Chapter 43 - In The Middle of Snow
Beberapa hari kemudian, saat jam makan siang, aku berjalan di cafeteria sambil membawa kotak bekal makan siangku. Di kejauhan, aku melihat Erin dan Skye duduk bersama Ajay, Danielle, Natalie serta murid teater lain. Dengan senyum yang mengembang, aku berjalan menghampiri mereka.
Ketika hendak duduk di samping Skye, Natalie yang duduk tidak jauh dariku berdecak dan melirikku dengan tajam.
"Kau masih punya muka untuk duduk bersama kami?" tanya Natalie dengan ketus.
"What?!" Aku mengernyit.
"Natalie! Shut up!" Erin membentaknya.
Danielle menyeringai, ia melipat kedua tangannya di dada. "Bangku lain di cafeteria masih banyak. Kau tidak diterima lagi di sini, Nicole."
"She's right. Kami masih kecewa padamu, Nicole," ucap Natalie ketus.
Aku menjadi naik pitam dan meremas kotak makan siangku dengan kuat. Selain Danielle dan Natalie, beberapa teknisi dan aktor juga menatapku dengan tajam.
Apa-apaan ini? Bahkan aku tidak boleh makan siang bersama Skye dan Erin?
"Danielle. Natalie," tegur Ajay. Terdapat penekanan dari nada perkataannya ketika Ajay menyebut nama mereka. Pemuda itu mendongak ke arahku dan berkata, "it's okay. Kau boleh duduk dengan kami kalau kau mau."
"Kau membelanya hanya karena ia pacarmu, kan?" sindir Natalie.
Ajay menelan salivanya. "We broke up," lirihnya.
Danielle mengangkat salah satu alisnya, kemudian tertawa meremehkan. Mendengar perkataan Ajay membuat hatiku sakit, namun ia benar, kami bukan pasangan lagi sekarang.
"Aku akan mencari bangku lain," jawabku ketus.
Aku membalikan tubuhku dan berjalan menuju cafeteria bagian outdoor. Di kejauhan, aku mendengar Erin dan Ajay memanggilku, namun tidak kuhiraukan. Aku menggigit bibirku sekuat tenaga untuk menahan tangis, dan itu berhasil. Nampaknya aku sudah menjadi lebih kuat dari sebelumnya, tangisku tidak mudah pecah kali ini.
Di cafeteria outdoor, aku duduk sendiri di salah satu bangku. Tidak banyak murid yang berada di luar karena salju sedang turun.
Aku mengunyah sandwich tuna yang dibuat Ibuku pagi ini sambil melihat pemandangan di sekitar. Semua orang terlihat sedang bercanda gurau satu sama lain. Ada yang sedang menikmati makan siang, ada yang bermain bola salju, ada pula yang hanya sekedar berjalan-jalan di halaman sekolah. Semua orang saling berinteraksi satu sama lain dengan senyum yang merekah di wajah mereka. Suasana terasa cukup ramai, namun entah mengapa aku merasa sendirian.
Tiba-tiba, sebuah bola saju terlempar mengenai kepalaku. Aku menoleh ke arah sumber datangnya benda tersebut. Danielle sedang berdiri di depan tempat sampah yang letaknya tidak jauh dariku, sepertinya ia baru saja membuang sampah makan siangnya. Gadis itu menatapku dengan sinis sambil menyeringai, sarung tangan yang ia kenakan dipenuhi oleh butian-butiran salju.
"Bitch," bisiknya.
Meskipun suara bisikan Danielle tidak terdengar, aku dapat mengetahui apa yang ia katakan melalui gerakan bibirnya.
"Tunggu sampai Rory tahu akan perbuatan busukmu!" ucapnya ketus. Setelah mencibirku, ia pergi meninggalkanku.
Amarahku semakin meluap, tanpa sadar tanganku terkepal kuat. Namun sedetik kemudian aku sadar, marah tidak akan menghasilkan apapun, jadi aku memutuskan untuk kembali menikmati sandwich tuna-ku dan melupakan perbuatan Danielle padaku siang ini.
