Yasmin 15

Bu Ambar tidak bisa tidur, karena Jaja belum juga pulang. Padahal sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya paling malam Jaja pulang jam sebelas, itu pun pasti memberitahu bu Ambar terlebih dahulu.

Berkali-kali ia keluar di teras, menatap ujung gang sepi yang belum ada tanda-tanda anak lelakinya pulang. Malah suaminya yang terlihat berjalan sempoyongan menuju rumah. Cepat bu Ambar masuk, lalu naik ke kasur dan berpura-pura tidur . Yang pulang, malah yang tidak diharapkan.

Krreeekk...

Terdengar suara pintu rumah dibuka. Bu Ambar masih memejamkan mata berpura-pura tidur.

"Bangun lu!" Teriak pak Jamal pada istrinya.

Bu Ambar pura-pura terlelap.

"Kebo nih perempuan! Hei...bangun!" Teriak pak Jamal tepat di telinga bu Ambar, bau alkohol begitu menyengat. Membuat bu Ambar enneg ingin muntah.

Uuueekk...

"Bagi sini duit, gue pinjem dulu."

"Ga ada, Pak!"

"Jangan boong lu, mana kunci lemari?" Sempoyongan pak Jamal mencari-cari kunci lemari yang biasa diletakkan istrinya di atas lemari. Ia terus meraba atas lemari, namun tidak menemukannya.

"Sini!"

Dengan kasar pak Jamal menarik tangan istrinya agar turun dari kasur. Bu Ambar mencoba menahan tubuhnya, namun lelaki yang sudah mabuk berat ini tenanganya begitu kuat. Hingga...

Buugg...

Bu Ambar jatuh dari tempat tidur, bahkan keningnya biru karena terbentur tempat tidur yang terbuat dari kayu jati itu.

"Auu...sakit!"

"Makanya jangan bandel, gue bilang...mana...kunci lemari, bego! Bukannya dikasih."

Sssttt....bu Ambar masih meringis memegang keningnya yang sepertinya benjol.

"Aduh, lama lu!"

"Aahhhh...!" Pekik bu Ambar, tubuhnya  terhuyung saat suaminya menarik paksa baju daster bu Ambar. Air mata sudah berlinang, suaminya sangat kasar sekali sudah tiga tahun ini. Namun dia bisa apa, lelaki ini yang dulu menolongnya saat dia hamil tanpa suami dan menikahinya dengan sukarela.

Sambil meringis bu Ambar membuka tas kecil yang tergantung digantungan baju. Ia mengeluarkan kunci lemari lalu memberikannya pada suaminya. Dengan kasar pak Jamal mengambil dari tangan istrinya  lalu membuka paksa lemari pakaian.

Laci lemari ia buka, ia menemukan dompet lalu membukanya, matanya melotot senang, saat melihat ada beberapa uang merah disana.

"Jangan, Pak! Itu modal jualan dari Jaja, Pak." Bu Ambar sudah menangis tersedu. Sambil memegang lengan suaminya.

"Minta lagi nanti sama dia. Ini gua pake dulu, si kampret Udin menang terus dia." Oceh pak Jamal sambil menarik uang dari dompet, lalu memasukkannya ke dalam saku celananya.

"Pak, jangan semua! Buat belanja ga ada, Pak!" Bu Ambar masih menahan lengan suaminya.

"Apa sih lu?sana!"

Buuggg...

Lagi-lagi bu Ambar terhempas ke tempat tidur. Kali ini belakang kepalanya yang terbentur.

"Hiks...ya Allah!" Lirih bu Ambar sambil memegang belakang kepalanya.

"Mak...!" Panggil Jaja, masuk tepat saat pak Jamal keluar rumah, Jaja memandang ayah sambungnya itu dengan tidak suka. Pasti ada sesuatu pikirnya.

Mata Jaja melotot saat ibunya terduduk mengenaskan di lantai dekat ranjang.

"Mah...!" Jaja berjongkok menghampiri ibunya dan mengangkat wajah ibunya yang tertunduk. Benjol sebesar tomat menghiasi kening ibunya.

