Chapter 55 - The Big Day [Part 2]

Musik ceria yang ditulis oleh Aiden terdengar hingga ke seluruh penjuru auditorium. Tirai panggung berwarna merah perlahan terbuka. Melalui sedikit celah di samping panggung, aku mengintip. Erin, ratu kerajaan, beserta sang Raja berjalan beriringan di padang bunga. Mahkota dan tiara berkilauan menghiasi kepala mereka. Latar panggung area pertanian, properti bunga berwarna-warni, dan rerumputan yang dibuat oleh kru memberikan kesan ceria dan hangat, pembukaan yang sempurna untuk sebuah drama kerajaan.

Pada zaman dahulu kala, tinggalah raja dan ratu yang hidup berbahagia. Kemakmuran selalu menyertai rakyatnya. Hasil tani yang melimpah setiap tahunnya, hasil ternak yang gemuk dan berkualitas, sungguh negeri yang damai tanpa pernah kekurangan.

Natalie dan aktor lainnya memasuki panggung, mengenakan pakaian petani--overall jeans, kaus lengan panjang kedodoran, serta topi jerami--dan melakukan gerakan dansa, mulut mereka bergerak mengikuti nyanyian dari rekaman yang diputar. Aktor yang mengenakan properti pohon dan batu juga berdansa beriringan bersama petani, berputar mengelilingi Erin dan sang Raja.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, raja dan ratu merasa kebahagiaan mereka tidak utuh tanpa seorang buah hati.

Pencahayaan panggung meredup. Latar langit yang semula cerah, kini berganti keruh, alunan musik berganti menjadi lebih pelan dan suram. Seluruh petani kembali memasuki panggung, hanya tersisa raja dan ratu di hadapan penonton. Dengan raut wajah yang sedih, keduanya saling bertatapan.

Di belakang panggung, Skye sudah bersiap untuk bergabung bersama Erin.

"Skye, sebentar lagi giliranmu!" bisik Ajay.

"Yeah, I know. Can you shut up?" Skye mendesis sambil berbisik.

"I'm sorry. I'm so nervous!" jawab Ajay.

Natalie dan petani sudah sampai di belakang panggung, membentuk formasi untuk penampilan mereka yang selanjutnya.

"Tapi, Ratu, kebahagiaan kita tidak lengkap tanpa seorang buah hati," ujar raja dari depan panggung.

"Aku akan menukar apa pun untuk kehadiran buah hati, Raja, meski setengah dari kerajaan harus kurelakan," balas Erin.

Skye yang sudah berpakain penyihir, dengan setelan panjang bernuansa hitam-hijau, dilengkapi dengan eyeshadow dan lipstick gelap, membuka tirai dan berjalan cepat ke tengah panggung. Gaun penyihirnya menyapu lantai ketika gadis itu melangkah. Pencahayaan berubah menjadi lebih gelap. Musik horor terdengar hingga seluruh penjuru auditorium, membuatku bergidik ngeri padahal sudah puluhan kali mendengarnya.

"Berikan sebagian tanah kerajaan ini untukku dan rakyatku, maka rizki yang kalian tunggu-tunggu akan datang," ujar Skye, diikuti oleh tawa licik.

"Wow, she's good," bisik Rory di sebelahku.

"Yeah. Make up artist kita sangat berbakat. Lihat eyeshadow dan lipstick yang dipakai Skye! Bahkan lebih gelap dari yang biasa dipakainya setiap hari!" Aku merespons.

Rory mengangguk setuju. "Tidak salah kita memilih anggota cheerleader untuk menjadi make up artist!"

"Rory, sebentar lagi giliranmu." Lagi-lagi, Ajay mengoceh.

"I know!" cicit Rory.

Setelah adegan tawar menawar yang dilakukan antara raja, ratu, dan penyihir, kini giliran Rory memasuki panggung. Mewakili sebagian besar penduduk kerajaan yang tidak rela lahan pertaniannya tergusur, Rory menentang keras persetujuan itu. Namun, karena dibutakan oleh keinginan untuk memiliki anak, Raja dan Ratu tidak memedulikannya.

Dari depan panggung, kembali terdengar tawa menyeramkan Skye. Kini, tidak ada lagi yang akan menghalangi rencananya untuk menguasai sebagian besar kerajaan. Sesuai janjinya, penyihir memberikan pasutri itu imbalan. Musik ceria kembali diputar ketika Ratu dikabarkan telah mengandung seorang bayi perempuan.

Ajay menoleh ke arahku. "Nicole, sebentar lagi--"

"Giliranku. Yeah, I know." Aku menjawab cepat.

Musik kembali berganti, pertanda bahwa sang putri harus segera memasuki panggung. Aku menutup mata, menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya lewat mulut. Setelah mengumpulkan kepercayaan diri, aku menggerakan kedua tungkai untuk maju ke depan panggung, membelah tirai berwarna merah itu.

Cahaya menyilaukan datang dari segala arah, aku mengerjap untuk menyesuaikan diri. Lebih dari seratus pasang mata tertuju padaku, meskipun aku tidak dapat melihatnya dengan jelas akibat pencahayaan di area bangku penonton sangat minim. Aku jadi tergoda untuk mencari di mana Nick dan kedua orang tuaku duduk, tetapi aku tidak bisa melakukan itu sekarang.

