Chapter 38 - Ajay is Going Too Far

Keesokan harinya, aku duduk bersama murid-murid teater di cafeteria indoor. Sejak mengetahui bahwa kedua orang tuanya akan bercerai, Ajay terlihat murung seharian ini.

"Tidak bisa dipercaya kalau pementasan The Enchanted Kingdom tinggal satu bulan lagi!" Seru Myra dengan antusias.

"Oh, no, aku tidak siap! Kita hanya punya waktu kurang lebih satu bulan untuk berlatih! Astaga, tidak kusangka kita akan sampai juga pada titik ini!" Natalie panik.

"Itulah akhir dari semua ini, Natalie, pementasan. Kau pikir kita akan latihan selamanya?" Tanya Danielle ketus.

Natalie menggigit bibirnya, "I know, but--"

"Bagaimana dengan penjualan tiket pementasan?" Tanyaku pada Erin.

Erin menghela napas berat, "masih sedikit. Kukira dengan diadakannya pre-sale dengan harga yang lebih murah, murid-murid akan berbondong-bondong membeli tiket kita, ternyata tidak."

"Padahal Rory sudah menjadi ksatria, masa tidak banyak yang mau menonton pertunjukan kita?" Natalie menekuk wajahnya.

"Hei!" Rory protes, "memangnya aku ini maskot ekskul teater atau semacamnya?"

"Honestly, yes, you are." Ucap Skye santai.

Ajay yang duduk di sebelahku menghela napas berat, ia menunduk dan mengaduk-aduk risotto yang ia pesan di cafeteria sambil menekuk wajahnya.

"It's okay, Ajay, kita masih punya waktu sebulan lagi." Lirihku.

Ajay menoleh ke arahku, ia tersenyum lemah dan mengangguk.

"Bagaimana kalau kita mengadakan promosi besar-besaran?" Danielle memberi kami sebuah ide.

"Tapi bagaimana caranya?" Tanyaku.

Erin menjentikkan jarinya, "bagaimana kalau Nicole dan Rory mengenakan kostum dan menjual tiketnya di lingkungan sekolah?"

"Bagaimana denganku? Aku ini penyihir, tokoh utama juga!" Danielle protes.

"Oke, Nicole, Rory dan Danielle." Erin mengangguk.

"Apakah perlu kita memakai properti yang lebih serius? Seperti cairan darah yang keluar dari tubuh penyihir saat ksatria mencoba membunuhnya?" Skye angkat bicara.

Myra mengernyit, "seperti di film-film?"

"Yeah, aku terinspirasi dari film horror yang baru saja kutonton kemarin malam!" Jawab Skye.

"What?! Jadi maksudmu aku harus berjalan-jalan di sekolah dengan cat merah darah di sekujur tubuhku?" Danielle protes.

"Itu konyol! Saat pementasan kan tidak ada properti yang serius seperti cairan darah. Lagipula, pementasan kita itu PG 13+, bukan Rated R!" Ajay sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Oh, ayolah, akui saja kalau ide Skye itu cemerlang!" Natalie tersenyum lebar dan menoleh ke arah Skye, kemudian mereka melakukan high five.

"See? Natalie loves my idea." Skye mengangkat bahu.

Ajay menatap Skye tajam, namun perlahan emosinya mereda. Ia menghela napas berat dan kembali terfokus pada makan siangnya.

"No, no, no. Ajay benar, kita butuh sesuatu yang lebih friendly." Sanggah Rory.

"Like what?" Tanya Natalie.

"Costume painting!" Seru Rory, "kita bisa menggambar kostum yang dipakai oleh tokoh-tokoh The Enchanted Kingdom dan membiarkan murid-murid yang membeli banyak tiket secara borongan untuk mewarnainya! Akan seru melihat murid-murid di sekolah ini menebak warna dari kostum yang akan kita pakai!"

Ajay menggeleng, "Rory, dana kita sedikit. Kita tidak bisa membeli spray paint, penjualan tiket kita payah!"

"Siapa bilang kita harus mengecat di dinding dengan spray paint?" Rory menyeringai, "kalian tidak ingat sekarang musim apa?"

Seluruh murid teater kebingungan, mereka saling berpandangan satu-sama lain.

Erin menjentikan jarinya, "kita mengecat di atas salju?"

"Dengan pewarna makanan dan air. Bingo!" Rory melakukan gestur finger guns pada Erin.

"Pewarna makanan murah, air dan salju pun gratis. Rory, you're genius!" Puji Erin.

"Bagaimana kalau kita sekalian membuat boneka salju dengan bentuk tokoh-tokoh di The Enchanted Kingdom untuk diwarnai?" Aku menambahkan saran yang lebih baik.

"Ide Nicole bagus, tetapi akan sulit membuat boneka salju yang sama persis." Respon Erin.

"Tidak akan tahu kalau tidak dicoba, kan?" Myra mengangkat bahunya. "Kita juga bisa membuat sesuatu yang lain."

"Wait, sekolah akan kotor jika kita mengecat sembarangan seperti itu. Apakah Principal Hughs akan menyetujui kampanye kita?" Ajay menginterupsi. "I dunno, itu ide yang konyol."

