Chapter 51 - I Won't Abandon You
Setelah pengakuan mengejutkan dari Danielle, rasanya sulit untuk menghadapi Rory secara langsung. Bagaimana tidak? Rupanya seseorang yang kusukai nyaris sepuluh tahun juga memendam rasa padaku!
Aku sedikit percaya, mau bagaimana pun Danielle dan Rory pernah bersahabat. Mungkin Rory bercerita tentangku pada Danielle? Kalau gadis itu berbohong, apa tujuannya? Kurasa tidak ada. Hal ini justru malah merugikannya.
Ketika sedang melamun di dalam kamar, terdengar suara mesin mobil di depan rumahku. Sejenak kupikir itu adalah mobil milik Rory, tetapi suaranya berbeda. Aku hapal betul bagaimana suara mesin mobil sedan milik Rory. Karena penasaran, aku memutuskan untuk melihat ke luar jendela. Bersamaan dengan itu, aku mendengar pintu kamar Nick terbuka.
Aku melihat mobil sedan milik Erin, bersamaan dengan Nick berjalan menghampiri gadis yang sedang berdiri di depan rumahku. Alisku bertaut, seingatku malam ini bukan jadwal pertandingan Barcelona, untuk apa mereka pergi bersama jika bukan untuk menonton pertandingan Copa del Rey? Atau Nick tidak memberitahuku tentang pertandingan itu?
Tiba-tiba, benda pipih di tanganku bergetar. Dengan cepat aku mengecek pesan yang masuk.
Rory Silva
Rory
> I smell something fishy between your brother and Erin
> Are those two are dating?
Pesan dari Rory membuatku terkejut dan panik, dengan cepat aku menoleh ke arah jendela kamarnya. Pemuda itu terlihat sedang duduk di meja belajarnya sambil memainkan ponsel.
"Come on, Nicole, ini hanya Rory, bukan sesuatu yang harus kau takutkan." Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Nicole
> Mungkin mereka pergi menonton Copa del Rey dengan fans Barcelona lainnya?
Rory
> Look at your brother
> Ia berpakaian rapi sekali!
> By the way, I'm sorry
> Aku mengabaikan pesanmu berhari-hari
> I have a lot on my mind
Nicole
> It's okay
> I know it's hard for you
Rory
> We're still friends, right?
Aku meneguk salivaku, perasaanku bercampur aduk. Apakah Rory sedang menjebak dirinya sendiri ke dalam sebuah hubungan friendzone?
Nicole
> Of course
> :)
> How is she?
> I kinda miss her
Rory
> My Mom is unstable a few days ago
> Besok ia akan menjalani kemoterapi terakhirnya
> Well, karena hanya ini uang yang kami punya
> Untuk melanjutkan kemo lanjutan, kami membutuhkan dana lebih banyak lagi.
Nicole
> I'm sorry
> Mrs. Silva will be okay. She's strong
> I believe it
> Dan aku percaya dana dari penjualan tiket The Enchanted Kingdom akan membantu ibumu
Rory
> I hope so :(
> Mau pergi ke rumah sakit bersamaku besok?
Nicole
> Sure
Rory
> Thanks, Nicole
Nicole
> I just want you to know
> You don't have to face it alone
> You know I'll always be there for my best friend
Rory
> I know
> I believe that you won't abandon me
> So do I
Nicole
> LMAO
> You ignored my text almost a week🙄
Rory
> My bad😥
Aku tertawa kecil membaca pesan dari Rory. Bisa bisanya ia berkata seperti itu setelah mengabaikan pesanku nyaris seminggu lamanya!
Atensiku tertuju pada Rory di jendela seberang kamarku. Aku melihat fitur wajahnya yang sebagian tertutup oleh bayangan, cahaya dari ponselnya menerangi sebagian wajahnya. Pemuda itu tersenyum kecil ketika membaca pesanku melalui ponselnya. Setelah itu, ia mendongak ke arahku di jendela seberang kamarnya, senyumnya mengembang.
