Chapter 33 - A Date?
Akhir pekan, hari di mana aku dan Ajay akan pergi ke sebuah pameran seni sudah tiba. Tepat pukul empat sore, Ajay menjemputku. Ia memarkirkan mobilnya tepat di depan rumahku, kemudian berdiri di depan mobilnya.
Outfit-ku hari ini cukup simple, yaitu kaus putih dan rok hitam serta jaket jeans berwarna terang. Berbanding terbalik dengan keseharianku yang membiarkan rambut terurai, kali ini aku mengikat rambutku menjadi kuncir kuda.
Aku keluar dari dalam rumah dan berlari kecil menghampirinya, "Hai, Ajay."
Ajay melirikku dari ujung kepala hingga ujung kaki, senyumnya mengembang, "Ada angin apa kau mengikat rambutmu?"
Aku tersenyum canggung dan merapikan poniku, "Entahlah, aku hanya ingin mencoba gaya rambut yang baru."
"Cute." Ucapnya pelan.
"What?!" Aku mengernyit.
"Nothing. Are you ready?" Tanyanya.
"I'm ready whenever you are!"
Ajay membukakan pintu penumpang untukku, "Ayo masuk."
"What a gentleman. Thank you!" Aku meninju lengannya dengan lembut, kemudian masuk ke dalam mobil.
*****
Setelah berkendara kurang lebih 15 menit, kami tiba di lokasi pameran. Pameran tersebut diadakan di sebuah gedung serbaguna di tengah kota Cedar Cove. Ketika kami masuk, seorang gadis menghampiri kami. Ia menggunakan name tag, itu menandakan bahwa ia adalah salah satu panitia di pameran ini.
"Hai, selamat datang di pameran seni tahunan Cedar Cove!" Ia menyambut kami dengan ramah.
"Wait." Ajay mengelus dagunya, "Sepertinya aku pernah melihatmu di suatu tempat."
"Huh? Really?" Gadis itu mengangkat salah satu alisnya.
Ajay menjentikkan jarinya, "Ah, kau murid Hearst High, kan?--" Kemudian ia melirik name tag gadis itu, "--Cameron Levy? Kau bersekolah di sekolahku sepanjang musim semi kemarin."
"Whoaaa, kau tahu aku?"
Ajay mengangguk, "Yeah! Aku menonton permainan saxophone-mu di spring concert kemarin!"
Cameron menekuk wajahnya, "Aw, tapi pertunjukan itu kacau karena Brian Crandall."
"Tetapi penampilan kau dan klub band tetap keren. You guys kill it!" Ajay terlihat bersemangat.
Gadis yang bernama Cameron itu tersenyum lebar, "Aaaw, thank you! Jadi kau murid Berry High? What's your name?"
"Ajay." Ajay mengulurkan tangan pada gadis itu, kemudian mereka bersalaman.
"Okay, Ajay." Ia melirik ke arahku, "Dan kau?"
"Nicole. Nice to meet you." Lalu aku bersalaman dengannya.
"Whoaaa, maafkan aku. Aku sulit mengingat wajah murid-murid Berry High. Ingatanku memang payah." Ia tersenyum, "Aku hanya mengingat wajahnya Aiden."
"Aiden Zhou?" Tanya Ajay.
Wajah Cameron berubah cerah, "Yeah! Bagaimana kabarnya sekarang?" Tanya Cameron.
"Well, dia sedang sibuk membuat soundtrack untuk klub teater." Jawab Ajay.
"Jadi sekarang klub band berkolaborasi dengan klub teater?"
"Kami hanya memintanya seorang diri, anggota band yang lain tidak ikut berpartisipasi." Jawab Ajay.
Cameron mengelus dagunya, "That's weird. Ada angin apa Aiden mau-maunya melakukan sesuatu untuk klub yang lain?"
"I know, right! Waktu itu aku memintanya untuk membantu kami, ia sempat menolak. Tetapi Myra memaksanya, dan akhirnya dia mau!" Jawabku.
"Mungkin sekarang Aiden memiliki banyak waktu luang. By the way, apakah ia masih berkencan dengan Nat?" Tanya Cameron lagi.
Untuk beberapa detik, aku merasa ada yang aneh dengan gadis ini. Untuk apa ia bertanya sejauh itu? Apakah Cameron pernah punya hubungan masa lalu dengan Aiden?
"Masih. Memangnya kenapa?" Tanya Ajay.
Cameron tersenyum tipis, "Nothing. They're a cute couple. By the way, you two are cute too!"
"Kami bukan pasangan!" Jawabku dan Ajay bersamaan.
Gadis itu tertawa kecil, "Aku kan hanya bilang kalian manis, bukan bilang kalian adalah pasangan!"
