Chapter 56 - The Big Day [Part 3]
Tirai sudah tertutup lebih dari lima belas menit yang lalu, aku bahkan sudah selesai berganti pakaian dan menghapus riasan, tetapi masih banyak penonton yang belum meninggalkan auditorium. Banyak aktor dan kru berkumpul bersama kerabatnya membentuk beberapa kerumunan, berbagi senyum dan tawa. Aku dan Erin menuruni panggung, kemudian berhenti ketika melihat Nick berlari kecil menghampiri kami dengan dua buket bunga, diikuti oleh Mom dan Dad.
"Nick!" seruku, kemudian melirik buket mawar di tangannya.
"You kill it, Sis! Congrats!" serunya antusias sambil menyerahkan buket bunga tersebut padaku, lalu ia menyerahkan buket lainnya pada Erin yang terlihat terkejut.
"Untukku?" tanya Erin dengan senyum yang merekah.
"Yeah." Nick menurunkan nada bicaranya sambil tersenyum kikuk, samar-samar aku melihat semburat merah di pipinya.
Erin memeluk buket bunga di tangannya. Kedua netranya berbinar cerah. "You're the sweetest, Nick, thank you."
"Ketika Raja terbunuh, akting menangismu sangat natural, bahkan aku jadi ingin menangis juga!" ucap Nick pada Erin.
"Oh, itu karena aku memang menangis sungguhan."
"Oh, astaga, itu keren sekali! Bagaimana caramu melakukan itu? Mengeluarkan air mata dengan sengaja adalah hal yang sulit!" Adikku jadi berbicara panjang lebar ketika gugup, membuatku sungguh ingin tertawa, tetapi aku menahannya. Untuk membiarkan Nick mengobrol berdua saja bersama Erin, aku menoleh ke arah Mom yang sudah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"So proud of you, Nicole," lirih Mom. Wanita itu menarikku ke dalam pelukan. Meskipun singkat, aku dapat merasakan tubuhnya bergetar akibat luapan kebahagiaan.
"Coba tebak. Kami punya kejutan lain untukmu," ucap Dad yang berdiri di samping Mom.
"Kejutan?" Aku mengerjap dan bergumam sesaat. "Another flower?"
Dengan senyum yang merekah, Dad melirik Mom dan Nick secara bergantian. Keduanya membalas senyum itu, kemudian pandangan Dad kembali padaku. "Kami menyiapkan party untuk merayakan kesuksesan The Enchanted Kingdom, khusus untuk klub teater. Di rumah, malam ini!"
"Surpriseee!" seru Nick.
Mendengarnya, aku menyunggingkan senyum, menggeleng pelan sebagai bentuk kebingungan sekaligus ketidakpercayaan. "Party? Kukira Mom dan Dad tidak pernah ingin menjadikan rumah sebagai tempat untuk berpesta?"
"Ini hanya pesta kecil-kecilan, dan hanya untuk orang-orang yang terlibat dalam pementasan." Nick mengedikkan bahu. "Jadi ... masih banyak ruang untuk semua yang diundang."
"Greg dan aku sudah membeli bahan-bahan untuk kudapan malam ini!" tambah Mom.
Mendengarnya, Erin tersenyum. "Wow, sungguh suatu kehormatan bisa mencicipi kudapan dari pemilik restoran paling terkenal di Cedar Cove."
"Yeah! Kau ikut, 'kan? Akan ada banyak board game di rumah kami!" seru Nick. Erin menjawab dengan anggukan.
Membayangkan pesta nanti malam membuatku sangat bersemangat. Maksudku, ini pertama kalinya aku mengadakan pesta di rumah, dan segalanya akan sempurna karena semua orang yang datang adalah murid-murid yang kukenal dengan baik. Ditambah lagi, kami tidak perlu repot-repot memikirkan makanan dan minuman, karena Mom dan Dad sudah mempersiapkannya untuk kami.