"Astaghfirulloh, dasar Jamal tua bangka sialan. Mati aja lu sana!" Teriak Jaja dengan geram. Bu Ambar hanya pasrah saat Jaja memapahnya ke ranjang.

Cepat Jaja mencuci tangannya, lalu dengan cekatan mengambilkan minyak oles untuk mengobati benjol di kening dan di belakang kepala ibunya.

"Ssst...sakit, Ja. Pelan!"

"Huufftt..huufff..." sambil mengolesi minyak, Jaja sambil meniup agar ibunya tidak kesakitan.

"Udah, Mah. Istirahat deh!"

"Kepala gue benjol, Ja. Susah terlentang." Bu Ambar mencebik, sesekali ia masih meringis merasakan denyut di kening dan kepalanya.

"Iya miring kalau gitu tidurnya." Jaja berjalan ke dapur, menuangkan air ke dalam gelas hingga penuh, lalu menenggaknya sampai habis. Ia benar-benar kehausan.

"Nanti tangan gue pegel, Ja."

"Ya udah kalau gitu , mama tidur berdiri aja!" Jaja menyeringai, ia membuka baju kaos kepunyaan almarhum bosnya.

"Kaki gue dong yang pegel!"

"Hahahaha..." Jaja terbahak, lalu mengecup pipi bulet bu Ambar.

"Ya udah ga usah tidur kalau gitu, Mah."

"Emangnya gue hansip!" Celetuk bu Ambar sambil membetulkan letak bantalnya.

Seketika bu Ambar memandang aneh baju dan celana yang dipakai anaknya. Itu bukan milik Jaja. Terlalu bagus jika Jaja memiliki baju seperti itu.

"Baju siapa yang lu pake?"

"Punya temen, Mah."

"Oh, trus kenapa lu pulangnya malam banget?Mana hujan deras tadi, HP lu ga bisa dihubungi."

"Ceritanya panjang, Mak. Intinya Jaja dipecat, Mak." Ujar Jaja dengan suara melemah.

"Apa?" Pekik bu Ambar tidak percaya. Bu Ambar meminta penjelasan dari Jaja.

Pada awalnya, Jaja tidak mau bercerita. Namun setelah didesak, akhirnya ia menceritakan bahwa ia sudah tidak bekerja lagi di pabrik, tapi di restoran. Namun karena keteledorannya ia malah membuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan pemilik restoran. Tetapi Jaja tidak menceritakan perihal ciuman kening dan peristiwa yang baru saja terjadi. Bahkan Yasmin sempat meneriaki Jaja dengan begal payudara.

Ya Allah, itu semua terjadi di luar kendalinya dan bos wanitanya tidak mau mendengar penjelasan. Bahkan dengan kasar menarik Jaja untuk turun dari mobilnya. Yasmin juga memaki Jaja dengan kata-kata kasar, seperti tidak tahu diuntung. Brengsek dan kata kasar lainnya. Dirinya bahkan tak sanggup melihat wajah Yasmin. Dan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Yasmin adalah.

"Lo, gue pecat! Jangan pernah lo menampakkan diri lagi dihadapan gue!"

Dada Jaja sakit, namun ia hanya bisa menunduk tanpa mampu membela diri. Karena ia tahu, ia sangat salah melakukan hal tersebut. Walaupun itu di alam bawah sadarnya.

Setelah motor ia kembalikan ke resto yang sudah tutup. Belanjaan yang tadi ia beli, hanya ia gantung saja di handle pintu samping restoran. Lalu dengan menaiki metromini ia pulang ke rumah dengan sejuta rasa kesal pada diri sendiri.

****

"Maaf ya, Mah. Besok Jaja cari kerja lagi!" Ujar Jaja dengan mata berkaca-kaca.

"Jaja ga akan biarkan mama kelaparan. Itu janji Jaja, Mah." Ujar Jaja kini sambil menangis, air matanya turun tanpa ia bisa tahan. Bu Ambar menghampiri anaknya, lalu memeluk Jaja. Anak lelakinya ini, usianya saja tua. Tapi kelakuannya masih seperti bocah, gampang menangis.

