Yasmin 19
****
Baru menggoreng peyek seperempat, Narsih sudah disuruh untuk menemani Reza bermain di kamar. Karena Yasmin, Jaja dan juga papa Yasmin, Pak Hendroyas Miharja, sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak tegas dan terlihat marah.
Jaja berkali-kali menelan salivanya, betapa mencekamnya suasana di dalam ruang tamu, rumah besar Yasmin.
"Jadi kamu ada hubungan apa dengan anak saya?" Tanya Pak Miharja, pada Jaja yang masih menunduk.
"Dia mantan karyawan neng, Pah," sahut Yasmin cepat.
"Ada perlu apa kamu ada di kamar cucu saya?"
"Kebetulan Reza senang bermain dengan Jaja, Pah," sahut Yasmin lagi, menjawab pertanyaan papanya.
Pak Miharja memutar bola mata malasnya, menoleh pada Yasmin yang sedari tadi menjawab pertanyaan, yang ia ajukan pada pemuda yang sedang menunduk ini.
"Papa tanya pemuda ini, Neng. Bukan tanya, Neng," ujar Pak Miharja dengan tegas pada puterinya. Jaja kembali menelan salivanya, kali ini dadanya berdebar begitu cepat, membuat rasa mulas di perutnya tiba-tiba datang.
"Saya ayahnya Yasmin, Hendroyas Miharja. Kamu siapa?" tanya pak Miharja lagi.
"Saya Jaja, Pak," jawab Jaja dengan ragu. Suaranya pun tampak bergetar.
"Jangan ngeledek kamu! Saya tanya siapa namamu?" Sentak papa Yasmin sambil melotot.
"Saya ... Jaja, Pak, tapi tidak pakai Miharja,"
sahut Jaja polos, membuat Yasmin hampir saja meledak tawanya. Benar sekali, kenapa nama belakang keluarganya Miharja? Jadi mirip nama artis betawi, Jaja Miharja. Yasmin menoleh pada papa dan Jaja bergantian.
Jaja Miharja, sekali lagi Yasmin bermonolog, sambil memerhatikan papanya dan Jaja bergantian. Hihihihihi... Yasmin terkekeh dalam hati.
"Oh, baiklah kalau nama kamu Jaja. Trus, ada perlu apa kamu ada di kamar cucu saya?"
"Itu, saya ... pertama saya datang hanya untuk mengambil dompet saya yang tertinggal di sini."
"Aduh, maaf Pak, Bu. Saya boleh ke WC dulu ga?perut saya tidak enak," ujar Jaja sambil meringis. Yasmin dan papahnya saling pandang, bahkan mereka tampak sedikit ngeri dengan Jaja.
"Aduh, Bu. Di mana? Ntar keburu cepirit nih, eh...maaf. aduh."
"Mas, Jaja. Itu di sana kamar mandi!" Tunjuk Narsih yang baru saja turun dari lantai atas. Jaja mengangguk permisi, lalu dengan cepat berlari menuju pintu cukup besar, di dekat dapur.
Pak Miharja menatap Yasmin kembali, lalu tersenyum.
"Papa sudah atur pertunangan kamu dengan Devano."
"Apa?" Pekik Yasmin kaget.
"Jangan bercanda, Pah. Memilih suami, bukan seperti memilih baju. Yasmin tidak setuju," tolak Yasmin tegas, dadanya berdebar takut mendengar ucapan papanya barusan. Tenggorokannya pun mendadak kering, ia tidak bisa menerima semua ini.
"Kepada siapa nanti neng menikah, itu Neng yang putuskan, bukan papa. Apalagi ada Reza, Pah. Tidak, ah. Neng tidak setuju."
Bibik memasang telinganya baik-baik. Perdebatan ayah dan anak itu, cukup nyaring terdengar, bahkan sampai di dapur. Dari balik kulkas, ia menempelkan telinga.
"Kulkasnya kenapa, Mbak? rusak?" tanya Jaja yang baru saja keluar kamar mandi, lelaki itu heran saat bik Narsih menempelkan telinganya di kulkas.
"Eh... Mas Jaja. Ini, Mas. Ada suara kresek-kresek. Kayaknya rusak deh!" Bik Narsih beralasan.
