Chapter 54 - The Big Day [Part 1]

Hari pementasan The Enchanted Kingdom, beberapa jam sebelum open gate, kami melakukan gladi resik dengan mengenakan kostum lengkap. Gaun princess yang dibuat Myra ternyata lebih berkilau dibandingkan perkiraanku! Semua aktor tampak keren mengenakan kostum mereka, termasuk Skye. Jika saja sejak awal yang menjadi penyihir adalah Skye, kami tidak perlu repot-repot menghadapi drama yang dibuat Danielle.

Setelah adegan terakhir selesai, seluruh aktor dan kru berkumpul di tengah panggung. Atensi kami tertuju pada Ajay yang sedang duduk di bangku auditorium sambil bertumpang kaki. Pemuda itu bergeming, tidak ada satu pun kata yang lolos dari mulutnya. Ekspresinya pun tidak terbaca.

"Um, seburuk itu?" tanya Erin. Ajay tidak menjawab.

"Say something!" desak Skye.

Perlahan, pemuda berkacamata itu mengulas senyum, kemudian beranjak dari bangku auditorium dan bertepuk tangan. "I've never been so proud of you guys!" pujinya.

"Benarkah?" tanyaku setengah tidak percaya dengan kedua netra yang membola.

Ajay mengangguk. "Ini adalah performa terbaik kalian sepanjang latihan!"

Perlahan, senyumku mengembang. Erin, yang berpakaian kostum ratu lengkap dengan tiaranya, memelukku erat, kami berdua melompat-lompat di atas panggung. Aktor lainnya juga bersorak dan saling berpelukan setelah mendengar pujian dari Ajay.

"Apa kau baru saja memuji kami? Kau selalu mengakhiri latihan dengan sumpah serapah, tetapi tidak dengan hari ini! Ada apa denganmu?" tanya Rory.

"Yeah, sorry about that. Sebenarnya aku juga tidak mau melakukan itu," respon Ajay.

"Jadi maksudmu, penampilan kami selama ini tidak seburuk perkataanmu?" tanya Erin.

"Of course not!" Ajay terkekeh. "Kalian semua adalah aktor yang luar biasa! But that's me. Aku sengaja tidak mengatakannya agar kalian tidak terlena dan terus menampilkan yang terbaik," jawab Ajay santai.

Skye melepas boots penyihirnya dan melemparnya tepat ke arah pemuda itu. "Ciumlah boots ini!"

"Hei! Jangan lempar sepatu itu! Itu properti panggung!" protes Ajay sambil melindungi kepalanya dari boots melayang.

*****

Satu jam sebelum pementasan, aku berdiam diri di belakang panggung. Atensiku teralihkan pada gadis berambut merah yang sedang mengintip dari balik tirai. Di balik pencahayaan yang minim dan make up serba 'gelap', aku kesulitan membaca air mukanya. Entah sudah berapa lama ia melakukan itu. Karena penasaran, aku beranjak dan berjalan menghampirinya.

"Skye?" tanyaku.

Gadis itu menoleh ke arahku, dengan cepat mengubah ekspresi dinginnya dengan mengulas senyuman. "Hey!" balas gadis itu.

"Mengapa kau berdiri di sini sejak tadi? Menatap bangku-bangku pentonton akan membuatmu semakin nervous, kau tahu?"

"Aku mencari seseorang. Um, mungkin dua orang," jawab gadis itu, sedikit ragu.

Aku turut mengintip ke arah bangku-bangku penonton yang kosong. "Siapa yang kau cari?"

"Mom dan Dad," lirih Skye.

"Open gate masih lima belas menit lagi, bangku penonton masih kosong." Aku menoleh ke arah gadis itu sambil mengangkat kedua alis. "Mereka akan datang, 'kan?"

"Kuharap begitu." Skye menekuk wajah. "Meskipun aku tahu seharusnya tidak boleh berharap banyak."

"Apa mereka tahu pementasan diadakan satu jam lagi?" tanyaku.

"Of course they know. Aku memberitahu mereka tadi pagi." Skye mengembuskan napas pasrah. "Brian selalu mendapatkan atensi mereka. Mom dan Dad selalu hadir di pertandingan football Hears High, sekali pun mereka sibuk. Sedangkan aku? Mereka bahkan tidak menunjukkan minat sedikit pun untuk datang. It sucks. Mereka hanya senang jika putri kecilnya tampil dengan rok pendek dengan pom-pom di kedua tangan, meneriakan yel yel yang payah!"

