Chapter 57 - A Night to Remember [Part 1]

Beberapa jam telah terlewati, langit Cedar Cove telah menggelap secara keseluruhan. Mom dan Dad selesai memasak tepat ketika para aktor dan kru teater datang. Kami yang telah hadir berkumpul di ruang makan dan duduk melingkar di atas lantai yang telah dilapisi semacam matras, menikmati kudapan khas Golden Griddle. Sedangkan meja makan dialihfungsikan sebagai tempat menyimpan kudapan dan minuman.

Bel rumahku berbunyi. Karena Nick sedang asyik menikmati spicy wings, aku berinisiatif untuk beranjak dan membukakan pintu. Sejenak, kupikir Rory atau Ajay-lah yang menekan bel, tetapi dugaanku salah. Myra dan murid-murid senior lain datang bersamaan, membawa banyak sekali botol cola dan board game.

"Guys!" seruku sambil terkekeh. "Sudah kubilang kalian tidak perlu membawa apa pun!"

"Kami tidak mungkin datang tanpa membawa sesuatu, 'kan?" jawab Myra sambil mengedikkan bahu.

"Well, tanpa semua itu aku sudah cukup senang." Aku tersenyum, melirik mereka semua secara bergantian. "I mean, you guys are the coolest kids in Berry High, and I'm so happy to have you all here."

"Tapi kami punya satu permainan yang wajib dimainkan di setiap pesta!" ujar Nat.

"Mafia, dan tim yang kalah harus minum cola banyak-banyak. Kau harus mencobanya!" seru Caleb.

"Menarik. Minum cola banyak-banyak tidak akan membuatku mabuk," jawabku.

"Tapi perutmu akan kembung," celetuk Michael.

"Atau truth or dare dengan menggunakan board game," tambah Aiden.

"Yeah, so I can pick dare and kiss Maria again," celetuk Michael lagi.

Semua tertawa ketika Maria memukul kepala Michael dengan board game. Aku mengajak mereka masuk dan bergabung untuk menikmati kudapan bersama murid teater di ruang makan. Baru saja duduk untuk kembali makan, bel kembali berbunyi, membuatku harus kembali berdiri untuk membukakan pintu.

Kali ini, Ajay Bhandari yang berdiri di depan pintu rumahku, mengenakan blazers berwarna navy, disertai jam tangan yang terlihat agak formal. Pemuda keturunan India itu juga menyisir rapi rambutnya.

"Kau tahu ini hanya pesta kecil-kecilan dan tidak bersifat formal, 'kan?" Aku terkekeh.

Ajay menunduk mengamati pakaian semi-formal yang dikenakannya. "Well, sebagai introver akut, aku jarang mengunjungi pesta seseorang, dan kupikir ... lebih baik mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum menyesal, 'kan?"

Aku mengendus-endus udara di sekitarku. "Dan apakah itu parfum yang tidak pernah kau kenakan sebelumnya?"

Ajay mengendus blazers-nya, kemudian menyeringai. "Yeah, dan kau menyadarinya."

"Ya, itu karena aku hapal betul aroma parfummu."

Ajay tidak menjawab lagi. Aku merutuki diri sendiri ketika menyadari bahwa jawabanku membuat segalanya menjadi canggung. Kami berdua memalingkan pandangan, berusaha menghindari tatapan satu sama lain. Ajay menggaruk tengkuk lehernya sambil mengedarkan pandangan ke dalam rumah.

"Well ... kau akan mempersilakanku untuk masuk, atau ...," ucapnya gugup.

"Oh, right!" Aku berseru dan mundur satu langkah, membuka pintu sedikit lebih lebar untuk mengajaknya masuk. "Come in!"

Kami kembali ke ruang makan. Aku duduk di sebelah Skye, sedangkan Ajay duduk di sebelah Erin, tepat di seberangku.

"Milkshake ini enak," puji Michael yang duduk di sebelah Maria sambil mengangkat gelas plastik berisi milkshake. "Well, rasanya persis seperti yang dijual di Golden Griddle."  Pemuda berambut cokelat itu kembali meneguknya.

"Yeah, karena itu memang milkshake Golden Griddle," jawab Skye santai sambil mengunyah potato wedges.

"Jenkins bersaudara membeli milkshake untuk pesta?" tanya Aiden sambil mengernyit. "Sangat totalitas dan sangat, errr ... mahal."

"Mengapa aku harus membelinya jika Mom bisa membuatnya langsung untuk kami?" celetuk Nick.

