Yasmin 26

Gatotkaca main layangan
Selamat membaca kesayangan

🥰🥰🥰🥰

"Bu, permisi," tegur Jaja saat berdiri tepat di depan kamar Yasmin yang masih terbuka pintunya. Yasmin yang sedang duduk fokus pada ponselnya ikut menoleh.

"Ada apa?" tanya Yasmin datar. Melihat Jaja sekilas, lalu matanya kembali pada layar ponsel.

"Reza sudah tidur, saya permisi pulang ya, Bu. Besok saya balik lagi dengan membawa tukang urut."

"Oh, oke. Hati-hati," sahut Yasmin sambil tersenyum tipis.

"Mas Jaja!!" suara Bik Narsih menggema dari dalam kamar mandi Yasmin. Kepalanya menyembul keluar. Hingga Jaja dan Yasmin menoleh pada Narsih.

"Mau pulang ya? Saya antar ya?" ujar Bik Narsih sambil menyeringai.

"Emang kamar mandinya sudah bersih?"

"Sedikit lagi, Bu. Saya antar Mas Jaja dulu ke bawah. Nanti saya lanjutkan lagi sikat kamar mandinya." Bik Narsih sudah berdiri di dekat Yasmin. Matanya tidak lepas menatap Jaja.

"Tidak bisa! lanjutkan lagi pekerjaanmu!" tolak Yasmin tegas.

"Sekalian saya kunci pagar, Bu," sela Narsih beralasan. Tetapi ada benarnya juga, pintu pagar memang harus dikunci setelah Jaja pulang.

"Ya sudah. Jangan lama-lama!" Yasmin menyerah. Memberikan izin pada Bik Narsih untuk mengantar Jaja ke bawah.

Bik Narsih berjalan keluar dari kamar Yasmin, menghampiri Jaja yang masih berdiam diri di ambang pintu. "Jangan lama-lama, Narsih!" seru Yasmin kembali mengingatkan.

"Iya, Ibu Sayaaang," sahut Narsih penuh penekanan sambil menggandeng lengan Jaja. Menariknya berlalu dari depan kamar majikannya.

"Hei ... bukan mahrom! ga boleh gandengan begitu!" seru Yasmin sewot melihat Jaja yang digandeng oleh Narsih. Namun suara peringatan itu sudah tidak didengar oleh keduanya.

Cukup lama Yasmin menunggu Narsih yang tidak kunjung kembali. Kakinya yang terasa sakit menjadi semakin sakit, membayangkan pembantunya itu berduaan dengan Jaja. Ingin sekali ia mengintip dari jendela, namun apalah daya, kakinya masih terasa begitu sakit.

Lima belas menit berlalu barulah Narsih kembali ke kamar majikannya.

"Lama sekali sih! Ngapain aja?" tegur Yasmin tidak suka. Entah kenapa ia resah saat ini.

"Itu tadi di depan ketemu Dokter Vera yang kebetulan lewat. Trus ngobrol sama Mas Jaja di bawah. Sekarang juga masih ngobrol. Kalau saya lihat dari gelagatnya, Dokter Vera suka deh sama Mas Jaja, Bu."

"Apa?!" pekik Yasmin dengan mata melotot.

"Aduh ... kaget!" Narsih mengusap dadanya yang kaget mendengar pekik Yasmin yang cukup keras.

"Jadi ... mereka masih di bawah?" tanya Yasmin lagi, memastikan ucapan pembantunya. Bik Narsih mengangguk pelan sambil mencebikkan bibirnya.

"Ya sudah kamu beresin dulu kamar mandi saya, setelah itu kamu istirahat deh."

Bik Narsih mengangguk paham lalu berjalan kembali masuk ke kamar mandi majikannya. Yasmin merebahkan tubuhnya dengan pelan, wajahnya meringis saat kakinya kembali terasa linu. Setelah dirasa cukup pas, Yasmin kembali mengambil ponselnya. Ia hendak mengirimkan pesan pada Jaja, namun ragu.

Ia memutuskan membuka kontak Vera, hendak mengirimkan pesan pada tetangganya itu. Namun lagi-lagi ia urungkan. Ia tidak ingin jadi bahan ledekan Vera nantinya. Hingga Bik Narsih selesai, Yasmin tidak kunjung bisa memejamkan mata. Hati dan suasana terasa sangat sepi, ia memandangi foto dirinya dan alamarhum Arman dengan pose ia berada di atas gendongan punggung suaminya.

Arman adalah lelaki terbaik yang pernah ia miliki, lelaki yang pendiam namun begitu perhatian. Saat kuliah, begitu banyak yang mendekati dirinya, namun hanya Arman yang mampu membuatnya tidak bisa tidur dan selalu resah. Kali ini, ia tidak bisa tidur hanya karena seorang Jaja yang tidak bisa dibandingkan dengan almarhum suaminya.

