Chapter 39 - Bonding

Hilda tersenyum, "Nat, masuklah. Kami baru saja mulai."

Gadis berambut pirang itu tersenyum, "thanks, Hilda! Kau memang psikolog terbaik di Cedar Cove!"

Aku terkejut, sama halnya dengan Ajay. Maksudku, bahkan Natasha Winchester, gadis paling populer di Berry High, juga mengikuti komunitas semacam ini?! Tapi, untuk apa?

Aku melirik ke arah kaki kanan Nat yang tidak lagi dibalut oleh gips. Kini ia dapat berjalan normal dengan kedua kakinya. Tanpa sengaja, Nat melirik ke arah kami. Senyumnya mengembang ketika melihat Ajay.

"Ajay!" Sapa Nat.

Ajay mengernyit, "Nat?! Kau--"

"Tunggu, kalian saling kenal?" Tanya salah satu pemuda.

Nat tersenyum dan mengangguk, "yeah, kami mengambil kelas kalkulus yang sama musim gugur lalu."

"Itu artinya Nicole dan Ajay sekolah di Berry High juga?" Tanya Hilda.

"Yeah." Jawabku dan Ajay secara bersamaan.

Hilda tersenyum, "what a coincidence! Nat jadi tidak perlu berkenalan lagi dengan Ajay. Pertemuan kali ini bisa langsung dimulai!"

Setelah Nat duduk di stool tepat di sebelahku, acara dimulai. Satu persatu anggota memperkenalkan diri mereka masing-masing dan bercerita sedikit tentang keadaan mereka sekarang, begitu pula dengan keadaan orang tua mereka.

"Ajay, bagaimana dengan keluargamu?" Tanya Hilda.

"Well--" Ajay meneguk salivanya, "--orang tuaku baru saja mengumumkan perceraian mereka kemarin. Mereka sedang mengurus berkas-berkas perceraiannya sekarang."

Salah satu gadis menekuk wajahnya, "it must be hard for you. Awal perceraian selalu berat."

"Dunia seakan runtuh dan tidak berpihak padamu. I remember what is like." Lirih Nat.

"Yeah." Ajay menunduk dan memainkan jari-jari tangannya, "aku tidak tahu harus berbagi cerita dengan siapa. Maksudku, aku punya satu adik laki-laki dan aku harus menjadi figur yang kuat untuknya. Jika aku tumbang, bagaimana dengan adikku?"

"Kau tidak perlu memendamnya sendiri, itulah gunanya kita di sini, kan?" Ucap Hilda, disusul oleh anggukan semua anggota komunitas.

Setelah kurang lebih satu jam, seluruh anggota komunitas broken home Cedar Cove berbagi cerita dan memberi saran untuk satu sama lain.

Ajay terlihat lebih ceria. Karena ia adalah member baru, pada pertemuan kali ini, ialah yang banyak berbagi cerita tentang kedua orang tuanya. Di luar dugaan, anggota komunitas yang lain banyak memberi saran yang membangun untuk mental Ajay.

Kurasa bergabung di komunitas ini adalah hal yang tepat.

*****

Setelah acara sharing selesai, Ajay melakukan konsultasi pribadi dengan Hilda mengenai emosinya, sedangkan anggota komunitas yang lain perlahan-lahan pergi meninggalkan ruangan untuk pulang. Di dalam ruangan hanya ada aku, Nat dan beberapa anggota komunitas. Aku masih duduk di salah satu stool dan memainkan ponsel sambil menunggu sesi konsultasi Ajay dengan Hilda.

"Hey."

Aku mendongak dan melihat Nat menyapaku sambil tersenyum.

"Oh, hey, Nat."

"Kau Nicole, kan? I'm sorry, kita sering bertemu namun aku terkadang lupa dengan nama seseorang." Ucapnya.

"N-no, namaku memang Nicole, kok!" Jawabku gugup.

Nat tertawa kecil, ia duduk tepat di sebelahku, "ketika gugup, kau berperilaku persis seperti Aiden."