"Aaaw, Skye," lirihku, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya.

"Keluarga Crandall selalu menginginkan putra putri yang sempuna. Seorang atlet dan cheerleader yang cantik tanpa smoked eyes. Kurasa mereka menyesal sudah melahirkanku di dunia karena aku lebih memilih menjadi penyihir."

"Skye! Don't say that!" seruku. "Kau menyelamatkan kami semua dengan menggantikan peran Danielle! You matter!"

"I know, tapi orang tuaku tidak peduli akan hal itu, oke?" ucapnya pahit.

"But--"

Skye memaksakan diri untuk tetap tersenyum. "It's okay, Nicole. I have to get used to this."

Lagi-lagi, dadaku sesak mendengar perlakuan keluarga Crandall pada Skye. Bagaimana bisa mereka melakukan itu pada putri bungsunya? Secara perlahan, aku mencondongkan tubuh ke arahnya dan menariknya ke dalam pelukan.

"I'm here," lirihku. "Meskipun tidak tahu mereka akan datang atau tidak, kau harus menampilkan yang terbaik, 'kan?"

"I know." Skye melepas pelukanku, lalu tersenyum singkat.

"That's my girl!" ucapku untuk menyemangatinya. "Kau penyihir. Jika mereka benar-benar tidak datang, kutuk saja mereka jadi katak!"

Skye tertawa lepas. "Aku akan mengutuk mereka dengan mantra yang lebih buruk. Sembelit selama seminggu penuh misalnya?"

Mendengar ucapannya, aku ikut tertawa. Skye terdengar sangat jahat, tetapi aku senang rona keruh di wajahnya perlahan memudar. Kurasa kutukan itu akan setimpal dengan apa yang selama ini keluarga Crandall perbuat padanya. Setelah tawaku mereda, kuangkat telapak tanganku padanya. Skye tersenyum, melakukan high five denganku.

"See you on the stage, Princess?" tanyanya.

Aku mengangguk mantap sebagai jawaban, lalu Skye pergi meninggalkanku dengan sumringah, membuatku dapat bernapas lega. Ketika aku hendak pergi ke belakang panggung, tiba-tiba seseorang membuka tirai dengan cepat, membuatku terkejut setengah mati.

"Whoa!" serunya.

"Astaga, kau membuatku terkejut!" protesku.

Ajay selalu terlihat menggebu-gebu, terutama hari ini. Memang, sudah berkali-kali aku melihatnya mondar-mandir masuk dan keluar auditorium, memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Beberapa menit yang lalu, ia bahkan mengomeli teknisi bagian pencahayaan karena tidak bisa melakukannya sebaik Skye.

"Di mana semua penonton-penonton itu?" Pemuda itu melirik arlojinya. "Lima belas menit lagi open gate, tetapi tidak ada yang mengantre di depan auditorium!"

"Kau tahu, 'kan, kalau murid di sekolah kita sering datang terlambat? Chill out! Tiket kita terjual habis, mereka akan datang!"

"Mereka tidak membeli tiket kita hanya karena charity, 'kan?" Ajay menekuk wajahnya. "Aku tahu seseorang di klub band melakukan kampanye. Apalagi, mengingat skandal yang terjadi beberapa minggu lalu ...." Ajay menghentikan ucapannya. Aku bergeming, tidak tahu harus merespon seperti apa. Dengan cepat ia melanjutkan perkataannya untuk menghindari kecanggungan. "Maaf, seharusnya aku tidak perlu mengungkit tentang skandal itu."

"It's okay, kita punya Skye sekarang," responsku.

"Tidak, maksudku, kau ...." Ajay menjeda perkataannya. "Apa kau ... baik-baik saja? Maksudku, soal skandal itu?"

Aku merespons dengan senyum tipis. "Sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu."

"Apa kau masih benci padaku?" tanya Ajay.

"No ... I-I don't know, maybe no?" jawabku spontan. Sejujurnya, aku juga tidak tahu apa yang kurasakan saat ini.

