Bab 3
Bab 3
"Ouh... Ya, Tuhan." Ganggi mengerang. Tubuhnya menggelinjang ketika lawan bermainnya menyapukan lidah di daerah kewanitaan. Apalagi sewaktu ia mengisap kuat, kulit Ganggi bergidik. Rambut-rambutnya meremang. Ia meremas payudaranya, dan kembali meracau seperti orang sekarat.
Laki-laki itu memasukkan dua jari, lalu menggunting. Ganggi melenguh mabuk kepayang. Siapa dia? Kenapa permainannya tidak waras kayak gini? Setelah hampir lima bulan alpa dari kegiatan olah kelamin dan selangkangan, kayaknya ini adalah seks paling hebat yang pernah ia lakukan, deh. Maksudnya, semua seks yang ia lakukan hebat—of course, she's the queen, kalau Ganggi tidak salah ingat, kan? Tapi yang ini ngena banget gitu, loh. Mengentak sampai Ganggi bisa semaput kliyengan karenanya.
Laki-laki itu melakukan penetrasi, dan Ganggi suka dengan sensasi ini. Perasaan yang timbul kala tubuhnya mencengkeram erat, tapi juga lentur sehingga tidak mengakibatkan sakit. Mereka berayun, lalu saling dorong. Tubuh Ganggi bergetar. Pergumulan ini sungguh gila. Panas yang diakibatkan membuat Ganggi merasa tidak lebih dari sebuah lilin yang meleleh di bawah nyala api.
"Dorong yang kuat, Om."
Ganggi Naladipa dan seks adalah sahabat karib. Dulu, ia sering banget having sex dengan cowok yang bahkan tidak ia kenal. Ia biasa melakukan one night stand berkali-kali ketika masih sekolah. Tidak hanya itu, apabila ia tidak punya pasangan buat melepas hasrat, ia gemar bermasturbasi. Ia sering nonton video porno—koleksi VCD dan majalah pornonya banyak banget kalau kau mau tahu. Setiap kali ia mengalami orgasme, ia akan puas. Dan apabila ia puas, ia akan merasa senang.
Kalau kau bertanya-tanya apakah sex addict-nya merupakan perilaku menyimpang? Ganggi juga tidak paham. Ia bahkan tidak tahu persis bagaimana kisah kecanduan seks itu dimulai. Semua terjadi begitu saja, alamiah, seolah-olah memang seperti inilah jati dirinya manusia. Jadi berprofesi pelacur pun bukan sesuatu yang perlu ia khawatirkan, kendati sebagian hatinya memberontak. Dan meskipun ia menderita setiap kali ia menerima uang dari pria yang telah ia layani, Ganggi tidak menampik bahwa tubuhnya merasa puas pula. Ini seperti buah simalakama.
Lucunya. Ketika ia mencoba berpuasa seks sebab Ayu sering menegurnya tentang bahaya seks bebas, Ganggi bisa stres. Cara berpikir dan kinerjanya bisa terpengaruh. Seolah-olah, kestabilan dalam tubuhnya terancam goyah. Makanya, tidak ada satu pun yang tahu, bahkan kedua temannya, bahwa ia sering melakukan masturbasi ketika masih di kantor—seperti yang ia lakukan lima bulan kemarin. Ini memang memalukan, tapi memuaskan dalam sekali waktu.
Ya, Ganggi akui, ia memang agak sinting.
"Engh...." Pergerakan laki-laki itu benar-benar di luar akal sehat. Pinggulnya yang liat terus menghantam. Keringat mereka banjir membasahi kulit, sehingga gosokan badan dengan badan itu mampu menimbulkan suara decitan. Seluruh ruangan penuh oleh desah napas mereka yang serupa tapir. Apalagi ditambah dengan aroma vanila dari difuser, kegiatan olah kelamin tersebut seperti menikmati se-cone es krim lembut. Ganggi gembira bukan kepalang.
"Saya mau keluar." Kalimat laki-laki itu terdengar berantakan. Ia menjambak rambut Ganggi, dan kian menghancurkan pertahanan. Siapa tadi namanya? Gunawan? Seda? Herman? Wibisana? Ya, Tuhan, bukankah nama hal yang tidak penting dibutuhkan saat ia sedang melakukan seks hebat? Asal pungkas dari malam ini ia dibayar, nama hanyalah barisan yang membedakan nama nasi dan lauk pauk, kan?
"Jangan mendahului saya. Kita keluar sama-sama," desis Ganggi mirip perempuan gila. Astaga, ia benar-benar keenakan. Tubuhnya melengkung saat ia menarik leher—siapa, sih, namanya—laki-laki tu. Lawan main yang namanya masih Ganggi keruk di silabus memorinya, menjilat-jilat bibir Ganggi. Sebelah tangannya memeluntir di tempat lain, sementara kekuatannya kian meningkat seiring titik orgasmenya nyaris tergelincir memenuhi puncak kelelakiannya. Puji Tuhan, Ganggi kewalahan menahan semua berahi.