Astaga, bagaimana aku tidak merasa gugup. Gadis paling populer di sekolah datang menghampiriku, lalu duduk di sebelahku?!

"Ini pertama kalinya aku datang ke komunitas seperti ini, apalagi aku datang bersama Ajay. Terkadang aku takut kalau aku malah menyakiti perasaannya, bukannya membantu menenangkan perasaanya," aku menghela napas berat.

"Ajay beruntung memiliki sahabat sepertimu di sisinya." Ia menoleh ke arahku, "wait, atau kalian sebenarnya pacaran?"

"A-anu--"

"Berkencan dengan seseorang di ekstrakurikuler yang sama bukan hal yang memalukan, chill!"

"Bukan itu maksudku, tapi--"

"Why? Because it supposed to be a secret?" Tanya Nat,"relax, your secret is safe with me."

"Yeah, we're dating," lirihku, "tolong jangan beritahu siapapun, aku tidak mau mengekspos hubungan romansaku."

Nat terkekeh, "sepertinya kita bertolak belakang, aku dan Aiden bahkan langsung mengumumkan hari jadi kita pada semua orang."

"Oh ya?" Tanyaku, mengisyaratkan Nat untuk melanjutkan ceritanya.

"Yeah. Semua orang selalu penasaran dengan aku dan Aiden yang memang sudah dekat sejak lama, namun kami tidak juga meresmikan hubungan kami. Banyak sekali hal-hal yang terjadi pada kami, juga Berry High tahun lalu." Ia bercerita.

"Aku tidak mau mengeksposnya bukan karena aku tidak suka, tetapi rasanya belum tepat jika kuumumkan pada semua orang."

Nat mengangguk, "aku mengerti. Apapun alasanmu, kurasa itu memang yang terbaik untuk kalian."

"Everyone loves you two. Kalian pasangan paling manis di sekolah!" Pujiku.

"Kau dan Ajay juga manis. Kau tahu? Ajay selalu menyendiri sejak dulu."

"Benarkah?!"

Nat mengangguk, "tahun lalu juga kami sekelas. Ajay tidak banyak berbicara di dalam kelas. Ia hanya mendedikasikan dirinya untuk teater, namun tidak mencari teman akrab di sana. Ketika ia datang bersamamu hari ini, aku langsung tahu bahwa kau itu spesial untuknya. Kini, ia terlihat lebih dekat dengan semua anggota teater dibandingkan dahulu."

Senyumku mengembang, kedua pipiku menghangat. Syukurlah aku dapat membawa Ajay ke arah yang lebih positif.

"Apa yang harus kulakukan untuk Ajay?" Tanyaku.

"Dengarkan ceritanya, itu adalah hal yang terpenting." Jawab Nat, "dan jangan perlakukan dia berbeda. Anak-anak yang mengalami broken home juga ingin diperlakukan normal."

"Baiklah." Aku mengangguk, "diperlakukan berbeda memang menyebalkan. Aku mengerti mengapa Ajay selalu berusaha terlihat ceria di depan semua orang, itu karena ia ingin dianggap baik-baik saja dan tidak diperlakukan berbeda."

"Tetaplah ada di samping Ajay. Perceraian sangat berat untuk remaja seusia kita. Ajay beruntung memilikimu di sampingnya. Namun aku? Aku sendirian saat kedua orang tuaku bercerai. Usiaku bahkan masih lima tahun saat itu." Nat kembali bercerita.

"I'm sorry." Lirihku.

Nat tertawa kecil, "it's okay, itu cerita lama. Kedua orang tuaku kini sudah berteman baik. Yang terpenting, kau harus selalu ada ketika Ajay membutuhkanmu."

"I will." Tegasku. "Aku akan menjadi pacar yang baik untuknya!"

Nat terkekeh, "I love your spirit. Good luck for being an amazing girlfriend!"

Tidak lama kemudian, Ajay kembali pada kami. Ia baru saja menyelesaikan sesi konsultasinya dengan Hilda.

Ajay melirik ke arah kaki Nat, "hai, Nat. Kulihat kakimu sudah sembuh."

