BAB 6. KENCAN CHARLOTTE

Guruh POV

"Gur, lo harus bener-bener jangan jatuhin harga diri lo sebagai cowok paling tajir di komplek lo. Gua yakin, tuh bule pasti klepek-klepek liat tampang lo yang Brandon Salim banget. Gua percaya, David Bekham aja kalah--"

"Bacot lo ah, Di." gua mendengus, menyisir rambut pomade gua menggunakan jari. "Demi lo nih. Gua rela jatohin harga diri gua buat ngechat si blonde. Gua kira gampang, eh, dia malah minta kencan ala orang borjuis. Bener apa kata Nadia, bakal tekor banyak gua malam ini."

Aldi melipat tangan, melihat gua masih bertekur di depan cermin rias kamar dia. Malam ini, tepat pukul tujuh malam gua sengaja meminta izin sama Papa buat pergi ke rumah Aldi menggunakan mobil hitam metallic keluaran terbaru di tv. Awalnya Papa gak setuju dan lebih memilih gua buat pergi menggunakan motor. Karena alasannya takut terkena begal dan mobil adalah satu-satunya kendaraan yang aman, alhasil beliau mengizinkan. Walau dengan raut muka jengkel, Papa membiarkan gua pergi ke rumah Aldi.

Iya juga kali kalo gua mau kencan sama si Blonde jemput dia pakai motor matic? Jatoh parah harga diri gua sebagai cowok ganteng berduit. Walaupun berduit, tapi gua selalu hemat. Seperti Mama. Kalian juga pasti tahu kalau gua sering minta traktir sama Aldi daripada ngeluarin duit? Cowok hemat.

Aldi berdeham, melempar kartu atm ke arah gua, "Lo jangan takut dibilang kere. Udah gua siapin. Noh uang makan malam lo."

Gua melirik atm milik dia, dan gua tahu banget orang tua Aldi itu baik banget. Gua berdecih, dia bela-belain dapet info dari si Blonde cuma buat bantuin kasus ayahnya Nadia dengan mengorbankan berbagai cara. Cewek dengan asal-usul gak jelas yang ngaku-ngaku turunan orang Belanda. Tapi versi kere. Makanya dia dibantuin Aldi.

"Gua pake duit jajan aja. Gak usah dari lo." gua menyimpan kartu atm itu di atas meja kaca rias, "Gua gak sekere itu. Gua tajir, gua ganteng, gua random, tapi gua gak mau bersenang-senang pakai duit lo. Simpen aja."

"Songong banget lo, anjir." Aldi tertawa, menepuk pundak gua keras, "Gua doakan dinnernya sukses! Sikat bro! Anak direktur, kapan lagi, Gur!"

Gua menggeleng jengah, teringat sesuatu, "Oh, jangan lupa, lo mending ke rumah Nadia, bawa tab gua dan liat aktivitas gua di sana lewat ini."

Gua menyerahkan satu komputer tablet dan earphone yang sudah tersambung dengan kamera hape gua. Yap, manual. Cuma ini satu-satunya ide yang terlintas saat Aldi meminta gua memancing Charlotte tadi siang. Seharusnya pake cctv pulpen atau kancing kamera kayak di film-film action, tapi kita gak punya waktu buat pakai atau maksudnya beli yang begituan. Cukup hape gua yang sedari tadi aktif video call di saku celana gua. Sementara gua pegang satu hape lagi di saku jas. Biar mengalihkan perhatian dia. Hebat kan gua? Sherlock Holmes.

Aldi yang mengerti dengan maksud dari tab dan ponsel video call yang gua kasih mendadak tertawa sinis.

"Anjir, sehati juga lo, Gur. Gua pikir lo gak bakal mikirin apa yang sebenarnya gua pikirkan sedari tadi! Wgs!"

"Guruh!" Gua menunjuk diri, bangga, "Gua cabut sekarang!" gua beranjak dari kamar Aldi pergi ke rumah Charlotte. Bodo amat deh gua kena semprot besok, yang penting gua sekarang mempunyai misi seperti detektive sungguhan.