"Oh, right. Haha." Aku tertawa canggung.
"Baiklah, silahkan menikmati pameran kami! Ingat, tidak boleh memotret menggunakan flash!" Ucap Cameron sebelum pergi meninggalkan kami.
Aku dan Ajay berkeliling pameran dalam keheningan. Entah kenapa, setelah percakapan tadi, kami berdua menjadi canggung. Sepertinya ini saatnya untukku untuk memulai percakapan.
"You know what?" Aku membuka pembicaraan sambil berbisik.
"What?" Ajay balik bertanya.
"Aku merasa ada yang aneh dengan gadis tadi. Apakah Aiden pernah berkencan dengan seseorang selain Nat? Mungkin bersama Cameron?" Ucapku.
Ajay menggeleng, "I dunno. Aku bahkan baru tahu ada murid yang bernama Aiden di sekolah kita karena ia tiba-tiba berpacaran dengan gadis paling populer di sekolah. Bisa-bisanya aku tidak mengenal murid yang berbakat sepertinya."
"Hmm." Aku bergumam. "Kurasa ia menyimpan perasaan pada Aiden."
"Jangan berburuk sangka." Ucap Ajay.
Aku menggerutu, "Boys will be boys. Tidak asyik untuk diajak bergosip!"
Lagi-lagi, kamu diliputi keheningan yang cukup panjang.
"Mengapa kau diam saja?" Tanyaku.
"Honestly, aku tidak terlalu paham dengan seni dan semua yang ada di sini." Jawab Ajay.
Aku membelalak, "Lalu mengapa kau mengajakku ke sini?!"
"Aku tidak mengerti seni, tetapi bukan berarti aku tidak menikmatinya." Ia berhenti di salah satu lukisan abstrak yang terbuat dari cat minyak, "Menurutmu, apa arti dari lukisan ini?"
Aku mengamati lukisan tersebut. Sepertinya aku melihat sebuah lingkaran besar yang menurutku adalah kepala, serta beberapa bentuk asimetris yang kuduga adalah tangan dan tubuhnya.
"Kurasa itu adalah gambar seorang pria yang tidak lulus ujian matematika." Sindirku.
"Atau seorang gadis yang terjatuh dan tertimpa rak kostum?" Ajay balas menyindirku.
Aku menggeleng perlahan, "No no no, tidak ada gambar rak kostum di sini!"
"Tentu saja tidak ada, sang seniman membuatnya secara implisit!"
Aku menoleh ke arahnya dan memicingkan mata, "Itu hanyalah caramu saja untuk mengejekku!"
"Oh yeah? Kau juga tadi mengejekku. Jadi aku balik mengejekmu." Jawabnya santai.
"So you admit that?! You weirdo!"
Ajay tertawa kecil, "Why? I love teasing you! You're a weirdo too!"
Aku memelototinya, namun Ajay malah tertawa semakin keras.
"Tolong jangan buat mimik wajah seperti itu, kau tidak menyeramkan sama sekali!" Ajay masih tertawa.
Aku menyerah, kemudian berjalan meninggalkannya untuk menikmati lukisan yang lain. Ajay berjalan mengikutiku dengan sisa-sisa tawa yang keluar dari mulutnya. Tidak lama kemudian, langkahku terhenti tepat di depan lukisan cat minyak lainnya yang menurutku lumayan keren.
"Lukisan ini keren!" Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas dan memberikannya pada Ajay, "Tolong potret aku bersama lukisan ini!"
Ajay mendengkus dan meraih ponselku, lalu mundur beberapa langkah untuk mengambil gambar, sedangkan aku berpose di depan kamera.
"1, 2, 3!" Ajay menghitung mundur, namun lama kelamaan ia mengernyit, "Tunggu, yang tadi itu video! Ayo ulangi!"
"Astaga! Dasar kau baby boomer gagap teknologi!" Aku protes.
"What?! Kau bilang aku tua?!" Ajay balik protes
Ia kembali terfokus pada layar ponselnya dan memutar tayangan video tersebut, kemudian terkekeh, "Kau tersenyum canggung dan terlihat sangat awkward. Aku harus mengirimkan video ini ke ponselku!"
Dengan cepat aku berlari ke arahnya dan berusaha meraih ponselku dari tangannya. Namun sayang, Ajay jauh lebih tinggi dan lebih gesit dariku. Ia mengangkat ponselku tinggi-tinggi dan mengirimkan video tersebut ke ponselnya melalui chat.
"Aku akan memperlihatkan rekaman ini kepada teman-teman!" Ajay menyeringai.
"You're the worst!" Aku melompat-lompat untuk mengambil ponselku, sedangkan ia hanya tertawa renyah.
