh berhenti pura-pura tidur sekarang."
Mendengar ucapan ayahnya, anak itu merasa sangat lega dan senang hingga tak menyadari ekspresi terkejut Friederich ketika pandangan mereka bertatapan.
"Kurasa, kita bisa minta pada ibumu untuk meminta izin pada sekolah, libur 2 hari hingga kondisimu betul-betul pulih."
(bersambung ke chapter berikutnya)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top