Chapter 53 - Dillema [Part 2]
Sesampainya di rumah, aku berjalan menaiki tangga dengan lesu menuju lantai dua, kemudian berhenti di depan pintu kamar Nick, mengetuknya pelan.
"Nick sudah tidur! Jangan ganggu dia!" Samar-samar, terdengar teriakan adikku dari dalam ruangan.
Aku mengembuskan napas berat. "I have a bad day. Can we talk?"
Hening untuk beberapa detik, kemudian terdengar langkah kaki Nick yang kian mendekat. Pemuda itu membukakan pintu kamarnya untukku.
"Wajahmu kusut. Ada apa?" tanyanya.
"I told you, I have a bad day," jawabku.
"Come in!" Nick melakukan gestur mematahkan lehernya, mengisyaratkanku untuk masuk. Aku berjalan mengikuti Nick, kami berdua duduk berhadapan di atas ranjang. Adikku mengatur posisi duduknya dan bersiap untuk mendengarkan ceritaku.
"Kau tahu, 'kan, kalau tadi aku pergi ke rumah sakit bersama Rory untuk menjenguk Mrs. Silva?"
Nick mengangguk. "Yeah, lalu?"
"Well, he said he likes me," ucapku.
Nick membelalak, mulutnya membentuk huruf O yang besar. Melihat dari ekspresinya, aku tahu banyak sekali yang ingin ia katakan padaku.
"Kau bercanda," responsnya.
"Apakah aku terlihat sedang bercanda?" tanyaku frustasi.
"Are you two dating now? Are you two kissed?" tanya Nick.
Aku menggeleng. "Aku tidak menjawabnya."
"You moron! Rory is your lifetime crush!" Nick meninggikan nada bicaranya.
Aku menunduk, tidak merespons ucapan Nick sepatah kata pun. Ketika melihatku memainkan kuku-kuku jariku dengan gugup, Nick melunak. Ia menghela napas.
"Ada yang tidak kau katakan padaku?" tanyanya.
"Aku merasa belum siap untuk membuka hati kembali setelah hubunganku dengan Ajay kandas," ucapku.
"Tapi ... ini Rory Silva!"
"I know," ucapku. "Kupikir melupakan Ajay adalah hal yang mudah karena kita hanya berkencan selama tiga bulan, tetapi ternyata tidak. Bagaimana aku bisa menerima Rory sepenuhnya jika yakin pada perasaanku sendiri?"
"Well, apakah kau masih menyukai Rory?"
"Sangat."
"Lalu, apa yang kau tunggu? Rory bisa membantumu melupakan Ajay!"
Aku mendongak ke arah Nick. "Itu artinya aku akan menjadikannya pelarian. Itu jahat, Nick."
Nick tertegun, seolah-olah menyesal telah membeo panjang lebar tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Kami bahkan nyaris berciuman lagi, tetapi ia selalu mendorongku menjauh." Aku tertawa miris. "Rory bilang ia tidak bisa memperlakukanku lebih dari teman karena peraturan yang dibuat oleh Ajay. Ia membenci dirinya sendiri karena membiarkan Ajay mencuriku darinya, sedangkan pemuda itu pun tidak berbuat apa pun untuk memperbaiki itu. Konyol, bukan? Untuk apa Rory peduli dengan peraturan itu jika ia benar-benar menyukaiku?"
Nick mengembuskan napas berat. "Rory sama sekali tidak berubah, tipikal anak yang tidak mau melanggar peraturan."
"I know, right? Memangnya Ajay akan memata-matai kami?"
"I have a question." Nick berkata serius.
"Shoot."
"Jika mereka berdua ada di hadapanmu saat ini, siapa yang akan kau pilih?"
Aku terdiam. Nick menatap kedua netraku untuk waktu yang cukup lama hingga ia bosan menungguku berbicara.
"Itulah masalahmu, kau tidak tahu ke mana hatimu berlabuh!" ucapnya.
Aku mendengkus kasar sambil mengusap-usap wajah. "Itu tidak semudah kelihatannya!"
Nick mendesah pelan sambil tersenyum simpul. "Aku mengerti perasaanmu." Kemudian ia mengelus rambutku. "Pastikan dulu ke mana hatimu berlabuh sebelum mengambil keputusan. Apa sih, yang membuatmu sulit untuk memilih?"
"Jika suatu hari aku membuka hatiku untuk Rory, bagaimana jika ia menyakitiku juga seperti Ajay?" tanyaku.