Ada apa dengan dirinya saat ini? Yasmin terus saja berbicara pada hatinya. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengirimkan pesan pada Jaja.

Ja, besok tukang urutnya laki-laki atau perempuan?

Lima menit berlalu tidak ada balasan juga dari Jaja. Pesannya juga belum dibaca. Yasmin semakin gelisah.

Ting...

Balasan pesan dari Jaja masuk lalu dengan cepat Yasmin menekan tombol baca.

Nenek-nenek, Bu.

Yasmin kembali mengetik pesan.

Kamu sudah sampai rumah?

Masih di jalan, Bu. Diantar Dokter Vera

Yasmin meremas rambutnya kasar. Ia tidak tahu harus mengirimkan pesan apa lagi. Dokter Vera adalah teman semasa kecilnya waktu tinggal di Yogyakarta. Wanita itu cantik, pintar dan kaya. Namun sampai sekarang belum juga menikah. Salah satu yang membuat Yasmin semakin khawatir, Vera termasuk wanita agresif. Duh...Yasmin kembali gelisah. Kenapa Jaja mau diantar Vera sih??

****
Jaja sudah sampai di depan gang rumahnya diantar oleh Dokter Vera.

"Terima kasih sudah mengantar saya, Dok."

"Panggil Mbak Vera saja."

"Eh iya, Mbak, terima kasih." Jaja menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Besok biar saya bicara pada Yasmin. Kalau Yasmin setuju, mulai lusa, kamu sudah bisa bekerja di rumah sakit."

"Alhamdulillah, terimakasih banyak, Mbak Vera." Jaja tersenyum senang. Turun dari mobil sedan mewah Vera dengan hati riang. Vera melambaikan tangan pada Jaja sambil membunyikan klakson.

Semoga Bu Yasmin mengizinkanku bekerja pada Dokter Vera, besok. Jaja bermonolog. Senandung riang ia nyanyikan mengisi ruang hati yang tadi sempat gundah karena perkataan pedas Yasmin sekaligus bertemu dengan lelaki yang mengaku calon suami Yasmin. Tawaran pekerjaan teknisi listrik yang dilayangkan Vera membuat ia kembali bersemangat.

"Assalamua'laykum," seru Jaja sambil membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Tumben sepi, pikirnya. Bu Ambar tidak menyahut, lampu ruang tengah yang dijadikan kamar ibunya juga sudah padam. Jaja duduk di lantai membuka kaus kakinya. Dilanjutkan dengan kemeja biru pemberian Yasmin. Ia berjalan melewati kamar ibunya dengan pelan.

Klikk

Jaja menyalakan lampu kamar. Betapa kagetnya ia melihat ibunya terkapar tidak sadarkan diri dengan luka lebam di kedua pipi dan kening. Bahkan luka sobek juga terlihat nyata di kedua sudut bibir ibunya,  hingga bekas darah mengering.

"Mak...Ya Allah! Tolooong...toloooong....!! teriak Jaja ketakutan, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena terlalu syok dengan keadaan ibunya. Kedua lututnya lemas.

Beramai-ramai tetangga mendatangi rumah Jaja, mereka juga sangat kaget melihat keadaan Bu Ambar yang  menyedihkan. Untung saja  Pak RT setempat dan beberapa warga lainnya sigap membawa Bu Ambar ke rumah sakit.

Tentu saja Jaja menemani ibunya. Lelaki itu memeluk tubuh lemah wanita yang sudah melahirkannya ke dunia dengan sangat erat. Janji Jaja pada dirinya, akan membunuh Jamal jika sampai nyawa ibunya tidak tertolong.

Setelah sampai di rumah sakit. Bu Ambar langsung dilarikan ke UGD. Beberapa perawat tampak sibuk memasang infus, ada juga yang tengah membersihkan luka mengering di sudut pipinya. Pak RT dan Pak Nyoman masih setia menemani Jaja. Memberi dukungan pada Jaja agar kuat dan sabar.

"Jamal ini pasti kerjaannya," ujar Pak Nyoman.

"Iyalah, siapa lagi. Kata Bu Sumi, tadi Jamal berteriak pada Bu Ambar, trus terdengar juga suara pukulan dan benda jatuh," terang Pak RT menirukan keadaan yang didengar oleh Bu Sumi, tetangga samping Jaja.

"Memang sialan!" maki Jaja sambil mengepal jemarinya hingga kukunya memutih. Jika saat ini ada Jamal di hadapannya, tentu sudah ia pukuli hingga babak belur. Hatinya begitu terbakar api kemarahan dan dendam.

"Keluarga ibu Ambar!" seru seorang perawat.

"Saya anaknya, Sus." Jaja bangun dari duduknya. Berjalan menghampiri suster yang berdiri di ambang pintu masuk UGD.

"Silahkan masuk, Mas. Dokter mau bicara."