"I'm really sorry," lirihnya. "Seharusnya aku mendengar semua penjelasanmu. Kalau saja aku tidak menuduhmu, mungkin kita--"

"Tidak akan canggung seperti sekarang?" ucapku cepat. Aku merasa semakin gugup mengingat ke mana pembicaraan ini akan mengarah.

Ajay mengerjap beberapa kali, kemudian mengangguk canggung. "Y-yeah, you can say that."

"Semua baik-baik saja sekarang, kau tidak perlu khawatir seperti itu."

Pemuda berkacamata itu mengembuskan napas berat, menatap kedua netraku lekat untuk sesaat. "I'll never get my second chance, won't I?" lirihnya tiba-tiba.

Aku tertegun, dadaku berdegup kencang. Ya, tentu aku tahu apa yang Ajay bicarakan. Ucapannya membuat lambungku bergejolak, kurasa wajahku juga sudah berubah menjadi kepiting rebus. Oh, tidak! Aku harus mengontrol diri agar tidak gugup di depan panggung.

"Setelah tirai ini tertutup, peraturan bodoh soal cinta lokasi itu sudah tidak berlaku lagi. Jadi, mari kita selesaikan semuanya," pinta Ajay.

"Selesaikan? Apa maksudmu?" Aku bertanya balik.

"Kita masih punya urusan yang belum selesai. Setelah pertunjukan berakhir, mari kita bicara."

Sebelum aku menjawab, pemuda itu sudah membuka tirai dan pergi ke depan panggung, kemudian menghilang di antara kegelapan. Aku menampar pipiku beberapa kali dan merutuki diri sendiri. Perasaan bodoh ini, aku sangat membencinya. Begitu mudah terombang-ambing tak tentu arah tujuannya.

*****

Beberapa menit berlalu, pementasan akan segera dimulai. Kami mendengar Principal Hughs memberikan sepatah-dua kata sambutan di depan panggung, di hadapan semua hadirin yang memenuhi bangku penonton. Well, beliau berbicara panjang lebar sampai-sampai aku bosan mendengarnya. Sudah kuduga murid-murid dan penonton lainnya akan datang terlambat, seharusnya Ajay tidak perlu bersikap sekhawatir itu.

Ajay mengumpulkan kami di belakang panggung, membentuk sebuah lingkaran besar, baik aktor maupun kru.

"Okay, so ... pertunjukan akan dimulai beberapa menit lagi," ucap Ajay gugup.

Erin terkekeh. "Ada apa ini? Kau gugup?"

"Sttt!" sanggah Rory sambil terkekeh.

"Yeah, bisa dibilang pertunjukan tahun ini berbeda." Ajay menjeda perkataannya. "Kita telah melewati banyak hal. Kecelakaan calon aktor di awal tahun ajaran, sutradara yang dipecat, teknisi yang menghilang, hingga skandal penyihir dan princess yang berujung perpecahan."

Aku, Skye dan Rory saling pandang, kemudian kami kembali pada Ajay.

"Tapi kita bisa melewati semuanya." Perlahan, Ajay mengulas senyum. "Kalian tahu kenapa?"

Kami yang berkumpul dalam lingkaran bergeming, menunggu Ajay menyelesaikan kalimatnya.

"Karena kita tidak pernah menyerah untuk saling memperjuangkan," lanjutnya.

"Because we're friends," sambung Erin.

"Because we're family," tambah Skye.

"We are one." Kini giliran Rory yang berbicara.

"We are 'The Enchanted Kingdom'." Aku menambahkan.

Ajay menyeringai. "We can do this, Tigers!"

Pemuda keturunan India itu mengulurkan tangannya ke tengah-tengah lingkaran. Aku melihat satu tangan lainnya terulur mengikuti Ajay, pemiliknya adalah Rory. Perlahan, Skye dan Erin juga mengulurkan tangannya, diikuti oleh Natalie dan aktor serta kru lainnya. Tanpa sadar, aku menyunggingkan senyum dan ikut meletakkan tanganku di tengah.

Kami saling pandang selama beberapa saat, melempar senyum dan mengangguk. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap, tetapi kami saling memahami maksud satu sama lain.

"The Enchanted Kingdom!" Kami berseru.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top