Bab 1
Jakarta, 20 Februari 2008
"101 poin 7 Prada FM, Catch the Vibe, Feel the Beat! Selamat sore, Sobat Prada. Ketemu lagi dengan Ayu di acara kesayangan kita, Late Night Confessions. Selama dua jam ke depan Ayu akan menemani malam Minggu kamu, nih. Jadi jangan bosan-bosan untuk terus stay tune di 101 poin 7 Prada FM. Kamu boleh kirim salam, boleh request lagu, boleh banget tweet dengan hastag LateNightConfessions. Dan kalau mau gabung, silakan kirim SMS aja, ya, di kosong lapan satu dua sembilan satu sekian sekian sekian. Selama dua jam ke depan, Ayu akan menemani kamu dengan musik pop baik dari dalam maupun luar negeri untuk menemani malam Minggu kita yang hujan ini."
Pintu ruang siar terbuka tepat ketika Ayu menurunkan volume, melepas headphone, dan meluncurkan lagu Hampa dari Ari Lasso untuk para pendengarnya malam itu. Ia menoleh sambil menyambar secangkir kopi hitam dan melihat Abimana masuk dengan tampang yang tidak bisa Ayu definisikan. Mendengus, Ayu memutar bola mata melihat penampilan makhluk compang-camping tersebut.
"Kenapa?" tanyanya malas.
"Di luar hujan." Abimana mendorong kursi putar di samping Ayu lantas melesakkan bokong di sana. Ia mengeluarkan bola naga—Ayu tidak tahu 'mainan' itu persisnya bernama apa, hanya saja ia sering melihat bola itu menjadi maskot dalam film Dragon Ball—dari dalam tas selempang. Abimana menumpukan kepala di meja dan menyemukakan pandangan mata kepada Ayu.
"Informasi yang berguna banget." Oke, di luar memang hujan. Apa yang kauharapkan dari Jakarta pada bulan Februari selain curah hujan meninggi, hum? Badai salju sebagaimana di Arizona? Ya ampun, lucu sekali. Ayu mendengus. Kembali ia menyesap kopi hitamnya dan membiarkan kafein itu menggempur pembuluh darah. Ia merapikan tumpukan surat pembaca sambil membaca sekilas tulisan-tulisan yang ada di sana. Dalam hati ia berdoa—benar-benar berdoa—entah apa pun yang Abimana lakukan di ruang siar, tidak menghacurkan kinerjanya malam ini. Hari-harinya sudah cukup berat. Ia tidak ingin menambah masalah dengan pria bernama—demi Tuhan—Abimana. Jadi yang perlu dilakukan untuk menjaga performanya di penghujung bulan ini hanya satu; mengabaikan apa pun yang dilakukan dan atau garis miring dikatakan Abimana. Anggap dia tidak ada. Anggap eksistensinya serupa udara. Anggap ia transparan. Anggap Abimana hanyalah bayang-bayang—
"Seharusnya hari ini gue ada kencan bersama Laras."
"Siapa itu Laras?" Sialan! Ayu melipat lidah akibat dari rasa penasarannya yang melanting tiba-tiba.
"Cewek yang gue temui di Gunung Gede."
"Hah?"
"Waktu gue dan rombongan bersiap turun kemarin, dia dan anggota mapalanya baru sampai Suryakencana, Kak." Abimana memanyunkan bibir. Tangannya terampil menggulir-gulirkan bola naga—bola naga yang dimiliki Abimana memiliki dua bintang, kalau-kalau kau penasaran. "Gue kepincut banget sama dia seketika. Lo tahu, nggak, sih, Kak, Dia cantik. Rambutnya sepanjang dan selegam punya lo. Saat gue mencoba mengajaknya ngobrol, jantung gue dangdut banget, Kak Ayu. Suaranya ya, Allah. Merdu sekali."
Lagu Hampa-nya Ari Lasso rampung. Seketika Ayu meluncurkan iklan sebagaiman rensi yang ia buat. Menanggapi curahan hati yang aborsi—kau tahu, kan, segmen Late Night Confessions yang Ayu bawakan belum dimulai?—Ayu hanya mampu menggeleng.
"Dia anak Trisakti. Aditing gue, dong. Bayangkan."