Lagi-lagi, sebuah bola salju terlempar mengenai punggungku. Aku mengepalkan tanganku dan mengertakan gigiku. Emosiku akhirnya meledak, dengan cepat aku menoleh ke arah sumber datangnya bola salju tersebut dan bersiap-siap untuk mengamuk.
"Oh, Nicole, sorry! Itu Aiden. Ia bermaksud melemparku dengan bola salju, tetapi malah salah sasaran." Myra berjalan menghampiriku. "Are you okay?"
Aku terkejut, kukira Danielle yang melemparkan bola salju kedua, ternyata bukan. Perlahan-lahan, emosiku mereda, digantikan oleh perasaan panik yang luar biasa.
Tidak jauh dari Myra, Nat bersama dengan teman-temannya--Aiden, Michael, Caleb dan Maria--sedang bermain perang bola salju. I mean, di mana lagi aku harus menyembunyikan wajahku dari Nat? Bagaimana jika ia melihatku di sini?
Aku memang tidak bersalah, tetapi entah mengapa rasanya ingin sekali menghindarinya. Setiap kali melihat Nat, rasanya seperti memperparah luka yang hampir sembuh.
Myra menoleh ke arah Aiden yang berdiri di kejauhan dan berteriak, "Aiden! Kau harus minta maaf pada Nicole!"
Kedua manik Aiden bertemu dengan milikku di kejauhan. Dengan cepat ia memalingkan pandangan dariku sambil menggigit bibir.
"It's okay, Myra," lirihku. Dengan cepat aku beranjak dari bangku cafeteria sambil membawa kotak makan siangku, lalu pergi secepat mungkin dari sana, meninggalkan Myra yang masih terlihat kebingungan.
Aku berjalan dengan cepat sambil menunduk menuju cafeteria indoor. Di pintu masuk cafeteria indoor, tanpa sengaja aku menubruk seseorang yang kukenal.
"Nicole! Where have you been? Aku mencarimu ke mana-mana!" ucap Nick.
"Nick? Sedang apa kau di sini?"
"I'm looking for you, dummy!" Nick terlihat khawatir. "Erin meneleponku. Ia memberitahuku apa yang murid-murid teater perbuat padamu. Are you okay?"
Aku menggeleng. "Not everyone. Erin dan Skye tidak seperti itu. Bahkan Ajay--"
"Jangan sebut nama sutradara menjijikan itu di depanku," ucap Nick dingin.
"Whoa, easy! Ajay tidak berbuat buruk padaku tadi."
"Yeah, but still, pemuda macam apa yang tidak mempercayai pacarnya sendiri?"
"Mantan pacar." Aku mengoreksi.
"Indeed." Fokus Nick teralihkan pada kepalaku. Ia mengulurkan tangannya ke arah rambutku. "Sis? Rambutmu dipenuhi salju. Is something bad happened to you? Rambutmu juga basah sekali."
"No," jawabku bohong. "Ketika makan siang di luar, beberapa butiran salju jatuh mengenai kepalaku. Why?"
"I dunno." Nick menggeleng. "Feeling-ku buruk. Aku takut seseorang berbuat jahat padamu, seperti melemparkan bola salju ke kepalamu?"
Aku terkejut karena perkataan kembaranku, bisa bisanya ia menebak apa yang baru saja terjadi padaku!
"Kau terlalu berlebihan. Tidak ada yang harus kau khawatirkan!" Aku tersenyum tipis.
"Kau tahu, sis? Firasatku buruk sekali, aku berlari keliling sekolah untuk mencarimu. I dunno, aku merasa orang-orang akan berbuat sesuatu yang lebih buruk lagi padamu. You're my sister, my responsibility," ucap Nick panjang lebar, ia terlihat semakin khawatir.
