Chapter 22 - Disaster


[Nicole POV]

Dua minggu setelah homecoming, sepulang sekolah, aku berlari di koridor menuju auditorium untuk berlatih teater seperti biasa. Aku terlambat sekitar setengah jam karena essay bahasa Spanyol yang kukerjakan memakan waktu yang cukup lama. Aku berani bertaruh Ajay pasti akan mengomeliku.

Kini, aku dan Rory kembali berteman seperti biasa. Begitu pula dengan Danielle, ia juga masih tetap agresif pada Rory meski sudah ditolak. Ajay masih tetap galak, namun kini ia sudah bisa mengontrol emosinya sedikit demi sedikit.

Ketika sampai auditorium, aku membanting pintu kemudian mengernyit. Banyak sekali murid yang berlalu-lalang dan memainkan ponselnya.

Yeah, peraturan bodoh Ajay tentang ponsel kini sudah dihapus. Sekarang kami boleh mambawa ponsel ke auditorium.

"Guys, apakah latihannya belum dimulai?" Tanyaku.

Erin menggeleng, "Ajay belum datang, Principal Hughs ingin menemuinya di ruangannya."

"I see." Gumamku.

"Panjang umur." Rory menoleh ke arah pintu dan tersenyum, "Hei, Ajay!"

Aku menoleh ke belakang dan melihat Ajay berdiri tepat di belakangku. Wajahnya muram, tidak seperti biasanya.

"Ajay? Are you okay?" Tanyaku.

"Duduk, Jenkins. Ada yang ingin kuberitahu pada kalian semua." Lirihnya. Ia berjalan menuju panggung auditorium. Begitu pula denganku, aku berjalan menuju bangku penonton untuk menyimak pengumuman yang diberikan oleh Ajay.

Seluruh aktor dan kru berhamburan menuju bangku penonton ketika Ajay melangkah menuju panggung. Ketika keadaan sudah kondusif, Ajay mulai berbicara.

Ia berdeham, "Sorry guys, sepertinya aku harus berhenti menjadi sutradara kalian."

Kami semua terkejut dengan pengakuan Ajay, seluruh aktor dan kru menjadi gaduh, mereka saling berbisik.

"Are you kidding me? Kau mengundurkan diri?!" Aku bertanya.

"No." Ajay menggeleng, "Principal Hughs memintaku untuk berhenti. Kalian pasti tahu, syarat untuk menjadi ketua ekstrakurikuler atau menjadi sutradara di teater harus mendapat nilai minimal rata-rata C di semua mata pelajaran? Apalagi sebentar lagi aku akan masuk universitas?"

"So? Bukannya nilaimu bagus?" Tanya Skye sambil mengunyah permen karet.

"Sejarah Amerika, geografi, biologi, yes. Tapi matematika? Nope." Ajay menggeleng perlahan.

"Mengapa kau tidak bilang? Aku teman sekelasmu di kelas matematika, aku bisa membantumu!" Ucap Erin.

Ajay menggeleng, "Ini masalahku, Erin. Untuk apa aku mengatakannya pada orang lain?"

"Tetapi sekarang ini menjadi masalah kami semua!" Ucap Rory.

"Oh, no." Myra bergumam. "Ini seperti dejavu, persis seperti tahun lalu saat Ezra memberitahu klub band bahwa dana kami dipotong oleh Principal Isa sebanyak 50 persen. Mengapa selalu saja ada masalah di ekskul yang kuikuti?"

"Jadi bagaimana? Pertunjukan tidak bisa berjalan tanpa sutradara!" Skye bertanya.

"That's ridiculous! Principal Hughs pasti sengaja!" Danielle beranjak dari bangkunya dan berjalan cepat menuju pintu auditorium.

"Kau mau ke mana?!" Teriak Natalie.

"Tentu saja melakukan protes di ruang kepala sekolah!" Jawab Danielle.

"I'm in!" Natalie beranjak dari bangkunya dan berlari menyusul Danielle.

"Hei kalian! Jangan berbuat seenaknya--" Erin berteriak, namun mereka sudah hilang di koridor sekolah.

Ajay mengerang dengan putus asa, "Kedua bocah itu malah memperburuk keadaan!"