"Apanya yang harus aku bayangkan?"
"Sialnya. Sewaktu gue mau minta nomor teleponnya, rombongan gue udah maksa-maksa gue untuk memandu perjalanan pulang."
"Oh, haruskah aku ikut berduka di sini?" Siapa saja, tolong bungkam laki-laki ini. Ayu kembali meneguk sisa kopi guna mendapatkan daya menanggapi curahan hati dari, katakanlah, Sang Sahabat. Kopinya hampir habis. Padahal ini sudah gelas kedua. Ha! Kecanduannya pada kopi benar-benar membutuhkan perhatian.
"Tapi untung gue udah nanyain alamat Facebook dia."
"Terus? Kenapa nggak kamu ajak aja dia kencan lewat pesan pribadi di Facebook?"
"Sudah, dong, Kak. Makanya itu lo lihat kenapa gue ada di sini? Dia barusan mengirim pesan kalau Bukit Duri banjir. Sialan!"
Ayu ingin tertawa sampai mampus. Tapi demi rasa welas asih dan kesetiakawannya, ia hanya memasang tampang iba.
"Karena gue nggak tahu harus ngapain lagi dan telanjur berdandan malam ini, ya udah gue nyamperin lo aja. Pasti lo kangen sama gue, kan? Secara kita nggak ketemu lima hari ini. Lima hari di antara ribuan hari setelah kita bersama menjalin tali perkawanan yang indah ini. Gimana kabar lo, Kak Ayu?"
Oh, Ayu butuh beberapa butir Aspirin. Abimana tidak lebih dari sebuah anomali. Mengharapkannya bertingkah laku normal sebagaimana lumrahnya manusia jelas sebuah titik ekspektasi yang bisa membunuh siapa saja. Perempuan itu benar-benar mengabaikan lanturan Abimana mengingat iklan yang ia setel rampung. Ayu kembali memakai headphone dan menaikkan volume mixer.
"101 poin 7 Prada FM, balik lagi bersama Ayu. Well, hujannya belum juga reda, ya, Sobat Prada. Ada yang sudah memiliki rencana buat nge-date, tapi gagal akibat hujan?" Ayu melirik sinis pria di sampingnya. Kena kau! Cibirnya mantap. "Sobat Prada nggak usah sedih, nggak usah pusing, sini join bareng Ayu dan kita ceriwisin malam minggu ini dengan obrolan tentang cinta." Ayu berseru heboh di depan moncong mikrofon. "Aduh hari gini siapa, sih, yang nggak tertarik dengan cinta? Bener, nggak, Sobat Prada? Tapi nih, ya, Ayu jamin di antara kita pasti ada aja yang nggak berani ngutarain cinta ke orang yang kita sayang. Entah karena malu, orang yang kita sukai udah punya gandengan, orang yang kita sukai di luar jangkauan kita, dan Ayu yakin masih banyak lagi alasan kompleks kenapa sampai kita memendam rasa kita."
Abimana memutar bola mata melihat penampilan gadis di sampingnya. Apa yang barusan perempuan ini bualkan? Cinta? Oh, ayolah, singkong rebus yang masih mengepulkan asap jelas lebih menarik daripada kidungan cinta. Dan kaulihat bagaimana atraktifnya ia? Tanggal 20 dan masih memiliki stamina serupa banteng? Jelas ia babu paling dicintai oleh pimpinan. Dan, ya Tuhan, dapat dari mana pita Keropi yang mengikat rambut hitamnya itu? Sialan. Mata kodok itu seolah-olah mengolok kegagalannya kencan bersama Laras. Abimana keki sekali. Tapi yang bisa ia lakukan hanya diam, menelan sindirannya kepada Ayu, dan lebih memilih menggulir-gulirkan bola naga.
"Cinta dalam hati itu bikin geregetan sekali, nggak, sih? Ia ibarat api, nih, tapi dikurung oleh sekam, dan bagaimana kita bersikap biasa-biasa saja sementara sekam yang kita punya benar-benar setipis kulit padi, sementara apinya menyala-nyala kayak korek? Aduh, pasti sakit banget, dah, asli."