Di satu titik, air mataku benar-benar tak terbendung. Ketika tangisku pecah, dengan cepat aku menarik tubuh Nick ke pelukanku. Aku mendekap tubuh adikku dengan erat sambil terisak. Entah mengapa firasat Nick kuat sekali kali ini. Inikah yang dinamakan firasat seorang saudara kembar?
"Sis?" lirihnya, dengan perlahan ia membalas pelukanku. "It's okay. Kau boleh menangis selama yang kau mau. I'm here."
Entah sudah berapa lama aku berada di pelukan Nick. Entah akan sebagaimana hancurnya perasaanku siang ini jika aku tidak memiliki Nick di sisiku. Ternyata seorang Nicole Jenkins tidak sekuat itu, aku menangis tersedu-sedu di pelukan Nick hingga jam istirahat berakhir.
*****
Sore ini, aku berjalan menelusuri koridor untuk mengambil barang-barangku di loker siswa. Entah kenapa, aku merasa beberapa orang non-teater yang berada di koridor menatapku dengan sinis. Apakah rumor tentangku sudah menyebar?
"Pst, itu orangnya!"
"Yang rambutnya pirang?"
"Really? Karena dia Nat jadi celaka?"
Aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata, kemudian menggeleng dan berjalan secepat mungkin untuk menghindari kerumunan.
Ketika sampai di depan lokerku dan membuka pintunya, tiba-tiba beberapa benda terjatuh dari dalam loker, seperti sampah kaleng minuman, sampah snack dan beberapa kertas yang ditulisi oleh spidol merah. Sampah kaleng yang terjatuh tersebut menghasilkan bunyi yang cukup keras sehingga murid-murid yang berada di koridor tertawa mengejek di belakangku.
Seriously!? Siapa yang melakukan ini? Bagaimana caranya ia membobol lokerku?
Aku merunduk untuk mengambil sampah-sampah tersebut dan membaca kertas-kertas yang ternyata berisi kata-kata kotor.
[sLut pRinceSs]
[Go to HeLL you sLuT!]
[Bitch of ThE yEar goEs To: NicoLe jEnKinS]
Aku menghela napas sambil meremas kertas-kertas teror tersebut, kemudian membuangnya bersama sampah-sampah lainnya. Kesimpulannya adalah: ya. Rumor tentangku sudah tersebar.
Setelah mengambil barang-barangku, secara tidak sengaja aku melihat Rory yang sedang berjalan dengan sangat cepat menuju ke luar sekolah sambil mengendong ranselnya. Rory sangat sulit ditemukan di sekolah, bahkan saat latihan teater, dan kini ia akan pergi begitu saja?
"Rory, wait!" aku berteriak, namun Rory tidak menghiraukanku. Dengan cepat aku berlari untuk mengejarnya.
Ketika sedang berlari mengejar Rory, tanpa sengaja aku menabrak beberapa murid di tengah koridor.
"Ouch!"
"Pakai matamu!"
"Maaf!" Ucapku panik.
Meskipun sudah berlari secepat yang kubisa, Rory tetap tidak terkejar. Ketika sampai di lapangan parkir Berry High, aku melihat Rory sudah ada di dalam mobilnya yang bergerak pulang menuju gerbang sekolah. Rasanya tidak mungkin mengejarnya lebih jauh karena salju sedang turun.
Rory tidak membalas pesanku sejak kemarin. Apakah ia juga menduga bahwa aku yang menyebabkan kecelakaan saat audisi musim gugur kemarin dan ia ikut membenciku juga?
Aku menggeleng perlahan. "No, no, no. Not you too!"
Semakin hari, Rory semakin menjauh dariku. Kini, Rory seperti orang asing bagiku. Semudah itukah ia mengabaikanku yang sudah mengenalnya selama sepuluh tahun?
Aku sudah kehilangan sebagian besar temanku di teater, pacarku, dan kini aku harus kehilangan Rory juga?
*****
Ya ampun, pengen punya kembaran kayak Nick juga 😭
Susah yaaa nyari foto Timothee Chalamet yang rambutnya keliatan blonde, sumpah!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top