Aku melirik ke arah Erin, perlahan ia mengangguk. Begitu pula dengan Rory dan Ajay. Kami berlari menyusul Danielle dan Natalie ke ruang kepala sekolah. Semoga mereka tidak membuat keadaan semakin runyam.

Rupanya kami datang tepat waktu. Kami sampai tepat saat Danielle dan Natalie mendobrak pintu ruang kepala sekolah.

"Principal Hughs!" Ucap Danielle ketika membanting pintu ruang kepala sekolah.

Principal Hughs terkejut, ia meletakkan telapak tangannya di dada, "Jesus! Ada apa ini?!"

"Apakah anda memberhentikan Ajay sebagai sutradara klub teater?" Tanya Natalie tanpa basa basi.

Principal Hughs berdeham, "Memberhentikan adalah kata yang cukup jahat, tetapi--"

"Tetapi apa!? Anda yakin kalau anda tidak memanipulasi nilai Ajay untuk membuatnya mengundurkan diri, seperti Principal Isa memanipulasi biaya rumah sakit Luis dan menjadikan Aiden kambing hitam agar winter festival tahun lalu dihentikan?" Tuduh Danielle.

"Danielle!" Rory membentak Danielle.

"Enough! Kau kelewatan!" Erin menarik lengan Danielle menjauh dari Principal Hughs, kemudian meminta maaf, "Maafkan kami, Principal Hughs."

"Itu tuduhan yang serius, young lady. Saya tidak memberhentikan Ajay. Ajay boleh menyutradarai kalian lagi kalau nilai rata-rata matematikanya naik menjadi di atas C." Tegas Principal Hughs.

"Oh." Danielle menggigit bibirnya.

Ajay mendengkus, "Aku belum selesai bicara, tetapi kau malah langsung berlari keluar auditorium!"

"Pardon me, Principal Hughs." Lirih Danielle.

Principal Hughs menghela napas dan tersenyum, "Kalian anak-anak yang sangat bersemangat. Tetapi lain kali, pastikan tuduhan yang anda berikan pada saya itu valid."

"I'm sorry, saya siap jika harus mengikuti detention sore ini." Lirih Danielle lagi.

Principal Hughs tertawa kecil, "No, anda tidak akan mengikuti hukuman apa-apa. Saya mengerti bila kalian masih trauma dengan perilaku Principal Isa tahun ajaran lalu. Tetapi anda harus mendaftarkan diri menjadi anggota prom committee musim semi nanti."

Danielle menekuk wajahnya, "Oh no, detention tidak masalah, tetapi jangan prom comm--"

"Saya akan segera memberitahu Maria Flores, ketua prom committee. Ia pasti senang jika mengetahui bahwa anggota prom committe bertambah." Ucap Principal Hughs dengan senyuman.

Well, kurasa itu hukuman yang setimpal. Begitulah kepala sekolah kami, beliau lebih suka menghukum murid-muridnya dengan cara melakukan hal yang positif, seperti membantu Maria mempersiapkan prom night.

Natalie terkekeh, ia menyikut lengan Danielle.

"Anda juga, Miss Anderson." Principal Hughs menujuk Natalie.

"Wait, what?!" Natalie membelalak.

*****

Setelah huru hara yang dilakukan Danielle dan Natalie, kami kembali ke dalam auditorium tanpa Ajay, ia langsung mengambil tasnya dari dalam loker siswa dan pulang. Suasana di auditorium sore ini cukup hening, beberapa kru dan aktor pulang meninggalkan kami, rasanya percuma saja berlatih teater tanpa sutradara.

Beberapa hari ini, Ajay memang terlihat tidak fokus ketika menyutradarai kami. Kukira ia hanya kurang tidur karena mengerjakan tugas atau sejenisnya, namun ternyata masalahnya seserius ini. Satu persatu murid yang ada di auditorium pergi meninggalkan ruangan, kecuali aku, Rory dan Myra.

Aku menyusul Rory yang sedang duduk di tepi panggung, wajahnya muram. Ia menunduk sambil memainkan kuku-kuku jarinya, pandangannya menerawang jauh ke lantai karpet auditorium.

"I'm sorry." Lirihku.

Rory menoleh ke arahku, "Huh? For what?"

"Aku tahu teater sangat penting bagimu."

Rory tersenyum tipis, "Sudahlah, mau bagaimana lagi."

"Jadi kepala sekolah sinting yang kau ceritakan itu namanya Isa?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Yeah." Rory mengangguk lemah.

