Yasmin 28

Ikan hiu lagi ngaca
I love you yang baca

****

Kujual baju celana itu semua demi Nyai
Aku kerja jadi kuli demi Nyai

Walaupun Mba Vera cantik
Bibik Narsih juga cantik
Tetapi bagiku lebih cantik Yasmiin

Aku rela korban harta demi Nyai
Aku rela korban nyawa demi Nyai

(Nyaweerr doong!!🤣🤣🤣)

****

Sementara itu di sebuah apertemen mewah, seorang lelaki bule tengah berbicara di telepon.

Lo siento hermana, no he podido encontrar a Riani.

(Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa menemukan Riani).

Ttuuutt...ttuuutt....

Sambungan itu terputus. Lelaki berwajah bule mencoba kembali menghubungi seseorang.

Hallo

Apa sudah ada kabar?

Lama sekali saya tunggu.

Saya tidak pakai kamu lagi, jika dua hari nanti tidak ada kabar.

****

Sementara itu di kamar Yasmin udara mendadak panas, padahal Yasmin baru saja selesai mandi dibantu oleh Bik Narsih. Ia juga mengenakan piyama terusan pendek tanpa lengan, balkon kamar juga sudah dibuka agar udara dan matahari pagi masuk ke kamarnya. Namun tetap saja hawa kamar terasa panas. Semua ini dikarenakan foto yang baru lima menit lalu ia lihat. Rasa penasaran membuat Yasmin akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Jaja.

Aaj ke ladke i tell you
Kitna lallu what to do

Koi mujhe pooche how are you
Koi mujhe bole how do you do

Kabhi koi mujshe na kahe
Oh my darling i love you
Oh my darling i love you
Oh my darling i love you

Di lain tempat yaitu lebih tepatnya di sebuah rumah sakit. Seorang wanita paruh baya masih tertidur pulas karena baru saja selesai sarapan. Namun tidurnya terganggu karena suara ponsel anaknya yang sedari tadi berdering.

Masih dengan mata setengah terbuka, Bu Ambar mencoba duduk. Matanya mencari kemana si pemilik ponsel tersebut yang tidak lain adalah Jaja. Namun tidak menemukannya. Bu Ambar meraih ponsel saja yang berada di atas meja kecil yang berada di sampingnya.

Mata Bu Ambar melotot bahkan mulutnya menganga saat melihat tulisan di layar ponsel anaknya.

'Jandaku'

"Ya Allah, kapan dia kawinnya?emang gue punya mantu?kenapa tau-tau mantu gue udah janda aja?" Bu Ambar bergumam sambil menautkan alisnya.

"Perasaan gue ga pernah bikin hajatan dah" gumam Bu Ambar lagi sambil mencoba menggeser tanda hijau di layar ponsel Jaja, namun susah.

Nyanyian bollywood itu masih saja menggema, tentu Bu Ambar merasa tidak enak dengan pasien yang satu kamar dengannya. Pasien wanita paruh baya yang persis di depan bed-nya sudah melirik sinis.

Nyanyian itu akhirnya berhenti juga setelah lama berbunyi. Jaja baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah segar sehabis mandi, berjalan menghampiri ibunya.

"Kapan lu kawin, Ja?" tanya Bu Ambar dengan mata melotot.

"Hah...kawin?! Siapa?"

"Ya lu, Ja. Masa iya gue nanya yang lain."

"Ngaco nih Mamah, Ya nggaklah! Kawin sama siapa juga? Ga ada yang mau sama Jaja, Mah. Baru aja kemaren ngelamar anak orang, malah ditolak," sahut Jaja kini sudah duduk di kursi samping bed ibunya sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil.

"Trus ini HP lu bunyi, nama yang nelpon jandaku. Siapa itu?" tanya Bu Ambar lirih karena pipinya tiba-tiba terasa linu. Ia menyerahkan ponsel itu pada Jaja.

"Masa sih, mana Jaja tahu, Mah," sahut Jaja sambil terus mengingat nama penelepon yang ditanya ibunya barusan. Ternyata ia lupa bahwa dialah yang menuliskan nama kontak Yasmin dengan nama 'jandaku'.

Aaj ke ladke i tell you
Kitna lallu what to do

Keningnya berkerut melihat layar ponselnya yang menampilkan nama kontak 'jandaku'
Cepat Jaja menggeser tombol terima pada ponselnya dengan sedikit ditekan.

Hallo, Assalamualaikum. Maaf ini siapa ya?

Sapa Jaja ramah masih tidak sadar dengan siapa dia berbicara.