"Kamu benar-benar seperti perawan. Saya suka sekali."
Oke. Ia sedikit tersanjung. Tapi bukankah itu hal yang memang akan didapatkan semua cowok apabila ingin menyewa jasa senang-senang Ganggi? Sebagaimana kata Paulo Coelho dalam The Alchemist-nya yang mendunia itu; When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it, kan? Maksudnya, jika Santiago terobsesi dengan harta karun, Naladipa terobsesi dengan dengan performa selangkangannya. Tidak hanya merawatnya dengan satu atau dua langkah, ia bahkan menjalani operasi untuk mengembalikan kelenturan otot vaginanya, biar seperti apa yang laki-laki itu—astaga, Ganggi masih kesusahan mengingat namanya—katakan, ia masih perawan.
Ganggi tersenyum puas. Seks dan obrolan jorok? Tuhan pasti sedang memainkan harpanya ketika menciptakan suguhan tiada banding ini.
"Jadi, apa pekerjaanmu selama ini, Naladipa?"
Dua jam utuh dan seks mirip pergumulan trenggiling hebat itu pun rampung. Ganggi segera bangkit dari tempatnya tidur lalu berjalan ke arah cermin. Ia mampu melihat bagaimana pantulan cermin itu memproyeksikan dirinya dengan sempurna. Ketelanjangan adalah dewa yang Ganggi sembah setiap waktu. Bagaimana cermin itu sanggup menutup semua luka dalam hatinya dan hanya mempertontonkan cangkang yang luar biasa indah, adalah mahakarya manusia yang kiranya sanggup melengserkan ketuhanan yang Esa.
Rambut keriting berpotongan pendeknya terlihat berantakan. Poninya mencuat ke mana-mana. Mata hitamnya tampak berair. Bibirnya bengkak. Leher jenjangnya penuh dengan bekas cupang. Di payudaranya lebih banyak lagi. Darah yang melepuh akibat hasrat yang menyerang bertubi-tubi masih membuat kulitnya yang seputih repihan salju, berpendar merah ibarat buah plum. Kencang dan begitu segar. Apalagi ketika mereka tengah berkeringat seperti sekarang—entah itu keringatnya atau keringat (oh, Ganggi ingat) Om Seda—mereka membuat tubuh Ganggi mirip delima yang ranum, yang siap dipanen dan dimakan sambil menonton Sissy si Putri Duyung. Ada sperma yang meleleh di selangkangannya, dan Ganggi tertawa kecil melihat itu.
"Saya akuntan di sebuah radio, Om." Ganggi mengambil sisir, lantas merapikan rambutnya. Aroma segar lidah buaya dan lili air dari Sauve, menyeruak. Membuat Ganggi semakin bahagia. Ia mengambil Yves Saint Laurent dari dalam clutch-nya, lalu memulaskan lipstik tersebut di permukaan bibirnya yang kenyal. Warna rose rergamasque itu seketika membuat bibirnya terlihat mirip kue manju yang baru dikeluarkan dari pengukus.
"Apakah itu melelahkan?"
"Every job has its tiring moments, saya pikir." Habis ini enaknya ke mana, ya? Om Seda, kan, kaya mampus. Akad yang mereka lakukan saja sampai dua digit. Apalagi ditambah dengan performa—oh, ini lucu sekali—yang katakanlah, perawan. Tidak mungkin, kan, bos pabrik ini tidak memberinya tip? Ide tentang tip itu seketika melambungkan hati Ganggi. Astaga! Bagaimana ia bisa melupakan cat kuku crackle polish yang lagi in banget saat ini? Warna pink, of course, biar terlihat funky dan modis habis dengan sentuhan glitter. Oh, sekalian hunting hot pants-nya Eddy Betty yang must have banget. Ganggi udah lama tidak ngedisco gara-gara operasi kemarin.
"Pantas, banyak orang yang membicarakanmu. Kamu pintar menggoda pelangganmu."
"Om salah." Apalagi ya enaknya? Ya ampun, bagaimana ia bisa melupakan make up, coba? Awal tahun, kan, Lancome ngeluarin lipstik terbaru. Rouge magnetic pink to violet. Kalau kemarin ia belum punya uang, kali ini ia mau buka puasa. Oh! Oh! Novelnya Haruki Murakami yang keluar tahun 2002 kemarin? Kafka on The Shore. Ia sempat melihat review di Goodreads dan ia tidak bisa untuk tidak mengoleksi apalagi setelah Ganggi merampungkan Norwegian Wood yang melegenda itu.
"Lantas?"
Okay, Ganggi, okay. Stop thinking about shopping. Didn't you see, that cute guy was trying to build a serious chat with you? Bukan diskusi recehan ala cowok-cowok tidak berduit yang penuh basa-basi hanya sekadar ingin bilang terima kasih. Ganggi terkikik mendapati isi kepalanya.
