Chapter 34 - The Bhandaris

Setelah beberapa menit berkendara, kami sampai di rumah Ajay. Waktu menunjukan pukul enam sore, tibalah waktunya untuk makan malam. Sejujurnya aku merasa sedikit tegang karena tidak pernah makan malam bersama keluarga orang lain sebelumnya, kecuali bersama keluarga Rory, dan tentu saja itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Ketika Ajay membuka pintu, aku mendengar suara dua orang yang sedang beradu mulut dari arah dapur.

"Kau membuat pudding coklat lagi untuk Mohit?! Giginya bisa rusak kalau diberi makan makanan yang manis terus!" Bentak seorang lelaki paruh baya.

"Memangnya aku tidak boleh membuat anakku senang?! Aku sudah susah payah membuatnya!" Seorang wanita balas membentaknya.

"Memangnya tidak ada cara lain untuk membahagiakan anakmu?!"

"Oh yeah?! Bagaimana denganmu? Kau hanya bisa memberi anakmu kebahagiaan dengan uang, seperti membeli mobil Audi mewah untuk Ajay! Sedangkan aku membuat pudding ini dengan usaha dan kasih sayang, bukan dengan uang!"

"Buatlah masakan yang lebih sehat!" Pria tersebut meninggikan bicaranya.

Wanita lawan bicaranya tertawa sinis, "Oke. Apakah kau memberiku uang lebih untuk membeli bahan makanan yang sehat? No? Oke, apakah kau mengeluarkan uang untuk menyewa ahli gizi atau juru masak? Oh, guess what? You. Didn't. Do. Anything!"

"Shruti, kau--" Desis pria itu.

Ajay menghela napas dan berteriak, "Mom, Dad!"

"Memangnya kenapa? Ajay menyukai mobil dariku, kok!" Sambung pria itu lagi.

"MOM, DAD! Nicole is here!" Ajay berteriak lebih keras.

Kedua orang itu berhenti berdebat, mereka berjalan keluar dari dapur dan menghampiri kami. Keduanya tampak canggung ketika melihatku.

"Oh, Nicole! Ajay tidak bilang kalau ia mengajakmu kemari hari ini." Ucap seorang pria paruh baya.

"Yeah. Waktunya pas sekali, aku baru saja membuat makan malam!" Seorang wanita di sebelahnya tersenyum padaku.

Aku tersenyum hangat, "Thanks, Mr. dan Mrs. Bhandari."

"Panggil aku Shruti." Wanita menoleh ke arah pria di sebelahnya, "Dan ini suamiku, Samir."

"Terima kasih, maaf jika saya merepotkan." Ucapku.

Shruti tertawa kecil, "Tidak, kok. Kami senang Ajay membawa temannya ke rumah kami."

"Yeah, apalagi perempuan." Goda Samir.

"Jeez, Dad!" Ajay memelototi ayahnya.

Samir terkekeh, "Baiklah Ajay, tolong panggilkan adikmu di kamarnya. Kita makan malam bersama!"

"Okay." Ajay menoleh ke arahku dan berbisik, "Duduk saja dulu di meja makan, aku akan memanggil Mohit."

Beberapa saat kemudian, aku melihat anak laki-laki berambut mangkok yang imut berlari menuruni tangga. Usianya sekitar lima tahun. Wajahnya seketika cerah ketika melihatku.

"Apakah kau yang belnama Nicole?" Tanyanya polos.

"Yeah, nice to meet you, Mohit!" Sapaku dengan ramah, aku mengulurkan tanganku.

Senyum Mohit mengembang saat menyambut uluran tanganku, ia menarik lengan kemeja Ajay, "Ajay! Nicole tahu namaku!"

Ajay tertawa kecil, "Tentu saja ia tahu!"

Untuk beberapa menit ke depan, aku menghabiskan waktu untuk bercanda dengan Mohit. Lalu Shruti keluar dari dapur dan membawa banyak sekali hidangan khas India yang didominasi oleh kuah kari. Wanginya sangat lezat, ini pertama kalinya aku mencoba masakan India produksi rumahan.