Beberapa saat kemudian, ia mengembalikan ponselku. Video tersebut sudah sukses terkirim. Aku menyeringai, hanya tinggal menekan opsi unsend message dan semuanya beres, kan?
Aku memperlihatkan layar ponselku pada Ajay, "Aku sudah menghapusnya!"
"Too late." Ajay menyeringai, ia memperlihatkan layar ponselnya padaku, "Aku sudah save video-nya sebelum kau menekan unsend message."
Layar ponsel Ajay menampilkan diriku yang sedang berdiri di depan sebuah lukisan dan tersenyum canggung. Itu adalah senyuman terjelek yang pernah kulihat seumur hidupku.
"Dasar kau Tuan Menyebalkan!" Aku menggerutu.
Tiba-tiba, Cameron menghampiri kami, "Kalian terlihat kesulitan, mau kufotokan kalian berdua?"
"Oh, boleh." Jawab Ajay santai sambil menyerahkan ponselku padanya.
"Wait, what?!" Dengan cepat aku menoleh ke arahnya.
"Ayo berpose!" Titah Cameron, ia bersiap untuk memotret.
Ajay melangkah menghampiriku, kini kami berdua berdiri bersebelahan di depan lukisan abstrak tersebut.
Cameron menggerakan tangannya, "Kurang dekat. Ayo mendekat lagi!"
Kami saling mendekat sekitar beberapa centimeter, namun tetap menyisakan jarak yang cukup lebar. Hal tersebut membuat Cameron tersenyum geli.
"Kurang mendekat!" Ucapnya. "Astaga, kalian manis sekali!"
"Masa bodoh." Ajay bergumam. Ia mendekat ke arahku dan tiba-tiba melingkarkan salah satu tangannya di pinggangku. Hal itu sontak membuatku terkejut.
"Good. Say cheese!" Cameron bersiap mengambil foto.
"Cheese!" Ucapku, namun tidak dengan Ajay.
Setelah mengambil beberapa foto, Cameron mengembalikan ponselku dan kembali berkeliling gedung. Aku dan Ajay melihat hasil foto kami yang ternyata semuanya bagus-bagus. Di foto itu, kami terlihat sangat manis, meskipun Ajay hanya tersenyum tipis.
"Kirimkan foto itu ke ponselku melalui chat!" Ucapnya.
Aku melakukan apa yang ia pinta, lalu kami kembali berkeliling gedung untuk melihat karya seni lainnya. Lagi-lagi, kami diliputi keheningan yang panjang.
"Nicole." Ajay memecah keheningan.
"Yeah?" Aku menoleh ke arahnya.
"Kau mau makan malam di rumahku? Sebenarnya Mom dan Dad penasaran ingin bertemu denganmu."
Aku nyaris tersedak oleh salivaku sendiri karena perkataannya.
"Sure, but, why? Mengapa orang tuamu tahu tentang aku?!" Tanyaku.
Ajay mengusap tengkuk lehernya dengan canggung, "It's a long story. Mohit juga ingin bertemu denganmu."
Senyumku perlahan mengembang, "Astaga, aku juga ingin sekali bertemu adikmu!"
"Great!" Ajay hanya menjawab singkat, entah kenapa senyumnya terlihat dipaksakan.
"Is something wrong?"
Ajay menghela napas, "Sebenarnya aku tidak ingin makan malam bersama mereka sendirian. Mereka beradu mulut lagi akhir-akhir ini."
"I understand. It must be hard for you." Lirihku.
"Jadi aku berpikir kalau kau datang malam ini, mereka akan berhenti berkelahi untuk sesaat. Dan aku tidak bisa terus menjaga Mohit ketika emosiku sendiri tidak stabil. I need you, Nicole."
"I'll come." Aku berhenti berjalan dan memberinya sebuah senyuman.
Senyumnya mengembang, "Benarkah?"
Aku mengangguk dengan antusias dan membuat Ajay bernapas lega.
"Thank you, Nicole. Thank you!" Tiba-tiba, Ajay mendekapku ke dalam pelukannya dan membuatku terkejut.
Entah berapa kali aku terkejut karenanya hari ini. Tetapi di luar dugaan, aku menikmatinya. Aku menyandarkan diri di bahunya dan membalas pelukannya, senyumku perlahan merekah. Bagian terbaiknya adalah, aku dapat mendengar detak jantungnya yang sama cepatnya dengan milikku, serta aroma manis vanilla yang ada di tubuhnya.
Bolehkah aku tetap seperti ini untuk beberapa saat ke depan?
******
Masih inget sama Cameron yang bikin emosi di Winter Serenade?😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top