Aku membalas senyumannya ketika pandangan kami bertemu. Setelahnya, ia kembali terfokus pada ponselnya.
Rory
> See you tomorrow
> I'll pick you up
*****
Keesokan harinya, tepatnya akhir pekan, aku dan Rory akan mengunjungi Mrs. Silva di rumah sakit. Kemoterapi yang akan dijalani oleh Mrs. Silva masih beberapa jam lagi, kami mempunyai cukup waktu untuk bertemu dengannya.
Sejujurnya, aku menyayangi Mrs. Silva layaknya ibuku sendiri. Rory adalah sahabat masa kecilku, tidak jarang Mom dan Dad menitipkanku dan Nick pada keluarga Silva ketika mereka sibuk bekerja di restoran. Mrs. Silva adalah wanita dengan tipe keibuan dan memiliki selera humor yang bagus, beliau juga cukup periang dan ramah. Kini, aku tahu dari mana Rory mendapatkan sifat periangnya dan mengapa pemuda itu selalu bersikap ramah pada semua orang.
Di perjalanan, kami terjebak lampu merah. Atensiku tertuju pada toko bunga di sisi jalan.
"It's beautiful," gumamku.
Rory mengalihkan pandangannya pada toko bunga di sisi jalan, senyumnya mengembang. "Bunga-bunga itu mengingatkanku pada Mom. She loves flower so much."
"She does?" tanyaku. "Bagaimana jika kita berhenti sebentar untuk memberi beliau sebuket bunga kesukaannya?"
"Great idea. She will love it!"
Rory memarkirkan mobilnya tepat di depan toko bunga tersebut. Kami berdua melangkah keluar dari mobil dan masuk ke dalam toko tersebut.
"Oh my God. Look at all this flowers! Kini aku mengerti mengapa ibumu sangat menyukai bunga!" ucapku dengan antusias.
"Kau benar! Sulit untuk memilih satu jenis bunga saja!" Rory merespon.
Aku menoleh ke arahnya. "Bunga apa yang disukai ibumu?"
"I'm not sure," jawab Rory sambil menyentu salah satu bunga berwarna putih. "Ia menyukai bunga berwarna putih, tetapi aku tidak tahu apa jenisnya."
Aku mengambil setangkai bunga aster berwarna putih di sebelahku. "Kurasa Mrs. Silva akan menyukai bunga aster."
Rory mengernyit. "Are you sure? Bagaimana kalau mawar putih saja? Bunga mawar sangat indah dan sangat umum diberikan untuk semua orang dalam keadaan apa pun."
"Bunga mawar lebih melambangkan cinta sepasang kekasih, tetapi tidak dengan bunga aster. Trust me, she will like this." Aku berbisik sambil mengedipkan salah satu mataku.
Rory mengembuskan napas pasrah, ia membawaku ke kasir bersama dengan sebuket bunga aster yang kupilihkan. Ketika pemuda itu hendak mengeluarkan dompetnya, dengan cepat aku menyerahkan uang kepada petugas kasir senilai nominal yang tertera.
"Nicole!" sanggah Rory.
"Let me do this, okay? Anggap saja aku melakukan ini sebagai rasa sayangku padanya," jawabku sambil tersenyum.
Rory mengulum bibirnya, kemudian mengangguk.
"You're welcome!" ucapku sambil menyikut lengannya, membuat Rory tertawa kecil.
Setelah melakukan transaksi, kami berjalan kembali menuju mobil sedan milik Rory dan berkendara ke rumah sakit.
*****
Sesampainya di rumah sakit, aku dan Rory berjalan menelusuri lorong rumah sakit menuju ruangan di mana Mrs. Silva dirawat inap. Kedua kaki kami berjalan saling beriringan hingga Rory menghentikan langkahnya tepat di depan salah satu ruang rawat inap yang bertuliskan 'Brenda Silva' di pintunya.
"Are you ready?" tanya Rory.