Ayu benar-benar ibarat perempuan yang akan mendedikasikan seluruh hidupnya kepada pimpinan sekalipun sisa gaji dalam rekeningnya mendekati minus. Tak heran kenapa ia bisa mempertahankan gelar penyiar favorit selama lima tahun berturut-turut. Jangankan hujan badai, sekarang kiamat pun jika waktunya bentrokan dengan jadwal siaran, manusia gila itu akan menunda kehadiran kiamat demi menegur para pendengarnya. Abimana gemas sekali dengan peringai kawan ini. Ia membutuhkan teman mengobrol, tapi kenapa satu-satunya teman yang Tuhan ciptakan di muka bumi ini harus sibuk di hari ia batal kencan dengan Laras, coba? Ini pasti konspirasi. Abimana kembali keki.
"Jadi sebelum Ayu bacakan surat dari pembaca, Ayu tunggu SMS dari Sobat Prada tentang seperti apa, sih, cinta yang Sobat Prada pendam saat ini? Nggak usah malu-malu, nggak usah ragu-ragu, kirim saja cerita Sobat Prada ke kosong lapan satu dua sembilan satu sekian sekian sekian agar malam minggu yang Ayu dengar-dengar sudah ada genangan banjir ini, nggak sekelam di luar sana. Dan untuk Sobat Prada yang rumahnya kebanjiran atau lagi terjebak banjir, please stay safe. Ayu kirim cinta Ayu dan Sobat Prada untuk kalian semua."
Ayu kembali meluncurkan sebuah lagu setelah segmen pembukanya berjalan tuntas. This Love-nya Maroon 5 meliuk-liuk di siaran. Ia menuntaskan sisa kopinya dan akan pergi meninggalkan ruang siar guna kembali menyeduh kopi gelas ketiga saat Abimana menarik lengan kemejanya.
"Apa, sih, Bim?"
"Lo benar-benar nggak cinta lagi sama gue, kan, Kak?" tuntutnya, kolokan.
"Aku butuh kopi, Abimanaaa."
"Gue hanya ingin lo temenin aja, ya, Tuhan. Gue nggak minta kekayaan lo yang nggak seberapa itu. Gue cuma minta waktu lo sebentar aja. Kita nggak ketemu lima hari lho. Lo nggak kangen sama gue? Lo nggak ingin tahu kabar gue? Lo lebih mentingin Sobat Prada dibanding sahabat lo sehidup semati ini, Kak? Jahat banget, ya, Allah."
"Kebetulan interaksi dengan Sobat Prada-lah yang menggajiku selama ini, sih." Memisahkan Abimana dengan diksi mendramatisasi? Malaikat saja terlihat kesusahan menjalankan perintah itu. Ayu mendengus. Menuruti permintaan Abimana, ia kembali melesakkan pantat ke kursi, lalu memijat pertemuan alis.
"Oke. Terus sekarang apa?" tanyanya malas.
"Lo lihat ada biru di pipi gue ini?"
Abimana tahu-tahu mendekatkan tubuh, membuat terpaan aroma es podeng dari tubuhnya menghantam indra penciuman. Dan Ayu spontan merapat guna melihat biru yang Abimana maksud. Seketika, Ayu mampu merasakan helaan napas panas Abimana menyentuh kulitnya. Menaikkan pandang, dan perempuan tersebut baru menyadari betapa jarak di antara mereka hanyalah seharga butiran-butiran embun di ranting meranti. Sekumal-kumalnya Abimana ketika turun dari gunung, secompang-campingnya penampilan ia, Ayu tidak pernah sanggup mengelak bahwa ia indah. Abimana memiliki rambut hitam yang ujungnya menyentuh pundak. Rambutnya tidak lurus, pula keriting. Ia bergelombang begitu saja, mirip dengan lengkungan ombak yang mencoba mencumbu bibir pantai. Abimana sering menguncir rambutnya secara asal, sehingga membuat beberapa anaknya terserak di balik kuping seperti saat ini.
