Yasmin 23
Jaja mendengarkan dengan seksama resep yang disarankan oleh Nanang. Mulai dari kasih perhatian lebih, sering berkirim pesan, kasih hadiah-hadiah kecil, pepet terus jangan kasih kendor. Nanang juga memberi tahu metode khusus, yaitu tarik-ulur. Satu yang paling diingat Jaja dari penggalan kalimat yang Nanang ucapkan. Janda mah pasti senang diperhatikan.
Jaja mengangguk paham atas petuah dari temannya barusan. Mulai saat ini ia akan berusaha mendekati Yasmin secara perlahan.
"Janda gang mana yang udah bikin lu ganteng kayak gini?" tanya Nanang sambil menatap wajah Jaja penuh curiga.
"Ada deh." Jaja menyeringai. Jangan sampai Nanang tahu perihal ia sedang mendekati Yasmin.
"Jandanya demen kaga sama lu?"
"Kaga! Hahahahaha..." Nanang dan Jaja terbahak.
"Dah, cari yang perawan aja kalau janda ga mau sama lu."
"Pan, usaha dulu, Nang. Kalau tidak berhasil gue baru berselancar cari yang perawan. Ada sih tetangga gue yang kayaknya naksir sama gue. Tapi...gak deh, janda lebih memikat. Kedodoran hati gue tiap malam, Nang. Hahahahaha...."
"Hati lu apa si Untung?"
"Hahahaha...untung gue tahu diri, Nang. Dari pada lu tuh, pasti udah nyenggol Nunung ya?"
Plaaakk...
Nanang menggeplak kepala Jaja. Matanya melotot kesal pada Jaja yang sudah sembarangan bicara.
"Eh, Maaf ya, Ja. Prinsip kita nih sebagai laki, kalau kita sayang ya kudu kita jaga. Jangan sampe diapa-apain tuh cewe, Ja. Kasian. Dosa pula. Paling yaa... colek dikit!"
Plaaakk!
Gantian Jaja yang menggeplak kepala Nanang.
"Gila lu! Dah ah, gue mau pesen kopi. Sono lu masuk!" Jaja mendorong tubuh Nanang agar masuk kembali ke ruangan produksi. Nanang masih enggan sebenarnya. Ia masih rindu menggoda Jaja yang memang masih sangat polos tentang hal tabu seperti itu. Namun mengingat memang dua menit lagi waktu istirahat mereka habis. Mau tidak mau, Nanang kembali masuk.
"Semangat, Ja!" Nanang melambaikan tangannya pada Jaja. Begitu pun Jaja ikut tersenyum lalu membalas lambaian tangan Nanang.
Tanpa Jaja sadari, Yasmin tengah memerhatikan gerak geriknya dari pantauan CCTV. Bahkan Yasmin menumpu wajahnya dengan telapak tangan. Pelayan warung yang berbicara pada Jaja, sepertinya tampak tersipu malu. Yasmin memutar bola mata malasnya, melihat dengan tidak suka pelayan warung yang terus saja menyeringai pada Jaja.
"Ya Allah, kenapa aku yang repot dia mau ngobrol sama siapa?" gumam Yasmin sambil membuang pandanganya dari layar laptop. Ia mencoba mencari nomor telepon Jaja. Namun tidak ada dalam kontak ponselnya.
"Eh iya. Gue belum tahu nomor ponselnya."
Yasmin menghubungi Nita sekretarisnya.
"Nita, kamu punya nomor telepon Jaja?"
"Jaja siapa, Bu? Haji Jaja Miharja?"
"Bukaaaan...Jaja yang waktu itu saya pecat."
"Oh, tidak punya, Bu."
Yasmin menutup begitu saja sambungan teleponnya. Alisnya tampak bertaut, memikirkan pada siapa lagi ia harus bertanya nomor ponsel Jaja. Ah, iya. Maria!
Jemari lentiknya memencet nomor Maria, sahabatnya.
"Hallo, Maria. Punya nomor ponsel Jaja, ga?"
"Jaja siapa? Jaja Miharja artis itu?mana gua punya nomornya."
"Bukan Jaja pelawak, Neneeeeeek! Jaja mantan karyawan yang gue pecat.
"Oh, Javier. Ada, hayoo... buat apa nomor Jaja?lu naksir ya?"
Bertepatan Yasmin melihat dari layar laptopnya, Jaja sedang duduk berbincang dengan pelayan warung bahkan sesekali tertawa.
"Mau gue bunuh tuh anak!"