"Itu pewarna makanan, Ajay, sangat aman bahkan jika kita menelannya sekalipun. Warnanya juga tidak terlalu pekat." Jawab Rory.

"Yeah! Aku setuju dengan ide Rory!" Seru Danielle, diikuti oleh anggukan beberapa anggota teater.

Ajay menghela napas kasar, ia kembali mengaduk-aduk rissoto-nya, kali ini dengan lebih emosional.

Natalie menoleh ke arah Skye, "kalau seandainya kau menjadi penonton dan membeli tiket, aku berani bertaruh kau akan mengecat semua boneka salju itu dengan warna hitam."

Skye menyeringai, "wrong. Aku akan mengecatnya dengan warna merah darah. Coba kau bayangkan--"

"Skye!" Ajay menggebrak meja, membuat seisi cafetaria menoleh ke arah meja kami.

Kami semua terkejut dan dengan refleks menoleh ke arah Ajay yang menatap kami satu persatu dengan tajam sambil mengepalkan tangan.

"Bisakah kau serius sedikit? Sudah kubilang tidak boleh ada darah! Have you lost your mind?!" Ajay membentak Skye.

Skye tersentak, kedua netranya membulat sempurna, kemudian ia melirik orang-orang di sekitarnya. Gadis itu terlihat sangat tidak nyaman ketika seisi cafeteria melirik ke arahnya dan saling berbisik.

"Ajay, chill. Skye hanya mengutarakan idenya!" Rory mengernyit.

"Aku butuh udara segar." Tiba-tiba Skye beranjak bangkunya dan berjalan cepat meninggalkan cafeteria, meninggalkan makan siangnya yang belum habis di atas meja makan.

"Skye!" Erin berteriak kemudian beranjak dari bangkunya, dengan cepat ia berlari menyusul Skye, begitu pula dengan Rory dan Myra.

Keheningan meliputi kami selama beberapa saat. Perlahan, murid-murid di cafeteria kembali menikmati makan siang mereka sambil berbisik. Suasana meja yang ditempati murid-murid teater menegang untuk beberapa saat, tidak ada satupun di antara kami yang berbicara.

"It was my fault. Akulah yang memancing Skye berbicara seperti itu. Kau tidak seharusnya memarahi Skye!" Bentak Natalie.

Ajay menghela napas kasar, ia mengusap-usap wajahnya, "oh, no. What have I done?!"

Tidak lama kemudian, bel masuk kelas berbunyi, Natalie beranjak dari bangkunya dan pergi menuju kelas, diikuti oleh Danielle dan anggota teater yang lain, meninggalkan aku dan Ajay sendirian di meja makan.

Ajay menoleh ke arahku, aku melihat penyesalan dari raut wajahnya.

"Nicole, what have I done?!" Ucapnya parau.

"You crossed the line, Ajay!" Bentakku. "Berapa lama sih kau mengenal Skye? Skye memang begitu kalau bercanda. Semua candaannya memang berbau dark!"

Ajay menghela napas berat, ia menunduk, "apa yang harus kulakukan, Nicole? I messed up everything." Ucapnya parau.

"Aku tahu perceraian orang tuamu itu berat untukmu, tapi yang tadi itu keterlaluan." Aku menurunkan nada bicaraku, berusaha untuk sedikit meredam emosi.

"Semuanya tercampur begitu saja di otakku. Perceraian kedua orang tuaku, tiket pementasan The Enchanted Kingdom, lalu tanpa sadar aku melampiaskannya pada Skye--" ucapnya parau.

"I know." Aku menekuk wajahku, "aku tahu semua ini berat bagimu."

Ajay menghela napas berat, ia mengubur wajahnya dengan kedua tangan dan mengambil posisi tidur di atas meja. Sama seperti Ajay, akupun terdiam dan mencoba meredakan emosiku.

"Aku benci diriku yang sangat tempramental," lirihnya. "Bagaimana caranya aku mengontrol emosiku yang sering meledak-ledak?"

"Sepertinya kau harus refreshing. Melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan," ucapku sambil mengelus kepalanya. "Aku tahu masalahmu tidak akan bisa semudah itu dilupakan, tetapi kau tetap butuh pengalihan."

"Like what?" Tanyanya.

"Seperti jalan-jalan ke tempat baru, atau mengikuti suatu komunitas baru?" Aku mengangkat bahuku.

Ajay bangun, "sebenarnya ada satu komunitas yang ingin aku ikuti, tetapi aku tidak yakin."

"Oh yeah? Apa itu?" Tanyaku.

Ajay mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Instagram, kemudian menunjukan sebuah poster padaku.

"Cedar Cove memiliki komunitas untuk anak-anak broken home. Mereka punya psikolog pribadi, kau bisa konsultasi gratis dengan psikolog itu. Selain itu, sesama anggota dapat berbagi cerita dan saling menguatkan satu sama lain." Ajay menjelaskan.

"Interesting." Aku merespon.

"Bagaimana menurutmu?"

