Yasmin 16

Sekejap Yasmin dapat melupakan masalah dan kegelisahan hatinya. Berkumpul bersama-sama teman adalah salah satu terapi hati dan emosional, agar dapat lebih rileks dan optimis dalam menjalani hidup. Tidak mudah memang, melupakan lelaki yang menurutnya hampir sempurna. Pendidikan, harta, jabatan, silsilah keluarga, sholeh, baik, romantis serta tampan.

Takkan mudah untuk mendapatkan lelaki seperti almarhum suaminya. Lelaki yang mampu menyenangkan hatinya dan tidak pernah sekalipun bernada tinggi saat bicara dengan dirinya.

"Tuh,kan. Melamun lagi," tegur Disti pada Yasmin yang terlihat bengong.

"Eh, nggak kok. Lagi inget Reza aja di rumah," sahut Yasmin sambil tersenyum.

Lelaki tampan yang bernama Alex, sedari tadi memerhatikan  dirinya, Yasmin tahu itu. Sehingga membuatnya sedikit kikuk. Untuk saat ini ia tidak ingin dan belum siap membuka hati untuk siapapun.  Sebisa mungkin Yasmin menjaga ucapan dan sikapnya, agar Alex tidak salah paham. Berbeda dengan Disti, Maria, dan Amel. Mereka bertiga begitu luwes dan lebay saat berbicara pada Alex.

Diantara ketiga temannya ini, hanya Maria yang belum menikah, sedangkan Amel dan Disti sudah menikah, namun belum dikaruniai anak. Dan suami mereka terkenal kaku dan cuek. Yah, bisa dikatakan, mereka para istri kurang belaian suami. Hehehehe...

"Kamu gak bawa mobil?" tanya Alex pada Yasmin.

"Nggak, tadi bareng Maria dijemput."

"Eh iya, Yas. Sorry, aku ga bisa anter kamu balik, lupa kalau hari ini mau anter mamah terapi," ujar Maria dengan nada penuh rasa bersalah. Tetapi ekor matanya, melirik Alex seakan penuh sandi.

"Biar kamu balik sama aku aja. Mau ke pabrik, ayo aku antar. Mau langsung pulang juga ayo," tawar Alex dengan penuh semangat. Bahkan kunci mobil Alpardnya sudah di tangan.

"Ya udah deh, kalau tidak merepotkan kamu." Yasmin tersenyum, begitu juga ketiga teman wanita lainnya.

Mereka akhirnya berpisah di pelataran parkir. Amel diantar Disti naik motornya, sedangkan Maria sudah terlebih dahulu pulang. Tersisa Yasmin dan Alex yang baru saja memasuki mobil.

"Mau ke mana princes?"  tanya Alex sambil menyeringai penuh rasa bahagia.

"Mau langsung pulang aja deh, kayaknya aku ngantuk berat nih."

"Okelah kalau begitu! Tidur di mobil juga tidak apa-apa. Sebentar, biar aku betulkan dulu posisi joknya, biar kamu nyaman tidurnya." Dengan memencet tombol, posisi jok mobil yang ditempati Yasmin, jadi sedikit berbaring.

"Dah, kamu tidur aja. Kalau sudah sampai rumah, aku bangunkan," ujar Alex sambil menjalanakan mobilnya membelah jalan yang cukup padat.

Alex membuka kaca mobilnya sedikit, karena memang barusan saja, ia membeli permen mint dari pedagang keliling lampu merah, Yasmin sudah bersantai di sampingnya sambil memejamkan mata, namun belum terlelap.

Permisi, Om.

I love you baby...

And if it's quite all right

I need you lately...

To warm these lonely  nights

I love you baby...

Trust in me when i say

Alex mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari saku celananya. Ia melirik dua orang yang masih saja menyanyi dengan riang. Yasmin pun ikut memerhatikan, karena suara pengamen itu sangat tidak asing.

"Jaja," gumam Yasmin yang tanpa sadar, mengucapkan sebuah nama yang tidak begitu jelas terdengar Alex.

Setelah memberikan uang, Alex pun menutup kembali kaca mobilnya, memerhatikan Yasmin yang saat ini menoleh ke belakang, mengekori langkah pengamen barusan. Sepertinya Jaja tidak menyadari ada Yasmin di dalam mobil.

"Kamu kenal dengan pengamen barusan?" tanya Alex sedikit penasaran, belum pernah dirinya melihat Yasmin, begitu asik memerhatikan orang lain, apalagi hanya seorang pengamen.

"Nggak, cuma karena suaranya bagus aja," sahut Yasmin membohongi Alex dan sekaligus dirinya sendiri. Yasmin kembali menutup matanya, namun hatinya risau. Entah kenapa?semoga bukan karena seorang Jaja.