Pria itu memiliki tulang alis yang menonjol, melengkung seperti kurva yang membingkai mata. Melekat di atas tulang alis, sepasang alisnya berbanjar rapi tergolek tidak berdaya di sana. Mereka tebal, dan Ayu sungguh penasaran bagaimana cara Abimana membuat keduanya selalu takluk seperti telah dilakukan proses penyikatan—sebab dengan karakter Abimana yang Ayu kenal luar dalam, ia jelas jauh dari dunia tata rias. Berbicara tentang mata. Mata Abimana jelas memiliki nama. Mereka sehitam batu koral, sebening embun yang mengganduli pucuk keningar, dan tajam seumpama tepian daun serai. Kau mungkin akan tersesat di dalamnya apabila bersemuka tanpa memiliki pondasi, tapi mereka memiliki keteduhan yang serupa dimiliki sengon di pinggir-pinggir kali. Ketika matahari membakar tanpa ampun dan permukaan sungai seperti memantulkan sinarnya tak tanggung-tanggung, usikan lembut daun sengon sebagaimana tatapan mata Abimana yang teduh itulah hal terakhir yang kauharapkan bertahan di bumi ini, sebagaimana secangkir kopi panas di ujung petang kala hujan membasahi tanah Bogor.
Abimana memang indah. Kulitnya cokelat semampang jahe. Badannya kukuh akibat pendakian-pendakian yang ia lakukan. Bongkahan-bongkahan dadanya terbentuk tanpa ia repot-repot mengikuti jadwal ngegym. Tebing-tebing yang ia panjat jelas adalah guru paling mumpuni menjelmanya menjadi sosok seperti sekarang. Di luar jam-jam ia siaran radio, Abimana bergabung ke dalam sebuah jasa traveling menjadi seorang guide. Kadang ia menjadi pemandu panjat tebing, kadang menjadi pemandu mendaki gunung, tak jarang pula mengeksplor laut-laut di pesisir Jawa. Ia memang menjadi pemuda yang kelihatannya memiliki banyak duit, tapi selama ini sajiannya di atas piring selalu mengindikasikan bahwa ia rakyat yang butuh perlindungan negara sebagaimana pasal 34. Ayu selalu gemas setiap kali Abimana memintanya jatah makan.
Ia juga memiliki tulang hidung tinggi, yang meruncing di ujung, dan membuat sepasang cupingnya membulat sempit. Ujung hidung lunak itu acap kali menggesek daging pipi Ayu setiap mereka berpelukan, dan Ayu tidak pernah mampu mendefinisikan bagaimana reaksi tubuhnya menerima sentuhan tidak terencana tersebut. Ada ledakan tidak ia kenal, ada perasaan suka yang meletup tiba-tiba, ada mulas yang mendadak merongrong kulit anus, ada euforia entah mengapa. Ayu tidak pernah membicarakan ini kepada Ganggi maupun Andi, sebab ia bahkan tidak tahu apa yang ingin ia bagi kepada mereka.
"Habis ditonjok pendaki sialan itu." Suara Abimana yang lantang membuat Ayu terjaga. Segera perempuan itu menarik diri dan mengelus lembut lebam di pipinya. "Mereka minta alkohol untuk menghangatkan tubuh. Gila aja, ya. Sekalipun mereka membayar gue duit segepok, ogahlah gue ngasih mereka alkohol."
"Kenapa? Bukannya kamu butuh duit?"
"Prinsip gue mendaki di mana pun nggak akan pernah berubah, Kak. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."
"Baru tahu kalau ada peraturan dilarang bawa alkohol ke gunung."
"Mungkin bukan peraturan tertulis, tapi gue menghormati alam dengan cara menjaganya. Puncak tertinggi dari pecinta alam adalah nggak mendaki dan merusak habit alam di gunung. Gue bukan pecinta alam. Gue juga bukan pendaki. Gue hanyalah porter. Maka dari itu gue selalu menghormati adat dan budaya gunung dari masyakarat lokal semampu gue."
"Profesionalismemu bertentangan dengan idealismemu, dong."
"Ya menurut lo aja. Ibarat kata, lo bertamu, alam dan warga menyambut lo dengan baik, lo hanya nggak boleh meninggalkan sampah, membuat vandalisme, mengambil apa pun dari sana, tapi lo disuguhkan keindahan Tuhan yang nggak pernah ada di dataran rendah secara cuma-cuma, masa lo tahu-tahu mabok di sana, sih?" cerita Abimana menggebu-gebu. Tangannya mengepal memegang bola naga. Kulit pipinya sedikit bersemu merah, saking semangatnya ia bertutur kata. "Antara nggak tahu diri dan goblok kalau kata gue. Duit memang segalanya, tapi jangan sampai lah mendapatkan duit dengan cara brengsek kayak gitu."