*

Nadia PoV

Sudah beberapa menit sejak kedatangan Aldi ke rumah, kami hanya bisa diam saat Ayah terus saja mengamati wajah Aldi yang nampak serius membaca buku cetak di tangannya. Satu earphone terpasang di masing-masing telinga. Kami mulai mengamati video call di balik buku cetak yang kami pegang. Yap, alibi supaya Ayah percaya bahwa kami sedang belajar, bukan menonton tayangan drama romance Guruh dengan Charlotte di sana. Guruh sengaja menyimpan ponselnya yang tersambung dengan tab miliknya tepat di saku celananya dengan posisi tepat di bawah meja makan. Hanya wajah Guruh saja yang terlihat so cool dari layar ponsel. Suara mereka terdengar jelas, dan Charlotte sama sekali tidak menyadari itu.

Mereka masih berbasa-basi membahas soal tugas sekolah yang menumpuk. Sesekali mereka tertawa manis yang buat Aldi di sampingku berdecih pelan. Video call ini aktif saat setelah Guruh datang menjemput Charlotte ke rumahnya. Dan setelah itu mereka memasuki restoran mewah. Mereka seperti sepasang kekasih. Entah lah, rasanya cocok.

"Mereka cocok ya." aku berbisik pelan pada Aldi.

"Ya udah, lo cocoknya sama gua aja."

Mendengar celetukannya aku berdeham pelan. "Mimpi."

"Jujur ya, aku baru tahu ada anak pribumi yang nekad ajak aku dinner di sini. Tapi, kayaknya kamu beda dari yang lain."

Guruh tersenyum manis, "Kamu berlebihan, Charlotte. Oh, iya, Papa kamu keliatannya jarang datang ke sekolah, ya. Sibuk banget sama perusahaan barunya. Hebat lho, iklan produknya tayang di tv. Badass! Keren-keren!"

Charlotte tersenyum adun, betapa cantik dan elegannya dara jelita itu malam ini. Berbalut dress merah maroon tanpa lengan, senada dengan stiletto dan warna bibir tipisnya, dipadu dengan rambut blonde ash yang sengaja ia gerai bergelombang menutupi dada. Sangat luar biasa cantik menurut cewek sepertiku. Apalagi menurut Aldi dan Guruh yang sekarang berada di hadapannya. Mereka menyantap makanan ala borjuis yang Guruh pesan. Masuk serta makan di restoran mewah saja belum pernah, dan aku sama sekali belum pernah tahu dan merasakan rasa steak itu seperti apa. Harganya pun pasti sangat tidak masuk akal di dompetku.

"Ya, begitu lah. Papa sekarang memang sibuk di pekerjaan sampingannya di perusahaan makanan itu. Tapi, satu berita buruk yang membuatnya merasa tertekan dan enggan untuk kembali ke sekolah." Mata berwarna hijau terang itu menatap Guruh tajam, "Kau tahu, kasus kepala sekolah itu. Aku sampai tak habis pikir, apa benar Papa melakukan pembunuhan berencana atau hal-hal lain yang buatku tidak mengerti. Kenapa pihak forensik dan kepolisian mencurigai Papa?"

Aku berusaha mempertajam pendengaranku saat Charlotte membahas soal apa yang sedari tadi kami tunggu. Aldi membenarkan duduk, menekan earphone di telinga kananya.

Guruh mengernyit, "Bukannya wajar, ya? Maksudnya, Mr. Demian, kepdir memang selalu memasuki ruangan kepsek. Dan hanya Papa kamu satu-satunya orang yang berani dan memegang kartu kunci masa jabatan kepala sekolah. Dia bebas mengatur dan ya, menurutku wajar saja, kalau memang ada konflik internal antara kepsek dan kepdir."

Charlotte mendengus, menenggak segelas sirup merah dari atas meja, "Darimana kamu tahu, Guruh. Hei, kamu ini. Selama aku tinggal dengan Papa, dan selama aku mengamati Papa berinteraksi dengan orang lain, sama sekali tidak ada yang mencurigakan. Dan aku yakin, Papa memang bukan pelakunya."