Perjalan dari cafe ke rumah Yasmin, memakan waktu empat puluh lima menit. Alex sengaja membawa mobilnya dengan kecepatan santai, agar ia bisa berlama-lama memandangi wajah Yasmin. Bahkan saat di lampu merah berikutnya, Alex memotret Yasmin yang masih terlelap.

****
"Bik Narsih. Emang kalau papa tiri itu baik atau jahat?" tanya Reza pada bik Narsih, saat bik Narsih menemaninya bermain bola di teras belakang.

"Tergantung, Za. Emang kenapa?Reza mau punya papa baru ya?"

"Iya, Bik. Reza mau, tapi harus baik dan lucu,"  sahut Reza sambil kakinya menendang bola ke dalam keranjang.

"Nanti kalau punya papa tiri, Reza bisa disuruh-suruh melulu. Reza, cuci piring! Reza cuci sepatu! Reza, cuci muka! Reza, cuci kodok!" Bik Narsih terkekeh meledek Reza.

Bibir mungil Reza mengerucut, ia tahu kalau saat ini, Bik Narsih sedang menggodanya.

"Tapi Abang mau punya ade, Bik." Reza kembali merengek. Ia kesepian di rumah, bener-bener ingin sekali memiliki adik.

"Emang kenapa kalau main sama Bibik?"

"Gak mau ah, bosen. Gara-gara main sama bibik, Abang jadi bau bawang," sahut Reza sambil meninggalkan Narsih yang tertawa mendengar ucapan Reza.

Reza berjalan masuk kembali ke dalam rumah, sebelumnya Reza sudah mencuci tangan dan kaki di kran air taman belakang. Langkah kaki kecilnya, berjalan menuju ruang televisi, kemudian mengambil remote dan menyalakan televisi besar tersebut.

"Bik, Abang mau bikin roti bakar," seru Reza saat duduk di sofa depan televisi.

"Iya nanti Bibik buatkan," jawab Narsih dari dapur.

"Abang mau bikin sendiri." Reza berjalan ke dapur menghampiri Narsih. Lalu dengan segala bujuk rayunya, akhirnya  Narsih mengizinkan Reza untuk membuat roti bakar sendiri.

Reza asik mengoles roti dengan selai kacang dan sarikaya. Lalu melipatnya bentuk segitu dan dimasukkan ke dalam alat pembakar roti yang berbentuk kotak. Meja dapur berantakan, tapi Narsih tidak pernah kesal, karena memang Reza anak aktif yang selalu saja melakukan aktifitas yang bergerak. Seperti saat ini. Ia sendiri yang membuat roti bakar.

Suara mobil berhenti di depan rumahnya. Tampak sang amih sedang membuka gerbang. Dan membiarkan mobil bagus dan besar itu parkir di halaman besar rumah mereka.

"Siapa, Bik?" tanya Reza sambil mengintip dari jendela dapur.

"Spiderman deh kayaknya," sahut bibik asal sambil terkekeh.

"Pake celana dalam doang dong," timpal Reza ikut tertawa, langkahnya berlari membukakan pintu untuk amihnya.

"Assalamualaykum." Yasmin tersenyum pada Reza, begitu pun Reza, menjawab salam amihnya lalu mencium punggung tangannya.

Seorang lelaki muncul dari balik tubuh Yasmin, lelaki tinggi tampan itu tersenyum ramah pada Reza. Sedangkan Reza ikut tersenyum seadanya.

"Salim dulu sama teman Amih!"

Reza mencium pungung tangan Alex.

"Om yang waktu itu di toko buku, ya?" tanya Reza selidik, matanya menatap intens Alex mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Wah, senang sekali om diingat sama Reza," ujar Alex begitu sumringah. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah.

"Duduk dulu ya, biar bibik siapkan minum."

"Bik, tolong buatkan teh tawar hangat untuk tamu saya ya!" Titah Yasmin saat melihat bibik menghampirinya di ruang tamu.

Yasmin kemudian pamit sebentar untuk berganti pakaian, sedangkan Alex kini tengah duduk bersama Reza yang menatapnya dengan tatapan dingin. Alex jadi kikuk sendiri, saat terus saja diperhatikan anak kecil di depannya ini.

"Om rumahnya di mana?"

"Di Kemang, Za."

"Oh, Kemang."

"Reza tahu Kemang?" Tanya Alex antusias, sepertinya Reza akan menjadi teman ngobrol yang seru.

"Nggak tahu," sahut Reza cuek, tangan kecilnya mengambil lego yang tergeletak di atas meja. Alex tertawa pelan, tangannya mengusap pucuk kepala Reza.

"Om, teman amih?"

Alex mengangguk. "Teman dekat," jawab Alex dengan sedikit berbisik.

"Dekat? Pacaran?"

"Hahahaha..." Alex kembali tertawa.

Reza memutar bola mata malasnya.

"Om kerjanya apa?" tanya Reza lagi, anak kecil ini benar-benar menginterogasi Alex.

"Om seorang pengacara."

