Bitter Sip


Satu set poci dan cawan teh dari porselen tertata rapi di atas meja mungil bundar bertaplak linen bagus. Dasar cawan masih kering, belum tersentuh cairan panas beraroma hasil sangrai dan fermentasi pucuk-pucuk daun terbaik yang masih memenuhi poci bulat. Bila dibiarkan lebih lama lagi, seduhan teh dalam poci akan terlalu pahit untuk diminum.

Seorang lelaki, dilihat dari gurat-gurat usia dan keruh di mata hitamnya sudah melewati setengah usia memandang ke selembar dokumen di tangan. Kacamata berlensa lonjongnya beberapa kali dia sesuaikan letaknya di atas hidung sebelum membaca ulang tulisan di dokumen. Wajahnya terlihat makin tua karena kerut-merut kekhawatiran yang semakin bertambah ketika dia membaca.

"Apakah yang tertulis di sini benar?" tanyanya setelah selesai membaca ulang tulisan pada dokumen itu untuk yang kesekian kalinya.

"Seberapa pun aku menginginkannya, tulisan yang ada di dokumen itu tidak mungkin salah. Laki-laki itu ... Dia memang memiliki anak dengan perempuan Barat. Bukan hanya itu, walau kita kehilangan jejak mereka sekitar dua puluh tahun yang lalu, tetapi tak salah lagi ada bukti bahwa anaknya memiliki mata rubi," jawab lawan bicaranya yang juga sudah berumur walau terlihat sedikit lebih muda.

"Kalau begitu, pemuda yang membuat keributan tempo hari ... Adalah puteranya?"

"Kemungkinan itu tidaklah kosong tetapi kita tidak bisa tahu dengan pasti tanpa mempelajari masalah ini lebih lanjut. Tidak banyak di antara kita yang tahu pasti wajah anak itu karena bercampur dengan perempuan Barat yang tak jelas asal-usulnya—Dasar ... Mau sampai mana orang itu membuat keluarga ini kerepotan?"

Kalimat terakhir dia ucapkan dengan sangat perlahan seolah bertanya pada dirinya sendiri, mungkin untuk menyembunyikan ekspresi muak yang diam-diam muncul di wajahnya.

"Jaga bicaramu!" tegur lelaki yang lebih tua.

"Aku juga tidak menginginkan kondisi di mana kita membutuhkan laki-laki yang sudah membuang keluarga itu. Namun kita tak punya pilihan lain. Bila kondisi ini terus dibiarkan, putera Feilong dipastikan akan menjadi penerus ... Kita-kita ini akan kehilangan posisi."

Mendengar itu lelaki yang lebih muda menundukkan kepala sebagai permohonan maaf walau mulutnya diam.

"Pagi ini kita akan lihat, seperti apa wajah pemuda berdarah Barat yang datang menghadap Ketua. Mungkin sedikit pembasuh tenggorokan akan membuat perasaan anda jadi lebih ringan?" tawarnya pada yang lebih tua seraya menuangkan teh ke cawan-cawan yang ada.

Lelaki yang lebih tua mengambil cawan bagiannya, lalu dengan sekali teguk menghabiskan isinya.

"Bah!" gerutunya gusar seraya menghempaskan—nyaris membanting, cawannya ke atas meja. "Benar-benar pahit dan sulit ditelan!" Lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan.

Lelaki yang lebih muda menyeruput perlahan isi cawannya sendiri sepeninggal rekannya.

"Benar-benar pahit," gumamnya. "Tapi konon katanya semakin pahit rasanya khasiatnya akan semakin mujarab juga, jadi mungkin yang seperti ini bagus untuk obat?" gumamnya lagi bertanya entah pada siapa. Lantas terkekeh sendiri.


***


Lanfan mendapati Alex sudah menunggu di depan pintu kamar tempat dia menginap ketika gadis itu kembali dari gazebo. Pemuda itu tampak sedang berbincang-bincang akrab dengan pelayan perempuan yang bertugas membereskan kamarnya nanti.

"Sudah selesai?" tegur Lanfan. Membuat pelayan perempuan yang beberapa saat sebelumnya masih terlihat sedang tertawa dan tersipu malu, melonjak kaget lalu buru-buru mohon diri untuk meneruskan kerjanya.

