Sweet Punishment


Angin yang mambawa harum rumput dan dedaunan berhembus perlahan. Melewati pintu ruangan yang terbuka lebar, melintas menuju jendela-jendela besar berbentuk persegi yang menghadap ke pekarangan. Sayup-sayup terdengar suara ramai gelak-tawa anak-anak. Aroma perabot kayu dan pernis, samar tercium di dalam ruangan.

Tubuh lelahnya bersandar pada salah satu dari tiga bantalan kursi yang tersedia di setiap sofa kayu panjang. Alas kakinya masih terpasang. Saat penjaga gerbang mempersilakan dirinya untuk masuk, dia sudah bermaksud untuk melepas sepatu, tetapi dicegah.

Awalnya dia mengira perlakuan itu khusus diberikan kepadanya karena penampilan fisiknya yang tidak seperti orang setempat, tetapi setelah memperhatikan lantai batu yang digunakan untuk ruangan dia menyadari bahwa tempat dia berada dianggap sekadar beranda depan di kediaman itu.

Gerbang raksasa yang megah. Tembok batu memanjang yang menjulang dan kokoh. Beranda besar dan luas, beratap dan berdinding, dengan perabot dari kayu yang bagus dan lantai batu. Menunjukkan bahwa kediaman itu cukup makmur. Di negara asalnya, keluarga yang dia datangi ini setidaknya setara dengan Herzog—keluarga bangsawan yang posisinya kira-kira setingkat di bawah keluarga Raja, pikir pemuda itu sembari mengagumi sulaman indah di salah satu bantal duduk yang tersedia.

Satu-satunya alasan orang luar seperti dirinya diijinkan untuk masuk hanyalah plakat tua penginggalan nenek buyut yang kini kembali dia simpan di dalam saku mantelnya. Nenek buyutnya dulu berasal dari keluarga kediaman megah ini. Sejak muda beliau tidak begitu menyukai keluarga asalnya jadi ketika mendapatkan kesempatan pertamanya untuk pergi dari situ, beliau tidak pernah kembali lagi.

Ironis, pikirnya—tanpa sadar meremas bantal duduk yang ada di tangannya. Sekarang dirinya, darah dan daging nenek buyutnya, malah dengan kesadaran sendiri mendatangi tempat itu. Bila nenek buyutnya masih hidup, apakah beliau akan marah padanya? Mungkin apa yang akan dikatakan oleh nenek buyutnya bila beliau marah akan keputusannya ini tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh ibunya di tanah air, empat tahun yang lalu.


***


"TIDAK!" seru perempuan berambut gelap itu emosional. "Setelah apa yang dialami oleh puteraku tempo hari, kau masih mau membiarkan dia diperalat oleh orang-orang itu?" tanyanya dengan suara meninggi.

"Tenanglah, tidak ada seorang pun dari kita yang diperalat oleh siapa pun di sini...," timpal lelaki berambut pirang di hadapannya kalem. "...Dan apa yang dialami oleh Ludwig bukan menjadi tanggung jawab Nona Shu Lien Hwa dan teman-temannya."

"Tapi kau mau mengikuti saran mereka yang tidak jelas asal-usulnya, bukan?" sergah perempuan itu lagi. "Kau mau membiarkan putera kita sekolah di prefektur lain, bahkan menggunakan identitas yang berbeda... ."

Suaranya tercekat. Air matanya mulai tak terbendung lagi.

"Puteraku harus hidup jauh dari kita, jauh dari keluarga yang bisa melindunginya ... Sebagai orang lain! Ide gila macam apa itu!?"

"Ide yang mungkin lebih menjamin keselamatannya dan keselamatan orang lain di sekelilingnya juga, Sonja. Berada terlalu dekat dengan kita, membuat keberadaannya menjadi lebih mudah dilacak oleh orang-orang yang sepemikiran dengan mereka yang pernah mengincarnya selama ini."

Lelaki pirang di hadapannya menjawab dengan tenang, walau tangis Sonja sudah pecah di tengah penjelasan.

"...Tega-teganya kau, suamiku sendiri, berkata begitu...," isak Sonja. "Aku ibu kandungnya, seharusnya akulah yang lebih paham tentang keselamatan puteraku sendiri! Kalian ... Kau maupun orang-orang bar-bar yang tidak tahu diri itu, tidak berhak memisahkan aku dengan Ludw-"

"Dan aku adalah ayah kandungnya, Sonja!" potong lelaki itu. Tetap dengan nada bicaranya yang tenang namun lebih tajam dari biasanya. "Aku juga punya hak yang sama untuk menilai dan memutuskan pilihan hidup puteraku."