Tidak seperti apa yang selalu diceritakan Skye ketika Brian mengudang seisi Hearst High untuk datang ke pestanya. Pada akhirnya, kediaman keluarga Crandall selalu berakhir kacau, banyak barang yang pecah atau hilang, dan Brian harus kerepotan membersihkan rumahnya dari gelas-gelas plastik berisi minuman beralkohol atau puntung-puntung rokok sebelum kedua orang tuanya tiba di rumah.
Di tengah percakapan, atensiku teralihkan ketika Ajay membelah tirai merah dan berjalan cepat menuruni panggung menuju area bangku penonton, meminta aku dan Erin untuk mengikutinya. Setelah berpisah dengan Nick dan kedua orang tuaku, kami berdua mengekori Ajay ke belakang panggung.
"Is something wrong?" tanya Erin sesampainya di belakang panggung.
Ajay memperlihatkan secarik kertas kecil berbentuk persegi panjang di tangannya. "Tiket yang terjual habis, itu belum semuanya. Seseorang menyerahkan cek ini padaku setelah pementasan berakhir!"
Erin mengambil cek di tangan Ajay, kemudian netranya membola ketika melihat nominal yang tertera di sana. Karena penasaran, aku ikut mengintip, dan berakhir sama terkejutnya seperti gadis itu.
"Ajay, siapa yang memberikan cek ini padamu?" tanyanya.
"Amber. Amber Hutchinson," jawab Ajay.
"Amber? But why?" Aku mengernyit mendengar nama gadis cheerleader itu. Maksudku, apa tujuannya gadis itu memberikan uang sebanyak itu untuk Ajay? Pemuda berkacamata itu bahkan tidak terlihat akrab dengannya, begitu pula dengan semua orang yang ada di teater.
"Amber bilang, seseorang mengatakan padanya bahwa hasil pementasan ini akan diberikan untuk amal, dan gadis itu berinisiatif untuk menyumbangkan uangnya." Ajay mengibas-ngibas kertas di tangannya. Kedua netranya membola, wajahnya terlihat tegang. "Lihatlah berapa jumlahnya! Berkali-kali lipat dari total harga tiket yang terjual!"
"Nat yang mengatakannya pada Amber?" tanyaku.
Ajay menggeleng. "Dia bilang seorang gadis berambut cokelat dengan poni rata, dan dulu Amber pernah melihatnya berlatih di auditorium ini."
"Danielle?" tebakku dan Erin bersamaan.
Ajay mengembuskan napas berat. Ia menunduk, memperbaiki posisi kacamatanya kemudian bergantian menoleh ke arahku dan Erin. "Yeah, siapa lagi?"
Aku dan Erin saling pandang, alis kami bertaut. Meskipun kebingungan setengah mati, kami bersyukur, tetapi ada pula sedikit rasa bersalah terhadap Danielle. Kami bertiga diliputi keheningan selama beberapa saat, terjebak dalam pikiran masing-masing.
"Aku akan menelepon Danielle untuk mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum itu ...." Ajay mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari presensi seseorang. "Kita harus memberitahu Rory soal ini."
Kami bertiga menjelajahi auditorium, mencari presensi Rory. Agak sulit menemukan pemuda itu, berhubung masih banyak murid-murid yang berkerumun di dalam ruangan. Pada akhirnya, kami menemukan pemuda itu di ruang rias bersama Skye. Keduanya telah berganti pakaian, lalu duduk di kursi menghadap meja dengan cermin besar dan lampu di sekeliling bingkainya, atensi mereka tertuju pada sebuah tablet.
"Melihat pertarungan kalian berdua mendadak membuatku bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali terisi penuh." Terdengar suara seorang wanita dewasa dari dalam benda pipih itu, sedikit parau tetapi tetap bersemangat.
"Your son is an amazing actor. Mrs. Silva," ucap Skye pada Brenda melalui panggilan video.
"And you were a wonderful witch, Skye," puji wanita itu, "aku tidak percaya kau dapat memerankan peran jahat dengan begitu sempurna."