"Saya bukannya menggoda," jawab Ganggi pada akhirnya; menyemprotkan Burberry Brit, dan seketika aroma almond tumpah dalam kamar hotel itu. Ia berbalik, mengusap-usap kuku merahnya, lalu berujar, "Tapi saya selalu profesional memberikan yang terbaik buat orang yang membayar saya. Saya rasa, itu setimpal, sih. Karena dengan memberikan pelayanan terbaik, I too experience the utmost fulfillment. Bagi saya, sex is a basic human pleasure. I do not want the enjoyment that I deserve, tidak bisa memuaskan saya hanya karena saya adalah... Om bisa menyebutnya paid women?"
Pria itu tertawa. "Kamu perempuan yang cerdas."
"Semua orang sepakat dengan pernyataan Om Seda."
"Berapa lama kamu bergelut di dunia ini?"
"Dunia seperti apa maksud, Om?" Ganggi memindai profil pria di hadapannya. Untuk ukuran pria berkepala lima, jelas ia adalah manusia yang pandai menjaga tubuh. Tidak ada lemak di perut. Bahkan terlihat beberapa otot yang tercetak kukuh di sana. Rambutnya kelabu, pun dengan cambang dan kumisnya. Kulitnya cokelat seumpama senja pukul lima petang. Bersih dan juga licin. Pundaknya begitu pagan, yang ketika Ganggi cengkeram, mereka liat sebagaimana kayu trembesi yang telah dipelitur. Aroma dari tubuhnya pun mahal. Pasti Issey Miyake. Ganggi bisa membaui wangi kayu cedar yang segar darinya.
Mereka baru berkenalan sebulan belakangan. Dan malam inilah kali pertama persanggamaan itu dilakukan. Ada sesuatu dalam pria itu yang membuat satu sudut hati Ganggi resah. Ganggi tidak tahu apa, dan bagaimana menjabarkannya. Hanya saja, senyum Om Seda, juga pijar mata cokelatnya, seperti pernah Ganggi lihat. Entah di mana.
"Ya dunia abu-abu, aku menyebutnya. Dunia seperti ini. Kamu rela melakukan apa saja asal ada orang yang membayarmu."
"Mungkin...." Ia menimang jawaban. Bimbang menggerogoti lubang mulut. Akankah ia jujur pada pria ini, atau seperti yang dia lakukan di semua prosesi persanggamaannya selama ini dengan banyak pria, berbohong demi menutupi jati dirinya? Ganggi menggigit kukunya tanpa sadar.
"Sudah lama?"
Om Seda tersenyum. His smile felt familiar and brought me into the warmth of a feeling, pekik Ganggi sangat yakin. Ugh. Mereka pernah bertemu di mana gitu sebelum ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkumpar di bawah lantai yang ia pijak.
"Kalau secara profesional, saya melakukannya sejak SMA. Tapi jika Om bertanya bagaimana saya suka dengan seks, saya juga nggak yakin. Mungkin sejak saya dilahirkan?"
Seperti terhipnotis oleh senyumnya, rencana jual mahal yang Ganggi susun rapi bubar jalan. Oke, Ganggi akui, ia semudah itu jatuh cinta. Jangankan setelah melalui seks hebat selama dua jam utuh dan tubuhnya dibolak-balik sebagaimana kue wingko, ada orang asing tersenyum padanya saja, Ganggi sudah bisa berimajinasi ingin menikah dengan menggunakan adat apa. Tapi ia tidak mungkin, kan, jatuh cinta pada pria yang usianya hampir menyamai Ibu? Om Seda memang menggiurkan dari segala sisi. Ia memiliki darah ras Kaukasia kalau boleh ditambahkan. Tapi jatuh cinta pada orang yang pantas kausebut papa rasanya aneh juga. Tapi, omong-omong, kalau dengan Om Seda kayaknya garden party oke, juga, sih.
"Itu lama banget, Naladipa. Kamu nggak ingin menikah?"
Demi mendengar pertanyaannya barusan, halusinasi sinting Ganggi minggat begitu saja. Ia kembali menatap pria tersebut, kemudian tersenyum kecil.
"Siapa yang nggak ingin menikah, Om?" tanyanya retoris. "Saya bahkan bisa membayangkan pesta hebat yang akan mengejutkan banyak para tamu, and how I'll run my household once I get married. Pertanyaannya, kan, who really wants to marry someone like me? Dengan riwayat saya yang penuh coretan merah ini? Om must be joking."
"Setiap manusia saya pikir layak mendapatkan kesempatan kedua, Naladipa. Bahkan untuk perempuan yang penuh coretan merah di rapornya. Membalik statement kamu, pertanyaannya, bisakah kamu berubah demi sebuah rumah tangga yang ingin kamu bangun?"
"Apa lagi yang ingin diubah dari diri saya, Om? I've changed who I am over my life. Day after day, year after year. But my situation never seems to change. Dan saya bingung harus mengubah diri saya dengan versi seperti apa lagi, biar saya bisa mendapatkan, like what you said earlier, pernikahan?"