Nyanyian dalam rekaman diputar. Aku menggerakan mulut sesuai dengan liriknya, kemudian merunduk, mengambil sebatang mawar merah imitasi di antara properti padang bunga dan mendekatkannya ke hidung, menghirupnya dalam-dalam, seolah-olah apa yang kupegang saat ini adalah tanaman hidup yang memiliki aroma. Dengan senyum yang merekah, aku berputar di tempat, mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi.

Princess Abigail tumbuh menjadi remaja yang begitu menawan, tiada yang mampu menandingi kecantikannya. Nyanyiannya begitu merdu, membuat semua yang mendengarnya merasakan kedamaian.

Sang kesatria jatuh cinta mendengar nyanyian itu. Ia berjalan membelah padang bunga, mengikuti dari mana melodi indah itu berasal.

Di sisi lain panggung, Rory membelah padang bunga menuju ke arahku. Baju zirah keperakan dengan jubah berwarna merah maroon sangat cocok dengan warna kulitnya. Kami mengunci pandangan ketika berdiri berhadapan dengan jarak hanya beberapa jengkal saja. Jantungku berdetak lebih cepat. Entah apa ini efek dari pencahayaan panggung, tetapi netra ocean milik pemuda itu tampak lebih berkilauan dari biasanya, membuatku tersesat di dalamnya. Namun, pertunjukan masih berlangsung. Aku mengerjap untuk kembali fokus.

"Anda tidak seharusnya berjalan-jalan di padang bunga tanpa pengawalan, Tuan Putri, terlalu berbahaya."  Rory mengucapkan dialognya.

Dengan nada angkuh, aku menjawab, "Dan kaukira siapa dirimu, Kesatria? Kau tidak berhak menceramahi atau mengaturku. Aku bisa menjaga diri sendiri."

"Aku tidak bisa membiarkan itu, terlebih tanpa bukti yang kuat."

Aku menyeringai, menarik properti pedang di pinggang kiri Rory, kemudian mengarahkan senjata itu ke lehernya. Kami membeku selama beberapa detik mengikuti alunan musik yang juga berhenti saat itu, memberikan efek tegang untuk penonton.

"Aku lebih cepat darimu. Kau terlalu meremehkanku, Kesatria," ucapku.

Adegan demi adegan ditampilkan dengan sempurna, bahkan terlalu sempurna, mengingat Ajay melatih kami sangat keras. Segalanya terasa berputar cepat di kepalaku, dimulai ketika penyihir melanggar perjanjian, menyerang istana dan membunuh raja, hingga akhirnya tiba saat Rory harus melawan Skye sendirian dan melepaskanku dari kutukan sang penyihir.

Setelah melewati koreografi pertarungan sengit, Rory menghunuskan pedangnya di antara badan dan lengan Skye, seolah-olah senjata tersebut menembus tubuh sang penyihir. Musik bersemangat diputar, pertanda kemenangan telah diraih oleh pihak kerajaan. Ketika tirai tertutup, Skye kembali ke belakang panggung, diikuti oleh Rory. Pemuda itu berdiri tepat di sebelahku.

Kini, lahan pertanian yang sempat mati akibat jatuh ke tangan penyihir kembali subur. Ketika tirai terbuka kembali, Natalie, petani, peternak, serta aktor yang mengenakan kostum pohon dan bebatuan kembali memasuki panggung, memainkan koreografi dansa mereka mengikuti alunan musik.

Aku mencuri pandang ke arah pemuda di sampingku. Untuk waktu yang lama, Rory meremas jubah merah maroon-nya dengan gugup sambil mengintip di balik tirai, entah mengapa. Jujur saja, itu sangat menggangguku. Aku benar-benar berharap bisa membaca pikirannya.

"Kau gugup?" tanyaku.

"Kissing scene?" Rory terkekeh hambar. "Yeah, siapa yang tidak gugup ketika harus mencium seseorang yang ...." Dengan cepat ia mengoreksi ucapannya. "Nevermind."

Aku mengikutinya untuk tertawa. Tidak ada yang lucu, terpaksa aku melakukannya untuk menghindari kecanggungan. "Seseorang yang apa?"

"You already know the answer, Nicole," jawab Rory singkat.

Aku memalingkan pandangan, tidak merespons ucapannya. Hening, hanya terdengar alunan musik pertunjukan dari balik tirai. Pada akhirnya, aku menoleh kembali dan menyikut lengan Rory. "It's just a kissing scene. I trust you. We can do this."

"Yeah, it's just ... a kissing scene." Rory berbicara pelan, kemudian mengangguk dan tersenyum.

Baru saja ingin merespons, Natalie dan para aktor figuran lainnya sudah kembali ke belakang panggung, pertanda bahwa aku dan Rory harus menutup pertunjukan dengan sebuah ciuman. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Rory melangkah maju dan sedetik kemudian pemuda itu sudah hilang di balik tirai merah.