"Oh, ya. Coba saya lihat." Jaja memeriksa kulkas tersebut, mengeceknya dengan hati-hati.
"Oh, ini hanya perlu diservice aja, Bik."
"Kok tahu, Mas?"
"Saya biasa benerin kulkas, TV, laptop, mesin cuci juga bisa, AC. Cuma benerin hati yang patah doang saya ga bisa." Jaja menyeringai, sedangkan Narsih sudah bersemu merah, bisa-bisa dia jatuh cinta beneran nih sama Jaja.
Karena selain ganteng kayak bule, pintar alat rumah tangga dan ... anunya pasti uhuuk kalau di ... tanpa sengaja, Narsih pun ikut menyaksikan apa yang sempat membuat, nyonya majikannya tadi pingsan.
"Mbak! Yah, ngelamun," tegur Jaja yang diikuti oleh seringai bik Narsih.
"Eh, itu. Saya lagi mikirin Nyonya Yasmin, mau dijodohkan dalam waktu dekat." Ujar bik Narsih sambil berbisik pada Jaja.
"Apa? Maksudnya mau menikah lagi dengan orang lain?" Jaja cukup kaget dan di sudut hatinya, seperti ada yang meremas. Jaja menggigit bibirnya.
Bik Narsih mengangguk cepat.
Karena Jaja tidak kunjung kembali, Yasmin akhirnya mengintip dari ruang tamu. Lagi-lagi ia melihat pemandangan, Narsih yang sedang asik berbicara pada Jaja. Padahal ia dan papanya sedang menunggu Jaja. Yasmin mencebik, bahkan matanya melirik tajam. Kakinya melangkah menghampiri Jaja dan Narsih.
"Bik, belikan buah mangga di supermarket, sekarang!"
"Yang di depan kan'Bu?"
"Bukan, tapi yang di blok M. Nanti saya pesankan ojek online, kamu siap-siap saja!"
"Gak kejauhan, Bu?" tanya Narsih kebingungan, blok M cuma buat beli mangga doang. Jauh amat.
"Kamu mau saya suruh belinya di Tanjung priuk?" tanya Yasmin sambil melirik ke arah Jaja yang masih terdiam.
"Eh, lha. Jangan, Bu! Oke, saya siap-siap."
"Mas Jaja, saya permisi ya." Bik Narsih tersenyum sangat manis pada Jaja. Persis seperti senyuman setiap tanggal satu, ia menerima amplop gajian.
Jaja membalas senyum Narsih, lalu mengekori langkah Yasmin menuju ruang tamu kembali. Dimana ada papa Yasmin baru saja menutup teleponnya.
"Kamu sudah pernah ke sini sebelumnya?" tanya pak Miharja dengan kening berkerut. Ia memulai kembali menginterogasi Jaja.
"Sudah, Pak. Saat melayat almarhum bos Arman, trus pada saat saya antar Bu Yasmin pulang, trus..."
"Sudah, Ja. Kalau diceritakan semua, bisa sampai besok, sekarang kamu sudah boleh pulang," potong Yasmin cepat, Yasmin tidak ingin Jaja keceplosan memberitahu papanya, jika ia baru saja menyelamatkan Yasmin yang tenggelam saat berenang.
"Tapi, Bu. Saya boleh bicara sesuatu dengan ibu?" tanya Jaja berhati-hati.
Pak Miharja masih memerhatikan Jaja, seperti pernah melihatnya tapi dimana ya.
"Ya sudah, ayo ke depan," ujar Yasmin sambil berjalan ke arah teras. Jaja pun pamit pada pak Miharja dan meminta maaf atas kelancangannya, masuk ke dalam kamar Reza.
"Ada apa?" tanya Yasmin ketus, ia tidak mau berlama-lama menatap Jaja, bisa naksir beneran nanti.
"Saya menghilangkan laptop teman saya, Bu. Saya boleh pinjam uang tidak, Bu. Lima juta."