"Dan Aiden pernah jadi korbannya?" Aku kembali bertanya.

"It's a long story." Myra menjawab, ia duduk tepat di sebelahku.

Rory menoleh ke arah Myra. "Myra, mengapa tidak kau ceritakan saja pada Nicole? Aiden kan sahabatmu, dan kau terlibat langsung dengan penangkapan Isa bersaudara itu."

Aku membelalak, "Kau turut serta ketika menangkap kepala sekolah sinting itu?! Wow, you're such a badass, Myra!"

Myra mengangguk, "Sebenanya yang menangkapnya itu Maria dan ayahnya yang seorang detektif, tetapi aku ikut menggeledah ruangannya untuk mencari bukti penggelapan dana yang ia lakukan di Berry High."

Aku mengangguk dengan antusias, mengisyaratkan Myra untuk melanjutkan ceritanya.

"Ia menjadikan Aiden kambing hitam dan membuatnya diskors selama dua minggu. Berry High waktu itu kacau sekali. Bahkan aku tidak berbicara dengan siapapun kecuali anggota klub band." Myra melanjutkan.

Rory menambahkan, "Yeah, Aiden teman sekelasku di kelas biologi. Selama Aiden tidak ada, murid-murid di kelasku saling berkelahi. Beberapa dari mereka tidak setuju kalau Aiden diskors."

Myra menghela napas, "Nat bercerita, kalau Aiden tidak memainkan alat musik apapun selama diskors, kecuali piano. Musik seperti narkoba bagi Aiden. Sehari saja Aiden tidak bermain alat musik atau menulis lagu, ia bisa sakau."

"Aiden memang berbakat." Rory menghela napas dan tersenyum tipis, "Pasti akan sangat keren jika ia menulis lagu untuk pementasan The Enchanted Kingdom."

"Mengapa tidak minta saja langsung pada orangnya?" Myra bertanya.

Rory bertanya, "Memangnya dia mau?"

"I told you, music is his drug." Myra berdiri dan berjalan menuju pintu auditorium, lalu menoleh ke belakang. "Aku tahu Aiden ada di mana."

*****

[Author POV]

Di sisi lain bangunan sekolah, Aiden sedang menemani Nat berlatih saxophone di ruang musik. Sore ini, Aiden yang menjabat sebagai ketua klub band, memberikan tugas pada gadis itu untuk mengejar ketinggalan selama ia dirawat inap. Mereka berdua duduk bersebelahan.

Sebenarnya ini hanya akal-akalan Aiden saja agar ia bisa berduaan dengan Nat di sekolah.

Nat berhenti meniup saxophone-nya setelah memainkan bait terakhir. "Okay, lembar terakhir sudah kumainkan. Can we go home now?"

Aiden mengecek kembali copy lembaran musik yang ada di tangannya. Rupanya betul, Nat sudah selesai memainkan lembar terakhir.

"Wow, time flies so fast." Aiden bergumam.

"Bagaimana permainan saxophone-ku tadi?" Nat bertanya dengan senyuman manis di wajahnya.

"Impressive! Kalau performamu sebagus tadi, klub band kita bisa tampil di pertandingan football selanjutnya."

"Kalau begitu, saatnya melakukan self reward!" Nat menyeringai.

Aiden memicingkan mata, "Kau berniat membeli lipstick yang kemarin kau lihat di eBay kan?"

Gadis itu tersenyum lebar dan memperlihatkan deretan gigi-giginya yang rapi.

"Apakah itu waterproof?" Aiden bertanya.

"No. Why?" Nat balik bertanya.

Aiden memutar bola matanya, "Kau punya belasan lipstick di kamarmu, tetapi tidak ada satupun yang waterproof! Sekali-kali belilah yang waterproof!"

Nat menunjuk bibirnya, "Yang kupakai ini waterproof, kok."

"Oh really?"

"Wanna try?" Nat menyeringai.

"What do you mean--" Aiden berhenti berbicara ketika ia paham apa maksud Nat. Seluruh darah yang ada di tubuhnya tiba-tiba mengalir ke pipinya.

Nat terkekeh ketika melihat pipi Aiden yang semerah tomat, "Kita sudah pacaran berbulan-bulan dan kau masih tersipu malu dengan hal seperti itu?!"