Senyumku mengembang ketika membaca caption di poster tersebut, "awesome! Mengapa kau tidak mendaftar? Kau juga bisa sekalian berkonsultasi dengan psikolognya mengenai emosimu yang sering meluap-luap, kan?"

"I dunno." Ajay menggigit bibir, "agak aneh kalau aku bergabung di sana. Aku sedikit tidak percaya diri. Kau tahu, aku masih tidak menerima kenyataan bahwa aku sudah menjadi anak broken home. Dan ketika aku berada di sekeliling anak-anak yang broken home juga, itu sangat membuatku tertekan."

Aku mendongak ke arahnya, "aku akan menemanimu."

Ajay mengerjap, senyumannya mengembang, "really?"

"Yeah. Aku akan menemanimu bersosialisasi di sana." Aku mengangguk, "in one condition."

"What's that?" Tanya Ajay.

"Kontrol emosimu."

*****

Keesokan harinya, aku dan Ajay pergi mengunjungi komunitas anak-anak broken home Cedar Cove. Lokasinya berada di sebuah community building di tengah kota. Bahkan aku tidak pernah menyadari bahwa Cedar Cove memiliki gedung dan komunitas seperti ini sebelumnya.

Setelah Ajay melakukan pendaftaran, kami dituntun untuk pergi ke lantai tiga, tempat di mana komunitas itu mengadakan agenda rutin mingguannya. Ruangan di sini sangat nyaman dan bersahabat, kurasa Ajay akan betah berlama-lama di sini. Bahkan mereka memiliki sepeda yang bisa kami kendarai di dalam gedung, persis seperti di kantor startup. Hal ini bertujuan agar semua anggota yang mendaftar dapat menjernihkan pikiran mereka dengan sedikit bermain-main. Selain itu, mereka juga memberikan snack gratis pada semua orang di sini!

Ketika kami datang, semua mata tertuju pada kami, jumlah dari mereka sekitar 15 orang. Ajay menjadi sedikit gugup, dengan cepat aku meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut.

"Hei. You got this." Aku berbisik.

"Hai, selamat datang di komunitas kami! Ayo duduk!" Sapa seorang perempuan yang kuduga adalah ketua dari komunitas ini, atau mungkin ia adalah psikolognya?

"Thanks!" Jawab Ajay dengan senyum canggung. Dengan cepat kami duduk di salah satu stool yang ada di sana.

"Hai, aku tidak pernah melihat kalian. New members?" Tanya seorang pemuda dengan usia sekitar 15 tahun.

"Yeah, Ajay. Ajay Bhandari." Ajay memperkenalkan diri.

"Hai, Ajay!" Kemudian semua yang ada di sana mengalihkan pandangan ke arahku, "dan kau?"

"Nicole. Aku bukan anggota, BTW. I'm Ajay's mental support." Senyumku.

"Ooooh, I see." Pemuda itu tersenyum simpul dan mengangguk, "pendamping anggota juga boleh ikut berkonsultasi bersama kami di sini!"

"Yeah! Siapapun diterima di sini." Anggota lain pun mengangguk.

Perlahan, senyuman di wajah Ajay mengembang. Ia bernapas lega, terlihat dengan jelas bahwa ia menjadi lebih rileks sekarang.

Salah satu gadis melirik jam tangannya, "Hilda, sudah lebih dari jam tiga sore, apakah kita akan mulai sekarang?"

"Not yet." Jawab Hilda, gadis yang pertama kali menyambut kami. "Ada anggota kita yang masih belum datang. Seperti biasa, ia selalu terlambat karena ekstrakurikuler yang ia ikuti di sekolah."

Salah satu pemuda menghela napas, "murid high school jaman sekarang selalu sibuk, ya?"

"Yeah. Kudengar saat ia sakit selama satu bulan, ia harus mengejar banyak ketinggalan di kelas dan ekstrakurikulernya." Hilda mengangguk.

"Poor girl." Salah seorang anggota menekuk wajahnya.

Well, aku penasaran siapa anggota terakhir di komunitas ini. Sepertinya ia orang yang cukup penting sehingga semua anggota komunitas lain rela menunggunya.

"Sorry, I'm late!"

Kami semua mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk dan melihat seorang gadis cantik berambut pirang yang sangat familiar.

Hilda tersenyum, "Nat, masuklah. Kami baru saja mulai."

Gadis berambut pirang itu tersenyum, "thanks, Hilda! Kau memang psikolog terbaik di Cedar Cove!"

Aku terkejut, sama halnya dengan Ajay. Maksudku, bahkan Natasha Winchester, gadis paling populer di Berry High, juga mengikuti komunitas semacam ini?! Tapi, untuk apa?

******

Ya ampun, kangen Nat😭

Telat update lagi. Iya, maaf😢

Karena kesibukan di RL yang nyaris membuat gila, aku memutuskan untuk SEMI HIATUS.

Tapi kalian tenang aja, aku ga akan kabur meninggalkan cerita yang belum tamat, karena semuanya udah aku tulis di draft dan tinggal kurevisi dikit kalo ada waktu luang.

Jadi RIFLETTORE dan AVENIR akan tetap update walaupun ga sesering dulu. Yeayyy!

Sampai jumpa di chapter selanjutnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top