Nick mengangkat bahunya. "Well, apakah mereka orang yang sama?"
"No. But--"
"Untuk mempercayai Rory sepenuhnya, kau harus berdamai dengan traumamu terlebih dahulu."
"Bagaimana jika Rory yang justru terluka karenaku?" tanyaku.
"Yang terpenting kalian tidak menyerah untuk memperbaiki keadaan, 'kan? Tidak seperti Ajay yang malah menghakimimu?"
Aku terdiam. Mungkin perkataan adikku ada benarnya. Namun, tetap saja, aku tidak bisa memprediksi masa depan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku dan Rory membuang persahabatan kami demi menjalin hubungan yang lebih dari itu.
"Kau tidak menolak Rory, itu artinya kau masih punya perasaan untuknya, dan kau sebenarnya percaya padanya," ujar Nick.
"Yeah, itu masuk akal," lirihku. "Ketika aku dan Ajay berkencan, aku selalu bertanya-tanya mengapa Rory selalu membolos latihan teater. Kupikir aku hanya peduli padanya sebagai teman, ternyata lebih dari itu."
"Jadi ... kau akan memilih Rory?" tanya adikku.
Aku mengedikkan bahu. "Maybe. Aku tidak bisa memutuskan tanpa berpikir matang-matang."
"Yeah, berdamailah dengan masa lalumu. Kau tidak bisa menerima ketulusan orang lain jika kau tidak membuka hatimu sepenuhnya!"
Aku menunduk, kemudian tersenyum tipis dan mengangguk.
Nick tertawa miris. "Bisa-bisanya aku berkata begini padamu, padahal aku pun sendiri kesulitan berdamai dengan masa lalu."
Aku mengernyit. "Apa maksudmu?"
"Listen." Nick merubah posisi duduknya dan memeluk bantal. "Jangan tertawa atau marah padaku setelah aku menceritakan hal ini padamu, oke?"
"Oke, kau membuatku penasaran." Aku menopangkan daguku, bersiap untuk mendengar ceritanya lebih jauh.
Nick memejamkan mata, ia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. "Aku ... menyukai Erin."
Aku nyaris tersedak dengan salivaku sendiri ketika mendengar pengakuan dari Nick. "I knew it! Aku selalu merasa ada yang aneh dengan kalian berdua!" seruku. "Sore tadi kalian berkencan, 'kan?"
"Ssssttt!" Nick berdesis, ia meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Apakah itu memalukan? Yeah, aneh bukan, jika aku berkencan dengannya?"
"No, no, no, kalian terlihat manis! Tentu saja aku merestui hubunganmu dengan Erin. She's a nice girl!"
Nick tertawa. "Aku tidak meminta restumu, Silly! Aku akan tetap menyukainya meskipun tidak mendapatkan restu darimu."
Aku mengambil bantal dan menggunakannya untuk memukul Nick, membuatnya tertawa renyah.
"So go for her! Apa lagi yang kau tunggu?" tanyaku.
"Kita sama, Nicole. Bagaimana aku bisa yakin sepenuhnya pada Erin jika Amber masih ada di otakku?" jawabnya.
Aku mengernyit. Mendengarnya membuatku sungguh ingin protes. "Seriously? Amber sudah berkencan dengan orang lain dan kalian sudah putus berbulan-bulan lalu!"
"I know, right? Tapi Amber adalah cinta pertamaku, ciuman pertamaku. Entahlah, setiap kali aku memandang Erin, aku masih terbayang-bayang oleh kenangan saat bersama Amber."
Aku mendesah pelan, kemudian menjatuhkan tubuhku ke ranjang Nick, menatap kosong ke arah langit-langit kamar.
"Kau bilang kita tidak boleh menjadikan orang lain sebagai pelarian, 'kan?" lirih Nick.
"Well, kurasa kita harus berdamai dengan masa lalu terlebih dahulu," ucapku.
*****
Tiga hari sebelum pementasan, jam pulang sekolah, aku berjalan cepat menuju auditorium untuk latihan. Ketika berbelok di persimpangan koridor, aku dikejutkan dengan antrean murid-murid di depan pintu auditorium. Banyak gadis-gadis berpakaian cheerleader yang sangat mencolok, serta murid laki-laki berotot dengan jaket baseball yang jelas-jelas adalah atlet sekolah kami.