"Orang tuamu bekerja di Golden Griddle?" tanya Michael, masih meneguk minuman tersebut.

"Actually ... Mom dan Dad adalah pemilik Golden Griddle," jawabku.

Michael tersedak, nyaris menyembur milkshake cokelat di mulutnya. Ia menatapku dan Nick dengan tatapan tidak percaya.  "A-apa? Mengapa aku tidak pernah mengetahui hal ini sebelumnya?"

Erin terkekeh. "Well, seperti itulah respons kami semua ketika pertama kali mengetahuinya."

"Bagaimana kami tidak terkejut? Maksudku ... Golden Griddle adalah restoran terbaik di Cedar Cove!" seru Nat sebelum menggigit pizza di tangannya. "Nicole dan Nick adalah remaja paling beruntung di kota ini!"

"Riiight! Jika aku berkesempatan untuk lahir kembali, aku sangat ingin terlahir sebagai anggota keluarga Jenkins." Skye menimpali.

"Aku juga mengharapkan hal yang sama, Skye, sungguh, tapi berat badanku pasti akan naik jika terus-terusan menikmati makanan enak" keluh Natalie sambil terus mengunyah. Aku mengamatinya sejak tadi, gadis itu sudah menghabiskan sekitar lima potong spicy wings, dan hal itu membuatku tidak kuasa menahan tawa. Ya, jika gadis ini terlahir sebagai saudariku, ia akan memiliki berat badan di atas rata-rata.

"Siapa yang peduli pada berat badan jika kau memiliki orang tua yang selalu membuat masakanan enak setiap harinya?" Ajay menimpali.

Kami mengobrol dan saling melempar tawa  selama beberapa puluh menit ke depan. Lama kelamaan, mangkuk-mangkuk yang ada di tengah kami kosong, tidak ada lagi makanan yang tersisa. Obrolan masih berlanjut, tetapi aku masih tidak bisa melepas pandanganku pada pintu depan, berharap seseorang membunyikan bel, sehingga aku bisa bergegas untuk menyambutnya.

Rory Silva akan datang, 'kan?

*****

Setelah menikmati banyak sekali kudapan, tamu yang datang berpencar dan membuat beberapa grup. Michael, Maria, Caleb, dan beberapa anggota teater duduk melingkar di ruang makan yang sudah bersih tanpa sisa-sisa piring dan gelas plastik. Mungkin mereka sedang bermain mafia, atau truth or dare, entahlah, aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, dan aku tidak memiliki mood untuk ikut bermain, jadi aku memutuskan untuk berkeliling saja.

Natalie, Skye, Myra, dan tiga anak perempuan teater lainnya duduk di sofa ruang tamu, bercerita sambil tertawa. Tape di dekat televisi menyala, musik awal tahun 2010-an berputar dengan tempo yang bersemangat. Sedangkan Nick dan Erin duduk di kursi makan, mengobrol meskipun tanpa diwarnai canda dan tawa. Keduanya saling bertatapan dan tersenyum malu-malu. Ah, aku ingin sekali datang dan menggoda mereka, tetapi aku tahu aku tidak boleh melakuan itu.

Tanganku terasa lengket setelah merapikan ruang makan, jadi aku memutuskan untuk mencucinya. Ketika berjalan menuju kamar mandi, sudut mataku menangkap bayangan dari arah dapur. Aku berhenti berjalan dan menoleh, mendapati Nat yang punggungnya bersandar pada kulkas, diapit oleh Aiden yang sedang melumat bibir gadis pirang itu dengan tempo yang lambat. Kedua tangannya mengelus pipi lembut kekasihnya. Ketika mendengar langkah kaki, keduanya saling menjauh, kemudian menoleh. Aku buru-buru bersembunyi di balik tembok.

"Nicole! Wait!" panggil Nat.

Perlahan, aku mengintip dari balik tembok. "I-I'm sorry. I didn't mean to ... interrupt," ucapku gugup. Hei, seharusnya mereka yang gugup, karena aku yang memergoki mereka!

Nat tertawa santai, sedangkan Aiden buru-buru menyembunyikan wajahnya di balik bahu dan rambut panjang kekasihnya. Telinganya memerah seperti kepiting rebus. Kemudian pemuda itu menegakkan tubuh dan berbicara cepat sambil melirik Nat, "Dang! I hate PDA so much!"

"Lalu mengapa kau menciumku duluan?" tanya gadis pirang itu santai.