Apa?kamu tidak simpan nomor saya? Bukannya tadi shubuh kamu kirim pesan pada saya?Saya Yasmin bos kamu.

Jaja memukul keningnya cukup keras. Bahkan kini ia menggigit bibir bawahnya. Merasa sangat malu sekaligus takut dengan nada suara Yasmin yang terdengar marah.

Maaf, Bu. Saya belum tulis namanya, baru nomornya saja. Maaf ya, Bu.

Ada apa, Bu?

Ibu kamu dirawat di rumah sakit mana?

Di rumah sakit Mitraxxxxxx, Bu.

Lantai?ruang berapa?

Lantai tiga ruang Edelweis, Bu.

Tuutt...ttuuut...

Sambungan itu terputus begitu saja. Jaja masih menatap ponselnya dengan wajah sedih. Kenapa ia bisa sampai lupa bahwa kontak 'jandaku' adalah nama kontak Yasmin. Bos sekaligus wanita yang ia sukai saat ini. Bu Ambar memandang wajah Jaja dengan penuh tanda tanya.

"Siapa?" tanya Bu Ambar cepat.

"Jandaku, Mah. Eh...janda orang maksudnya." Jaja menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Janda siapa? Duh...Ja. kamu kenapa mainnya sama janda mulu sih? emang yang perawan kudu PO apa?" oceh Bu Ambar sambil memggelengkan kepala.

"Janda yang mana lagi ini?"

"Bu Yasmin, Mah. Jaja lupa kalau nulis nama Bu Yasmin itu 'jandaku'."

"Apa?! Aaah....aahh!" kembali Bu Ambar meringis menahan sakit di kedua sudut bibirnya.

"Kagetnya biasa aja, Mah. Inget bibir masih sakit."

Puk! Puk!

Bu Ambar memukuli lengan anaknya dengan gemas untuk melampiaskan kekesalannya.

"Ahh...sakit, Mah," rengek Jaja sambil mengusap lengannya yang terasa perih.

"Cari mati lu, Ja! Bisa-bisanya nama bos lu, lu tulis 'jandaku'. Aduh, Jaja ... kepala ada di atas apa di bawah sih?"

"Di tengah," sahut Jaja asal sambil menahan tawanya.

"Bukan kepala si untung, Jaja!" tukas Bu Ambar dengan kesal.

"Ganti namanya, jangan itu!" titah Bu Ambar pada anaknya.

"Siapa dong?"

"Mantu mamih," seringai tipis Bu Ambar terbit.

****
Yasmin mengganti pakaiannya dengan kesal. Bagaimana bisa Jaja tidak menyimpan nomor ponselnya. Dengan perlahan Yasmin memakai rok plisket model dengan panjang di bawah lutut sambil sesekali menahan sakit kakinya. Ia juga mengenakan baju kaos berkerah wanita yang sangat pas di tubuhnya.

Tak lupa ia menguncir tinggi rambut hitam ikal miliknya lalu mengoleskan lipstik tipis di bibirnya.

"Amih mau ke mana? Kaki amih bukannya sakit?" tanya Reza saat masuk ke dalam kamar amihnya yang terlihat sedang berdandan rapi.

"Amih mau menjenguk Nenek Ambar," sahut Yasmin dengan berjalan sedikit pincang meraih tas selempang mini miliknya.

"Ibunya abang Jaja?" tanya Reza dengan wajah berbinar.

"Betul, Sayang." Yasmin mengangguk sambil tersenyum.

"Abang boleh ikut tidak?" tanya Reza ragu-ragu.

"Tidak boleh bawa anak kecil ke rumah sakit, Bang," jawab Yasmin kini sudah duduk di sebelah Reza, mengusap lembut rambut ikal anak lelakinya itu.

"Tapi waktu opa sakit, abang boleh jenguk," sanggah Reza sambil mencebikkan bibirnya.
Memandang wajah ibunya penuh mohon agar diperbolehkan ikut.

"Besok ya. Amih akan pindahkan kamar perawatan nenek Ambar ke ruangan yang bisa dijenguk anak kecil seperti, Eza. Bagaimana?"

"Ya sudah, tapi Amih naik apa ke sana?" tanya Reza lagi sambil melirik kaki ibunya yang masih di bungkus kain coklat.

"Naik taksi online dan sepertinya sudah di bawah. Yuk, bantu Amih turun!" Yasmin mengulurkan tangannya pada Reza, tentu saja Reza dengan senang hati membantu amihnya turun dari lantai dua menuju gerbang depan, tempat dimana sebuah taksi sudah menunggunya.