"I'm not shy!" Aiden menggigit bibirnya.

"Oh really?" Nat menyeringai dan mengangkat salah satu alisnya.

Perlahan-lahan Aiden mendekatkan bibirnya pada Nat, namun ia terlihat ragu ketika melihat ekspresi Nat yang sedang menahan tawa. Aiden tidak suka jika gadis itu terus menggodanya, akhirnya ia memberanikan diri untuk memperpendek jarak di antara mereka.

Kini, jarak di antara mereka hanya setipis benang.

"Aiden!"

Pintu ruang musik terbuka, mereka mengalihkan pandangan ke arah sumber suara dan melihat Myra berdiri di sana bersama Rory dan Nicole. Nicole terlihat sedang menutup matanya dengan kedua tangan.

"Astaga!" Myra menutup mulutnya. "Apakah ini kedua kalinya aku mengganggu kalian berciu--"

"Hei! Kami bahkan belum melakukan itu!" Dengan cepat Nat memotong, sedangkan Aiden berusaha menutupi wajahnya yang memerah dengan tangan. Tetapi usahanya sia-sia, bahkan sampai telinganya pun memerah.

"I'm sorry!" Rory terlihat panik.

"No no, it's okay." Nat tersenyum canggung, "Ada apa?"

"Klub teater ingin memberikan pekerjaan untuk Aiden." Myra menjawab.

"Pekerjaan apa? Mendesain kostum?" Nat bertanya.

"No no, itu tugasnya Myra. Kami ingin The Enchanted Kingdom memiliki soundtrack yang dibuat oleh Aiden." Rory menjelaskan.

"Why me?" Aiden bertanya dengan sisa-sisa rona merah di pipinya.

"Karena kami percaya padamu!" Seru Nicole.

"Tetapi aku hanya menulis kalau ada inspirasi." Aiden menjawab.

"Aaaaw, jadi tidak bisa?" Nicole menekuk wajahnya.

"Padahal aku berharap banyak dari komposer terbaik di Berry High." Rory ikut memasang ekspresi sedihnya.

"Siapa komposer terbaik di Berry High?" Tanya Aiden polos.

"Tentu saja kau!" Seru Rory, Nat dan Nicole bersamaan.

"Sorry." Ucap Aiden dengan gugup.

"Kau yakin? Kau bisa dapat tiket pertunjukan gratis sepertiku, Aiden! Dan klub band kita akan terkenal kalau kau menulis lagu untuk ekskul lain. Anggap saja kau sedang meng-endorse dirimu sendiri--" Myra menjelaskan.

"Okay, okay! Aku bisa!" Aiden memotong. "One song, okay?"

"Aku ingin theme song saat Sir Evans diangkat menjadi ksatria kerajaan!" Rory terlihat antusias.

"That's not fair! Aku ingin theme song untuk Princess Abigail juga!" Nicole protes.

"Itu theme song untuk kau juga, Nicole! Karena kita akan menikah!" Ucap Rory.

"M-menikah?!" Nicole terkejut.

"What?! Kalian akan menikah muda?!" Tanya Aiden yang sama terkejutnya seperti Nicole, Begitu pula dengan Nat.

"I mean, Sir Evans akan melamar Princess Abigail setelah diangkat menjadi ksatria kerajaan, kan?" Rory melanjutkan perkataannya.

"Ooooooh." Ucap Nat dan Aiden bersamaan, kedua mulut mereka membentuk huruf O.

"Oh, hahaha. Kukira--" Nicole tertawa canggung, terdapat semburat merah di kedua pipinya.

"Memangnya kau pikir kita akan menikah sungguhan?" Tanya Rory.

"Let's change the topic, please." Balas Nicole.

Tiba-tiba Nicole merasakan ponselnya bergetar, ia membuka pesan yang masuk dari Ajay.

Ajay Bhandari

Ajay
> Where are u?
> I wanna talk to you
> Golden Griddle, 4pm

Nicole melirik arlojinya yang sekarang menunjukan pukul 15.45, akhirnya ia dapat bernapas lega karena bisa segera keluar dari suasana yang super canggung seperti sekarang.

Entah ada angin apa Ajay meminta Nicole untuk menemuinya. Apa sebenarnya yang ia inginkan?

******

Ajay dipecat jadi sutradara. Kira-kira Nicole harus seneng atau harus sedih nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top