Ayu tersenyum tipis. Ia menarik tangan dari pipi Abimana dan perhatiannya utuh tercurah kepadanya seorang. Seperti yang ia katakan, Abimana Prabakesa adalah anomali. Ia baru 22 tahun, baru lulus kuliah tahun lalu, tapi kehebohan yang selalu ia perbuat selama ini cukup membuat pimpinan radio mereka sering kalang kabut. Tak jarang Abimana mendapat skors dari Mas Sabrang atas ulah yang ia buat, atau membuat Andi yang notabene kepala produksi siar mengangkat senjata akibat kelalaiannya dalam bekerja. Tapi Ayu paham, jauh dari cangkangnya yang aneh dan perilakunya yang serupa gasing, Abimana tidak lebih dari seorang teman. Seorang teman yang butuh tempat bercerita.
"Terus gimana? Mereka menuntutmu?"
"Ya setelah dia tonjok dan gue nonjok balik, gue maki-maki mereka." Abimana melanjutkan dengan intonasi yang sama. "Beberapa pendaki lain ada yang berpihak ke mereka, tapi setelah gue pidato panjang lebar tentang adat dan budaya dan lain-lain, baru mereka bungkam. Bodo amat dah dikira pendaki kolot, kampungan, atau apa. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, kan, pepatahnya?"
Ayu tertawa kecil. Dasar bocah, batinnya gemas. "Tapi mereka membayarmu utuh, kan? Jauh-jauh ke sana dan nggak dibayar, kan, rugi, Bim."
"Dibayar, sih, dibayar. Tapi nggak penuh, Kak. Dipotong sebagai ganti rugi gue nonjok mereka. Bangsat memang. Eh, setelah turun, bos gue ngamuk-ngamuk dengar protesan bule keparat itu. Bonus gue dipotong lagi. Apes banget gue ketemu mereka."
This Love sudah rampung, beberapa iklan kembali diputar oleh Ayu. Ia mengecek puluhan pesan yang masuk ke dalam ponsel sambil tersenyum-senyum merespons Abimana.
"Rambut lo sudah mulai panjang, deh, kayaknya, Kak," komentar Abimana tiba-tiba, membelai lembut rambut Ayu yang jatuh sampai menyentuh pinggang.
"Eh?"
"Terakhir lo potong kayaknya Juli dua tahun lalu, kan? Di Tebet pas gue masih magang di sini? Gila. Sejak saat itu sampai sekarang aja gue udah lima kali potong. Betah amat lo dengan model rambut panjang kayak korden ini. Lo pasti kesulitan merawatnya. Duit buat beli sampo, kan, bisa banget lo gunain buat hal yang lebih bermanfaat, Kak?"
"Contohnya?"
"Nafkahin sarapan gue, misalnya."
"Enak di kamu, rugi di aku, dong." Ayu menggeleng, memutar bola mata. Tapi detik berikutnya, ia kembali mampu mencium aroma es podeng. Demi Tuhan, Ayu tidak mampu mendefinisikan aroma parfum yang Abimana miliki dengan sebutan yang lebih proper. Di hidung dan otaknya, mereka seharum es podeng yang sering ada di acara hajatan. Tubuh Ayu seketika membeku ketika sikut Abimana menyenggol lengannya. Dadanya bergenderang tidak tenang. Napasnya diburu-buru tidak nyaman. Ia menggulirkan ludah, tapi jelas gagal akibat aroma sialan ini. Ayu terbatuk seketika.
"Tapi gue akuin lo pinter merawat rambut," puji Abimana. Terdengar tulus. Getaran suaranya meliuk, menggelitik kulit leher Ayu yang telanjang. Perempuan itu kembali melongsorkan ludah melalui pipa kerongkongan. "Rambut sepanjang ini halus banget di tangan gue. Mana tebal lagi kayak dompetnya Mas Sabrang tanggal berapa pun." Senyum Ayu di hadapan layar ponsel jelas gagal diselamatkan. "Perasaan gaji lo standar banget di radio kecil ini. Lo nggak mungkin, kan, perawatan rambut di salon-salon? Mau makan apa lo kalau duitnya lo pakai buat macam-macam krim untuk rambut apalah itu?"