"Aku kira tidak akan ada yang ... nevermind. Catch you later!" Sejurus kemudian, Aiden sudah berbalik badan dan berjalan ke arah lain, pergi meninggalkan kami berdua. Rona merah di wajahnya semakin menggila.

"Aiden! Wait! I'm so sorry!" Aku berteriak memanggilnya, tetapi pemuda itu sudah menghilang di balik tembok, kemudian aku beralih pada Nat. "Apa Aiden marah padaku?"

"Jangan terlalu dipikirkan. Ia hanya ... malu."

Aku mengangguk, hening untuk sekian detik. Lalu aku melirik wastafel di sebelah kulkas dan memutuskan untuk mencuci tangan di sana. "So ... the show is finally over. Sejujurnya, aku sedikit berharap bisa berada di panggung yang sama denganmu tahun depan, Nat. Kita akan menjadi aktor yang hebat!" Aku berbasa-basi.

Nat tersenyum simpul. "Kau tahu kalau aku lulus tahun ini, 'kan? Dan ... kurasa aku harus menghilangkan traumaku terhadap kubus beroda terlebih dahulu."

"Yeah, that cube is so traumatic." Aku tertawa sambil menutup kran dan mengeringkan tangan. "Di mana kau akan melanjutkan pendidikanmu?"

"Stanford, California." Nat mengedikkan bahu. "Well, aku sudah mendaftar secara online, meskipun mereka belum mengumumkan hasilnya."

"Kalau begitu, kau akan meninggalkan Cedar Cove?" tanyaku lagi. Kami berdua berjalan berdampingan kembali ke area pesta.

"I guess," jawab Nat singkat, masih melangkahkan kedua tungkainya, "hanya empat tahun, tetapi rasanya berat. Maksudku ... kau bisa bayangkan tinggal dengan jarak ribuan kilometer dari kekasihmu?"

"Honestly, aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak memiliki kekasih," kekehku.

"Rasanya akan sangat menyebalkan, aku tahu itu."

"Hey, Nat, can I ask you something? it's kinda personal, if you don't mind."

"Sure!" Nat mengangguk, berhenti berjalan.

Langkahku turut terhenti. "Aku yakin di sekolah banyak pemuda yang menaruh hati padamu. Anggap saja kau terjebak dengan berbagai pilihan. Lalu, apa yang membuatmu memilih Aiden?"

Nat tersenyum tipis. Ia menautkan jemarinya di belakang tubuh, kemudian menunduk. "I don't know. I chose him, just it."

Aku mengangkat salah satu alis. "Just it?"

"Not gonna lie, he's cute." Nat terkekeh. "Kau lihat pipinya yang bersemu merah tadi?"

"Yeah, tapi itu hanya perkara tampilan fisik. Lalu, bagaimana hubungan kalian bisa bertahan lama?"

"He's the only guy who never give up on me and always make me happy. Aiden juga percaya padaku. Well, mungkin terkadang ia cemburu buta, terlebih lagi pada Michael. Kami sering bertengkar kecil-kecilan, tetapi Aiden bisa menjadi pendengar yang baik dan ia tahu apa yang dirasakannya, sehingga ia selalu berkata jujur sesuai dengan isi hatinya." Gadis itu menjeda perkataannya. "Dengan saling bicara, pertengkaran kami selalu berakhir dengan solusi. Communication is the key."

"Communication is the key. I see ...," gumamku.

"Biar kutebak, kau sedang terjebak dengan sebuah pilihan?" tanya Nat.

Aku mengedikkan bahu. "Yeah, um, kinda."

"Kita bisa saja menyukai lebih dari satu orang secara bersamaan, tetapi hati kita selalu memilih satu. Meskipun kau terjebak dalam sebuah pilihan, kau pasti sudah tahu akan memilih siapa, baik secara sadar maupun tidak." Nat tersenyum. "Pahami dirimu sendiri, Nicole, pahami apa yang hatimu rasakan."

Aku bergeming sejenak, berusaha merenungi perkataan Nat. Keheningan meliputi kami, hanya terdengar samar-samar bunyi musik dan suara langkah kaki. Setelah menimbang-nimbang, sepertinya aku memang harus berbicara dengan Ajay dan Rory secepat mungkin.

Kebetulan sekali. Di pertigaan koridor, kami bertemu Ajay yang sedang berjalan dari arah kamar mandi. Kami bertiga saling melirik, entah mengapa suasana mendadak canggung.

"Hey, Nicole, aku mencarimu ke mana-mana. Boleh aku bicara?" tanya Ajay tiba-tiba, kemudian ia melirik Nat. "Empat mata?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top