Hahahaha
Tawa Maria menggema, ia menatap panggilan dari Yasmin yang terputus begitu saja. Maria dengan cepat memberikan nomor ponsel Jaja kepada Yasmin.
Yasmin yang baru saja mendapat nomor Jaja, langsung memencet tanda panggilan
"Jaja, ini saya bos kamu. Tolong belikan saya pizza, sekarang!
"Oh, baik, Bu. Siap. Tapi uang saya tidak ada bu, buat nalangin."
"Ya sudah kamu naik, ambil uangnya."
Yasmin bangun dari duduknya. Namun kakinya terasa sakit, bahkan kini ia meringis menahan rasa linu pada mata kakinya yang saat ia lihat sudah membiru.
Jaja yang senang mendapat telepon dari Yasmin langsung menyimpan nomor ponsel Yasmin dengan nama kontak Jandaku. Ia tersenyum senang, lalu mengeluarkan dua lembar uang dua ribuan dari saku bajunya.
"Nih, Mbak. Terima kasih ya," ujar Jaja sambil memberikan uang tersebut pada pelayan warung.
"Besok mampir lagi ya, Mas. Beli satu cangkir kopi, gratis satu cangkir besok."
"Wah, modus dia. Saya udah beli dua puluh cangkir ga pernah dapat gratisan," seru seorang lelaki yang duduk tidak jauh dari Jaja. Jaja tergelak sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Saya pamit, sudah dipanggil Bu Yasmin." Jaja mengangguk pamit. Langkahnya ringan melangkah masuk ke dalam pabrik. Sesekali temannya meledek, ada yang bersiul menggoda Jaja. Lelaki itu hanya menyeringai menanggapi ledekan teman-temannya.
"Masa iya janda yang disebutkan Jaja tadi, Bu Yasmin? Mana mau Bu Yasmin sama lu, Ja. Deket lu aja dia pasti alergi. Potong kuping gue dah, kalau Bu Yasmin mau deket lu, Ja. Aya-aya wae si Jaja," gumam Nanang sambil menggelengkan kepala. Matanya masih memerhatikan langkah Jaja yang semangat menuju lantai tiga.
Setelah sampai di lantai tiga, Jaja berjalan menghampiri Nita.
"Mbak, saya dipanggil ibu katanya."
"Eh iya. Udah sana masuk saja, ketuk dulu tapi!"
Jaja mengangguk paham.
Tok! Tok!
"Masuk."
Pelan Jaja membuka pintu. Yasmin dan Jaja saling pandang. Wajah Yasmin sedikit meringis.
"Ibu kenapa?" Jaja masuk ke dalam ruangan Yasmin lalu menghampiri Yasmin yang sedang menunduk.
"Mata kaki saya sakit."
"Ya Allah, karena keseleo di mobil ya, Bu."
"Sini saya urut, Bu. Saya bisa kok!"
Yasmin menggeleng. "Tidak perlu, makasih!"
"Kalau dibiarkan lama, nanti Ibu malah tidak bisa berjalan sama sekali. Saat diurut malah lebih sakit," terang Jaja dengan wajah iba memandang Yasmin.
"Ya sudah," sahut Yasmin pelan. Antara takut sakit dipijat, sama takut berdekatan dengan Jaja.
Lelaki itu berjalan ke arah meja Yasmin. Ia bahkan bersimpuh untuk melihat keadaan mata kaki Yasmin yang sakit.
"Maaf saya urut sebentar ya, Bu." Jaja terlebih dahulu meminta izin untuk menyentuh kaki Yasmin yang sudah membiru. Matanya tanpa sengaja melihat paha Yasmin dari balik roknya. Jaja menelan salivanya, dengan cepat ia mengambil bantal sofa Yasmin lalu memberikannnya pada Yasmin.
"Saya takut salah urut, Bu. Kalau tidak ditutup." Jaja menyeringai. Namun Yasmin tidak paham dengan maksud ucapan Jaja.
"Aduh, sakit Ja!" pekik Yasmin sambil meringis.
"Iya, Bu. Tahan sedikit, nanti juga tidak sakit lagi."
Posisi Yasmin yang duduk di kursi kebesarannya cukup membuat Jaja kesulitan memijat karena kaki Yasmin tidak rileks. Belum lagi banyaknya gerakan kaki Yasmin yang membuat Jaja sedikit lebih lama memijatnya.
"Pindah ke sofa ya, Bu. Biar saya tidak susah memijatnya. Saya bantu Ibu jalan ke sofa." bujuk Jaja sambil mencoba meraih lengan Yasmin. Wanita itu hanya mengangguk pasrah. Kakinya sudah sangat sakit.