Kalimat suaminya membuat Sonja terdiam.

"Memang bukan hal yang mudah untuk diakui, tetapi baik aku maupun engkau tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membimbing dan melindungi Ludwig dari kemampuan khususnya."

Sonja terlihat terguncang ketika suaminya menyebut-nyebut hal yang paling dia benci.

Friederich sudah lama menyadari bahwa sampai detik itu istrinya tidak pernah mau menerima kenyataan bahwa putera tunggal mereka berdua mewarisi kemampuan misterius yang dibawa oleh leluhur mereka. Sebagai warga negara yang patuh, segala hal berbau luar Plate adalah sesuatu yang tabu. Sonja bahkan memperlakukan kemampuan unik putera mereka sebagai penyakit.

Lelaki itu bukannya tidak memahami bagaimana kerasnya Sonja berjuang untuk hidup sebagai warga negara yang baik. Memiliki setengah darah orang Timur dari ayahnya, perempuan itu sering harus menghadapi pandangan menghakimi dari orang lain. Karena itu Sonja selalu mati-matian berusaha untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah imigran tak tahu diri—salah satu sebutan yang dituduhkan kepada perempuan itu.

"Rencananya Ludwig akan dicatat sebagai salah satu korban yang terluka parah dan harus dirawat di tempat kakakku. Berkat ledakan kekuatannya tempo hari, sebagian besar ingatan teman-teman sekolah akan dirinya jadi kurang jelas ... Dalam beberapa tahun, aku yakin tidak seorang pun di kota ini akan ada yang ingat akan sosoknya ketika bersekolah di situ."

Sonja terkesiap mendengar itu. Friederich menyadarinya.

Namun lelaki itu tetap meneruskan,"...Sebetulnya masih ada catatan akan dirinya di surat kabar lokal—dokumennya bisa ditemukan di perpustakaan kota, dan catatan akademis sekolah tetapi tidak banyak orang yang merasa perlu memeriksa tentang orang yang tidak mereka ingat keberadaannya, bukan?"

Friederich menyerahkan brosur sekolah swasta ketat yang mementingkan nilai akademis siswanya pada Sonja, lalu kembali menjelaskan, "Setelah ini, seperti yang sudah kuberitahukan padamu—kalau kau tidak ingat, persis sebelum kau mulai marah-marah tadi, Ludwig akan diberikan identitas baru yang tidak akan bisa dilacak kepada kita. Sekolahnya cukup bagus—kau seharusnya setuju dengan standar sekolah ini. Akomodasi akan ditanggung oleh organisasinya Nona Shu Lien Hwa."

"...Bagaimana dengan biaya sekolahnya? Pasti lebih mahal, kan?" tanya Sonja datar.

"Soal itu ... Ludwig, coba jelaskan pada ibumu?" panggil Friederich pada sosok remaja laki-laki yang sedari tadi hanya duduk diam menunggu walau berada satu ruangan dengan mereka.

Sonja memandang bingung kepada puteranya.

"...Aku mendapat beasiswa penuh," jawab remaja laki-laki itu pelan.

"Apa? Bagaimana bisa...—sejak kapan?!" berondong Sonja. Lalu perempuan itu menyadari sesuatu dan menoleh berang pada suaminya. "KAU...? Kau yang memberi ijin padanya untuk mengikuti ujian masuk untuk siswa pindahan?"

"Nilai putera kita cukup bagus untuk mendapatkan beasiswa penuh, seharusnya kau senang, Sonja!"

Friederich jarang mengkritik istrinya, selama ini dia selalu bimbang—antara pilihan mengikuti begitu saja kemauan Sonja atau mencegahnya. Namun sejak putera mereka menyampaikan keberatan akan perlakuan Sonja, dia tidak bisa lagi tinggal diam.

"Kau memang selalu ingin dia lebih menekuni bidang akademis saja, bukan?" tambah lelaki berambut pirang itu seraya mengembangkan senyumnya.

Sonja memang menginginkan puteranya menjauhi kegiatan fisik yang bisa berakibat pada kondisi 'penyakitnya' tetapi bila itu juga berarti dia harus berpisah dalam waktu lama dengannya... .

"Oh, Ludwig sayangku...," tangis Sonja seraya memeluk erat puteranya.