Skye mengedikkan bahunya cuek. "Yeah, kurasa aku belajar banyak dari kisah nyata. I live with real villains for sixteen years, actually."
Mendengarnya, Erin dan Ajay tertawa. Rory dan Skye menoleh ketika kami berjalan mendekati meja rias. Rory menggeser posisi duduknya agar kami bertiga dapat melakukan panggilan video bersama Brenda. Ketika melihatku, rona wajah wanita itu berubah cerah. Kali ini, wanita itu mengenakan wig pendek dan telah melukis alisnya dengan begitu sempurna, bahkan aku sempat mengira itu asli. Dengan bantuan make up, Brenda Silva terlihat segar, seolah-olah telah berhasil mengalahkan sel kanker di tubuhnya.
"Nicole, my child," sapa wanita itu antusias. "Kau benar-benar cantik dengan gaun dan tiara berkilauan itu."
Aku tersipu. "Terima kasih telah menonton pertunjukkan drama kami, Brenda."
"Tentu. Ini adalah malam yang paling kutunggu-tunggu seumur hidupku, meskipun aku sedikit kecewa karena tidak bisa menontonnya langsung. Beruntung, ayahnya Rory hadir dan merekam penampilan kalian semua untukku, dan rasa penasaranku terbayar sudah," respons wanita itu.
"I really appreciate that, Mrs. Silva." Ajay menjawab.
Setelah Ajay mengatakan itu, aku menoleh. Pemuda berkacamata itu kemudian menunduk, menatap selembar cek berisi ratusan dolar di tangannya. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Rory dan berbisik, lalu menunjukkan cek tersebut padanya. Ketika Ajay dan Rory berbicara secara privat, Skye dan Erin mengisi kekosongan dengan mengobrol bersama Brenda.
Rory mengambil selembar cek dari tangan Ajay, kemudian menatapnya untuk waktu yang cukup lama. Ketika mengerjap, setetes air mata jatuh membasahi tangannya. Dengan cepat ia mengusap kedua netranya yang memburam. Ia mendongak ke arah Ajay dan menggeleng pelan, bibirnya bergetar. "I don't deserve this."
"Mungkin ini adalah bentuk permohonan maaf dari Danielle, dan Amber juga dengan senang hati melakukannya," lirih Ajay sambil tersenyum. "Ibumu pantas mendapatkan semua ini."
Rory tidak mampu lagi membendung perasaan harunya. Ia menengadah, mengerjap beberapa kali untuk mencegah air matanya menetes kembali. Kemudian ia mengembuskan napas panjang dan kembali berhadapan dengan tablet. Dengan suara bergetar, pemuda itu menceritakan segalanya pada sang ibu yang terbaring di rumah sakit sambil menunjukkan kertas kecil di tangannya.
Emosi Brenda membuncah. Wanita itu menangis tersedu-sedu sambil menutup mulut. Sambil terisak, ia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada kami berlima. Hatiku menghangat, tanpa sadar menyunggingkan senyum. Pandanganku memburam akibat air mata yang tak terbendung lagi. Aku melirik Erin yang kedua netranya juga berkaca-kaca, kemudian membawanya ke dalam rangkulan. Ajay dan Skye masih bisa menahan tangis, meskipun dari ekspresi wajahnya, aku tahu persis mereka juga merasakan hal yang sama seperti kami.
Rory yang paling terlihat emosional di antara kami. Ya, kali ini pemuda itu telah melepas topengnya. Sambil menangis, ia berusaha menenangkan sang ibu, berkata bahwa kami semua dengan senang hati melakukannya dan tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Dana yang kami terima lebih dari cukup, Brenda dapat menjalani kemoterapi secepat mungkin.
*****
Setelah panggilan video berakhir dan tangisku mereda, aku memberitahu semua anggota teater soal pesta malam ini, dan semuanya menyanggupi untuk hadir, termasuk Skye. Gadis berambut merah itu tidak peduli lagi dengan omelan kedua orang tuanya jika ia pulang terlambat nanti malam. Dirinya memilih untuk mengikutiku pulang dan berdiam diri hingga pesta dimulai.