"Tapi bertahan dengan situasi seperti ini juga bukan sebuah jalan keluar, saya pikir. Di mata saya, kamu sedang melarikan diri. Saya nggak tahu karena apa. Tapi, sesuatu yang membuatmu melarikan diri itu pasti sakit, dan kamu berusaha sekuat mungkin untuk menutupinya. Untuk menyimpannya rapat-rapat. Kalau kamu terus menerus menjauhi pintu keluar, kamu akan tersesat, dan selamanya terkurung di tempat yang kamu nggak kenal betul isinya."
Ganggi Naladipa terdiam. Kamar di salah satu hotel bintang lima di Kawasan Sudirman itu pun hanya terisi oleh napas-napas mereka yang gelisah. Om Seda bangkit dari tempatnya rebah. Ia mengambil bath rope dan berjalan menuju tempat makan. Disambarnya sebotol sampanye, dan ia tuangkan dalam dua buah gelas berkaki. Cairan kuning itu seketika meletup-letup dalam perangkap kaca. Ia berjalan mendekati Ganggi dan mengulurkan satu gelas ke arahnya.
Ganggi bisa melihat pantulan matanya yang berpendar takut dalam jernihnya alkohol tersebut. Ia menghidu sebentar agar aroma anggurnya mampu menenangkan kemelut dalam kepala, sebelum ia sesap perlahan-lahan. Di hadapannya, Om Seda tersenyum. Setelah ia menyesap sampanyenya, ia bergegas mengambil bath rope untuk dikenakan kepada Ganggi. Gadis kecil itu berterima kasih secara tulus.
"Om pernah membaca novel The Remains of the Day karya pengarang terkenal Kazuo Ishiguro?" Diam yang diberikan Om Seda mengindikasikan Ganggi untuk melanjutkan kalimatnya. "Saya menemukan buku itu waktu masih kelas dua SMA kalau nggak salah. Bagi sebagian orang mungkin beranggapan buku itu nggak menarik karena pace-nya bisa dikatakan lambat. Tapi Om tahu, saya menemukan sebagian dari diri saya dalam buku tersebut?"
Jakarta pukul sembilan malam, dan gerimis mulai berguguran tumpah dari langit kelam. Kaki-kaki airnya mengetuk-ketuk kaca hotel tempat Ganggi berada. Ditambah dengan hawa pendingin yang diembuskan, Ganggi bisa merasakan rambut-rambut di kulitnya meremang. Kembali ia menenggak sampanye. Panas dari alkohol itu seolah memberikan seutas nyawa pada kewarasannya yang tinggal segantar.
"What is important is that we all have a dignity to protect. Banyak yang menyayangkan keloyalan Steven saat melayani Lord Darlington sehingga ia kehilangan cintanya pada Miss Kenton. Hidupnya terlalu berharga untuk sebuah pengabdian yang nggak memberikannya kehidupan. Tapi bagaimana seandainya ia menemukan dirinya dalam pengabdian itu?" Om Seda berjalan mendekat, dan aroma kayu cedar itu kembali terangkat. Ganggi menutup mata saat tangan Om Seda yang besar membelai lengannya. "Dan sayalah Steven itu, Om. Martabat saya selama ini adalah pekerjaan-pekerjaan saya kendati orang menilainya merah. Jika suatu saat nanti saya tetap nggak bisa menikah dan terkunci dalam ruang yang saya nggak kenal, selama saya memiliki uang dan pekerjaan, saya bisa bertahan."
"Siapa yang menyakitimu, Naladipa? Kamu bisa membagi rasa sakitnya dengan saya."
Ganggi ingin menangis demi mendengar pemujaan tersebut. Rasanya sungguh halus, sungguh rapuh, tapi menguatkan di satu waktu.
"Saya bisa memberi kamu kehidupan seperti yang kamu inginkan. Tapi biarkan saya menyapu luka-luka itu, Naladipa. Biarkan saya menyentuh luka-luka itu." Bibir Om Seda bertumpu halus pada permukaan bibir Ganggi yang halus. Tangannya kuat merengkuh pinggang Ganggi yang ramping. Napas mereka saling bertubrukan, saling menampar masing-masing pipi. Dan Ganggi lupa kapan dimulainya, ketika Om Seda menjilat air matanya yang meluncur lincah.