"Lantas, bagaimana dengan perkembangan soal sekolah yang katanya, dan kamu juga pasti tahu, kasus beritanya udah viral di tv. Apa Papa kamu mau diam aja? Atau menyewa pengacara buat basmi perkara tersangka yang menunjuk ke arah beliau?"

Aku menggigit bibir, berusaha mencari kesimpulan dari nada suara Charlotte yang sama sekali tidak gugup atau kelabakan. Mataku melirik Aldi, sangat dekat dengan wajah seriusnya. Seketika dia menyadari tatapanku dan menoleh, lantas aku kembali membuang muka ke arah Ayah yang mulai bosan entah lah beliau beranjak meninggalkan kami menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang tamu.

"Lo liatin gue? Enchanted, ya?"

Mendengar pertanyaan Aldi aku melotot, mendelik sebal, "Ada belek di mata kamu. Masa masih gak sadar."

Aldi sontak mengucek ke dua matanya pelan, "Ngantuk, Nad."

Aku melengos, kembali memperhatikan layar ponsel dan jawaban Charlotte. Terdengar tawa sinis Charlotte saat setelah mendengar pertanyaan Guruh barusaja.

"Buat apa Papa sewa pengacara elit hanya untuk menangani kasus sampah kayak gitu. Sudah terbukti, udah jelas pelakunya, ya siapa lagi kalau bukan pembantu sekolah. Dia yang suka bersihin toiletnya, ya mungkin dia juga yang punya konflik atau dendam tersendiri. Kasus ini juga bakal secepatnya surut dengan pengalihan iklan besar-besar an produk makanan Papa. Dan secepatnya, pelaku sebenarnya juga bakal tertangkap."

"Mungkin, Papa kamu kelihatannya punya hubungan baik dengan kepsek. Jadi, kamu gak liat kecurigaan dari hubungan kerja mereka, kan?"

"Sebenarnya, Papa agak jengkel dan sering berdebat soal masalah kenaikan iuran sekolah yang menurut Papa wajar-wajar saja. Tapi kepsek selalu menentangnya karena ya, murid sebangsa kelas Nadia, si anak kacung itu pasti makin sulit buat bayar. Konflik itu masih bergulir, sampai Papa curhat setiap sarapan pagi, tapi aku yakin Papa gak punya niatan sampai mengarah ke pembunuhan."

"Aku baru tahu lho, ternyata mereka sering berdebat di belakang layar."

"Yeah, terkadang Papa suka kesal kalau iuran sekolah masih belum dinaikan pihak tata usaha. Apalagi kepsek yang selalu beralasan soal murid tidak mampu. Bukannya ada dana bantuan? Padahal pakai saja, fasilitas sekolah juga enak, kan? Berani-beraninya masuk sekolah elit, tapi duit kecekik. Dasar pribumi. Bisanya menyalahkan yang berduit."

"Bukannya hukum biasanya tumpul ke atas, tajam ke bawah, ya?"

Charlotte mengerucutkan bibir, "Kalau urusannya posisi Papa setara dengan kacung sekolah ya sama aja. Secepatnya, pelaku sebenarnya pasti terkuak. Biar saja Papa difitnah, aku, dan keluarga besarku saja tertawa mendengarnya. Papa tidak sampai jatuh miskin gara-gara kurangnya iuran sekolah dari murid-murid. Dasar pelaku sialan! Kalau sampai ketahuan, Papa pasti gak bakal tinggal diam. Liat aja nanti, kalau enggak satpam, pasti si kacung itu yang bersalah!"

Guruh tersenyum, "Jangan terlalu gegabah menyimpulkan fakta, My Dear."

"Anjir! Dia bilang My Dear!" Aldi, di sampingku berseru pelan, menepuk tanganku pelan. "Bonus buat lo, Gur. Elisitas lo berjalan mulus."

Aku mengernyit, "Elisitas?"