Siapa pun, tolong selamatkan gadis itu.
Ayu hampir kehilangan kewarasan saat ujung jari kelingking Abimana menimpa ujung kelingkingnya. Keras ruas-ruas tulang yang dibalut daging dan kulit itu seolah mengirimkan setrum, membuat punggung kelingking Ayu seakan-akan melepuh. Ia panas, dan ketika Abimana menggerakkan anak jarinya, ia seolah menggosok di tempat yang tidak nyaman. Perut Ayu terasa mulas. Kalau saja iklan yang dia setel belum rampung, dan jingle radio lupa ia urutkan, Ayu bisa dipastikan terkapar tidak berdaya di atas kursi. Sekuat tenaga Ayu mengembalikan nyawa. Ia berdeham beberapa kali guna melonggarkan tenggorokan. Ditegakkannya badan, dan peralatan siar kembali ia siagakan.
Abimana menarik diri, membuat derit kursinya menjerit saat ia jauhkan dari pemudi di sampingnya, kemudian ulang menjatuhkan kepala di atas meja. Ia mengusap-usap bola naga sambil mendengar bagaimana suara seempuk ubi cilembu milik sang kawan itu mengudara.
"101 poin 7 Prada FM, jadikan harimu makin bersinar dengan Prada FM. Balik lagi bersama Ayu di sini. Wah... Sobat Prada kita dapat banyak sekali SMS yang masuk tentang Cinta dalam Hati." Ayu menelan ludah berkali-kali. Beruntung kepiawaiannya menjadi penyiar radio selama tujuh tahun belakangan ini bukanlah isapan jempol semata. Ketololannya beberapa saat lalu entah karena apa, pergi begitu saja serupa anjing disiram air keran. Dan jiwa Ayu si buruh penuh semangat kendati tanggal sudah setua pohon randu itu kembali rontok membanjiri tubuhnya.
"Gue nggak pernah tahu apa artinya cinta, dan bagaimana cara gue menghadapinya kalau pada akhirnya nanti kata cinta itu menghampiri gue."
Suara Abimana kembali menyuruk kuping ketika dua jam setelah mengudara, Ayu merampungkan siaran. Sekarang pukul sebelas malam. Ayu masih terjebak di gedung ini sebab hujan benar-benar mengamuk di Kuningan. Ia kuat-kuat berdoa, jalan di depan kantornya tidak banjir dan mobilnya tidak kembali mogok. Tabungannya terkuras habis akibat VW kuning kenari warisan Ayah itu sering ngambek akibat banjir di mana-mana. Ia tidak ingin kembali dikasihani kawan-kawannya jika kesusahan menghadirkan seporsi sarapan, makan siang, maupun makan malam.
"Baru tadi kamu membicarakan Laras." Ayu merangkum air dispenser ke dalam teko lantas menjerangnya di atas tungku. Ia membuka kabinet, lalu mengeluarkan dua cangkir dari dalam sana. Tiga sendok kopi dan satu sendok gula untuknya sendiri. Dan tiga sendok kopi tanpa gula buat Abimana. Ia jelas melewatkan jadwal makan malam selain sekeping kue sisir yang Abimana keluarkan dari tas selempangnya tadi. Di bawah timbunan hujan yang menggila seperti sekarang, orang waras mana yang rela hujan-hujanan demi sepiring nasi di warung Tegal?
"Kalau kata Kak Ganggi namanya ketertarikan? Entahlah." Abimana mendesah. Ia duduk di salah satu kursi di seberang Ayu. Bola naganya ia putar-putar di tangan. "Dia cantik. Dan kalau lo melihatnya secara langsung, gue pastikan lo jatuh cinta padanya saat itu juga. Selama kami ngobrol di waktu singkat itu, dia antusias memberikan respons. Nggak jaim, dan seperti orang tulus menawarkan sebuah hubungan."
Ayu menumpukan pinggul sekenanya di mini bar pantry tersebut. Ia bersedekap sambil memerhatikan cerita Abimana.