Sambil menggendong ransel dan bersiap-siap untuk pulang, aku membelah tirai dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru auditorium, menyadari bahwa tidak banyak yang memutuskan untuk tinggal. Satu per satu siswa Berry High memutuskan untuk pulang, kecuali Aiden, Nat, serta teman-temannya yang masih berkerumun di depan panggung. Pandanganku bertemu dengan Myra. Gadis keturunan India itu melambaikan tangan, mengisyaratkanku untuk menghampirinya.
"Aku mencarimu ke mana-mana!" seru Myra ketika aku sudah berdiri di hadapannya. "Penampilan yang luar biasa! Aku benar-benar senang dapat menjadi bagian kecil dari The Enchanted Kingdom, meskipun hanya bekerja di balik layar."
"Yeah, tanpa kostum rancanganmu, penampilanku tidak akan sempurna. Kau perancang kostum yang sangat berdedikasi!" Aku menarik Myra ke dalam pelukan dan melompat-lompat kecil. "Thank you so much!"
Setelah saling merasakan hangat tubuh masing-masing, aku melepas pelukan Myra. Nat, Aiden, Caleb, Maria, dan Michael bergantian memberiku ucapan selamat dan pelukan singkat.
"Nona class president punya kabar baik untuk klub teater," ucap Nat padaku.
Aku melirik Maria sambil mengangkat kedua alisku. "Kabar baik apa?"
"Aku dan Michael memutuskan untuk memuat pertunjukan hari ini di website sekolah," ucap Maria.
"Tidak hanya itu, aku sudah merekam semuanya. Kami akan mengedit penampilan kalian, menjadikannya video yang keren, dan mengunggahnya di Youtube," tambah Michael dengan kamera di tangannya.
"Dan kalian akan terkenal!" seru Caleb.
Mendengarnya, aku tidak kuasa menahan senyum. "That's very nice of you guys."
"No sweat. Kami dan pengurus website sekolah dengan senang hati melakukannya, karena klub teater memang pantas mendapatkan 'spotlight' sungguhan," ucap Maria.
Aku meraih tangan Maria dan menggenggamnya erat, masih dengan senyum yang tidak kunjung pudar, kemudian bergantian menatap mereka satu per satu; Myra si perancang kostum, Nat, Caleb, dan Maria yang berpengaruh besar dalam penjualan tiket pertunjukan, Aiden yang menulis sebagian dari soundtrack The Enchanted Kingdom, serta Michael yang mengabadikan pertunjukan kami dan membuatnya menjadi sebuah film yang layak untuk dinikmati.
Murid-murid junior dan senior yang berdiri di hadapanku ini--selain Myra--mungkin bukan bagian dari klub teater, tetapi mereka begitu peduli pada kami. Maka, tidak ada salahnya jika mereka ikut serta dalam euforia kesuksesan The Enchanted Kingdom, 'kan?
"Hei, ngomong-ngomong, kalian harus datang ke pestaku malam ini!" seruku.
"Pesta?" tanya Maria.
Aku mengangguk antusias. "Keluargaku membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan pementasan hari ini, dan aku secara resmi mengundang kalian."
Myra tersenyum dengan kedua netra yang berbinar. "Wow, sudah lama sekali kami tidak datang ke pesta seseorang setelah Amber Hutchinson."
"Pesta Amber membosankan, jujur saja," celetuk Michael, "tapi kurasa pesta Nicole Jenkins akan sangat menarik."
"Yeah! Tentu saja kami akan datang!" Aiden menimpali.
"Kami akan membawa camilan dan cola yang banyak!" seru Caleb.
Aiden menjentikkan jari. "Atau board game?"
Nat bersedekap dan mengangguk antusias. "Yeah, board game! It will be fun!"
Aku terkekeh. "Oh, tidak perlu, kalian hanya tinggal datang saja, karena Nick sudah menyiapkan segalanya dan koki terbaik di Cedar Cove akan memasak untuk kita semua."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top