Aldi menoleh, menatapku, "Dalam operasi intelegen, ada yang namanya mencuri info tanpa si korban sadari. Seperti yang dilakukan Guruh. Gua gak tahu dia nyusun skenario se brilian ini. Dan Charlotte sama sekali gak sadar, kalau topik yang diomonginnya langsung menjurus ke arah inti apa yang sebenarnya kita cari. Ngerti, Nadia?"

Aku tertegun, mengangguk paham.

"Kamu yakin, kalau pelakunya pembantu sekolah itu?" tanya Guruh mendekatkan wajahnya pada Charlotte. Sepertinya dia mulai membaca raut wajah gadia blonde itu.

Charlotte mendengus, "Buat apa aku ngurusin urusan gak penting itu, Guruh. That's not my bussiness, darling."

"Why not, Darling? Hei, seharusnya kamu ikut andil dalam meneliti kasus ini. Tidak semena-mena pihak polisi menuduh siapa saja yang menjadi pelaku termasuk Papa kamu. Mereka mempertimbangkan berbagai kemungkinan, dan salah satunya Papa kamu. Kamu tahu, Papa kamu itu masuk ke dalam kasus berat. Bukan kasus sampah seperti yang kamu omongin."

Charlotte terdiam. Guruh sukses membuatnya bungkam. Di sampingku, Aldi berseru menggebu-gebu. "Gua traktir Seblak semau lo, Gur."

Charlotte berdeham, melahap potongan daging steak ke mulutnya. "Dengar baik-baik, Papa aku memang berstatus tersangka, tapi, dia bukan pelaku sebenarnya. Antek-antek Papa banyak, dan semarah-marahnya Papa, semurkanya Papa, dia gak bakal gegabah ngebunuh orang gak penting kayak Kepala Sekolah."

Guruh menggangguk paham, sebelah tangannya terulur dan tanpa diduga ia membersihkan saus yang menempel di sudut bibir Charlotte menggunakan ibu jarinya dengan lembut. Sontak Charlotte menunduk malu. Pipinya mulai memanas dan salah tingkah dengan sikap manis Guruh.

"Aku juga percaya. Bukan Papa kamu pelaku sebenarnya. Dan bukan si pembantu sekolah. Gak ada bukti sama sekali."

"Well, i don't care about it." Charlotte tersenyum, meraih ponselnya dan mengetik pesan dengan cepat lantas kembali menatap Guruh yang tidak sadar matanya sibuk menatap gadis itu. Tersihir, mungkin.

Makan malam berjalan dengan cepat. Guruh memilih diam setelah kejadian obrolan berat tadi. Sementara Aldi berusaha mengalihkan perhatian Guruh dengan menelponnya. Merasakan ponselnya bergetar, Guruh mengambil ponselnya yang berada di atas meja makan. Selama makan malam, ponsel itu benar-benar tidak digunakannya sama sekali. Alih-alih untuk membuat Charlotte percaya bahwa Guruh tidak sedang memata-matai dia.

"Halo, Pa?" jawab Guruh santai. Dia tahu bahwa nama Aldi sudah ia ganti menjadi nama Ayahnya. Betapa geniusnya Guruh ini. Aku pun tidak habis pikir.

Aldi berdecih, "Balik kapan? Enak ya lo berduaan sama cewek cakep. Awas aja pulang lo mabok kebelinger gara-gara kebanyakan liat si Blonde."

Guruh tersenyum, melirik Charlotte yang kini menatapnya penasaran, "Iya, Pa. Gak usah khawatir, aku udah gede. Kalau ada begal atau rampok ya tabrak aja, gampang kan?"

Aldi di sampingku terkekeh, melirikku. "Serah lo deh, Cuk. Awas aja lo grepe dia. Kasus tambah berat nanti."

"Siap. Bentar lagi pulang kok." Guruh mematikan sambungan panggilan lantas berdeham menatap Charlotte. "Biasa, Papa bilang hati-hati banyak begal."

Charlotte mengulum bibir, "Yeah, kalau gitu kita pulang aja. Udah jam setengah sembilan. Kebetulan, aku juga belum ngerjain tugas Fisika."

