Chapter 42 - The Last Page

"Nicole! Where have you been?" tanya Ajay dengan kedua netra yang berbinar-binar. Ia terlihat sangat senang ketika bertemu denganku di koridor sekolah.

"Fuck off!" bentak Nick.

Ajay tidak menghiraukan Nick, ia melangkah secara perlahan menuju ke arahku, kemudian berkata, "we need to talk."

Nick menatap Ajay dengan tajam, ia menunjuk Ajay tepat di depan wajahnya sambil menekan setiap perkataannya. "Kalau kau berani menyakiti kakakku lagi, kau akan mampus!"

"Whoa, easy! Aku hanya ingin berbicara baik-baik dengan kakakmu!" jawab Ajay.

"Oh yeah?" Nick maju satu langkah dan menghalangiku dari Ajay. "Apa yang akan kau lakukan sekarang? Membuatnya menangis lagi? What kind of boyfriend are you?! Kau seharusnya malu pada dirimu sendiri!"

Ajay terlihat geram, aku dapat melihat rahangnya yang mengeras dan tangannya yang terkepal, namun ia mencoba untuk menahan emosinya. Sedangkan Nick, ia sudah di ambang batas kesabarannya. Sekali lagi Ajay berbicara, bisa-bisa ia meninju Ajay tepat di wajahnya.

Dengan cepat aku melerai mereka berdua, kemudian berbicara pada Nick, "Nick, It's okay. Aku akan baik-baik saja."

Nick menekuk wajahnya, "are you sure?"

Aku tersenyum tipis dan mengangguk, "it's okay, I promise." Kemudian menoleh ke arah Ajay dan menatapnya dengan tajam, "five. Fucking. Minutes."

"Five minutes, got it!" Ajay mengangguk.

Dengan berat hati, Nick melepas kepergianku, begitu pula dengan Erin dan Skye. Aku berjalan mengikuti Ajay untuk berbicara empat mata dengannya.

*****

Ajay membawaku ke cafeteria yang sudah kosong. Kami duduk berhadapan di salah satu meja.

"Are you okay?" tanya Ajay sambil menekuk wajahnya.

"No." Jawabku dingin. Aku berjuang mati-matian untuk menahan air mataku di depan Ajay.

"Apakah benar kau sengaja mencelakai Nat?" tanya Ajay tanpa basa basi.

Aku mengepalkan tanganku, seluruh darah yang ada di tubuhku mendidih. Aku menjadi muak dengan Ajay. Apakah ia harus bertanya seperti itu padaku? Itu artinya, ia tidak percaya padaku, kan?

"Kalau aku sengaja mencelakai Nat, bagaimana? Apakah kau akan putus denganku?" ucapku parau.

Ajay terkejut, kedua netra obsidian-nya membelalak.

"Tolong katakan padaku, kau tidak ada niat melakukannya, seperti yang orang lain bilang! Aku ingin mempercayaimu!" titah Ajay.

"What kind of boyfriend are you?! Kau tidak percaya padaku?! Apakah aku terlihat seperti gadis menyedihkan yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan peran princess?!" aku membentaknya.

"Aku hanya ingin memastikannya dari mulutmu sendiri!" Ajay meninggikan suaranya.

Aku tersenyum sinis dan mendengkus, kemudian mengerjap ketika bulir-bulir air mata mulai membasahi kedua netraku, "itu artinya kau tidak percaya padaku!"

Ajay meraih tanganku di atas meja makan dan mengelus punggung tanganku dengan lembut, "aku ingin sekali percaya padamu, tetapi perkataan seluruh murid teater tadi sangat masuk akal. Tolong katakan kau tidak berniat mencelakai Nat."

"Apa yang membuatmu percaya pada mereka?" aku bertanya.

"Perkataan Danielle." Ajay terdiam sejenak. "You like Rory."

Aku tertawa remeh, "what?!"

"Aku memergokimu melirik ke arah Rory." Ucapnya.

"Apakah itu menjelaskan bahwa aku menyukainya? Hal seperti itu tidak berarti apapun, Ajay. Aku juga melihat ke arah Erin, Skye, Natalie, Danielle dan anggota teater lainnya saat latihan!"

"Kalau begitu, apakah kau yakin sudah benar-benar melupakannya?" Tanya Ajay.