Aku mengangguk mantap, Rory meraih handle pintu dan membukanya. Suara daun pintu yang bergesekan dengan lantai menghasilkan bunyi decitan kecil.
"Mom?" sapa Rory. "Nicole is here."
Dari balik punggung Rory, aku melihat Mrs. Silva terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Beliau mengenakan baju rumah sakit berwarna aqua, tanpa sehelai rambut pun di tubuhnya. Tidak ada surai cokelat sebahu yang biasa kulihat saat kecil, juga tidak ada sepasang alis di dahinya. Kedua netranya tampak cekung, dilengkapi dengan lingkaran hitam, menandakan beliau tidak bisa mendapatkan tidur yang berkualitas seperti seharusnya. Tubuhnya terlihat sangat kurus sehingga aku bisa melihat tulang pipinya dengan jelas.
Beliau melihat kami, senyumnya mengembang meskipun lemah. Mrs. Silva berjuang sekuat tenaga untuk bangun dan duduk tegak.
"Mom! Sudah kubilang kau tidak perlu memaksakan diri!" Dengan sigap Rory berjalan cepat ke arahnya dan membantunya berdiri.
"I got this, Rory," lirih beliau. Pada akhirnya Mrs. Silva berhasil duduk tegak.
"It's okay, berbaring lah jika Mom tidak kuat berdiri!"
Setelah tersenyum lemah pada Rory dan mengangguk, atensi beliau tertuju padaku.
"Mrs. Silva," sapaku. Dengan sekuat tenaga, aku menahan tangis dan menutupinya dengan senyuman.
"What a surprise!" Mrs. Silva membuka kedua tangannya lebar-lebar. "Come here, Sweetheart!"
Dengan cepat aku berlari kecil menuju Mrs. Silva dan memeluknya dengan erat. Ketika bersandar di bahunya, aku dapat merasakan fitur tulang bahunya secara langsung, begitu pula dengan tubuhnya yang tidak dilapisi banyak lemak, sampai-sampai aku dapat merasakan tulang di lengannya juga. Mrs. Silva terlihat benar-benar kurus.
Tangisku pecah, aku terisak ketika beliau mengusap punggungku dengan lembut.
"You look beautiful, Mrs. Silva," ucapku parau.
"Kau sudah seperti anakku sendiri, Nicole. Apakah kau lupa agar selalu memanggilku Brenda?" Beliau tertawa lemah. "Kau tidak perlu berkata seperti itu, aku tahu aku terlihat kacau saat ini."
"No!" Aku melepas pelukannya sambil mengusap air mataku. "You look amazing, Brenda! You've been so strong for a long time, you're still beautiful, just the way you are."
Brenda tertawa kecil. "Meski tanpa alis di wajahku?"
"Masa bodoh dengan alis! Aku dan Rory akan membelikanmu pensil alis sebanyak yang kau mau!" cicitku.
"That's right!" Rory menyetujui perkataanku.
Brenda tersenyum, ia mengelus rambutku dengan lembut, kemudian pipiku. "I miss you, Nicole. Terima kasih untuk selalu menemani Rory selama aku tidak ada."
"Itu tugasku sebagai sahabat, kan?" jawabku sambil tersenyum.
Brenda tersenyum jahil, ia melirik Rory untuk sesaat, kemudian kembali padaku. "Kau tahu, Rory selalu membicarakanmu akhir-akhir ini."
"Mom!" sanggah Rory.
"A-aku akan berpura-pura tidak mendengarnya, jika itu membuatmu lebih baik," jawabku gugup sambil mengusap air mata, diikuti tawa dari Brenda.
Atensi Brenda kini tertuju pada sebuket bunga aster putih yang kugenggam. "Apakah itu untukku?"
"Astaga! Aku hampir lupa!" Aku menyerahkan buket bunga tersebut pada Brenda dan mengangguk. "A beautiful bouquet for a beautiful person."