Guruh mengangguk, kemudian memanggil pelayan untuk segera membayar bill makanan mereka. Sesaat Guruh terdiam saat melihat bill yang diberikan pelayan restoran, namun di detik berikutnya ia tersenyum lantas membayarnya cash. Beberapa lembar uang berwarna merah melayang begitu saja.

Aku yang melihatnya berseru tidak rela. "Guruh gila kali, ya? Sayang tuh uangnya, mending buat aku aja. Padahal itu cukup buat iuran sekolah selama dua bulan."

"Tahu kan sekarang, itu baru namanya kencan hedonis ala anak borjuis. Hambur-hamburin duit gak jelas. Lo cuma tahu luarnya doang, Nad. Anak orang berada tuh ya kayak Charlotte hidupnya. Hedonis. Cuma buat foya-foya." Aldi bergeser duduk, berhadapan denganku. "Dan sekarang, lo juga harus bisa menyimpulkan, dengan video call yang udah gua rekam ini, kita liat, kita dengar, apakah ayah Charlotte tersangka sebenarnya atau bukan. Jadi," dia mendekatkan wajah padaku, waspada Nadia. "Kita punya kemungkinan lain buat jadi bukti. Bahwa di antara ke empat tersangka, bukan bokap lo, dan juga bukan bokap si Blonde pelakunya."

Aku menelan ludah, menjauhkan wajahnya menggunakan telunjuk. "Okey, kita tunggu kedatangan Guruh. Bukannya dia bisa membaca raut wajah orang lain? Itu bisa jadi penambah juga, kan?"

Aldi mengangguk, kembali memperhatikan layar ponsel yang tiba-tiba warnanya kembali menghitam. Yang aku tahu, Guruh kembali memasukan ponselnya ke dalam saku celana. Terdengar seperti derap sepatu dan stiletto milik Charlotte berjalan keluar dari restoran. Mungkin mereka mulai dalam perjalanan pulang.

Beberapa menit berlalu, suara mesin mobil mulai terdengar. Aku asumsikan bahwa Guruh sedang menyalakan mobil hendak mengantar pulang Charlotte.

"Aku gak tahu kamu dulu. Padahal kita udah masuk kelas sebelas, tapi, aku benar-benar gak tahu kamu di kelas Social." terdengar Charlotte mulai membuka percakapan.

"Mungkin, aku gak populer. Santai saja, hidup bukan untuk mencari sorot mata manusia, tapi mata ilmu, dan mata orangtua, dan Tuhan. Percuma populer kalau kita gak pernah ingat akan ke tiga hal itu." Guruh menjawabnya dengan sedikit kekehan di ujung kalimat.

"That's right." Charlotte mengangguk setuju.

Tidak ada percakapan lain setelah itu. Sunyi. Guruh lebih memilih untuk terus fokus menyetir sampai tiba di depan rumah besar dan megah milik Charlotte. Sebelum turun, Charlotte sempat mendekat ke arah Guruh lantas mengecup pipi kanannya singkat. Sontak Guruh mematung dan menatap Charlotte tidak percaya.

"Thanks for dinner. See you."

Guruh terdiam, mengusap pipi kananya saat setelah melihat Charlotte turun dari mobilnya dan berjalan menuju gerbang rumahnya yang langsung disambut security di sana. Cepat-cepat ia menggelengkan kepala, lantas memutar mobil meninggalkan rumah besar tersebut.

Selama perjalanan Guruh tidak berkata apapun. Entah lah, kami hanya mendengar suara mesin mobil. Aldi berdecak, memanggil Guruh jengkel.

"Gur, Eh lo jangan belingsatan gitu, woi. Sadar! Woi! Dari tadi gua ajak ngobrol gak nyaut-nyaut, elah." Aldi di sampingku bersungut-sungut memanggil Guruh. Namun si empunya nama masih belum tersadar.

"Guruh!"

"Woi gua denger tadi. Kalian aja yang gak nanya gua kenapa." jawab Guruh sedikit gelagapan.

Aldi berdecak, "Lo masih dimana?"