"Yes!" tegasku. "Untuk apa aku berkencan denganmu jika aku masih menyukai orang lain?!"

Ajay menghela napas berat, "bagaimana aku bisa yakin? Kalian sudah mengenal selama bertahun-tahun, sedangkan aku hanya orang asing di kehidupanmu. Kau tahu, perasaan sedalam itu tidak pernah benar-benar terkubur."

"Ajay, listen to me," aku berusaha mengontrol emosiku dan merendahkan suara sebisaku, "we're dating. Untuk apa kau berpacaran denganku jika kau tidak mempercayaiku? Kau tersulut emosi karena cemburu?"

"Yes," tegas Ajay. "Kau tahu bagaimana perasaanku ketika kau dan Rory berakting di atas panggung? Aku menahan perasaan itu setiap kali kalian melakukan adegan bersama-sama. Itu sebabnya aku tidak menyuruh kalian melakukan stage kiss. I dunno, aku merasa Rory bisa merebutmu dariku kapan saja--"

Aku menjadi naik pitam dan menggebrak meja, "kau yang memilihku menjadi Princess Abigail! Dan kau yang membuat script kalau Princess Abigail harus mencium Sir Evans!"

"I know. Aku belum tahu kalau kau menyukai Rory saat itu. Yang terpenting Danielle tidak menjadi lawan main Rory. But I can't help myself, sekarang aku menyukaimu lebih dari yang dapat kubayangkan. Aku tidak mau Rory merebutmu dariku," balas Ajay.

"Now what? Kau ingin aku berhenti menjadi Princess Abigail dan mencari aktris lain? Go ahead! Aku tidak keberatan jika kau memecatku sekarang, yang penting kau tidak merasa insecure lagi!"

"Aku tidak bisa melakukan itu, pertunjukan kurang dari sebulan lagi. Apa kata orang-orang jika--"

Sebelum Ajay menyelesaikan kalimatnya, aku memotong, "kau hanya peduli dengan reputasimu, dengan perasaanmu. Kau tidak peduli pada perasaanku! Kau tahu bagaimana rasanya ketika semua orang menuduhmu melakukan hal yang tidak kau lakukan? Bahkan pacarmu sendiri pun menuduhmu hanya karena alasan sekonyol itu?"

"Nicole, aku ingin mempercayaimu. Tetapi--"

Aku tidak dapat menahan bulir-bulir air mataku lagi, tangisku pecah. Dengan sigap Ajay meraih tanganku di atas meja, namun aku menangkisnya dengan cepat.

"I'm done with you," ucapku parau.

"Nicole--"

"It's over." Aku beranjak dari bangku cafeteria, "hubungan kita memang salah. Seharusnya kau tidak berkencan dengan salah satu aktormu. Kau seharusnya menaati peraturan yang sudah kau buat sendiri."

Ajay terlihat shock ketika aku memutuskan hubungan kami. Ia memalingkan pandangan dariku dan menunduk. Ia juga terlihat sedang berusaha mengatur napasnya.

"I didn't know you. Seharusnya aku tidak berkencan dengan seseorang yang baru kukenal selama beberapa bulan. Seperti yang kau bilang, kau hanya orang asing di kehidupanku," ucapku.

Ajay mendongak, "Nicole, please. Kita tidak bisa berakhir sepert ini."

"Aku selalu bertanya-tanya, apakah kau benar-benar menyukaiku, Ajay? Atau kau hanya berkencan denganku karena kesepian?" tanyaku parau, bibirku bergetar.

"Kalau aku tidak menyukaimu sedalam itu, aku tidak akan cemburu melihatmu bersama Rory!" tegas Ajay.

"Cemburu buta bukan tanda cinta, Ajay. Itu racun. Hubungan kita memang toxic, kita bahkan merahasiakannya di depan semua orang. Kau tahu kalau Rory itu sudah menjadi masa laluku. Aku benar-benar membatasi interaksiku dengan Rory sejak berkencan denganmu, tetapi kau terus merasa cemburu tanpa alasan apapun! Apakah aku pernah hangout berdua dengan Rory sejak berkencan denganmu?!"

"No," lirihnya. "Nicole, please forgive me if i did something wrong."

Bibirku bergetar, aku menunduk dan mengusap kedua mataku, kemudian menggeleng. "I forgive you. Tetapi hubungan kita tetap berakhir."