"Dan sebuah hubungan itu bernama?"
"Hubungan senang-senang? Gue nggak tahu, Kak Ayu." Abimana menggeleng, seraya menaikkan kedua pundak. "Gue nggak pernah menamai hubungan gue dengan istilah apa pun untuk menyenangkan pasangan gue. Tapi seandainya gue diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk merasakan sebuah hubungan, jelas gue nggak akan menyimpan perasaan gue sebagaimana para pendengar yang lo baca ceritanya tadi."
Sebelah alis Ayu tertarik. Ini menarik, pikirnya. "Karena kamu cowok?" tebaknya asal. "Sangat mudah bagi cowok untuk mengutarakan cinta, kan? Bahkan bukankah itu adalah tugas dari seorang laki-laki? Seperti Prince Charming yang membawakan kembali sepatu Cinderella waktu meminangnya menjadi ratu?"
Abimana menatap Ayu lebih lama. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, Ayu selalu merasa ada yang tidak beres dalam dadanya acapkali dua mata hitam itu mempertemukan garis pandangnya secara utuh padanya seorang. Ia bergerak sedikit gelisah, dan bersyukur lega ketika teko di belakangnya bersiul nyaring. Ayu membalik tubuh, mengangkat teko dan menuangkan air ke dalam cangkir yang sudah ia siapkan. Seketika, aroma kopi menghantam udara, dan membuat kesadaran Ayu kembali berada di tempat.
Ayu menggeret kursi menjauhi meja ketika ia melesakkan bokong di sana setelah memberikan gelas kopi Abimana. Dihirupnya kepulan asap yang menari lincah di atas kopinya. Demi Tuhan. Ayu mendesah lega. Ia benar-benar menggandrungi kopi lebih dari apa pun di muka bumi. Seperti ada aroma asap yang terbentuk dari proses penggorengan biji-biji kopi di sana, ada aroma gurih, dan ada aroma segar entah apa di dalamnya. Siapa pun yang menemukan biji kopi jelas tahu bagaimana cara mereka menyegerakan surga di atas bumi. Ayu memang sedikit berlebihan jika ia dihadapkan dengan kopi, omong-omong.
"Gue baru tahu ada tugas-tugas atas dasar kelamin dalam sebuah hubungan."
Suara Abimana membuat Ayu terjaga. Disesapnya genangan hitam tersebut untuk mendapatkan hangat tubuh.
"Bagi gue cinta nggak memiliki tugas yang membeda-bedakan hanya karena gue memiliki penis sementara Kak Ayu memiliki payudara."
Ayu suka sekali topik ini. "Dan dari mana spekulasi itu jika kamu sendiri bilang kalau kamu nggak pernah memiliki perasaan cinta?"
"Dari gue mengobservasi manusia yang selama ini berinteraksi dengan gue?"
Ayu mengusap tepian cangkirnya menggunakan telunjuk; mengangguk-angguk kecil.
"Karena jika itu cinta, Kak Ayu, menurut hemat gue, dia akan hadir dengan sendirinya, setulusnya. Cinta adalah berkah. Seperti kata gue, gue nggak pernah merasakannya. Gue nggak tahu jantung berdebar-debar itu rasanya seperti apa. Gue nggak tahu kupu-kupu berkepakan di dalam perut itu semenggelitik apa. Dan jika pada suatu hari nanti gue mendapat berkah, gue akan merayakannya. Setiap hari. Gue nggak akan lari seperti pengecut ataupun bersembunyi seperti orang kalah."
"Katakanlah cinta nggak memiliki tugas yang membagi antara perempuan dan laki-laki untuk mengutarakannya." Suara Ayu sedikit bergetar. Sesuatu yang kuat bertalu-talu di dalam dadanya. "Tapi jelas dirimu yang saat ini ada di hadapanku, pasti memiliki latar belakang yang begitu berbeda yang membuatmu lebih berani jika dibandingkan dengan para pendengarku tadi."
"Jangankan gue dengan para pendengar lo, Kak. Kalaupun gue kembar, gue dan kembaran gue juga nggak akan memiliki pandangan yang sama sekalipun kami dibesarkan di lingkungan yang sama."