"Baru keluar wilayah target. Emang kenapa? Kangen ya?" mata Guruh terhenti saat melihat seorang kakek renta yang hendak menyebrang jalan. Sontak dia mengerem dan menghentikan mobil. Terkejut bukan main.

"Tuh abah-abah kenapa nyebrang gak liat-liat, sih! Serba salah, kan, duh."

Guruh melepas sabuk pengaman lantas keluar dari dalam mobil hendak menghampiri kakek bertongkat itu. Namun, sesuatu membentur bahunya sangat keras dari arah belakang. Dia mulai limbung, berusaha tetap awas melihat sekitar. Ternyata ada empat orang pria bertatoo dan bertubuh kekar siap menghadangnya kapan saja.

"Sial. Kenapa gua bisa kejebak gini?!"

Tanpa tedeng aling-aling Guruh berusaha menahan serangan para pria bertubuh kekar itu. Empat lawan satu. Beberapa kali Guruh berusaha menyerang dan menahan pukulan, tetap saja, rahang, mata dan perutnya terus saja menjadi korban. Darah mulai mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Rambutnya yang tertata rapi sudah acak-acakan dengan jas yang sengaja ia lempar ke arah kaca mobilnya. Ia tidak peduli, pikirannya hanya berusaha untuk pergi dan menghabisi mereka. Namun, satu pukulan telak menimpa perutnya berulang kali. Ia limbung dan mulai jatuh tergeletak di pinggiran jalan dekat mobilnya. Ia berusaha untuk tetap sadar, namun seluruh tubuhnya terasa kebas dan nyeri bukan kepalang.

"Boss, sikat mobilnya!" seru salah satu dari mereka.

"Gak. Boss kita cuma nyuruh buat dia babak belur, gak sama yang lain. Lo pada mau Boss kita gak percaya kita lagi!" jawab pria dengan tubuh paling besar dari yang lain.

Guruh menatap mereka tajam, walau posisinya terlungkup, "Yang suruh kalian, siapa?"

"Keluarga Mrs. Demian. Nona Charlotte, siapa lagi? Sudah. Tugas kita selesai. Cabut!"

Guruh meludah kasar, menatap kepergian preman-preman suruhan Charlotte itu pergi meninggalkannya. Ia berusaha berdiri, dan masuk ke dalam mobil yang sialnya, lokasi tempat pengeroyokan dirinya sangat jauh dari tempat ramai dan pemukiman.

Samar-samar kami mendengar suara rusuh yang keluar dari layar ponsel. Lama-lama, kami tahu, Guruh barusaja dikeroyok. Kami terkejut, terutama Aldi. Cowok itu bergegas mengambil kunci motor dan memakai jaket hendak menyusul Guruh. Tapi, satu suara menahannya.

"Di! Gua masih hidup! Gua otewe rumah Nadia!"

Terdengat teriakan Guruh di seberang suara. Dan yang lebih mengejutkan, dia mengangkat ponsel yang selama ini ia simpan di saku celana dan kini menampilkan wajah dan penampilannya yang menurutku, aduh, sangat mengerikan dan memilukan. Darah dimana-mana, tapi dia masih sempat tersenyum sambil menyetir.

"ANJIR LO GAK APA-APA, GUR! GUA IKUT KOMPOI AJA IKUTIN MOBIL LO. GUA TAKUT LO KEBABLASAN GAK BISA NYETIR!"

"BACOT LO, AH. BENTAR LAGI JUGA NYAMPE!"

Kenapa mereka harus teriak-teriak segala, sih!

Aku mendekat lantas merebut tab tersebut. Guruh fokus menyetir sambil meringis pelan. Aku menelan ludah melihatnya.

"Bawa mobilnya pelan-pelan. Hati-hati."

Guruh menatapku, mengacungkan satu jempol. "Gua suka. Makasih, Nad. Omongan lo lebih bermanfaat daripada omelan emak-emak tadi."

Aldi di sampingku merebut tablet di tanganku, "Gua khawatir, Cuk. Kaget sumpah gua denger lu dikeroyok. Bentar, lo punya utang?"