"Masakan anda terlihat lezat." Aku memujinya.

Shruti tersanjung, ia tertawa kecil, "Ah, biasa saja. Aku yakin masakan ayah dan ibumu lebih enak. Kudengan mereka owner Golden Griddle."

Aku mengangguk dengan antusias, "Yeah, Golden Griddle adalah restoran turun temurun keluarga kami."

Shruti tersenyum, ia mengambilkan makanan untukku, Ajay dan Mohit, "Ajay selalu bercerita tentangmu setiap pulang latihan teater."

"That's right!" Samir mengangguk.

"Mom! Dad!" Sanggah Ajay.

Melihat Ajay salah tingkah membuatku tertawa geli. Setelahnya, Shruti memberikan semangkuk nasi kari dengan porsi besar untukku, Ajay dan Mohit.

"Shruti, kau ingin membunuh mereka karena kolesterol? Porsinya terlalu banyak!" Samir protes.

"Anak-anak tidak protes, kok! Lagipula ini bukan makanan manis!" Bentak Shruti.

"Mom, Dad, please--" Lirih Ajay.

Aku menoleh ke arah Ajay yang berwajah muram. Dengan cepat aku meraih tangan Ajay di bawah meja dan menggenggamnya dengan erat. Ajay yang awal mulanya mengepalkan tangan, perlahan kepalan tangannya melunak. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum.

"I've got this!" Aku berbisik.

Aku menoleh ke arah kedua orang tua Ajay dan berdeham, "Ehm, Shruti, Samir."

Dengan cepat keduanya menoleh ke arahku dan berhenti berdebat. Shruti tersenyum, "Yes, Honey?"

"Hari ini Ajay mengajakku ke pameran seni tahunan. Dan kami melihat banyak sekali lukisan yang bagus." Aku memulai percakapan.

"Oh ya?" Tanya Samir antusias, ia seakan memintaku untuk terus bercerita.

"Yeah, kurasa darah seni mengalir deras di dalam dirinya. Ia juga sutradara yang sangat berbakat!" Pujiku.

Ajay nyaris tersedak saat sedang mengunyah nasi kari, Mohit yang duduk di sebelahnya memberikan segelas air untuknya.

"Ajay, ini minum untukmu." Ucap Mohit polos dan membuatku tertawa.

Senyum Shruti dan Samir mengembang, mereka mengamati kami bertiga yang sedang tertawa bersama.

"Tentu saja, karena kami mendidiknya dengan benar." Samir menoleh ke arah istrinya. "Bukankah begitu, Shruti?"

"Yeah." Shruti mengangguk perlahan.

"Apa itu pameran seni, Ajay?" Tanya Mohit.

"Itu adalah sebuah tempat yang besar dengan ratusan lukisan di dalamnya!" Ajay menjelaskan dengan antusias sambil menggerakan kedua tangannya.

Mohit menganga, "Latusan? Wah! Aku saja hanya sanggup membuat tiga gambal dalam sehali! Jumlahnya pasti sangaaaaat banyak!"

"Oh yeah? Apakah kau suka menggambar?" Tanyaku pada Mohit.

Mohit mengangguk dengan antusias, "Yeah! Kau harus melihat gambalanku!"

Dengan cepat Mohit beranjak dari kursinya dan berlari menuju tangga.

"Loh? Mohit!" Panggilku.

"It's okay. Dia sangat antusias bertemu denganmu. Sepertinya ia sedang mengambil hasil karyanya." Ajay berbisik.

Beberapa saat kemudian, Mohit kembali ke ruang makan dan memperlihatkanku lukisan-lukisan yang dibuatnya. Kebanyakan dibuat oleh krayon, namun ada pula yang dibuat oleh cat air. Untuk anak seusianya, gambar Mohit sangatlah bagus.

"Gambarmu luar biasa, Mohit!" Pujiku, aku mengangkat telapak tanganku padanya, "Kau harus melakukan high five denganku!"

Mohit tertawa kecil, ia melakukan high five denganku.

"Aku akan menggambalmu lain kali, Nicole!" Ucap Mohit antusias.