"Apa? kayaknya ga bisa deh!" Yasmin mengibaskan tangannya, lalu berbalik meninggalkan Jaja
"Bu, tunggu!" Jaja menahan lengan Yasmin. Ia bagai tersengat listrik, saat telapak tangan Jaja menyentuh lengan mulusnya. Jaja yang tersadar, akhirnya melepaskan lengan Yasmin.
"Maaf, Bu. Kalau saya lancang, tapi saya memang butuh, Bu. Saya rela disuruh apa saja sama Ibu. Saya akan bekerja dua bulan tanpa Ibu gaji pun tak apa."
Yasmin mengerucutkan bibirnya, keningnya sesekali tertarik keatas. Memandang wajah jaja yang mengiba, membuat Yasmin tidak tega.
"Kalau kamu bisa jawab tebak-tebakan dari saya. Oke, saya pinjamkan kamu duit," ujar Yasmin sambil tersenyum licik.
Jaja mengangguk antusias, wah...ternyata Reza turunan emaknya, main tebak-tebakan melulu.
"Apa yang pegawai pizza lakukan, saat melihat orang berkelahi?"
Jaja tampak berpikir. Apaan ya?
"Ya dipizzah," celetuk Jaja dengan semangat.
"Pinter kamu, satu lagi nih."
"Pemain sepak bola siapa yang beratnya tiga kilogram?"tanya Yasmin semangat, ia yakin Jaja tidak akan mampu menjawabnya.
"Gampang itu mah, Bambang tabung gas. Hahahahaha..." Jaja terbahak, begitu juga Yasmin, ia ikut tertawa. (Bukan Bambang Pamungkas)
"Satu lagi nih."
"Lha, banyak banget, Bu."
Yasmin melotot mendengar protes jaja.
"Penyanyi barat siapa yang susah nelan?"
Jaja mengerutkan keningnya. Jaja menggeleng. Ia tidak tahu jawabannya.
"Ed, shered. Hahahahahaha ..." Yasmin tertawa cekikan, begitu juga Jaja. Ya Allah, emak sama anak sama gemesinnya. Jaja melirik Yasmin yang tengah tertawa.
"Oke, selama dua bulan, kamu menjadi supir saya. Setiap pagi jam enam, kamu sudah harus disini. Ingat selama dua bulan tanpa saya gaji," ujar Yasmin tegas, membuat air wajah Jaja mendadak cerah.
"Ya Allah, terimakasih, Bu. Terima kasih." Jaja mencium punggung tangan Yasmin dengan hormat. Senyumnya tidak lekang, bahkan saat Yasmin pamit masuk ke dalam rumahnya, untuk mengambil uang pinjaman Jaja.
Jaja duduk di lantai teras, sesekali ia menatap telapak tangannya yang hari ini penuh dengan keberuntungan. Kulit Yasmin begitu halus terasa.
"Ini!" Suara Yasmin tepat di belakang Jaja. Lelaki itu menoleh, tangannya terulur menerima amplop coklat cukup tebal.
"Terimakasih, Bu. Besok pagi, saya akan datang." Jaja tersenyum sangat manis, yang baru kali ini Yasmin lihat. Wajah Jaja semakin tampan.
"Eh, mas Jaja masih disini. Bareng yuk, Mas. Saya mau ke arah Blok M." Tegur bik Narsih yang sudah rapi dengan baju kaos dan celana jeans panjang.
"Ayo, boleh!" Sahut Jaja sambil melirik Yasmin yang terlihat bete.
"Tidak jadi beli mangganya, Bik. Goreng peyek lagi aja, sana!" Yasmin menyuruh bik Narsih masuk kembali ke dalam rumah. Bahkan, Yasmin menarik masuk pembantunya itu, lalu menutup pintu.
Jaja mengangkat bahunya, lalu berjalan keluar gerbang rumah mewah Yasmin. Hatinya sedikit tenang, akhirnya ia memperoleh pinjaman untuk mengganti laptop Maya. Kakinya meluncur ke depan komplek, untuk menaiki metromini. Tujuannya adalah toko komputer. Siang ini juga, ia akan membeli laptop baru untuk Maya.