"Hati-hati, Amih!" seru Reza mengingatkan. Tangannya masih memegang erat jemari Yasmin.

Bik Narsih yang asik di dapur menoleh saat mendengar suara Reza dan Yasmin berada di tangga. Keningnya berkerut memperhatikan majikannya yang sudah rapi. Mau ke mana dalam keadaan kaki sakit begitu?tanya Narsih dalam hati. Matanya terus saja mengikuti kemana Reza membawa Yasmin berjalan.

Baru saja pintu rumah besar itu dibuka, tampak pintu pagar dibuka lebar oleh seorang pria yang masih cukup muda. Ia adalah Lukman, supir papanya Yasmin. Reza membantu ibunya duduk di kursi teras untuk memakai sendal bertali favorit ibunya. Yasmin dan Reza memandang mobil yang saja baru masuk ke halaman rumah mereka.

"Opa, Mih!" seru Reza sambil menghampiri mobil opanya yang baru saja berhenti. Lelaki paruh baya tinggi besar dan tampan itu keluar dari mobil dengan senyuman merekah. Menyambut jemari cucunya yang hendak mencium punggung tangannya.

Pak Miharja menggendong Reza lalu pandangannya beralih pada Yasmin yang sudah berjalan menghampirinya dengan sedikit pincang.

"Lho mau ke mana?" tanya Pak Miharja keheranan saat Yasmin mencium punggung tangannya. Puterinya tampak sudah rapi.

"Ada urusan sebentar, Pah. Papa main sama Eza dulu saja ya." Yasmin melanjutkan langkahnya dengan susah payah menuju gerbang depan.

"Lho, gimana sih? Papa mau jenguk kamu, malah kamu pergi. Jangan dipaksakan tho, nduk!" seru Pak Miharja cukup keras. Yasmin tetap melanjutkan langkahnya, namun seketika berbalik lalu melambaikan tangan pada papa dan juga anaknya.

Pak Miharja mengikuti langkah Yasmin dari belakang masih dengan menggendong cucunya. Supir Pak Miharja pun ikut mengekori. Pak Miharja hanya ingin memastikan bahwa anak perempuan sulungnya masuk ke dalam taksi dengan selamat.

"Tutup lagi gerbangnya, Man!" titah Pak Miharja pada supirnya lalu berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang tamu, Pak Miharja menurunkan cucunya.

"Opa kita main lego, yuk!" ajak Reza sambil menarik tangan opanya untuk naik ke atas.

"Sebentar, Bang. Opa minum dulu ya," sahut Pak Miharja sambil berjalan mencari Bik Narsih di dapur.

"Eh, ada Tuan. Mau minum apa, Tuan?" tanya Bik Narsih hormat sambil menyunggingkan senyumnya.

"Teh tawar ya, Bik."

Bik Narsih mengangguk. Tangannya dengan cekatan mengambil cangkir keramik di dalam lemari pajangan di dapur.

"Emang nyonya kamu mau ke mana sih?" tanya Pak Miharja pada pembantu anaknya itu.

"Mau nengokin nenek Ambar," sahut Reza yang kebetulan menyusul opanya ke dapur.

"Siapa nenek Ambar?" tanya Pak Miharja lagi dengan raut bingung.

"Itu lho, Opah. Ibunya papa baru Eza."

"Apa?!"

Pak Miharja dan Bik Narsih memekik bersamaan.

****
Perjalanan menuju rumah sakit yang seharusnya bisa dilalui dengan memakan waktu setengah jam saja, namun kini sudah empat puluh lima menit belum sampai juga. Yasmin sudah sangat gelisah sekaligus bete karena memeperhatikan jalanan yang sangat macet di siang hari seperti ini.

Berkali-kali ia melirik arlojinya lalu mengehela nafas panjang.

"Buru-buru ya, Bu?" tanya supir taksi yang membaca gelagat gelisah penumpangnya.

"Iya, Mas." sahut Yasmin sambil tersenyum tipis.

Lima belas menit kemudian, akhirnya Yasmin sampai juga di sebuah rumah sakit besar. Dimana salah satu dokternya adalah Vera seorang dokter spesialis penyakit dalam. Setelah memberikan satu lembar uang lima puluh ribu pada supir taksi, Yasmin dengan perlahan dan hati-hati turun dari mobil tersebut.

Langkahnya masuk ke lobi rumah sakit dalam keadaan pincang, tentu saja mengundang orang untuk memperhatikannya.