"Aaauu...tidak bisa, Ja!" pekik Yasmin kesakitan saat hendak mencoba berdiri. Sigap Jaja menggendong tubuh Yasmin dengan mudahnya ala bridal. Membuat Yasmin terhenyak, tangannya kini refleks memeluk leher Jaja, bahkan aroma tubuh Jaja membuatnya menahan nafas. Saat seperti ini mereka terlihat begitu intim, Yasmin merasa nyaman saat digendong oleh Jaja.
Pelan Jaja menaruh Yasmin di sofa, lalu melanjutkan kegiatan memijatnya. Air mata Yasmin sudah menggenang. Ia benar-benar kesakitan. Jaja menjadi tidak tega, air matanya ikut menggenang.
"Kamu kenapa?" tanya Yasmin heran, melihat Jaja berkaca-kaca.
"Saya sedih melihat Ibu sakit begini. Maaf ya, Bu. Gara-gara saya," ucap Jaja pelan sambil melihat Yasmin dengan sendu.
"Tidak apa-apa, saya yang tidak hati-hati sampai keseleo seperti ini."
"Heh, iya, Bu. Alhamdulillah, bukan si untung yang keseleo pas ibu pukul." Jaja menyeringai, membuat Yasmin semakin merona. Membayangkan, melihat dari balik kain dan hari ini menyentuhnya secara sadar adalah sebuah kesalahan yang seharusnya tidak boleh ia lakukan.
Akhirnya Jaja selesai juga memijat kaki Yasmin. Ia menyarankan agar Yasmin pulang saja dan beristirahat di rumah. Jaja bahkan berjanji akan memanggilkan tukang urut terbaik di dekat tempat tinggalnya untuk membantu menyembuhkan kaki Yasmin. Yasmin awalnya menolak, namun Jaja terus saja merayu Yasmin agar pulang.
"Saya susah jalan keluar."
"Saya gendong lagi, Bu. Jadi Ibu biar istirahat di rumah saja."
Ragu Yasmin menyetujui usul Jaja. Singkat cerita, perihal Yasmin yang keseleo sampai juga di telinga Malik. Lelaki itu berlari menghampiri ruangan Yasmin. Sudah ada Nita, Bu Fika bagian keuangan dan Jaja. Malik memandang Jaja dengan heran, kenapa penampilan Jaja berbeda hari ini? Kenapa pula ia bisa ada di ruangan Yasmin.
"Kamu kenapa baru kabari saya kalau kamu keseleo. Aku bisa memijatmu"
"Tidak apa, Lik. Tadi sudah dipijat kok. Aku hanya mau pulang saja. Istirahat di rumah.
"Ya sudah, aku gendong turun ke bawah," ujar Malik dengan tulus. Yasmin menoleh pada Jaja yang hanya berdiam diri.
"Biar Jaja saja."
"Apa?" Malik memekik kaget. Renita dan Bu Fika ikut melongo dengan jawaban Yasmin.
"Jaja sekarang supirku," ujar Yasmin lagi.
Jaja menunduk pamit pada semua orang yang berada di sana. Di pundaknya sudah ada tas mahal Yasmin. Kedua tangannya kuat menggendong Yasmin ala bridal. Malik melihatnya dengan tidak suka.
Yasmin memeluk erat leher Jaja hingga mereka masuk ke dalam lift. Di dalam lift hanya ada mereka berdua. Yasmin benar-benar malu, apalagi jantungnya yang berdebar kencang saat ini. Wajah Yasmin yang di dada Jaja pun merasakan hal yang sama pada jantung Jaja yang debarannya begitu cepat.
"Saya berat ga, Ja?" cicit Yasmin pelan.
Jaja menunduk melihat Yasmin dalam gendongannya. Lelaki itu mengulum senyum lalu menggeleng.
Ting...
Pintu lift direksi terbuka. Keluarlah Jaja sambil menggendong Bu Yasmin. Sontak seluruh karyawan melotot kaget dengan pemandangan di depan mereka. Terutama Nanang, ia begitu syok melihat Jaja dengan santainya menggendong janda pemilik pabrik. Tanpa sadar Nanang memegang telinganya. Hahahaha...takut dipotong.
*****
🤣🤣🤣🤣 Senjata makan tuan, potong tuh kuping!!
Sweet dah pokona si Javier.🥰🥰😘
Jejek vote dan komentarnya ya. Biasa dah 200 vote dan 200 komentar. Biar besok up lagi.
Beli semen di Pekan baru
Votmen sangat aku tunggu.
Ada kolam ada kawat
Selamat malam selamat beristirahat.🥰😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top