Jantungku berdetak lebih cepat ketika Ajay membahas tentang kecelakaan yang terjadi di auditorium beberapa bulan lalu.

Nat tersenyum dan menatap kaki kanannya, kemudian mengayunkannya, "yeah, aku lega kini kakiku tidak lagi dibalut oleh gips. Syukurlah aku bisa mengejar pelajaran yang tertinggal dan kembali tampil di pertandingan olah raga sekolah, serta mempersiapkan spring concert untuk musim semi mendatang."

"Berjalan-jalan dengan kaki yang dibalut gips pasti sangat menyebalkan." Ucap Ajay.

"Yeah, aku benci merepotkan Aiden. Ia selalu membawakan barang-barangku. Dan aku tidak bisa bergabung sebagai aktor di teater seperti Nicole dan yang lainnya. Aku sangat penasaran dengan ekskul teater sejak dulu dan ingin bergabung bersama kalian." Ucap Nat panjang lebar.

"Kau ingin melihat seperti apa kami latihan? Ajak saja Aiden. Setidaknya, kau masih bisa melihat kami berlatih meskipun tidak ikut andil sebagai aktor." Ajak ajay.

Senyum Nat mengembang, "benarkah? Aku boleh menonton kalian berlatih?"

"Tentu saja." Aku mengangguk. "Pementasan The Enchanted Kingdom kurang dari sebulan lagi. Kita juga butuh audience untuk berlatih lebih serius! Myra juga akan ada di sana!"

"Tentu saja, karena ia perancang kostum kita, Nicole." Ajay merespon.

"I'm so excited!" Nat tersenyum lebar, ia menjadi berkali-kali lipat lebih bersemangat, "you guys are the best! Baiklah, aku akan mengajak Aiden untuk menonton kalian berlatih. Kapan kalian akan berlatih lagi?"

"Jumat ini. Kami menunggumu, Nat." Jawab Ajay

"Great! Thank you, Ajay, Nicole!" Nat bersorak.

Ajay tersenyum lebar, "senang rasanya ada seseorang yang sangat antusias dengan pertunjukan drama yang kusutradai."

"Oh, come on. Kau sutradara terbaik di Berry High! Tentu saja aku menantikan pementasan kalian!" Jawab Nat.

Aku melirik Ajay yang ada di sampingku. Ia kembali tersenyum, terlihat jelas bahwa mood-nya kini sudah membaik.

Nat beranjak dari bangkunya, "I have to go. Sudah sore, hari ini giliranku yang memasak makan malam untuk ayahku."

Aku melirik arlojiku. Rupanya benar, waktu berlalu cepat sekali.

"See you on Friday." Ajay melambaikan tangannya.

"See you." Nat menoleh ke arahku, "dan kau."

"I-iya?" Jawabku gugup.

Nat mengulurkan tangannya, "senang bisa mengobrol denganmu. Kuharap kita bisa akrab ke depannya."

Senyumku mengembang, aku balas menjabat tangannya, "senang mengobrol denganmu juga, Nat."

Ajay mengangkat salah satu alisnya ketika melihat kami berjabat tangan dalam waktu yang sangat lama. Ia berdeham, "guys?"

"Sorry!" Dengan cepat aku melepas jabatan tanganku, "a-aku hanya terlalu senang karena bisa mengobrol dengan murid paling keren di sekolah, seperti kau!"

"Oh, come on. Aku ini murid Berry High biasa sepertimu. Kau juga keren, Princess Abigail." Nat tersenyum sebelum pergi meninggalkan kami, "sampai jumpa hari Jumat!"

*****

Setelah menghadiri pertemuan di komunitas broken home Cedar Cove, aku dan Ajay masuk ke dalam mobil untuk pulang. Sebelum pulang, kurasa ini waktu yang tepat untuk menanyakan bagaimana perasaannya yang sekarang.

"Bagaimana sesi konsultasinya?" Tanyaku.

"Sangat membantu. Hilda adalah psikolog terbaik di kota ini! Ia memberiku banyak masukan bagaimana cara mengontrol emosiku." Ucap Ajay sambil memakai seat belt.