"Oh, acara apa?" tanya Reza dengan wajah penasaran. Sedangkan Alex sedari tadi tertawa mendengar ocehan Reza, yang menurutnya menggemaskan.

Terdengar suara membuka gerbang rumah Yasmin, dengan tergopoh bik Narsih membuka pintu depan, untuk melihat siapa tamunya. Begitu pun Reza, ikut bangun dari duduknya, lalu dengan setengah berlari menghampiri bibik di depan pintu.

"Om Dimas!" Pekik Reza kegirangan. Reza sangat mengenal Dimas  karena memang Dimas adalah saudara dan sering berinteraksi dengan Reza jika keluarga kakeknya sedang membuat acara.

Dengan senyum sumringah, Reza naik ke punggung Dimas. Dan membawanya ke dalam. Alex dan Dimas saling pandang. Alex menunduk sambil tersenyum. Lalu menghampiri Dimas yang menatapnya dengan tatapan aneh.

"Siapa kamu?" tanya Dimas dengan suara lantang.

"Saya Alex, teman Yasmin," sahut Alex sambio mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Dimas.

"Eh, kamu, Dim. Udah lama?" sapa Yasmin ramah pada Dimas, sambil cipika cipiki.

Yasmin turun dari lantai dua, ia mengganti bajunya dengan pakaian rumah yang sederhana, hanya kaos sedikit besar dengan paduan celana kulot tepat di bawah lutut.

"Baru, kok. Aku tadi ke pabrik, kata sekretaris kamu, kamu pulang. Jadi aku langsung ke sini," sahut Dimas, sambil melangkah untuk duduk di sofa tepat di samping Alex.

Alex terlihat tidak nyaman, sedangkan Dimas biasa saja. Ada aura panas diantara keduanya dan Yasmin tahu betul hal itu.
Reza kembali duduk di samping Yasmin.

"Jadi ada apa maksud dari kedatangan om-om ini ke rumah abang?" Tanya Reza sambil tangannya dilipat di dada. Tatapan mata bulatnya, memperhatikan Dimas dan Alex bergantian.

"Eh, Abang. Tidak seperti itu! Om Alex sama om Dimas hanya berkunjung kok," tegur Yasmin lembut pada Reza. Anak lelaki kecil itu masih menatap Alex dan Dimas bergantian.

"Om Dimas'kan memang sering berkunjung, Za," sambung Dimas sambil menyeringai.

"Waktu masih ada papa, tidak pernah datang."

Teguran Reza membuat Dimas terdiam. Sepertinya akan sedikit sulit menaklukan Reza. Ia harus memikirkan caranya. Apa Reza dipisahkan saja dari Yasmin? Segala agenda buruk, hadir di kepala Dimas.

"Saya kayaknya mau istirahat deh, Dimas besok aja lagi ke pabrik ya kalau ada yang mau dibicarakan."

"Dan Alex, terima kasih banyak sudah mengantar aku."

Kedua lelaki itu akhirnya pulang dengam sejuta pikiran di kepala. Sedangkan Yasmin, sudah kembali rebahan di kasurnya. Pikirannya melayang pada semua lelaki yang mencoba mendekatinya semenjak masa iddahnya habis. Tidak ada yang mampu membuatnya melirik, kecuali...

Yasmin menggelengkan kepalanya. Kenapa wajah Jaja yang datang di kepalanya?

"Ya Allah, jangan sampai aku ada perasaan dengan pemuda itu. Aku rasa,  aku bisa dapat yang lebih baik. Lelaki miskin bisa-bisanya nanti hanya menghabiskan hartaku." Yasmin bermonolog.

Dengan langkah riang, Jaja berjalan di trotoar jalan raya. Ia berpisah dari Bonar yang ingin lanjut bernyayi dari bis kota satu ke bis kota lainnya. Sedangkan Jaja, memilih pulang dan membawakan ibunya sebungkus martabak keju. "Alhamdulillah..." Jaja mengintip saku bajunya, ada banyak uang dua ribuan disana. Hasil mengamen hari ini, dapat enam puluh lima ribu. Begitu juga Bonar, mendapat nilai yang sama dengan jaja.

Bugh!

"Allahu akbar!" Pekik Jaja kaget, ia tanpa sengaja bertabrakan dengan sesama pejalan kaki.

"Are you ok?"

"Im oke, sir. Don't worry."  Jaja memungut martabak yang berhamburan di lantai trotoar. Lelaki bule paruh baya yang menabrak Jaja, memperhatikan Jaja dengan seksama.

"Ini uang buat ganti roti ya," ujar bule tersebut dengan bahasa indonesia, tetapi logat inggris. Tangannya mengulurkan dua lembar uang seratus ribuan. Namun Jaja menolak. Ia hanya menunduk lalu mengucapkan salam. Meninggalkan lelaki bule tersebut yang menatapnya dengan aneh.

Versi lengkapnya sudah ada di ebook google play store ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top