"Enak aja! Ya kagak lah. Suruhan Charlotte tadi." Guruh berusaha berpikir, mengingat-ngingat, "Mungkin dia takut rahasia masalah bokapnya tadi bocor dan ya, dia gak mau gua deket-deket nyari informasi lagi dari dia. Mungkin itu yang dia pikir saat dia laporan dan sms preman suruhannya pas kita lagi makan."

Aldi menghela napas lega, "Syukur lo masih dikasih hidup sama anak politikus, Gur. Sorry, gua seret lo masuk masalah gua sampai segitunya. Gimana kalo Bokap lo tahu? Habis gua."

"Gak bakal. Bilang aja gua emang bener-bener dikeroyok. Jujur aja. Santai." Guruh menatap jengkel Aldi, lantas memutar mobilnya memasuki gang gapura menuju rumahku.

Tidak lama, terdengar suara mesin mobil di depan rumah. Sontak kami berjalan keluar rumah dan benar, Guruh membuka mobil dan berjalan tertatih ke arah kami. Dengan sigap Aldi menahannya, membopongnya masuk ke dalam rumah. Aku khawatir bukan main. Cepat-cepat aku memberitahu Ayah yang barusaja keluar dari kamar dan mendapati Guruh di tengah rumah. Sama terkejutnya, beliau menyuruhku untuk segera mengambil kompresan air hangat dan obat merah. Cepat-cepat aku menyiapkannya dan berlari menuju ruang tamu.

"Yakin lo bisa ngobatin luka gua?" tanya Guruh melirikku yang sigap mendekat meraih wajahnya untuk mendekat. Perlahan, kuobati luka di sekitar wajahnya yang benar-benar membuatku berdegup tidak karuan.

Aldi di sampingku ikut menahan gerakan refleks Guruh jika tiba-tiba merasakan sakit. "Gur, tapi sakit di hati, gimana tuh."

Guruh di depanku mendelik, menendang tangan Aldi pelan. "Patah hati gua. Dikhianati si Blonde. Licik juga tuh cewek. Gua buatin anak baru tahu rasa."

"Eh!" refleks aku menepuk mulut Guruh yang sompral itu. Tidak tahu tempat dan situasi, sudah tahu Ayah barusaja datang dengan membawa teh manis hangat dari dapur. Bagaimana kalau beliau dengar! "Mulut kamu yang kurang didik!"

Guruh tertawa, kemudian meringis. "Lupa. Ada cewek di sini."

Aldi menggeleng jengah, mendapati Ayah yang kini membawa segelas teh hangat. "Makasih banyak, Pak. Aduh, saya jadi malu, merepotkan di rumah Bapak. Maafkan kami ya, Pak."

"Gak apa-apa. Saya juga khawatir liat Guruh seperti ini." prihatin Ayah. "Aldi, kamu sebaiknya antar Guruh, ya. Takutnya Guruh susah buat nyetir."

"Pasti." jawab Aldi sigap.

Aku tersenyum mendengarnya. Setelah mengobati luka Guruh, kami kembali dibuat bingung saat Ayah masih berada di antara kami. Namun, seruan dari luar rumah mulai menyadarkan kami. Ayah bergegas membuka pintu dan melihat Pak RT sudah berdiri di sana. Beliau meminta Ayah untuk mengobrol bersamanya di luar rumah pasal acara syukuran anaknya yang barusaja khitanan.

Kami menghela napas lega. Menatap masing-masing lantas tertawa.

"Gila. Gua baru kali ini dapet pengalaman detective kayak begini." celoteh Guruh. "Acting gua gimana?"

Aku mengacungkan dua jempol, "Mantap!"

Aldi berdecih, "Bagus, My Dear..."

"Anjir jangan dibahas yang itu, Cuk! Intinya." Guruh menatap kami serius. "Dengan riset dan penelitian raut wajahnya dari jarak dekat, Charlotte benar-benar jujur."

Aldi merengut, "Maksud lo, Bokapnya--"

"Ya, terbukti. Dari gerak-gerik dan gaya bicaranya, dia emang berusaha menutup-nutupi. Tapi, kebenarannya, dia jujur. Dan, terbukti, bahwa Mr. Demian, Kepala Direktur Cleaver High School sama sekali tidak bersalah."