Pukul sebelas malam dan Ganggi menggenapkan malam ganjil itu dengan satu ronde liar sebelum ia keluar dari hotel yang Om Seda pesan. Bergegas ia berjalan menuju lift agar tidak ketinggalan angkutan umum. Stiletto merahnya berkeletuk-keletuk rendah saat berlarian kecil di sepanjang koridor. Ia mengecek arloji sekali lagi. Ugh. Semoga masih ada taksi yang beroperasi malam ini. Ia tidak mungkin minta tolong Abimana seandainya tidak ada taxi. Bocah kecil tengik itu memang pasti akan menolong, tapi akan mengungkit-ungkit kebaikannya sampai kiamat datang. Ganggi jelas tidak ingin merusak hidupnya dengan racauan pria bau kencur. Pun Ayu, sebab seharian ini VW rongsokannya mogok lagi. Ya, Tuhan, apakah Gadis itu lupa fungsinya tempat sampah? Apalagi meminta pertolongan Andi. Sejak perempuan itu mengambil cuti seminggu ini, ia tidak bisa dihubungi sama sekali; membuat Mas Sabrang murka akibat ulah—oh, siapa lagi kalau bukan—Abimana.
Ganggi melompat kecil ketika pintu lift hendak menutup. Dan segera memencet tombol 1 saat seseorang turut masuk ke dalam sana. Ganggi tidak memerhatikan siapa sosok tersebut sampai hidungnya mencium aroma parfum yang ia kenal di sepanjang hidup. Daun patchouli. Allure Homme-nya Channel. Ia mengangkat pandangan, menjatuhkan tatapan, dan ya ampun, Ganggi hampir berteriak melihat siapa yang masuk tadi.
Seseorang katakan pada Ganggi bahwa sekarang dia sedang bermimpi.
"Na? Gimana kabar lo?"
Ya, Tuhan, Ganggi ingin pingsan saat ini juga. Gelar Bahu Membummi. Satu-satunya pria yang secara official Ganggi kenalkan pada dunia sebagai seorang kekasih. Satu-satunya pria yang berhasil membuat Ganggi puas berhubungan seks dengan seorang saja. Satu-satunya pria yang memperlakukan Ganggi sebagaimana puteri raja. Jika dan hanya jika ia terlahir sebagai perempuan kaya raya, yang di mana dari dalam bantalnya, ia bisa menyemai biji-biji duit, Ganggi tidak akan tega having sex dengan pria lain, dan Senandika yang keji itu tidak memenjarakan Gelar dengan pasal penganiayaan. Ugh. Sungguh sebuah tragedi. Tanpa sadar Ganggi menggigit kukunya.
"Baik." Ganggi mendengar kepalanya berdengung ketika memberikan jawaban itu. Gelar mengangguk kecil. Malam ini ia memakai kemeja hitam yang begitu kontras dengan kulit sehatnya. Lengannya ia gulung, sehingga rambut di sepanjang lengan terpampang nyata. Ganggi blingsatan menahan derita. "Lo?" Ganggi menahan napas waktu mempertanyakan hal demikian. Oh, my God! Oh, my God! From tens or even hundreds and thousands of hotels in Jakarta, why did I meet him here?, pekik Ganggi nelangsa. Maksudnya, setelah tiga tahun utuh mereka berpisah, dan bagaimana mungkin, dalam satu malam yang tidak disangka-sangka, Ganggi bertemu dengan sang matan? Lagian, apa, coba, yang ia lakukan di hotel ini malam-malam?
"Gue juga baik."
Begitu jawabnya. Singkat sekali. Seperti mereka tidak pernah bersetubuh dari subuh ketemu subuh saja, demi Tuhan. Ganggi membenarkan letak poni yang entah kenapa kayak miring. Atau sebenarnya memang miring, ya? Aduh, biasanya kalau poni miring, pertanda bahaya ini. Lo pernah, nggak, sih memiliki body signs that your body gave ketika ada bahaya mendekat? Seperti tahu-tahu ketemu kuntilanak di saat lo lagi pengin ngentot di pos hansip, gitu? racau Ganggi seperti orang kesurupan. Oke, Ganggi. Ambil napas besar, lalu embuskan perlahan-lahan. Tenangkan pikiran, tenteramkan batin. Ia hanya seorang Gelar. Seorang mantan, dan sudah berpisah selama tiga tahun. Jangan dibawa perasaan. Cukup lupakan saja, lalu pulang ke apartemen sambil makan mi lidi yang masih ada stok di dapur.
"I ... saw you walking with a girl last month di Blok M." Ganggi nyaris menampar mulutnya saat tahu-tahu berkata demikian. Aduh ini sih memalukan banget. Abimana kalau tahu ketololannya barusan, bakal memesan stempel bertuliskan 'Tolol' lalu menyetempel jidatnya yang jenong, secara harfiah. Ia pasti akan membunuh Abimana jika melakukan hal demikian, tapi ia pantas pula mendapatkan perlakuan sekeji itu. Kuku itu kembali ia gigit.
"Oh." Suara Gelar seumpama setrum yang menyengat hati Ganggi di tempat. "Lo lihat?" Senyumnya terkembang. "Tunangan gue."