Aku memejamkan kedua netra dan mengambil napas sebelum mengikutinya ke balik tirai. Di area padang bunga, aku berdiri di atas properti kubus tanpa roda, yang kini telah disulap menjadi bebatuan.

"Sir Evans, suatu kehormatan untuk menjadikannmu kesatria resmi kerajaan." Aku mengucapkan dialogku.

Rory berlutut di hadapanku, salah satu lengannya ditopangkan ke lutut, lalu menunduk dengan penuh kerendahan hati. Untuk mengesahkannya, aku menepuk bahu kanan dan kirinya secara bergantian dengan properti pedang berkilauan. "Long live Sir Evans!" ucapku, kemudian aku menyerahkan senjata itu padanya.

"Thank, you, princess. Ini suatu kehormatan untukku." Rory meraih pedang tersebut, kemudian berdiri dan tersenyum. Ia menyimpan senjata itu di pinggang kirinya dan melangkah maju mendekatiku. Ketika tubuh kami hanya berjarak beberapa sentimeter saja, ia meraih kedua tanganku.

"Princess Abigail, maukah kau menikah denganku?" Rory bertanya.

"Ya, itu suatu kehormatan untukku, Sir Evans."

Apa hanya perasaanku saja, atau pencahayaan panggung terasa lebih menyilaukan dari sebelumnya? Latar padang bunga dan properti di sekitar kami memudar, fokusku kini hanya tertuju pada Rory Silva dan kedua netra ocean-nya yang begitu cemerlang.

Genggaman tangannya kian menghangat. Segalanya terjadi begitu cepat, aku memejamkan mata ketika sesuatu yang lembut menyentuh bibirku, melumatnya pelan, bahkan lebih pelan dari musik yang diputar, seolah-olah tidak ingin segalanya berakhir dengan cepat. Aku tenggelam dalam sentuhannya. Rory tersenyum dalam ciumannya, memiringkan kepalanya sedikit dan mengelus pipi kananku lembut. Astaga, ini hanya ciuman pura-pura, tetapi mengapa ada kupu-kupu yang menggelitik dinding perutku?

Ini tidak ada di script, jadi dengan spontan aku melepas ciumannya, tetapi dengan cepat pemuda itu meraih daguku dengan ibu jarinya, membawaku kembali mendekat. Aku kembali merasakan hangat bibirnya dan tidak kuasa untuk menahan senyum. Kedua pipiku memanas. Cukup lama kami bertahan dalam posisi ini, bahkan terlalu lama hingga penonton bertepuk tangan terlebih dahulu sebelum kami menyelesaikan adegan ini.

Kepalaku terasa berkunang-kunang ketika Rory menarik mundur tubuhnya. Aku membuka mata dan rupanya sekarang tirai sudah tertutup. Seolah tidak terjadi apa-apa, kami berdua kembali ke belakang panggung, mendapati aktor dan kru teater lainnya--kecuali Ajay, entah mengapa ia tidak terlihat saat itu--menatap kami dengan tanda tanya besar di kepala mereka. Berbeda denganku, Rory justru terlihat santai dan tidak canggung sama sekali.

Seluruh murid yang terlibat dalam pementasan kembali ke depan panggung untuk memberikan penghormatan terakhir. Kami berjejer dengan jari yang saling bertautan. Aku berdiri di tengah-tengah, diapit oleh Rory si kesatria dan Erin sang ratu kerajaan. Kami merunduk bersamaan, diiringi oleh tepukan tangan dan siulan dari arah penonton. Euforia penonton auditorium membuat senyumku kian melebar, ada perasaan bangga sekaligus haru ketika mengingat segalanya berakhir bahkan lebih dari apa yang diekspektasikan.

"That's my sister!" Nick beranjak dari bangku penonton, berdiri sambil berteriak dan bersiul. "Princess Abigail adalah kakakku!"

Di sebelah Nick, aku melihat Mom bertepuk tangan dengan senyum yang merekah, sedangkan Dad masih sibuk dengan handycam kuno yang hanya digunakan ketika ada acara penting saja. Di deretan penonton lainnya, aku melihat Nat, Aiden, dan kawan-kawannya juga memberikan tepukan tangan yang meriah.

Aku menoleh kanan kiri, menatap satu per satu teman-teman yang berdiri di panggung. Seluruhnya terlihat sama bahagianya denganku, kecuali Skye. Gadis penyihir itu terlihat sedang mengedarkan pandangan, menyisir satu per satu penonton yang hadir malam ini. Aku melihat kekecewaan yang mendalam dari kedua netranya ketika tirai tertutup untuk yang terakhir kalinya. Musik terhenti, pencahayaan panggung dan tepukan tangan penonton meredup, begitu pula dengan air mukanya yang kian mendung, aku masih bisa melihat dengan jelas meskipun bayangan menutupi wajahnya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia berbalik dan menghilang di balik kerumunan kru dan aktor.

Nulis part ini mewek banget. Karena akhirnya aku bisa nyelesain adegan pertunjukan The Enchanted Kingdom setelah kena writers block selama hampir setahun :')

Dan mewek ... waktu adegan terakhir Skye ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top