"Aaaw, aku tersanjung. Sebagai gantinya, kau boleh melakukan high five denganku seberapa sering yang kau mau!" Balasku.

"Deal!" Seru Mohit.

Ajay yang sedari tadi mengamati kami berdua, perlahan tersenyum. Ia mengelus-elus rambut Mohit.

"Back off, she's mine!" Ajay berbisik.

"Nicole kan buka istlimu!" Mohit protes.

"Yes, but she's my actor." Ucap Ajay santai.

Aku mengerjap. Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna perkataan Ajay barusan. Apakah ia baru saja mendeklarasikan kepemilikannya? Dia bilang aku miliknya?

"Siapa yang mau pudding coklat?" Tanya Shruti ramah.

"Aku! Aku!" Mohit mengacungkan tangannya tinggi-tinggi.

Shruti tersenyum, ia mengelus rambut Mohit dan pergi ke dapur untuk mengambil pudding coklat.

Mohit bertanya, "Apa hobimu, Nicole?"

"Yeah, cukup tentang keluarga kami. Bagaimana denganmu, Nicole?" Tanya Samir, ia menopangkan tangannya di dagu.

"Well--" Aku mulai bercerita, "--Aku sering bermain drama sejak kecil, dan kini mengikuti ekskul teater bersama Ajay."

"Wah, sama kalau begitu. Ajay juga sudah tertarik dengan teater sejak kecil. Ia bahkan beberapa kali ikut camp musim panas dan menjadi sutradara juga!" Respon Samir.

"No, Dad! Aku sempat berakting juga, tetapi aku berhenti." Sanggah Ajay.

"Loh, kenapa?" Tanyaku.

"Bisa dibilang aku trauma." Jawab Ajay.

Samir mengangguk, "Dulu waktu Ajay mengikuti camp musim panas, seorang anak terlalu serius berakting. Anak itu berperan menjadi pangeran, sedangkan Ajay berperan sebagai naga yang harus dibunuh. Ia benar-benar menusukkan pedang plastiknya ke perut Ajay."

Aku meringis sambil memegang perutku, "Ouch, meskipun itu pedang plastik, pasti rasanya tetap sakit!"

Ajay tersenyum pahit, "Yeah, anak itu sepertinya tidak akan berhenti sampai sang naga mati. Jadi mulai saat itu aku mencoba untuk menjadi sutradara saja."

"Tapi hal tersebut ada hikmahnya. Kau sutradara yang sangat berbakat, Ajay!" Pujiku.

Senyum Ajay perlahan mengembang, "Thanks!"

Shruti kembali dari dapur dan membawa seloyang pudding coklat beserta vla vanilla di atasnya.

"Makanan penutup datang!" Serunya.

"Yaaaay! Pudding!" Mohit bersorak dan menggerakan tangannya sedemikian rupa.

Ajay terdiam, ia menoleh ke arah Samir, "Dad, bolehkah kami memakan ini?"

Samir tersenyum, "It's okay. Sesekali memakan makanan manis itu bukan dosa besar."

"Are you sure?" Tanya Ajay.

"100% percent! Ayo dimakan sebelum Dad berubah pikiran!" Samir menyeringai.

"Noooo!" Ajay mengerang, dengan cepat ia mengambil mangkuk dan sendok kecil lalu mengambil sepotong pudding yang dibawa Shruti.

Shruti membantuku dan Mohit untuk mengambil potongan pudding tersebut. Setelah itu, kami menikmati pudding tersebut bersama-sama.

Untuk beberapa saat ke depan, kami menikmati makanan penutup sambil berbincang-bincang. Di luar dugaan, keluarga Bhandari sangat ramah, suasana malam ini juga hangat sekali. Beberapa kali aku menoleh ke arah Ajay, ia terlihat lebih stabil emosinya. Aku juga tidak pernah melihat ia tertawa selepas ini.

Kuharap semuanya akan baik-baik saja.

*****

BONUS
The Bhandaris

Samir Bhandari

Shruti Bhandari

Mohit Bhandari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top