Sesuatu bergemuruh dahsyat di kepala Ganggi. Ini beneran ia tak ubahnya Steve yang ditulis Kazuo Ishiguro? Walaupun ia sudah mempersiapkan batin akan ditinggal menikah dengan orang yang ia cinta demi pekerjaan yang ia puja, rasa-rasanya ketika menghadapi kenyataan itu secara langsung, sakit juga. Dia juga pengin sekali saja merasakan menjadi Margaret Hale yang bertemu pria menyebalkan, tapi pada akhirnya end up falling in love each other, dengan John Thornton seperti dalam novel North and South karya Elizabeth Gaskell. Atau seperti Elizabeth Bennet yang bisa menikahi Mr. Darcy setelah melalui alur kesalahpahaman dalam novel Pride and Prejudice karangan Jane Austen yang Ganggi baca saat masih kelas dua SMP. Atau Lupus dan Kiki-nya Hilman Hariwijaya, deh. Jangan melulu hidupnya serupa Steven ataupun semenderita Annelies-nya Pramudya Ananta Toer. Pahit banget, seriusan, Tuhan.
"Glad to hear lo udah bertunangan." Ganggi membasahi bibir. Sedikit merutuk sebab tadi lupa mengoleskan lipbalm.
"Ya seperti itulah. Semua manusia berproses, Na. Baik gue maupun lo. Gue rasa lo juga udah berubah, kan, Na?"
Berubah seperti apa yang dimaksud, nih? Tahu-tahu mendapatkan surat yang mengatakan bahwa selama ini ia adalah penyihir Hogwarts dan memiliki timbunan emas di Gringotts? Ya ampun. Itu seru, sih. Tapi membayangkan bertemu goblin sebelum mengambil uangnya, agak ngeri juga.
"Gue kenal sama tunangan lo?"
"Kalian satu fakultas, sih, dulu. Kinan. Lo nggak mungkin nggak kenal, kan? Anak Sasing satu angkatan juga sama lo."
Kening Ganggi seketika mengernyit. Perutnya teraduk ingin memuntahkan tawa. Rahangnya sampai kaku saking hebatnya ia menahan untuk tidak melecehkan perempuan pilihan Gelar demi menjaga harga dirinya. Cih. Anak jurnalistik yang terbukti memplagiat karangan Joan Didion untuk tugas akhirnya itu? Ia pikir mahasiswa UI tidak ada yang paham Slouching Towards Bethlehem, apa? Hello, sebagai pemuja budaya hippie, esai-esai Didion itu a must-read, tidak, sih? Kelakar ini bahkan lebih lucu daripada stand up Abimana yang garing mampus itu, ya ampun.
"Kinan Arupati dari Semarang itu? I know her. Pinter lo milih cewek."
Ganggi tersenyum miring. Setidaknya walaupun pria yang pernah ia hujani kata cinta itu telah bertunangan, kenyataan bahwa martabatnya masih jauh di atas perempuan pilihan Gelar, sungguh mampu mendempul semua rasa sakit hati. Apa sebutan yang tepat buat seorang penulis yang memplagiat karya orang? Ya benar. Maling. Okay, mungkin Ganggi adalah makhluk yang bisa Gelar temui di timbunan sampah. Tapi maling karya orang untuk diakui sebagai tulisannya? Ya ampun, ini sungguh menggelitik. Charlie Chaplin bisa menyadur ide ini untuk naskah filmnya. Dan bisa jadi fenomena City Light sanggup tergeser karena ini. Ha ha! Lucu sekali. Ganggi sangat menyukai ide-ide guna melipur lara.
"Dari bagaimana cara lo menceritakannya, she really seems to mean a lot to you, ya, Lar."
"Lebih dari itu, sih."
Ganggi menoleh ke arah Gelar. Lift masih berada di angka enam belas.
"She who guides me recognizes who I really am."
Digigitnya pipi bagian dalam. Ganggi merasakan panas memerangkap mata. Entah ini karena air mata, atau softlens yang ia pakai sebagai pengganti kacamata. Ganggi tidak begitu yakin. Ia menatap langit-langit lift supaya apa pun yang menebal di dinding korneanya ini kembali lesap dan balik ke asal. Sialnya, kenapa lift ini hanya terisi Ganggi sama Gelar, sih? Kenapa tidak ada orang lain di antara mereka? Kalau ada banyak orang, kan, Ganggi tidak akan terlibat ke dalam obrolan yang bisa mengancam kewarasan. Gadis mungil itu benar-benar merana di tempat ia berdiri.
"Dia yang mengenalkan tujuan gue hidup yang sebenarnya. Dia yang dengan sabar menolong gue untuk bangkit dan menghadapi semua permasalahan gue. Dia lebih... dari berarti. Dia segalanya."
"She sounds so special."
"She was like the life I found after I lost everything in my life."
"Lo masih suka free sex?"
"Sebelum sama dia? Iya."
"Setelah lo jadian sama dia?"
Dia menggeleng.
"Fantastis." Lift itu sampai di angka sebelas. Hello! Ini mesinnya rusak apa gimana, ya? Lelet banget, astaga, laju lift ini! Ganggi menggerutu sebal. "Lo dulu seperti cowok penggila seks. Free sex di mana-mana sebelum kenal sama gue. Sering berganti pasangan. Stepping into a nightclub is like wandering into a sacred space. Having sex like there is no tomorrow. Tapi lihat sekarang. Lo berubah."
