Chapter 47 - He Deserves An Oscar
Keesokan harinya, pementasan The Enchanted Kingdom semakin dekat, Ajay meminta Skye untuk berlatih intensif setiap hari. Aktor-aktor yang berakting langsung dengan penyihir juga terpaksa harus berlatih secara intensif bersama gadis bersurai merah itu.
Di luar dugaan, Skye adalah aktor yang berbakat! Dengan lipstick dan eyeshadow gelap yang sering digunakannya, ia justru lebih cocok menjadi penyihir dibandingkan Danielle.
"Run, Princess!" teriak Rory.
Skye tertawa histeris, persis seperti villain di film psikopat. Aku berlari dan bersembunyi di balik pohon--yang sebenarnya adalah salah satu aktor yang menjadi pohon--untuk menghindari Skye.
Teknisi merubah pencahayaan panggung menjadi lebih redup, musik seram yang Aiden buat untuk kami diputar, Skye berjalan mengendap-endap sambil mengucapkan dialognya.
"Dear princess, where are you? Aku akan mengulitimu hidup-hidup dan menjadikanmu tas kulit, akan kuletakkan bersama dengan koleksi tas-tas kulit Prada-ku."
Aku mengintip di balik tubuh Si Pohon dan melihat Skye di kejauhan. Dengan pencahayaan yang redup, wajah Skye nyaris seluruhnya tertutup oleh bayangan. Sorot matanya yang tajam tidak bisa lepas dariku, seakan-akan ia benar-benar ingin membunuhku.
Oh, shit! Skye benar-benar menyeramkan, dua kali lipat dibanding Danielle!
"Cut!" ucap Ajay di bangku auditorium. "Well, akting yang bagus, Skye! Kau beradaptasi sangat cepat!"
"Skye membuatku gila! Ia berakting persis seperti penyihir yang benar-benar ingin membunuhku!" Aku protes.
"Well, tapi itu hal yang bagus, kan?" Rory merespon.
Aku protes. "Yeah, tapi--"
"Oh, really?" bisik seseorang di belakangku. "Dear Nicole, where are you? Aku akan mengulitimu hidup-hidup dan menjadikanmu tas kulit, akan kuletakkan bersama dengan koleksi tas-tas kulit Prada-ku."
Bulu kudukku merinding ketika mendengar bisikan Skye di telingaku. Sejak kapan ia sudah berada di belakangku? Aku tidak melihat pergerakannya sama sekali di dalam gelap!
Ketika menoleh ke arahnya, aku melihat seringai kemenangan di wajahnya. Gadis itu melambai-lambai ke arahku.
Seseorang, bunuh aku sekarang juga!
*****
Akhirnya, latihan yang menguras batin dan tenaga ini selesai. Matahari hampir terbenam, kami berlatih satu jam lebih lama dari biasanya karena Skye harus berlatih keras dengan sisa waktu yang ada.
Kedua kakiku berjalan menghampiri Rory yang sedang duduk di bangku auditorium. Aku melihat rona keruh di wajahnya.
"Are you okay?" tanyaku.
Pemuda bersurai cokelat tua itu mendongak ke arahku. "Hari ini hanya ada tiga orang yang membeli tiket kita, sedangkan pertunjukan kurang dari dua minggu lagi." Rory menekuk wajahnya.
"Yeah. Mrs. Silva juga harus segera melakukan kemoterapi!" tambah Erin.
"Bagaimana dengan poster yang kita tempel di mading sekolah? Aku yakin orang-orang pasti akan membacanya!" ucapku.
Rory menggeleng. "Saat makan siang, seseorang menimpa poster kita dengan poster yang lain. Nobody cares about us, Nicole."
Atensiku tertuju pada Rory yang sedang menunduk sambil menghitung penjualan tiket kami, tidak lama kemudian pemuda itu menghembuskan napas berat.
"Listen," lirihku, membuat Rory mendongak ke arahku. "Kita pasti bisa menyelamatkan Mrs. Silva. Aku yakin itu. We have to find another way!"
"We have to, like it or not," lirih Erin.
"Um, Nicole?"
Aku memutar tubuhku ke belakang ketika Natalie memanggilku. Gadis itu menunduk sambil memainkan kuku-kuku jari tangannya.
Natalie mendongak ke arahku. "Bolehkah aku berbicara denganmu?"
Aku melirik ke arah Erin dan Rory yang mengangguk kompak, kemudian kembali memalingkan pandanganku ke arah Natalie.
"Sure!" jawabku.
Aku mengikuti Natalie ke salah satu sisi auditorium yang sepi, kemudian kami mulai berbicara empat mata. Natalie terlihat muram dan gelisah, namun ia berusaha keras untuk terlihat rileks.
"I'm sorry, Nicole. Aku ikut menuduhmu mencelakai Nat tempo hari," lirihnya.
"Masalah itu tidah usah kau pikirkan, aku sudah melupakannya," jawabku santai.
