Chapter 58 - A Night to Remember [Part 2]

"Communication is the key. I see ...," gumamku.

Aku bergeming sejenak, berusaha merenungi perkataan Nat. Keheningan meliputi kami, hanya terdengar samar-samar bunyi musik dan suara langkah kaki. Setelah menimbang-nimbang, sepertinya aku memang harus berbicara dengan Ajay dan Rory secepat mungkin.

Kebetulan sekali. Di pertigaan koridor, kami bertemu Ajay yang sedang berjalan dari arah kamar mandi. Kami bertiga berhenti, saling melirik dan entah mengapa suasana mendadak canggung.

"Hey, Nicole, aku mencarimu ke mana-mana. Boleh aku bicara?" tanya Ajay tiba-tiba, kemudian ia melirik Nat. "Empat mata?"

"Oh, right. Kalau begitu ... aku akan pergi menyusul Aiden." Nat langsung paham dengan keadaan. Ia menyikut lenganku sambil mengedipkan mata. "Well, good luck, Nicole!"

Baru saja ingin membuka mulut untuk protes, gadis itu sudah berbelok dan berjalan cepat meninggalkan kami. Aku mengembuskan napas berat, lalu melirik kedua netra pemuda itu di balik kacamataya. Mendadak, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Aku butuh udara segar. Mengobrol di belakang rumahmu bukan ide yang buruk 'kan?" ujar pemuda itu sambil berjalan. "Let's go!"

Aku menurut saja, kemudian berjalan mengekorinya. Kedua tungkai kami bergerak menuju halaman belakang. Di sini minim pencahayaan dan bunyi musik. Cukup hening, hanya terdengar bunyi jangkrik dari arah semak-semak. Kami duduk di tangga kecil yang memisahkan area rumah dengan tanah berumput. Angin sejuk di malam hari membelai wajahku.

Sudut mataku menangkap jendela rumah sebelah yang tertutup tirai, tepatnya jendela yang berhadapan langsung dengan kamarku. Lampunya padam, menandakan Rory tidak sedang berada di kamarnya. Kalau begitu ... di mana ia sekarang? Mengapa aku belum melihatnya malam ini?

Aku menggeleng cepat. Ah, apa yang kuperbuat? Aku masih saja memikirkan orang lain ketika bersama Ajay.

"Pesta yang keren." Ajay memecah keheningan. "Hanya berisi sekitar dua puluh murid. Tidak ada alkohol ataupun rokok. Bagian terbaiknya adalah kudapan dan milkshake khas Golden Griddle." Pemuda berkacamata itu menoleh ke arahku dan tersenyum. "Kurasa aku harus mengucapkan terima kasih padamu karena telah menutup performa terakhirku sebagai sutradara dan murid senior sekaligus dengan pesta sekeren ini. Tahun-tahun sebelumnya ... kami tidak pernah merayakannya sampai sejauh ini."

"Kau harus berterima kasih kepada Nick dan kedua orang tuaku. Sebenarnya ... semua ini adalah ide mereka." Aku membalas senyumnya.

"Tapi tetap saja. Ini pestamu juga."

"Ngomong-ngomong, kau sudah memutuskan akan berkuliah di mana?" tanyaku.

"Yale University," jawab Ajay singkat, "kampus yang cocok untuk sutradara sepertiku."

"Kudengar mereka punya program performance art terbaik di Amerika."

"Yeah, dan di sanalah aku akan berkuliah." Pemuda itu bergeming, kemudian mendongak, menatap bintang-bintang berkilauan di angkasa. "Aku tidak pernah merasa sebergairah ini sebelumnya, membayangkan menjadi sutradara sungguhan di masa depan, atau menjadi bagian dari aktor itu sendiri."

Aku tertawa kecil. "Kau tertarik untuk menjadi aktor?"

"Aku tertarik akan segala hal tentang teater, Nicole, tapi menjadi sutradara adalah hal yang paling kucintai."

"Jadi ... kau akan merantau jauh dari Cedar Cove?"

"Tentu saja." Pemuda itu menoleh ke arahku. "Dan itulah mengapa aku tidak bisa bersamamu, Nicole. Long distance relationship sucks."

Aku tertegun. Pandangan kami bertemu untuk waktu yang lama. Ketika merasakan sesak di dada, aku memalingkan wajah ke arah lain.

"Aku banyak merenung, memikirkan banyak hal setelah kita berpisah." Ajay kembali berbicara. "Aku juga tidak seharusnya mengencani seorang gadis hanya karena kesepian. Maksudku, kedua orang tuaku telah bercerai, dan aku tidak sepantasnya mengharapkan perhatian lebih darimu. Kau ... tidak memiliki kewajiban menyembuhkanku dari luka, melainkan diriku sendiri yang harus bertanggung jawab atas luka tersebut."

"Ajay ...."

"I was wrong, Nicole. Since the beginning, our relationship is wrong ...," lirih Ajay sambil menggeleng pelan.

"Tapi aku tidak pernah merasa hubungan kita itu salah ...."