"Hidup terus berjalan, Naladipa."
Ah. Ya, Tuhan. Dia menyentuh apa yang tak seharusnya dia sentuh. Dan sakit itu begitu terasa sampai Ganggi kehilangan kemampuan untuk bertahan. Kenapa harus memanggilnya 'Naladipa' ketika dunia beserta isinya memanggil ia Ganggi? Mereka sudah berpisah tiga tahun utuh. Jadi setidaknya jangan, deh, memanggil nama Ganggi seperti menggali suasana yang sudah terkubur. Dia sudah bertunangan, please. Jangan biarkan Ganggi memintal hal yang tidak sepatutnya ia rajut. Rutukan itu benar-benar bercampur baur di kepala Ganggi. Kuku-kukunya, ulang ia gigit; membuat beberapa sudut kuteksnya ikutan terkopek.
"I changed. You also changed. We can't possibly continue to be in bad times, right?"
Tidak ada satu pun yang mampu Ganggi ucapkan selain diamnya yang begitu riuh memekakkan telinga.
Pintu lift terbuka di lantai sembilan. Gelar keluar setelah melayangkan senyum dan sapaan perpisahan. Ketika pintu lift tertutup, dan kotak besi dingin yang selalu mampu membawa hawa mengerikan pada Ganggi ini turun, Ganggi tahu apa yang ia butuhkan. Ia baru saja mengalami seks yang hebat. Buka puasanya tadi gegap gempita sampai ia ingin nambah dan nambah. Dan Om Seda menawarkan perlindungan finansial untuk menunjang hidup. Jadi membiarkan laki-laki itu merusak sisa malamnya dengan sepotong kisah pertunangan dengan maling naskah seperti Kinan? Jelas tidak akan Ganggi biarkan. Ia harus mendistraknya. Dengan apa pun. Dan tiga atau satu krat Heineken jelas hal yang ia cari-cari agar besok bisa bekerja seperti orang normal.
Sekitar pukul satu dini hari, seusai keluyuran di Mampang Prapatan dan Jalan Tendean, Ganggi pulang ke apartemen dengan sekantung plastik Heineken dan beberapa camilan. Pintu apartemen terbuka setelah ia memindai key card. Layar teve menyala terang menyambut kehadiran Ganggi. Ruang tamu itu terlihat remang-remang. Jatayu Maheswari terlihat asyik menonton film horornya Kiki Fatmala yang acap kali disiarkan salah satu teve di jam-jam menjelang subuh. Dih. Ganggi mendengus. Tahu sekali bagaimana takutnya gadis itu dengan tontonan seram. Perempuan itu seketika menoleh dan tersenyum lebar melihat kehadiran Ganggi.
"Apaan, tuh?" Dia melirik kantung di tangan Ganggi.
"Bir." Ganggi melangkah ke dapur, membuka tutup botol-botol bir itu dan membawanya ke ruang tengah. Ada tiga mangkuk sup yang Ganggi tidak tahu berisi apa, tergeletak di atas meja. Dua di antaranya masih utuh, bahkan masih mengepulkan asap.
Ayu mengikuti arah pandang Ganggi, lalu berkata, "Sup jagung sama kerang saus mentega. Baru aku angetin karena pasti kamu pulang jam segini. Makan sana. Lihat baju basahmu ini, aku tahu kamu pasti kedinginan."
Ganggi kadang lupa bahwa Ayu adalah manusia. Tak jarang ia mengira sosok ini merupakan jelmaan peri. Kebaikannya yang beberapa kali justru mempersulit hidupnya itu, sering menolong kawan-kawannya ketika butuh. Ayu berlalu ke kamar mandi, dan kembali membawa handuk yang ia berikan kepada Ganggi untuk mengeringkan rambut dan kemejanya.
"Yang satu lagi buat siapa?"
"Senandika."
"Emang dia mau ke sini? Kita sudah seminggu nggak dengar kabarnya, kan?"
"Nggak tahu juga, sih, Gi. Perasaanku aja yang bilang kalau dia akan mampir."
"You're not home?" Ganggi merespons penuturan Ayu dengan anggukan kecil. Ditiupnya sup yang masih panas tersebut, lantas ia sesap perlahan-lahan. Rasanya benar-benar juara kelas. Jatayu Maheswari dengan masakan jelas adalah temu kangen paling indah yang pernah Tuhan suguhkan di dunia.
"I have no energy. Mobil aku mogok pas aku lagi di Jagakarsa. Di deketnya pasar itu lho. Aku nelpon-nelpon Abimana tapi bocah sialan itu lama banget ngejawab telepon aku." Ayu meraih cangkir kopinya yang terlihat sudah dingin. Ia menyesap sebagian, lalu membuka kentang goreng yang dibeli Ganggi. "Ugh. Berminyak banget kentangnya. Mana keras, lagi. Kenapa nggak beli di McD aja, sih?"