Remaja laki-laki itu membiarkan ibunya menumpahkan segala perasaan dalam pelukan itu. Dia merasa bersalah sudah membuat ibunya merasa sedih tetapi dia juga paham yang dipeluk ibunya saat itu tidak termasuk 'penyakitnya'.


***



Trek!

Suara nampan bambu yang diletakkan di atas meja kayu menarik pemuda itu dari lamunan akan masa lalunya menuju kenyataan yang ada di depan mata. Rupanya seorang pelayan perempuan diutus untuk menghidangkan teh dan camilan. Bisa tidak menyadari kedatangan orang asing hingga sedekat itu dengannya, mungkin efek dari rasa lelah.

"...Mohon maaf, apakah saya sudah mengganggu istirahat anda?" tanya pelayan itu ketika pemuda itu terlihat berusaha merapikan posisi duduknya dengan salah tingkah.

"Eh ... Tidak. Justru saya yang sudah tidak sopan," sanggah pemuda itu.

Pelayan itu tersenyum ramah lalu berkata, "Sebentar lagi Kakek Fu akan datang membawa orang dari rumah utama, sementara sembari menanti ... Silahkan dinikmati dulu teh dan hidangan sekadarnya ini!"

Mata cokelat pemuda itu menelusuri ujung telapak tangan yang menyembul dari lengan blus berwarna biru langit. Di atas taplak meja yang terbuat dari rangkaian buluh-buluh tipis dan panjang yang dianyam dengan helaian benang kuat, tersedia satu set kudapan sore hari. Sepoci teh hijau hangat, baru saja dituangkan ke dalam cawan porselen, menguarkan aroma segar seduhan daun teh yang menerbitkan selera. Di sampingnya terdapat dua piring kue-kue mungil dan cantik dengan warna yang menarik.

Pemuda itu seketika memucat. Hidungnya menangkap aroma manis vanila dan harum legit selai buah dan kacang merah manis dari kue-kue mungil itu. Sepanjang pengetahuannya, wujud dan aroma seperti itu berarti tidak mungkin kue yang tersedia termasuk kue gurih.

Perubahan rona wajah pemuda itu tidak bisa luput dari perhatian pelayan perempuan yang masih berada di dekatnya.

"Apakah ada masalah, Tuan?" tanyanya khawatir.

"T-tidak ... Saya baru kali pertama melihat kue-kue seindah ini, jadi khawatir tidak bisa memakannya dengan benar," kilah pemuda itu cepat.

"Ah, santai saja...," ujar pelayan itu seraya tersenyum geli. "Hanya kue biasa, dimakan dengan tangan langsung juga tidak mengapa. Saya sudah sediakan serbet kertas di sebelah sini," tambahnya.

Pemuda itu menghadapi pilihan sulit. Di satu sisi, dia mulai kehabisan nutrisi yang hanya sempat terisi oleh roti gandum, buah kering dan kacang-kacangan—makan siang daruratnya selagi dalam perjalanan. Di sisi lain, lidah dan tubuhnya tidak mampu mengonsumsi makanan manis.

Bukan masalah fisik yang berpengaruh langsung pada kesehatan, memang. Lien Hwa, mentornya juga pernah mengatakan reaksi tubuhnya tidak lebih dari kasus psikosomatis. Namun karena dia juga pernah nyaris kehilangan kesadaran karena nekad mencoba mengulum permen caramel, ketidakmampuannya menerima makanan manis tidak bisa diremehkan.

Belum lagi dia tidak berani mengambil resiko tuan rumah menganggapnya kurang sopan karena tidak mencicipi hidangan yang sudah repot-repot disediakan untuknya. Pemuda itu menelan ludah, mengawasi piring-piring mungil yang tersedia. Setidaknya dia bisa memilih yang paling tidak terlihat manis di antara gumpalan gula yang ada.

Piring pertama berisi empat buah kue mungil, sepertinya terbuat dari tepung berwarna hijau pudar yang dicetak dalam bentuk-bentuk tradisional yang cantik. Di sebelahnya terdapat sepiring kue berwarna kecokelatan dalam bentuk balok-balok mungil, aroma vanila yang tajam membuatnya segera mengabaikan keberadaan piring tersebut. Piring berikutnya berisi bola-bola yang kelihatannya seperti buah kering dalam lumuran bubuk putih. Piring terakhir hanya berisi satu buah kue yang dibentuk dan diwarnai hingga menyerupai buah apel yang merah mengkilap menggiurkan.