"Sebentar, kenapa kamu yakin banget kalau bukan dia pelakunya?" tanyaku penasaran.

Guruh berdecak, "Dia bilang, ini kasus sampah. Ayahnya gak pernah ada niatan buat ikut campur apalagi sewa pengacara buat menentang statusnya sebagai tersangka. Kalau memang dia pelakunya, mungkin sedari kemarin bokapnya pasti sewa pengacara mahal dan koar-koar di tv kalau dia bukan pelakunya. Dan menurut gua, bokapnya bersikap biasa-biasa aja. Seperti yang dia bilang."

Aldi menatap Guruh, "Gur, kesannya lo kok ngebela si Charlotte, ya?"

"Bukannya gua ngebela, Di. Ini fakta. Kalau emang Mr. Demian tersangkanya, dia pasti bakal umbar gosip dan buang-buang duit demi menutup kasus yang dilakukannya."

"Sebentar, tapi kenapa Charlotte nyuruh orang buat ngeroyok lo? Ganjil banget, kan?" tanya Aldi masih tidak terima.

"Dia pasti mengira kalau Guruh pasti memata-matai dia. Guruh melakukan elisitas tanpa dia sadari dari awal, tapi dia bisa menyadarinya saat dia udah bungkam gak bisa jawab pertanyaan dari Guruh sendiri. Buktinya, dia sadar dan cepet-cepet sms preman langganannya buat keroyok Guruh." Aku berusaha melerai perdebatan antara mereka.

Aldi mengusap dagu, berpikir. Sementara Guruh tertawa mengacungkan jempol padaku. "Gua suka pemikiran lo, Nad."

"Jadi, kesimpulan dari rencana ini adalah, kita tetap simpan rekaman ini sebagai bukti, dan meyakinkan kalau dua tersangka, kepdir dan pembantu sekolah benar-benar kemungkinan besar bukan pelakunya." Aldi mulai mengangguk paham. "Dari rekaman tadi, jelas, bokapnya Charlotte selalu curhat kalau dia jengkel dan gak suka sikap kepsek yang selalu bela murid berekonomi lemah. Iuran sekolah, apa yang dikatakan Charlotte ada benarnya juga. Dia gak bakal sampai jatuh miskin cuma karena hal sepele itu. Dia gak bakal ngeluarin tenaga buat ngebunuh orang kalau cuma buat dapetin duit. Konfliknya hanya itu yang dapat gua simpulkan."

Guruh menghela napas lega, melirik aku yang masih mencerna beberapa asumsi di pikiran. "Gimana, Nad?"

"Sebaiknya, kita butuh masuk ke dalam dunia tkp. Mungkin, ada satu, dua barang bukti di sana. Jika bukan Ayah lo dan Mr. Demian, pasti di dalam ruang tkp ada bukti lain." tambah Aldi ikut menatapku.

Aku mengangguk, "Untuk waktu yang singkat, besok malam aku akan berusaha mencari cara agar bisa keluar melihat tkp. Bagaimana?"

"Nekad lo, Nad?!" ujar Guruh terkejut, "Bokap lo gimana?"

Aldi mengangguk setuju, menatap Guruh serius, "Gur, atur semua tempat buta kamera cctv dan sekuriti sekolah. Kita lanjut besok malam."

Guruh menepuk kening pelan, "Ampun, dah!"

________

Gimana? Seru, tak? Ngebut sehari ini. Typo dimaklumi yaa. Vote komentarnya yuhuu.. Kasihan Guruh tuh wkwk

Inget, jangan dulu diremove, soalnya kelanjutan cerita ini bakal greget. Tunggu kelanjutannya entah kapan, karena authornya sama-sama auto ngareett hehe✌✌asli, outline nya udah ada kok, tinggal nulis. Tapi, sebenarnya kami butuh waktu buat nulis. Dan berusaha untuk memberi yang terbaik bagi pembaca Riddle 😂😊

Regards 💐💐

Salvia Rosaline & MTKnia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top