"Ah, Nona Wu. Selamat pagi!" sapa Alex riang begitu melihat wajah Lanfan. "Ya, saya sudah selesai sarapan. Sedap sekali. Nona pelayan yang tadi berbaik hati menjelaskan di mana saya bisa menemui kokinya untuk menyampaikan rasa terimakasih saya. "

Penjelasannya membuat Lanfan batal mengomeli pelayan perempuan yang teledor tadi. Gadis itu mendengkus ketika mengamati sosok menjulang dan senyum simpatik yang hampir selalu tersungging di wajahnya. Lanfan berani bertaruh, pesona macam itulah yang membuat pelayan terlatih seperti perempuan tadi jadi melupakan pekerjaannya.

Berdiri berhadapan dengan pemuda jangkung itu juga membuat Lanfan menyadari perbedaan tinggi badan mereka. Gadis itu harus mengulurkan tangan tinggi-tinggi hanya untuk mencapai kepala cokelatnya. Mengetahui hal itu saja sudah menimbulkan rasa kesal walau sedikit dalam hati gadis yang tidak suka kekalahan itu.

Untung juga pemuda itu dalam kondisi tergeletak di bawah ketika nyaris lepas kendali, sehingga Lanfan bisa memasang anting segelnya dengan mudah tanpa harus melompat atau berjinjit.

"...Apa ada sesuatu di wajah saya?" tanya Alex karena gadis itu hanya memandanginya dalam diam.

"Kau kelihatan tenang untuk ukuran orang yang akan disidang," komentar Lanfan seraya memutar tumit, membalik badannya menjauh.

"Kukira ... Jadwal hari ini hanya menemui Ketua Klan dan para tetua?" tanya pemuda itu sambil buru-buru mengekor sebelum tertinggal.

"Apa yang membuatmu berpikir pertemuan nanti akan selesai begitu kalian saling bertatap muka dan bertegur sapa saja?"

"Umm ... Apakah salah bila saya berharap seperti itu?"

Tanpa memberikan jawaban, Lanfan mempercepat langkahnya. Alex tidak punya pilihan lain kecuali bergegas mengikuti gadis itu.

Ketika datang sehari yang lalu pemuda itu sudah melihat dari panjang dinding batu di luar bahwa kediaman ini bisa dikatakan megah. Namun dia tidak menyangka bahwa bagian dalamnya juga teramat lapang. Taman depan dan ruang tamu yang dia kunjungi ketika pertama tiba di rumah itu, sama sekali tidak terlihat di sepanjang perjalannya dari paviliun tamu, hingga ke bangunan yang disebut gadis itu sebagai Rumah Utama.

Daripada disebut kumpulan rumah, tempat itu lebih cocok dibilang kompleks istana. Taman-taman yang mereka lalui semua terawat dengan baik, begitu pula setiap bangunannya. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kerusakan walau bahan dan desain yang digunakan menunjukkan bahwa bangunan yang ada sudah didirikan sejak berabad-abad yang lalu.

Setelah melewati beberapa taman dan bangunan. Tibalah mereka di gerbang yang terlihat seperti versi normal dari gerbang merah rakasasa yang harus dilewati Alex ketika datang. Di baliknya terdapat area terbuka berlantai batu, seperti alun-alun kecil. Di sekeliling area itu terdapat perbedaan ketinggian lantai hingga dua atau tiga tingkatan dengan beberapa bangku panjang tersedia di bawah bayangan rindang pepohonan.

Mudah dibayangkan tempat itu menjadi fasilitas untuk mempertontonkan kemahiran beladiri para ksatria sebelum diutus untuk menempati posisi tertentu dalam jajaran militer. Menurut yang pernah dia baca, begitulah yang biasa terjadi di kediaman penguasa wilayah ratusan tahun yang lalu.

Pemuda itu melihat, di salah satu sisi yang berlawanan dengan gerbang masuk area terbuka tersebut, terdapat sebuah bangunan megah berpilar tebal. Untuk mencapai pintu masuk ganda yang dijaga oleh beberapa orang berpakaian pelayan, mereka harus melalui undak-undakan terbuat dari pualam sepanjang teras bangunan itu.

"Kita sudah sampai," ujar Lanfan. "...Kenapa diam? Apa kau terlalu terpesona dengan kemegahan area dalam?" gadis itu mencoba sedikit menyindir karena sepanjang perjalanan pemuda itu tidak bicara sepatah kata pun.