"Aku sudah berkata kasar padamu. Alasan terbesar mengapa aku ikut menuduhmu karena kau dan Rory itu akrab, dan kalian sangat cocok! Aku terpengaruh perkataan Danielle tentangmu, bahwa kau akan melakukan apa saja untuk bisa terus bersama Rory. Pemuda itu berhak mendapatkan gadis yang baik dan tidak berperilaku buruk, itu sebabnya aku marah padamu." Gadis itu tertawa miris. "Namun ternyata Danielle sendiri yang mencelakai Nat dan menjadikanmu kambing hitam. Seharusnya aku marah pada Danielle, bukan kau!"
Aku tersenyum simpul dan mengangguk, mengisyaratkan Natalie untuk kembali berbicara.
"Aku tidak menyukai Rory dengan obsesi seperti Danielle. Yes, I like him, so much. Tetapi aku harus turut berbahagia jika Rory sudah menemukan orang yang tepat! Itulah peraturan nomor satu 'Rory's Fans Club'!"
"Fans club--apa!?" Aku mengernyit.
"'Rory's Fans Club'. We're not toxic fans!" Perlahan, Natalie tersenyum. "Kurasa orang yang tepat untuk Rory adalah kau!"
Aku tersenyum tipis dan menggeleng. "Rory hanya menganggapku sebagai teman, begitu pula denganku sekarang."
"Well, apa kau pernah mendengar ungkapan 'sahabat jadi cinta'?" tanya Natalie.
"Yeah, tapi tidak dengan persahabatan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun," jawabku.
"Tidak ada jaminan tentang itu!" Natalie meninju lenganku dengan lembut. "The point is, I ship you two!"
"Natalie ...."
"Apakah ini karena Ajay masih ada di pikiranmu?" tembak Natalie.
"No!" ucapku cepat.
"Lalu apa yang kau pertimbangkan? Kau single, Rory pun single. Kalian juga sudah mengenal satu sama lain. So go for it!" Natalie masih saja mengoceh sesuka hatinya.
Aku tersenyum canggung dan menghembuskan napas berat. Rory dan aku tidak akan pernah satu, aku tahu itu. Lagipula, mencintai itu selalu sepaket dengan patah hati. Maksudku, lihatlah hubunganku dengan Ajay!
Apakah aku siap?
*****
Selesai latihan, aku berjalan sendirian menelusuri koridor untuk pulang. Nick dan Skye sudah pulang terlebih dahulu, sedangkan Rory harus kembali menjaga Mrs. Sliva di rumah sakit. Aku tidak mungkin pulang bersama Ajay karena ia bukan pacarku lagi, kan?
Di persimpangan koridor, aku melihat sosok yang sangat familier. Ia terlihat sedang mengambil seluruh barang-barangnya di loker siswa, kemudian memindahkannya ke dalam sebuah box. Semua orang yang berlalu-lalang di koridor menatapnya dengan jijik dan kesal.
Setelah isi lokernya kosong, ia menutup pintu lokernya, tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Seseorang itu terkejut ketika pertama melihatku, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Danielle!" seruku, dengan cepat aku berjalan ke arahnya.
Danielle menekuk wajahnya. "What do you want, Nicole? Kau ingin menaparku? Atau mengumpat di depan wajahku? Go ahead, I deserve it."
"No, of course not. Aku tidak seburuk itu." Aku melirik ke arah lokernya. "Kau mengosongkan lokermu?"
Ia mengangguk. "Principal Hughs membuat surat menguduran diri untukku kemarin. Mungkin aku tidak hanya pindah sekolah juga, melainkan pindah kota. Nenekku dan aku masih mendiskusikannya."
"Oh. Oke," jawabku canggung. "Kau tahu, mengenai kau dikeluarkan, kurasa itu cukup berlebihan. Aku paham jika kau melakukan itu tanpa berpikir panjang."
Danielle menggeleng. "Aku mencelakai Nat dengan sengaja. Gadis itu beruntung hanya mematahkan kakinya. Bagaimana jika ia gegar otak? I deserve it, Jenkins, tidak usah bersimpati padaku."
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi untuk merespon perkataannya.
"Why are you talking to me? Bukankah kau benci padaku?" tanya Danielle.
"I don't know." Aku menghela napas. "Aku kesal padamu, tapi ...."
"Rory tidak mau berbicara denganku. Nat bahkan menamparku ketika ia tahu aku mencelakainya musim gugur lalu. She said I acted like a jerk to everyone, including you and Rory," lirihnya, ia menunjuk pipi kirinya. "Kau lihat bekas tamparan ini?"
Aku melihat pipi kirinya yang sedikit memerah, kemudian mengangguk.
"Nat sudah mewakilkanmu untuk menamparku. She said, 'Ini untuk Nicole dan Rory!'. So, yeah, kita impas," ucapnya.
"Why, Danielle?" Aku bertanya. "Mengapa kau bisa terpikir untuk berbuat sehina itu hanya untuk mendapatkan Rory?"