Senyum di wajah Brenda mengembang, ia menerima buket bunga tersebut dan menghirupnya dalam-dalam. "Bagaimana kau bisa mengingat jenis bunga favoritku, Rory?"
"Wait, what?" Rory terkejut.
Dengan cepat aku menyikut lengan Rory dan mengangguk. "Tentu saja Rory ingat!"
"No, Mom! Bunga aster ini adalah pilihan Nicole!" sanggah Rory.
"Baiklah, lebih tepatnya, ini pilihan kami berdua!"
Brenda melirikku dan Rory secara bergantian, kemudian tersenyum. "Bunga ini selalu mengingatkanku pada ayahmu, Rory."
"Benarkah? Apakah itu bunga yang diberikan Dad padamu? Itu sebabnya kau sangat menyukai bunga aster?" tanya Rory.
"Yes, it's a long story," jawab beliau.
"We have time!" ucapku dengan antusias. Aku menggeser kursi tunggu yang ada di salah satu sudut ruangan dan membawanya ke samping ranjang di mana Brenda berbaring, kemudian duduk di sana. Rory juga melakukan hal yang sama.
"Yeah! Kau tidak pernah menceritakan tentang bunga aster dan Dad padaku!" ujar Rory setelah ia duduk.
"Are you ready, kids?" tanya Brenda.
Aku dan Rory menganggukkan kepala secara bersamaan.
"Baiklah, semua ini berawal ketika aku seusia kalian dan bertemu dengan seseorang yang akan jadi suamiku kelak ...."
*****
Tidak terasa sudah nyaris satu jam kami menemani Brenda di sini. Selain mendengarkan cerita dari Brenda, aku dan Rory juga menceritakan apa yang kami lakukan di sekolah, bagaimana latihan The Enchanted Kingdom berlangsung, serta kejadian-kejadian konyol sewaktu kami kecil.
Fokus kami teralihkan ketika seseorang mengetuk pintu kamar, seorang suster berusia sekitar tiga puluh tahun masuk ke dalam ruangan dan tersenyum.
"Sudah saatnya Mrs. Silva beristirahat sebelum menjalani kemoterapi," ucapnya.
"Wow, secepat itu?" tanya Brenda.
Rory meraih kedua tangan Brenda, kemudian mengelusnya dengan lembut. Kedua manik ocean milik Rory menatap lekat wanita yang sudah melahirkannya ke dunia, berusaha menyunggingkan senyum untuk memberikannya kekuatan.
"You can do this, Mom. You're always been so strong," bisik Rory.
"I know." Brenda mengelus lembut kedua pipi Rory, kemudian mencium kening putra semata wayangnya. "I promise I'll be there, at your school play. I promise."
"I believe in you, Mom. I love you," bisik Rory parau, suaranya bergetar.
"I know. I love you too," balas Brenda. "Terima kasih sudah mempercayaiku, Sweetheart."
Aku mengerjap, setetes air mata menetes di pipi kananku, dengan cepat aku menghapusnya dengan punggung tanganku. Aku harus bisa sekuat Rory, aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan Brenda.
Astaga, bagaimana Rory bisa bersikap setegar ini ketika melihat seseorang yang ia cintai berada di ambang hidup dan mati?
Kami keluar dari ruang rawat inap dan berhenti di koridor rumah sakit. Aku menggenggam tangan Rory, jemari kami saling bertaut. Jempolku bergesekan secara lembut dengan kulit tangannya, Rory balas menggenggam tanganku dengan erat.
"She will make it," bisikku.
Perlahan, senyum Rory mengembang. "I know. I believe in her."
Di balik senyuman dan kedua netra ocean milik Rory, aku melihat jutaan kesedihan yang sudah lama ia pendam, seakan-akan emosi yang berusaha ia tutupi selama bertahun-tahun nyaris meledak. Tembok pembatas yang ada di dalam diri Rory nyaris runtuh malam ini.
*****
DAMN! THIS CHAPTER HAS SO MANY ONIONS😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top