Di toko komputer yang juga menjual laptop itu, Jaja mengamati seorang karyawati yang wajahnya sedikit mirip dengan Yasmin. Wanita itu berbicara ramah pada seorang lelaki yang mungkin adalah suaminya. Jaja tersentil hatinya, kapan ya?ada wanita yang bersikap manja seperti itu padanya. Ada rasa ingin pacaran, tapi nanggung. Ga boleh diapa-apain. Lebih baik langsung menikah, pikir Jaja dalam hati. Yah, buat perut aja masih tambel sana sini, bagaimana mau punya istri. Masa anak orang dikasih makan telor lagi-telor lagi, kayak emak gue. Hahahaha...Jaja terbahak dalam hati.
Tapi, tidak ada salahnya mencoba.
****
Langkahnya ringan menuju rumah Maya, dengan penuh percaya diri, Jaja memberikan laptop baru pada Maya. Wanita itu bukan main gembiranya, bahkan ia sampai menangis menerima pemberian laptop dari Jaja. Berkali-kali, Maya mengucapkan terimakasih. Jaja juga merasa lega dan senang, saat mampu bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam menjaga barang milik orang lain.
"Assalamualaykum," seru Jaja dari pintu depan pintu. Tampak Bu Ambar sudah rapi di depan cermin.
"Wa'alaykumussalam," jawab Bu Ambar, sambil merapikan sisiran rambutnya.
"Mamahnya Jaja ini? Sumpaah cakeep bener, Mah." Jaja melotot melihat ibunya yang bak disulap menjadi sangat cantik.
"Biasa aja dong kagetnya, Ja," ujar bu Ambar sambil mencebik.
"Mah, siapa yang dandanin gini?" tanya Jaja penasaran, ia sudah duduk di depan ibunya yang sedari tadi sibuk dengan rambut yang diwarnai. Jaja benar-benar terpesona.
"Nih, si Sumi kan buka salon, dia jadi MAU gue dah. Jadi bahan percobaan."
"Mau apaan?" Tanya Jaja bingung sendiri.
"Ini lho, yang suka mekap artis itu."
"Oh itu MUA, Mah. Bukan Mau." Jaja terbahak.
"Kenapa lu?tumben sumringah. Bukannya lagi apes!"
"Laptop Maya sudah Jaja ganti, Mah. Alhamdulillah, Jaja dapat pinjaman."
"Alhamdulillah, duh ... gue ampe pusing mikirin tuh laptop. Nih belum balik juga bapak lu!"
"Mah, Jaja mau ngomong."
"Lha, dari tadi lu udah ngomong terus, Ja!"
"Hehehe...itu, Mah."
"Jaja mau...!"
"Mau berak, lu? Ya udah sono!"
Jaja terbahak lagi.
"Jaja mau melamar cewek, Mah."
"Apa? Lu habis main di kuburan orang apa, Ja? Ngomongnya ngaco!" Bu Ambar melotot,kepala menggeleng meremehkan ucapan Jaja.
"Beneran, Mah. Lamarin buat Jaja ya, Mah, tapi janda."
"Apa?" Napas Bu Ambar hampir saja ambyar. Matanya hampir meloncat keluar, sangkin kagetnya dengan ucapan Jaja.
"Kaga ... kaga! Ga ada lamar-lamar. Apalagi janda. Sampe gue mati, gue ga setuju lu nikah sama janda. Denger lu, Ja!" Bu Ambar berteriak kencang di depan wajah Jaja.
"Ih, Mah. Denger dulu."
"Kaga mau denger gue!" Bu Ambar menutup kedua telinganya.
"Mah, masih ingatkan bos pabrik Jaja yang meninggal waktu itu?"
Bu Ambar masih menutup telinganya, namun masih mendengar sayup-sayup suara Jaja.
"Jaja mau melamar jandanya, Mah. Namanya Yasmin."
"Apa?"
"Maksud lu, jandanya bos lu?" Bu Ambar memastikan pendengarannya.
Jaja mengangguk sambil menyeringai.
"Ya udah, gue ganti baju dulu kalau gitu."
****
Pemeran bu Ambar adalah siapa hayoo??usianya sudah 49 tahun lho, tapi masih cantik yeess😍😍😍.
Baca versi ebooknya juga keren dan lebih lengkap loh. Harganya juga murah meriah. Yuks, langsung meluncur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top