Ganggi menggeleng tidak habis pikir. "Tutup, Yu. Lo tahu sendiri McD di sini nggak buka 24 jam." Ayu terkikik mendengar gerutuan kawannya. "Ngapain di Jagakarsa?"
"Cat minyak Ayah habis. Tadi telepon aku minta tolong buat beliin, makanya pas mobil aku udah selesai diservis, aku langsung ke toko langganan Ayah. Eh nggak tahunya, memang sudah waktunya aku menabung untuk mengganti VW warisan Ayah."
Yang dicurhatin hanya tertawa geli. Seusai sup itu rampung ia lahap, Ganggi menyorongnya dengan Heineken. Cairan gula tersebut seketika membakar suhu tubuh. Rasanya enak sekali. Sup jamur dan kerang dengan saus mentega tidak pernah bisa ia bayangkan mampu kawin dengan Heineken. Ganggi bisa meminta Ayu memasakkannya lagi lain waktu sebagai teman minum bir.
"How was the office, btw? Mas Sabrang ketemu Abimana?"
"Oh! Itu dia, Ganggi Naladipaaa." Ayu tahu-tahu berseru heboh. Intonasi suaranya terdengar geram. "Kamu tahu, nggak, sih, Abimana masih berkelit tentang siarannya? Dan ketika Mas Sabrang ingin meeting khusus untuk membicarakan masalah ini, tebak apa yang terjadi?"
"Gue malah takut nebaknya, if you're going to go for it like that."
"Exactly, Ganggi. Seratus persen benar. Bos traveling Abimana telepon, dan laki-laki sialan bau kencur itu minggat kayak orang nggak tahu diuntung. Mas Sabrang murka banget. Keadaan chaos karena siaran Bang Tyo dead air for the whole ten minutes. Mas Nara diamuk habis-habisan sebab mixer yang dia pesan belum juga datang. Dan nyawa Senandika di ambang kehancuran akibat dari gagalnya Mas Sabrang menghubungi dia."
"Doesn't it feel like something's not quite right with Andi at the moment?"
"Aku nggak tahu. Aku hanya memiliki asumsi. Tapi apa pun asumsi itu, aku benar-benar berharap itu nggak kejadian."
"Tapi apa pun asumsimu, selalu benar, nggak, sih?"
Ayu terdiam sebentar sebelum berujar di luar pembahasan, "Oh. Aku harus memanaskan sup buat Senandika."
"Kenapa?"
Ayu tidak memberikan jawaban. Ia langsung menyambar mangkuk sup buat Andi dan membawanya ke dapur. Saat itulah bunyi pintu apartemen Ganggi terdengar dari luar. Ganggi mengalihkan pandangan; menoleh ke belakang. Ganggi tidak tahu apa yang sedang terjadi, atau bagaimana dunia beserta isinya ini begitu lucu menyembunyikan kejutan, ketika ia melihat seseorang berdiri di sana dengan tubuh basah kuyup.
Senandika Atma Kertanegara. Sang Mitos yang apabila orang mendengar barisan namanya saja, mampu bersujud di telapak kakinya. Sang Mitos yang mampu merebut semua pesona yang pernah Tuhan ciptakan. Sang Mitos yang tidak pernah gentar dengan apa pun; siapa pun—selain dengan, kau tahu sendiri, ayahnya.
Ia berdiri di sana, menatap Ganggi, dengan air mata yang bergabung dengan air hujan, dan napas satu-satu yang berbaur resah. Ia memakai kaus hitam, celana jins, yang demi nama Tuhan Yesus, tidak akan pernah sudi Andi kenakan dalam momen apa pun. Seluruh perubahan itu tidak ada yang mampu menggemparkan dunia selain apa yang ia lakukan pada rambutnya. Rambut keriting hitam yang lebat dan tebal itu, yang memantul-mantul bak kabel telepon, raib dari kepala Andi. Kepalanya nyaris plontos. Dan kini tengah berpendar kuning akibat pantulan cahaya dari layar televisi.
Ganggi menelan ludah. Tubuhnya bergetar hebat. Demi Tuhan, ia bersumpah, ia seperti asing dengan sosok di hadapannya itu. Tetapi ketika mata itu menatap Ganggi, dan mempertemukan bagaimana hitam matanya berpijar, satu hal yang pasti; banyak luka berserakan di sana, luka purba yang selama beberapa tahun menjadi temannya tumbuh dan berkembang, luka yang Ganggi tahu, sejak ia berkenalan dengan Andi, tidak pernah pergi meninggalkannya. Seujung detik pun.
Senandika Atma Kertanegara memanglah mitos. Tapi melihat sosoknya kali ini, Ganggi pun sangsi, Andi sendirilah yang membunuh mitos itu dan membuatnya tiada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top