Pemuda itu cukup menyukai rasa asam-manis dari buah apel di negara asalnya, tetapi sepengetahuannya kue yang berbentuk seperti buah-buahan, belum tentu memiliki rasa yang sama dengan buah aslinya. Pilihannya antara buah kering berlumur tepung halus atau kue berwarna hijau lembut yang aromanya samar itu.

"Apakah teh hijau tidak sesuai dengan selera anda? Kami juga bisa menyediakan teh hitam, bila anda bersedia menunggu sebentar," tawar pelayan itu lagi.

"Tidak perlu repot-repot!" cegah pemuda itu. "Ini sudah lebih dari cukup bagi orang seperti saya," tambahnya seraya memberikan senyum terbaiknya untuk meyakinkan pelayan itu.

Usahanya berhasil. Pelayan itu undur diri setelah meletakkan sebuah lonceng kuningan di dekat nampan. Sepertinya itu adalah alat untuk memanggil bila tamu membutuhkan bantuan pelayan. Pemuda itu berharap dia tidak akan perlu menggunakan lonceng yang disediakan. Setidaknya tidak untuk kunjungan pertama.

Dia melepaskan sarung tangan kulitnya—mencegah transfer aroma manis ke benda yang sering dia kenakan, sebelum meraih sumpit kayu yang disediakan. Setelah menyadari bahwa tepung halus yang melumuri buah kering ternyata adalah gula halus, akhirnya pemuda itu memilih kue berwarna hijau.

Ukurannya cukup kecil, sepertinya bisa dihabiskan dalam dua gigitan. Khawatir menghancurkan konstruksi tepungnya, dia memutuskan untuk meraihnya dengan tangan langsung. Aroma lembut tepung kacang hijau membelai penciumannya ketika kue di tangannya mendekati mulut. Dia cukup menyukai aroma itu.

"Haup!"

Pada gigitan pertama, dia bisa merasakan tepung kue hancur hanya dengan sedikit tekanan dari lidahnya. Kemudian, di luar dugaan, rasa manis tajam menyebar cepat ke seluruh rongga mulutnya bersama dengan lumernya bubuk tepung. Nyaris saja dia kehilangan kesadaran.

Dalam kondisi pening, tangan lainnya segera menyambar cawan teh dan meneguk isinya hingga habis. Rasa pahit dan segar segera membilas lidahnya, menetralisir manis kue yang sempat dia gigit tadi. Butuh waktu baginya untuk pulih dari kejutan tadi.

Pemuda itu melirik pada setengah gigitan yang tersisa dari kue yang ada di tangannya. Perlukah dia melanjutkan? Teh di poci sepertinya masih cukup untuk memberinya dua-tiga cawan lagi. Dia bisa menelan sisa potongan kue, lalu segera membersihkan rasanya dengan teh.

Sekadar menambah sepotong kue lagi, seharusnya tidak akan sampai mematikan.

Perlahan dia dekatkan potongan kue hijau yang mulai rapuh dan terurai bentuknya di antara jemarinya. Dia perlu menyiapkan hati, tetapi seperti saat menunggu giliran disuntik, makin cepat selesai, semakin baik. Dengn satu gerakan, dia memasukkan potongan kue hijau terakhir ke mulutnya.

Lagi-lagi rasa manis yang tajam tersebar dalam rongga mulutnya. Namun kali ini dia langsung meneguk isi cawannya sehingga tidak perlu mengulum rasa manis itu lebih lama lagi. Butuh menghabiskan seisi poci teh hingga akhirnya dia bisa mendapatkan ketenangannya semula.

Setelah tenang itu juga, dia baru menyadari kebodohannya sendiri. Seharusnya dia meminta pelayan tadi menjelaskan apa saja bahan kue yang disediakan sehingga dia bisa mengira-ngira rasanya sebelum mencicipi. Penyesalan selalu datang terakhir.

Pemuda itu sedang membersihkan jemarinya dari bubuk manis kue dengan serbet kertas yang tersedia ketika mendengar suara teriakan anak-anak mengagetkannya. dia menoleh ke arah asal suara, lalu dikejutkan oleh benturan kencang pada teralis jendela yang ada di dekatnya.

Sebuah bola karet, membentur demikian kencang hingga teralis yang terbuat dari rangkaian kayu itu hancur. Suara pantulan bola yang membal beberapa kali di dinding dan lantai dengan sisa tenaga potensialnya dia abaikan. Perhatiannya tersedot pada rombongan kecil anak-anak yang terlihat berdebat soal sesuatu sembari menunjuk ke arah dirinya.

Apa yang baru saja terjadi? Batinnya bertanya-tanya.


*****



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top