"Rory was my best friend. Ketika aku sendirian di middle school, hanya ia satu-satunya orang yang mau menerimaku. Tanpa sadar, obsesiku padanya semakin besar, aku ingin memiliki Rory sepenuhnya. Aku bahkan menyingkirkan semua gadis-gadis yang menyukainya. Namun ada satu orang yang sangat sulit untuk disingkirkan." Ia bercerita panjang lebar.
"Who?" tanyaku.
"You!" jawabnya.
Aku mengernyit. "Me?"
Danielle mendengkus kesal. "Jangan bilang kalau kau tidak sadar bahwa Rory menyukaimu?"
Kedua netraku membulat sempurna. Lelucon macam apa ini? Bukankah Rory hanya menganggapku sebagai teman?
"You moron!" bentak Danielle lagi. "Semua gadis yang menyukainya akan melakukan apa saja demi menjadi dirimu!"
"I don't understand. Rory tidak pernah melihatku lebih dari teman!" ucapku cepat. "Dia bahkan tidak menunjukan perasaannya padaku, berbeda dengan Ajay dahulu!"
"Well, he's a good actor, then," jawabnya santai. "Banyak orang di luar teater tahu kalau Rory menyukaimu, tetapi kau sendiri tidak tahu karena ia berhasil mengelabuimu dengan aktingnya."
"Oh my God," gumamku tak percaya. "He does?"
Aku terdiam sejenak. Jadi ini alasan Ajay begitu cemburu pada Rory? Karena pemuda itu juga suka padaku, tidak hanya aku yang menyukainya?
"Apa kau tidak lihat bagaimana cara Rory menatap matamu? Tatapannya padamu membuatku gila! Yeah, aku sudah tahu tentangmu bahkan sebelum kita kenal, karena Rory tidak pernah berhenti berbicara tentangmu! Ketika kau memutuskan untuk ikut audisi, aku memikirkan banyak cara untuk menyingkirkanmu, namun sebelumnya aku harus menyingkirkan Nat terlebih dahulu agar aku bisa mendapatkan peran Princess Abigail." Kemudian ia tertawa miris. "Tetapi setelah aku berhasil menyingkirkan Nat, Ajay malah memilihmu!"
Aku terdiam, mengisyaratkan Danielle untuk melanjutkan ceritanya.
"You know what? Ketika semua teknisi kembali membahas tentang kubus beroda dan kecelakaan yang menimpa Nat, aku merasa ini kesempatan yang bagus untuk menyingkirkanmu. So, I did it. Aku menyulut api dan memfitnahmu, and boom!--" Ia menggerakan tangannya seolah-olah bom meledak. "--Aku berhasil menyingkirkanmu."
"Wow, Danielle." Aku menggeleng, tidak dapat berkata-kata. "You're a bitch, you now that? I want to slap you right now."
"I know, dan kini aku sudah mendapatkan karmanya," ucapnya. "I was super jealous, maka karena itu aku selalu bertingkah seperti ini padamu."
"Wow." Aku bergumam. "Pasti butuh keberanian ekstra untuk berkata jujur seperti ini padaku."
"Honestly, aku merasa lebih baik ketika berkata jujur langsung padamu, karena kita tidak akan bertemu lagi." Ia menghembuskan napas lega. "Kau membuat kepergianku dari Berry High menjadi sedikit lebih ringan."
Gadis berponi lurus itu melirik ke jendela, langit Cedar Cove perlahan berubah menjadi biru kemerahan, menandakan bahwa matahari sebentar lagi akan terbenam.
"Look, I have to go. Nenekku pasti bertanya-tanya mengapa aku mengambil barangku dalam waktu yang sangat lama," ucapnya.
"Okay. So, this is a farewell then?" tanyaku.
"Yes." Danielle mengangguk.
"Goodbye, Danielle," lirihku.
"Kuharap Mrs. Silva akan baik-baik saja. Menurutmu, apakah Rory akan memaafkanku?"
"I dunno." Aku menggeleng. "Kurasa butuh waktu lama baginya untuk memaafkanmu."
Danielle tersenyum. "Lebih baik daripada tidak sama sekali, kan?" Kemudian ia menepuk pundakku. "Jaga dirimu baik-baik. Ketika murid paling populer di sekolah menyukaimu, akan semakin banyak orang yang berbuat jahat padamu."
Gadis itu mengangkat box kardus yang dibawanya, lalu pergi meninggalkanku sendirian di koridor. Aku menatap punggung Danielle yang semakin menjauh dariku dan menghilang di halaman sekolah.
Butuh waktu yang cukup lama untuk mencerna perkataan Danielle barusan. Rory menyukaiku? Bagaimana bisa? Rory selalu bersikap acuh tak acuh padaku. Ia bahkan tidak pernah mengajakku berkencan, kami hanya pergi berdua sebagai sahabat.
Bagaimana ketika kami melakukan perang bantal? Jika Rory menyukaiku, seharusnya ia menciumku, kan?
Rory Silva is a damn good actor, he deserves an Oscar!
******
Cast Nat sama Danielle berteman di dunia nyata. Di cerita ini mereka tampar-tamparan lol😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top