"Selamat siang, Bu. Perlu saya ambilkan kursi roda, Bu?" tawar seorang petugas keamanan rumah sakit yang membukakan pintu lobi untuk Yasmin.

"Saya tidak apa-apa, Pak. Terimakasih. Saya hanya mau menjenguk saudara ada di lantai tiga Edelweis."

Petugas itu mengangguk lalu mengantarkan Yasmin menuju lift untuk naik ke lantai tiga.
Entah kenapa di dalam lift, dada Yasmin berdebar. Kedua telapak tangannya pun kini mengeluarkan keringat dingin.

Ting...

Pintu lift terbuka dan Yasmin pun melangkah keluar dari lift menuju ruangan Edelweis.

"Jaja..." panggil Yasmin saat memasuki ruang perawatan yang terisi penuh.

Jaja yang sedang memijat kaki Bu Ambar menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia begitu juga ibunya, melihat Yasmin kini berada di depan mereka.

"Ya Allah, Bu. Kok kemari? Ayo duduk, Bu!" Jaja memberikan kursi pada Yasmin.

"Non Yasmin saya jadi tidak enak ditengokin gini." ujar Bu Ambar dengan malu-malu.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya penasaran saja dengan keadaan ibu. Ibu kenapa bibirnya itu?" tunjuk Yasmin saat melihat sudut bibir Bu Ambar ada jahitan sedikit.

"Oh, itu ibu saya digebukin bapak tiri saya, Bu." terang Jaja jujur membuat Bu Ambar melotot pada Jaja.

"Ya Allah, trus tapi ibu gak papakan?" tanya Yasmin khawatir sambil memperhatikan betul-betul luka di wajah Bu Ambar.

"Ya ini, Non. Babak-belur. Untung Jaja, eh...salah deh." Bu Ambar menutup mulutnya karena malu.

Wajah Yasmin berubah merah saat mendengar kata untung Jaja. Wanita itu susah menelan salivanya.

"Untung saja maksud saya." Bu Ambar menyeringai sedangkan Yasmin salah tingkah sendiri begitu juga Jaja yang mengulum senyum.

"Alhamdulillah, anak saya yang super hebat ini segera membawa saya ke rumah sakit. Sehingga saya bisa tertolong, kalau tidak... bisa almarhum saya." terang Bu Ambar sambil melirik ke arah Jaja.

"Syukurlah, Bu. Semoga cepat sembuh ya, Bu." ujar Yasmin tulus sambil mengeluarkan amplop dari dalam tasnya lalu memberikannya pada Bu Ambar.

"Eh, jangan merepotkan, Non! Saya tidak apa-apa. Besok juga sudah pulang." tolak Bu Ambar halus. Jaja pun mengangguk.

"Tidak apa-apa, Bu. Ini buat ongkos ibu nanti kalau kontrol ke rumah sakit. Cuma sedikit kok, Bu."

"Jangan, Bu! Masih ada uang yang kemarin." kali ini Jaja yang bersuara. Mengambil amplop coklat tebal dari tangan ibunya, namun ditahan oleh Bu Ambar sambil tersenyum penuh sandi.

"Rezeki tidak boleh ditolak, Ja. Ga papa ambil saja."

Setelah berbicara cukup lama dengan Bu Ambar dan Jaja. Yasmin pun pamit pulang. Dalam hati, ia akan menanyakan perihal status Vera saat di bawah nanti. Tentu saja Jaja mengantarnya sampai lobi. Baru juga di depan pintu keluar ruang Edelweis, tiba-tiba kaki Yasmin keram. Tubuhnya limbung, untung Jaja, eh...untung saja Jaja menahannya.

"Eh..." tanpa sengaja Jaja mendekap tubuh Yasmin dari belakang. Jemari keduanya saling menggenggam. Tangan kanan Jaja memeluk pinggang Yasmin.

Tubuh keduanya kaku bagai terkena petir. (Gosong dong, hahaha) Yasmin tidak berani bergerak, bernafas pun ia takut. Begitu juga hal yang dirasakan Jaja saat ini. Keduanya saling merasakan jantung yang berpacu sangat cepat.

"Yasmin, ada apa ini?" teguran seseorang dengan suara bariton membuat keduanya tersadar lalu melepaskan dekapan.

****
Sementara itu Bu Ambar tengah mengangkat bantal tidurnya. Kini ada dua amplop disana. Senyumnya merekah lalu dengan cepat menarik gorden pembatas antar bed.

"Alhamdulillah, habis benjol terbitlah amplop. Hihihihi...aahh....ah...aaah...aduh...sakit..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top