"Ya, luar biasa indahnya," timpal Alex. "Saya tidak menyangka mendapat kesempatan untuk melihat semua kemegahan ini dari dekat. Sungguh merupakan keberuntungan yang tidak terduga," tambahnya lagi dengan senyum kalem tersungging di bibir.

Terlalu kalem hingga terasa sedikit menjengkelkan bagi Lanfan. Gadis itu jadi kesal karena sempat mengkhawatirkan Alex. Setidaknya si Jangkung itu tidak bertingkah urakan yang membuat dirinya malu saja sudah bagus, pikir gadis itu mencoba berkompromi.

"Di balik pintu itu kau akan menemui ketua klan kami dan para tetua, apa kau sudah siap?"

"...Tidak," jawab Alex. Kontras dengan raut wajahnya yang tampak tenang. "...Tetapi, tak peduli saya siap atau tidak, tahap ini wajib saya lalui, bukan?" tambahnya lagi.

"Kau benar," jawab gadis itu. "Kau juga mungkin belum tahu tata krama yang benar untuk menghadap tetapi selama yang kau lakukan tidak menyinggung perasaan para tetua, seharusnya tidak terlalu masalah ... Aku juga akan ikut berada di sisimu untuk memberi petunjuk."

Lanfan menjejakkan kakinya lebih dahulu pada undakan-undakan pualam.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Alex mulai ikut menapakkan kakinya ke atas undakan. Entah mengapa, setiap langkahnya terasa berat tetapi pemuda itu terus saja melangkah. Tanpa dia sadari, kakinya sudah menapak pada anak tangga teratas.

Gadis yang sedari tadi berjalan di depannya, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia terpaksa ikut berhenti. Di hadapan mereka masih berjajar para pelayan, lelaki dan perempuannya tidak jelas karena pakaian mereka terlihat sama.

Suasana terasa tegang bagi pemuda itu. Karena garis pandang matanya jauh melampaui bagian teratas kepala Lanfan, tanpa sengaja dia bertemu pandang dengan para pelayan. Dia terpikir untuk mengeluarkan lagi plakatnya ketika para pelayan yang berjaga di sekitar pintu masuk membungkukkan badan untuk memberi hormat pada Lanfan, lalu menyingkir untuk memberi jalan.

Dengan adanya Lanfan, dia tidak membutuhkan plakat untuk bisa memasuki Rumah Utama. Dia baru menyadari hal itu. Nama Wu menunjukkan bahwa gadis itu memiliki hubungan darah dengan Ketua Klan karena itu Alex berusaha menjaga sikap di hadapannya. Namun seberapa dekat hubungan kekerabatan gadis itu dengan pemegang kekuasaan tertinggi dalam klan Alex masih belum tahu.

Koridor dengan warna lantai yang berbeda menuntun jalan mereka. Menurut Lanfan—beberapa saat setelah acara pertemuan ketika Alex menanyakan soal itu, jaraknya tidak sampai sepuluh meter, tetapi tiap langkah jadi terasa lebih lama dan lebih panjang dari seharusnya karena puluhan pasang mata yang mengawasi keduanya.

Tidak. Mata kanan Alex memberi tahu bahwa yang menghadiri acara itu lebih banyak dari yang terlihat. Mereka hanya tidak menampakkan diri di antara jajaran para orang-orang paruh baya berpakaian bagus yang ada di situ.

Lanfan memberi aba-aba dengan sedikit gerakan tangan untuk meminta pemuda yang bersamanya berhenti melangkah, sementara gadis itu meneruskan beberapa langkah lebih jauh. Semua mata memandang ke arah mereka.

Kemudian setelah menoleh sepintas kepadanya, gadis itu menegakkan postur dan berseru, "Puteri pertama dari saudara ipar Paman Ketua yang terhormat, Wu Lanfan, datang menghadap dengan membawa serta tamu dari barat!"

Suaranya tegas, lantang dan jernih menyebar ke segala penjuru ruangan. Di mana tubuh mungil gadis itu menyimpan tenaga paru-paru sekuat itu membuat Alex bertanya-tanya.

Namun alih-alih mengagumi kekuatan seorang gadis bermarga Wu, pusat perhatian hadirin di ruangan itu malah tertuju pada sosok pemuda berambut kecokelatan beberapa langkah di belakangnya. Terutama pada iris mata kanannya yang berwarna merah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top