"Lalu mengapa kita bertengkar dan pada akhirnya putus? Dan mengapa kita harus berkencan diam-diam di depan semua orang?" Ajay memberiku pertanyaan yang tidak bisa kujawab, jadi aku hanya diam. "Aku hanya memberimu penderitaan, dengan segala kecemburuan itu, dengan segala emosiku yang meluap-luap. I'm really sorry, Nicole."

"We're just teenagers, after all. Teenagers make mistakes," balasku.

"I know." Ajay memalingkan pandangan dan menunduk. Ia mengembuskan napas berat. "Aku tidak bisa pergi ke Yale dengan tenang tanpa mendapatkan maaf darimu." Kemudian ia kembali menoleh. "Apa kau mau memaafkanku?"

Aku menatap lekat kedua netranya selama beberapa saat. Dengan perlahan, kurva lengkung terukir di wajahku. "Aku sudah memaafkanmu sejak lama, Weirdo!"

"Benarkah?"

Aku mengangguk mantap. "Kita berada di satu lingkup pertemanan yang sama, jadi tidak mungkin kita terus membenci dan menyeret semua orang ke dalam kecanggungan, 'kan?"

"Kau benar, Nicole." Ajay bergeming sesaat. "Soal hubunganmu dengan Rory ... aku juga merasa tidak bisa menjadi penghalang untuk kalian berdua."

Aku tidak dapat berkata-kata lagi setelah mendengar ucapannya. Mungkin pemuda itu terlihat baik-baik saja sekarang, tetapi aku tahu dari kedua netranya, bahwa ia masih menyimpan luka yang sama.

"Maksudku ... kalian sudah mengenal sejak kecil dan berkemungkinan sudah saling jatuh cinta sejak itu. Aku tidak bisa datang begitu saja dan merusak semuanya," ucap Ajay lagi.

"Actually ... kau tidak benar-benar merusaknya." Sambil menunduk, aku melirik pemuda di sampingku. "When we were date, it was real to me. I liked you, Ajay, more than you know."

"I know." Ajay tersenyum. "Tapi sekarang kita sudah berpisah dan aku hanya ingin menyampaikan, bahwa aku tidak akan menjadi penghalang bagi kebahagiaan kalian lagi." Ajay menjeda ucapannya. "Rory ... dia sudah mengalami banyak hal buruk. Orang tuaku mungkin bercerai, tetapi mereka sehat, dapat tertawa dan berlari sesuka mereka. Tapi bagaimana dengan Rory? Ia harus dibayang-bayangi kemungkinan terburuk bahwa ibunya bisa pergi kapan saja, meninggalkannya sendirian."

"Dan ia selalu memendamnya sendirian ... selama bertahun-tahun," ucapku, "He's a good actor. Um, a good liar, actually. Rory selalu terlihat baik-baik saja sebelum ia menumpahkan emosinya di depan semua orang."

"I know, right?"

"Cukup tentang orang lain, Ajay. Bagaimana denganmu? Apakah kau akan baik-baik saja dengan semua ini?" tanyaku.

"Jujur saja, putus denganmu bukan hal yang mudah." Pemuda itu mendesah pelan. "Mungkin ketika aku lulus, pergi meninggalkan kota ini, dan sibuk dengan kuliahku, aku akan baik-baik saja."

Aku tersenyum, menyikut lengannya. "Kita bisa tetap menjadi teman, kalau kau mau."

Ajay tertawa miris. "Bagaimana aku bisa menganggapmu teman sekarang? I still madly in love with you." 

Senyumku pudar. Aku menunduk. "I'm sorry. I didn't mean to ...."

Untuk menghindari kecanggungan, buru-buru pemuda itu mengubah topik. "Ah, tapi kau tidak perlu pikirkan hal itu. Lukaku akan sembuh seiring berjalannya waktu, dan jarak, tentu saja." 

Mendengarnya, segala kekhawatiran yang ada di kepalaku kini menguap seketika. Aku merasa ... tidak akan lagi menyakiti Ajay ketika waktu dan jarak memisahkan kami. Ajay bisa berkuliah dengan tenang, dan aku dapat melanjutkan hidupku tanpa harus merisaukan apa pun.

Pemuda berkacamata itu beranjak, mengulurkan tangannya padaku. "Sebaiknya kita kembali ke dalam, sebelum orang-orang mencari-cari ke mana perginya si tuan rumah."

Aku menatap telapak tangan kosongnya selama beberapa saat, kemudian mendongak, menatap sepasang netra di balik kacamatanya. Aku tersenyum tipis, kemudian meraih tangannya. Ajay menarikku untuk berdiri, kemudian kami berdua melangkah kembali ke dalam rumah.

Setelah berbicara dengannya, sebagian besar beban yang dipikul di punggungku menghilang. Mengetahui bahwa Ajay akan baik-baik saja membuatku lega, dan tentu aku pun akan baik-baik saja.

Kami akan menjalani hidup baru dengan senyuman, meskipun tanpa memiliki satu sama lain. Tidak ada lagi tawa, tangis, maupun kecupan sehangat mentari pagi. Kami hanya akan tersenyum, melangkahkan kedua tungkai di atas jalan setapak yang berbeda arah, dan ketika kami sampai di tujuan, kami tidak bisa lagi melihat satu sama lain.

Ya, kami akan baik-baik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top