"Apa perasaanmu sudah membaik sekarang?"

"Well," Ajay terdiam sejenak, "masalah kedua orang tuaku, aku sudah merasa lebih baik. Namun ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku."

"What's that?" Aku bertanya.

"Skye." Lirihnya. "Rasanya berat kembali ke sekolah jika mengetahui bahwa Skye masih membenciku karena perkataanku. But I get it, I deserve that."

Aku menekuk wajahku dan mengelus lembut lengan Ajay, "bagaimana kalau kau berbicara empat mata dengannya untuk meminta maaf?"

"Menurutmu apakah Skye akan memaafkanku?" Ajay menekuk wajahnya.

Aku mengangkat bahu, "aku yakin keluarga Crandall pernah berkata sesuatu yang lebih kasar pada Skye. She will forgive you, cepat atau lambat."

Ajay tersenyum tipis selama satu detik, ia menunduk.

"Hey. Why the long face?" Tanyaku. "Apakah masih ada sesuatu yang belum kau katakan padaku?"

"Terkadang aku merasa aku tidak pantas untuk siapapun. I don't know." Lirihnya sambil menggeleng, "termasuk kau."

Aku terkejut, "mengapa bisa kau berbicara seperti itu?"

"Kau pantas mendapatkan pacar yang kehidupannya lebih normal dibandingkan denganku." Lirihnya, "aku hanya pemuda brengsek yang emosional. Dan lihatlah keluargaku! Keluargaku hancur berantakan!

"Jangan katakan hal seperti itu, kumohon. You matter, Ajay." Aku menggenggam erat tangannya. "I don't care about your family. Itu urusan Shruti dan Samir, kau tidak harus turut serta dalam masalah mereka dan kau tidak pantas bersedih karena sesuatu yang tidak bisa kau kontrol!"

"Murid teater juga butuh sutradara yang lebih bisa mengontrol emosinya, tidak sepertiku. Aku tahu aku sudah menyakiti banyak orang, tapi aku hanya ingin pementasan yang kita lakukan sukses besar. Bukan untukku, tapi untuk yang membutuhkan. Kau ingat kan kalau hasil penjualan tiket kita sepenuhnya diberikan untuk amal?" Ajay bercerita panjang lebar.

"Kau sudah melakukan hal yang terbaik, percaya padaku. Tanpa ketegasan darimu, kami tidak akan disiplin." Aku berkata jujur, "yeah, meskipun kau sangat menyebalkan ketika sedang marah-marah."

"Kau tidak masalah dengan itu?" Tanyanya.

"Kau pacarku. Apa boleh buat, kan?"

"You're too kind, Nicole."

"I like you, just the way you are. Aku selalu menganggap ketegasanmu sebagai nilai plus. Kini kau sudah menemui Hilda, percayalah, emosimu akan membaik seiring berjalannya waktu. Semuanya butuh proses, aku percaya emosimu akan membaik suatu hari nanti." Aku tersenyum lebar dan mengangguk, berusaha untuk membuatnya tenang.

Perlahan, senyuman Ajay mengembang, ia menarikku ke dalam pelukannya.

"You have no idea how happy I am right now." Ucapnya.

"Any particular reason?" Tanyaku.

"I never felt like this before. I'm so lucky to have you by my side." Bisiknya. "Thank you, Nicole."

Mendengar ucapannya, senyumku mengembang. Aku memejamkan mataku dan bersandar di bahunya, lalu menarik napas untuk menghirup aroma vanilla yang ada di tubuhnya.

"Bukan hanya kau satu-satunya orang yang merasa beruntung di sini." Ucapku. "Terima kasih juga, Ajay."

"Kau berjanji akan selalu ada di sisiku?" Tanya Ajay.

Aku melepas pelukan Ajay dan menatap langsung kedua iris coklat tuanya, kemudian mengangguk mantap.

"I promise. Do you?"

Ajay menyeringai, "of course."

******

Hello, Team Ajay, what do u think about this chapter?😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top