"Tapi setidaknya kalian memiliki pondasi yang sama." Ayu menepis argumen Abimana. Suara hujan masih menampar-nampar kaca pantry di lantai 32 tersebut. Ayu bahkan tidak lagi terkejut jika besok ia keluar dari kantor ini, dan menemukan mobilnya sudah tenggelam secarah utuh. "Cinta memang berkah. Tapi pondasi itu yang memberikan kita berbagai macam rasa. Ada yang menciptakan keberanian seperti kamu, ada juga yang memberikan kita rasa takut, atau sebaliknya, memberikan kita kehampaan. Bagaimana kita dilahirkan dan dibesarkan, memberikan pondasi berbeda yang menentukan cara pandang kita pada kehidupan ini, Abimana."
Jam dinding baru saja melewati tengah malam. Siaran di 101.7FM pasti diisi oleh melodi-melodi tenang sebelum nanti lagu Indonesia Raya diudarakan. Hawa dingin memerangkap pantry. Bercak-bercak dari tempias hujan menyelimuti mini bar, dan menguapkan aura menggigilnya di meja makan. Baik Ayu maupun Abimana masih terjaga dengan cangkir kopi yang masing-masing menguraikan hangat berbeda.
"Nggak selamanya cinta membentuk rasa berani. Ia bisa saja menjelma rasa takut, yang akan memerangkap kita ke dalam penjara yang kebetulan bisa juga diciptakan sendiri oleh cinta."
Jujur, Abimana tidak tahu muara dari kalimat perempuan di hadapannya. Cokelat mata pinusnya terlihat bergetar. Sesuatu yang bening tampak menebal di dinding kornea Ayu.
"Dan apa yang kita lakukan jika penjara itu ternyata bernama trauma? Jelas dia butuh pertolongan. Katakanlah, dia perempuan. Maka, dia butuh laki-laki, kan, untuk mengeluarkannya dalam kubangan tangsi itu kalau ingin merasakan cinta? Jangankan keberanian, untuk mengakui dirinya sendiri saja dia nggak becus. Apa yang kamu harapkan dari manusia seperti itu?"
Abimana terdiam. Sesuatu di dalam hatinya jelas lebih dingin daripada perangkap hujan yang datang berduyun-duyun ini.
"Cinta memang berkah seperti kata kamu. Semua orang ingin merayakannya setiap hari. Tapi bagaimana jika berkah yang ia dapatkan selama ini nggak lebih dari genangan racun?" Ayu mendesis. Cokelat pinus matanya menatap hampa. "Dia pikir selama ini dia dikaruniai keberkahan. Ia minum berkah-berkah itu setiap hari. Ia santap berkah itu pagi, siang, malam. Nggak tahu saja dia. Berkah yang dia hadapai selama ini dan memenuhi tubuhnya sampai semaput, nggak lebih dari racun yang membunuhnya perlahan-lahan."
Ayu kembali menyesap kopinya. Pandangan matanya mencederai gatra Abimana yang terlihat mematung. Ia kemudian bangkit, turut serta membawa gelas bercentel itu. Dilihatnya Jakarta dini hari yang basah. Mereka seperti tenda-tenda yang termenung dalam kegelapan yang dipeluk oleh langit kelam. Penglihatan Ayu menerawang, jauh menembus tirai hujan dan tenda-tenda itu.
"Aku jadi penasaran," sambung perempuan itu. Nada bicaranya seiring jam merangkak meninggalkan malam, sedingin subuh yang mulai bersiap-siap di depan perapian. "Sehebat apa orang tuamu sampai mereka berhasil mendidik sosok Abimana Prabakesa menjadi pemuda sehebat ini? Kenalkan aku pada mereka, supaya aku bisa belajar dengan layak bagaimana caranya bertahan hidup. Supaya anak-anakku nanti hidup nggak bergantung pada racun-racun di dalam cangkir mereka. Dan supaya anak-anakku mampu merayakan cinta setiap harinya tanpa perlu melarikan diri seperti pengecut dan bersembunyi sebagaimana orang kalah."
Abimana Prabakesa sadar, untuk kali pertama, ia menenggak racun yang tidak pernah ia prediksi keberadaannya selama 22 tahun hidup di atas tanah. Dan kebetulan, racun itu bernama Jatayu Maheswari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top