"But why?" Ajay menekuk wajahnya.

"Kau akan tetap cemburu seperti ini selama Rory ada di sampingku. Kehadiran Rory di teater sebagai lawan mainku bukanlah hal yang bisa kita kontrol."

Ajay menghela napas berat, ia mengusap wajahnya dengan kasar hingga kacamatanya berganti posisi.

"Mengapa kau seperti ini? Kau takut aku hanya berkencan denganmu sebagai pelarianku atas Rory? Karena Rory tidak membalas perasaanku?" tanyaku.

"Aku tidak mau kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupku lagi. Orang tuaku sudah mendeklaraskian perceraian mereka, dan cepat atau lambat aku harus memilih salah satu dari mereka dan kehilangan salah satu dari mereka pula, kan? Bagaimana jika Mohit memilih pilihan yang berbeda denganku pula? Aku akan kehilangan Mohit juga. Dan kini, mengenai kau dan Rory," Ajay menjeda kalimatnya, "I don't wanna lose you too."

Setelah mendengar perkataan Ajay, hatiku melunak. Tetapi, aku masih merasa sakit hati karena ia turut menuduhku dan percaya dengan omong kosong yang diucapkan Danielle. Maksudku, seharusnya ia mempercayaiku, kan?

Terlebih lagi, Ajay selalu merasa cemburu buta tanpa alasan apapun. Ia akan terus mengulanginya lagi selama kami masih berkencan, kan?

"Bisakah kita kembali seperti biasa dan memperbaiki semuanya?" tanya Ajay.

"I don't know." Aku menggeleng.

"Nicole, please--"

"You don't have to be worry, aku akan tetap profesional sebagai aktor. Kau tidak perlu khawatir aku akan menghancurkan chemistry-ku dengan semua orang di atas panggung," lirihku.

"No, please, Nicole. Aku sudah kehilangan kedua orang tuaku--"

"I get it." Dengan berat hati, aku mencoba tersenyum, "mungkin kita tidak sungguhan saling menyukai. Kita hanya saling menemukan dan saling mengobati kesepian. Sorry to say."

Aku berbalik badan dan pergi meninggalkan Ajay, dan ia sama sekali tidak menahanku pergi.

Kalau kalian bertanya, perasaanku hancur sekali. Aku kehilangan banyak teman-teman di teater, juga kehilangan pemuda yang sangat kusukai. Jujur saja, aku tidak menyangka bahwa Ajay bisa-bisanya ikut menuduhku mencelakai Nat. Dan hal yang sangat kubenci, Ajay berpikir seperti itu karena ia menyangka bahwa Rory akan merusak hubungan kami. Padahal, seseorang yang merusak hubungan kami berdua adalah dirinya sendiri.

I'm done with Ajay.

Aku berjalan cepat di tengah koridor sekolah sambil menyeka air mataku. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Ketika keluar dari gerbang sekolah, aku berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah, tidak peduli saat salju sedang turun dengan lebat dan temperatur yang semakin menurun.

Di satu titik aku berhenti melangkah, kemudian menoleh ke sekitar. Tanpa sadar, aku sudah berjalan jauh sekali dari sekolah. Butiran-butiran salju yang turun sore ini seharusnya terlihat indah, namun tidak bagiku.

"Aku meninggalkan tasku di sekolah," lirihku. "Nicole, you moron!"

Aku tersenyum dan menertawakan diriku sendiri. Ketika mengerjap, tanpa sadar butiran air mata mengalir di pipiku, dengan cepat aku menyeka air mataku dengan kedua tangan. Namun air mataku tidak ada habisnya. Aku menangis, lagi.

"You moron, Nicole," lirihku sambil terisak. "Seharusnya aku tidak berkencan dengan orang yang baru kukenal selama beberapa bulan."

Kedua tanganku sibuk menyeka pipiku untuk menyamarkan air mata yang lolos begitu saja dari mataku. Orang-orang yang berlalu lalang melirik ke arahku. Beberapa terlihat iba, namun tidak sedikit yang bersikap cuek dan tetap asyik melakukan apa yang mereka lakukan.

Aku mendongak ke atas langit, menatap kosong ke arah langit dan butiran-butiran salju yang turun. Aku lelah, aku hanya ingin beristirahat.

*****
Brother of the year goes to...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top