Jaja melangkah masuk mengekori suster. Nampak ibunya sudah sadar, namun masih lemas.

"Makk," panggil Jaja lembut menghampiri ibunya yang terbaring lemah di brangkar.

"Mammaah...," susah payah Bu Ambar kembali membetulkan ucapan Jaja, hingga membuat anak lelakinya itu terkekeh.

"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Jaja dengan raut penasaran. Sesekali ia melirik ibunya yang kini memejamkan mata namun tidak tidur.

Jaja mendengarkan dengan seksama apa yang diterangkan dokter tentang kondisi ibunya. Begitu sakit hati Jaja, bahkan ia meneteskan airmatanya. Sungguh tega Jamal menyiksa ibunya. Untung saja ibunya masih selamat. Jika tidak, ia yakin akan menjadi anak paling menyesal di dunia.

Kabar yang paling menyakitkan buat Jaja adalah dimana dokter mengatakan bahwa kemaluan ibunya terluka, seperti ada benda kasar yang dimasukkan ke dalamnya. Nafas Jaja sesak, ia tidak sanggup membayangkan kesakitan yang diterima ibunya.

Berkali-kali ia mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipi. Masih memandangi wajah ibunya yang kini juga mengeluarkan air mata dalam keadaan mata tertutup.

"Mamah istirahat ya, Jaja ke depan sebentar ketemu Pak RT." Jaja berjalan keluar dari ruang perawatan menemui Pak RT dan Pak Nyoman. Jaja menjelaskan kondisi ibunya yang sudah mendingan tetapi tetap menutupi keadaan ibunya yang sebenarnya.

"Pak RT saya minta tolong, titip pesan pada Bu Sumi, agar memasukkan pakaian saya dan ibu saya ke dalam karung. Lemari pakaian ibu saya tolong dikosongkan, besok bawa ke rumah sakit."

"Maksud kamu?" Pak Nyoman menautkan alisnya tidak paham.

"Setelah boleh keluar dari rumah sakit, saya akan pergi membawa ibu saya, Pak."

"Lha, tapi ke mana?" tanya Pak RT lagi.

"Saya sendiri tidak tahu, Pak. Saya sudah tidak sanggup bertemu Pak Jamal, saya takut khilaf. Saya tidak ingin jadi pembunuh," ujar Jaja penuh lirih. Seluruh tubuh dan jiwanya seakan begitu lelah menahan emosi.

Jaja mengirimkan pesan pada Yasmin, bahwa hari ini ia tidak bisa ke rumah Yasmin karena ibunya sakit. Ia juga meminta maaf karena belum bisa membawakan tukang urut yang ia janjikan. Pikirannya bercabang saat ini. Satu sisi ia khawatir pada keadaan ibunya, harus mencari tempat tinggal baru pula.

Sisi lainnya ia butuh pekerjaan lebih layak agar Yasmin dapat melihat ke arahnya. Tetapi ia juga merasa tidak yakin sanggup berjauhan dari Yasmin dan Reza.

R

asa penasaran masih membumbung tinggi di kepala Yasmin. Ia ingin tahu apa saja yang dibicarakan Jaja pada Vera. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak semalaman karena memikirkan Jaja dan Vera. Niat ingin bertanya langsung, malah Jaja tidak masuk hari ini. Alamat ia semakin penasaran.

"Pagi Yasmin," sapa ramah Vera sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Yasmin.

"Masih bengkak ya kakinya?" tanya Vera mendekat memperhatikan mata kaki Yasmin.

"Iya, masih sedikit sakit." sahut Yasmin tidak bersemangat. Vera malah duduk di samping Yasmin sambil membawakan plastik kecil yang sepertinya berisi obat.

"Ini aku bawakan obat anti nyeri. Aku juga udah panggilkan tukang urut langganan mamah. Jaja tadi kirim pesan, katanya ia tidak bisa membawakan tukang urut untuk kamu, Yas. Jadinya dia minta tolong aku." terang Vera dengan suara mendayu-dayu.

"Oh iya, Yasmin. Ini juga." Vera menyerahkan amplop coklat pada Yasmin.

"Apa ini?" Yasmin menerimanya dengan bingung.

"Utang Jaja sama kamu, aku tebus ya. Mulai besok Jaja kerja di rumah sakit sama aku."

"Apa?!" Yasmin kaget, bahkan wajahnya pias.

"Iya, aku bayarin hutang Jaja ke kamu, ini aku lebihkan dua juta sebagai kompensasi. Rumah sakit lagi butuh teknisi listrik."

"Tidak bisa!" tolak Yasmin sambil meletakkan kembali amplop coklat ke tangan Vera.

****
Vaannnaass...semakin vaannass🤯🤯🤯🤯
Vera beneran gercep lho say. Yasmin meleng dikit, Jaja bisa terlepas.

Ayoo vote dan komen yang rame. Tidak pakai target ah, malam ini.🤣🤣😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top