Pandanganku bertemu dengan Nat dan Aiden yang ikut mengantri di barisan belakang. Kedua sejoli itu terlihat sedang mengobrol sambil melihat ponsel di tangan Nat, kemudian tertawa. Dengan cepat aku melangkah menghampiri mereka.
"Hai. Antrean apa ini?" tanyaku pada mereka berdua.
"Oh, hai, Nicole!" sapa Aiden.
"Antrean apa katamu? Ini antrean pembelian tiket The Enchanted Kingdom!" jawab Nat.
"Wait, what?" Atensiku kembali pada deretan panjang murid-murid di depanku. "Sebanyak ini? Bagaimana bisa?"
Alih-alih menjawab, Nat malah melirik ponsel di tangannya. "Kurasa Dad sudah menjemputku di depan sekolah. Bolehkah aku menitipkan tiketku padamu?" tanyanya pada Aiden.
Aiden mengangguk. "Sure!"
"Yeay!" seru Nat sambil tersenyum. Gadis itu mengecup bibir kekasihnya cepat. "See you tomorrow!"
Aiden mengerjap. Pemuda itu mengulas senyum tipis dengan rona merah di kedua pipinya, kemudian mengangguk. Nat menoleh ke arahku dan memberiku sebuah senyuman. "Aku harus pergi. Semoga beruntung dengan pementasanmu!" ucapnya.
"Thanks!" jawabku sambil tersenyum. Pandanganku mengikuti gadis pirang itu hingga punggungnya menghilang di persimpangan koridor, meninggalkanku berdua saja dengan Aiden.
"It's her," ucap Aiden.
"Apanya?" Aku mengernyit.
"Dia yang menyebabkan antrean panjang ini. Sebenarnya Nat tidak ingin murid teater tahu, jadi kau rahasiakan saja, oke?" Aiden bercerita. "Nat mengadakan kampanye singkat tentang charity yang dilakukan klub teater. Yeah, meskipun ia tidak bilang kalau dana tersebut akan disumbangkan untuk pengobatan ibunya Rory. Namun, perkataannya membuat hampir semua anggota band tergerak untuk ikut membeli tiket!"
Perlahan, senyumku mengembang. Sejujurnya, aku tidak kaget lagi ketika gadis itu berbuat hal semacan ini demi kami. Namun tetap saja, mendengar cerita Aiden seakan membuat beban berat yang dipikul di punggungku berkurang! Tentu saja ini menjadi kabar baik untuk Rory dan Ajay, mereka tidak perlu lagi merisaukan soal penjualan tiket.
"Nat juga meminta Caleb untuk berkampanye di depan semua tim basket dan football, begitu pula Maria yang memiliki jabatan sebagai class president, gadis itu tentu punya koneksi yang lebih luas lagi. Kurasa kampanye yang mereka lakukan berhasil," ucap Aiden lagi. "Atlet menonton pertunjukan teater? Ini sebuah kemajuan yang luar biasa!"
"Oh my God," lirihku. "Bagaimana bisa aku membalas kebaikan mereka bertiga?"
"Kurasa cukup dengan menampilkan yang terbaik, 'kan?" Aiden tersenyum. "Mereka bertiga melakukannya dengan senang hati."
"Bagaimana dengan semua antrian cheerleader ini?" tanyaku.
Aiden mengedikkan bahu. "No idea. Kurasa mereka membeli tiketnya dengan keinginan sendiri, ditambah pengaruh dari Maria."
"Nicole!"
Aku menoleh ke arah Erin yang memanggilku di depan pintu auditorium. Gadis itu berdiri di sana bersama Skye.
"A little help? Kita butuh bantuan untuk menjual semua tiket-tiket ini!" pinta Erin.
"Yeah! Aku ingin segera pulang! Tolong bantu kami!" tambah Skye.
Aiden menyikut lenganku. "Apa lagi yang kau tunggu? Cepat bantu mereka!"
Aku menoleh kembali ke arah Aiden dan mengangguk. "Kutunggu kau di pintu auditorium, oke?" Kemudian berlari kecil menghampiri Erin dan Skye.
"Yeah! Sisakan dua tiket untukku dan Nat!" teriak Aiden.
Aku menoleh ke belakang sambil mengacungkan kedua jempolku sebagai jawaban, kemudian kembali menghadap ke depan dan masuk ke dalam auditorium. Tanpa sadar, senyumku mengembang, pipiku menghangat sebagai luapan dari euforiaku sore ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top