"Iya, Ja. Tidak apa-apa. Semoga masih ada rezeki buat lu dari tempat yang lain." Ujar bu Ambar sambil memeluk erat tubuh anaknya.

"Udah jangan nangis!" Bu Ambar menghapus air mata anak lelakinya. Lalu dengan lembut mengusap lembut lengan anaknya.

"Sekarang lu ganti baju, cuci muka,  sikat gigi  lalu tidur."

Jaja beranjak dari duduknya, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

***
Yasmin hanya bisa membolak-balikkan tubuhnya. Matanya tidak juga bisa terpejam, padahal ia sudah minum susu, minum vitamin. Sudah membaca juga walau lima belas menit, namun matanya tidak mau terpejam. Kejadian hari ini cukup membuatnya sangat kesal. Kenapa harus bertemu dengan lelaki seperti Jaja?

Yasmin meremas rambutnya kasar, ia lalu turun dari ranjangnya. Mengambil air putih yang memang selalu tersedia di dalam kamarnya. Ia menghabiskan satu gelas air dengan cepat, lalu naik kembali ke atas ranjangnya. Memandang Reza yang masih terlelap, anak lelakinya itu terlihat tersenyum dalam tidurnya.

Yasmin meletakkan kembali kepalanya di atas bantal, mencoba mengingat hal-hal manis yang pernah ia lakukan bersama suaminya, berharap ia bisa melupakan kejadian hari ini.

Namun sayang, yang ada di kepalanya hanyalah wajah tertunduk Jaja yang merasa penuh penyesalan. Bahkan Jaja tidak berani melihat wajahnya, sampai ia pergi dari sana.

"Apakah kata-kataku tadi terlampau kasar?" Gumam Yasmin dalam hatinya.

"Yah, mana ada wanita yang mau dipegang payudaranya, kecuali sama suami sendiri. Dasar dia saja yang berpura-pura."

Yasmin terus saja bermonolog hingga akhirnya ia bisa terlelap juga tepat pukul satu dini hari.

****

Tiga hari berlalu.

"Assalamua'laykum." Suara Maya tepat di depan pintu rumah kontrakan Jaja.

"Wa'alaykumussalam. Eh, Maya. Ada apa? Sini masuk!" Jaja mempersilakan Maya duduk di kursi teras. Wanita berkulit hitam manis itu tersenyum, lalu duduk tepat di samping Jaja.

"Katanya kamu tidak kerja ya?"

"Eh, iya May. Aku mau cari kerjaan lain saja."

"Oh, gitu. Semoga segera dapat pekerjaan baru ya, Ja. Tapi kamu bisa benerin komputer atau laptop gitukan?"

"Iya, bisa sih. Meskipun tidak jago. Hehehehe..." sahut Jaja sambil tertawa kecil.

"Ini, Ja. Aku minta tolong benerin laptop aku, suka blank layarnya tiba-tiba." Maya menyerahkan tas jinjing yang berisi laptop kepada Jaja.

Setelah ngobrol cukup lama, akhirnya Maya pamit pulang. Sedangkan Jaja masuk kembali ke dalam rumah, untuk mengecek kerusakan laptop Maya. Bahkan Maya sudah memberikan uang seratus ribu rupiah untuk DP biaya service atau kerusakan laptopnya.

Yah, Jaja berharap dengan keahlian yang ia miliki, ia mampu sedikit menghasilkan uang.

"Ja, sing a song yok!"

Teriak seseorang dari depan. Jaja berjalan membuka pintu kontrakan, ternyata ada Bonar tetangganya, datang membawa dua gitar.

"Main yok, ke blok M"

"Ayok dah, bentar ya!"

Jaja merapikan laptop Maya, lalu menyimpannya di dalam lemari kecil miliknya, jangan sampai pak Jamal tahu, nanti bisa ia jual laptop Maya. Jaja lalu mengambil topi dan bergegas keluar menghampiri Bonar yang sudah menunggunya.

"Udah sembuh kening lu?" Tanya Bonar saat mereka tengah berjalan keluar dari gang. Bonar tidak melihat lagi plester yang biasa menempel di kening Jaja.

"Hehehehe...udah, Nar!" Jaja tersenyum kecut, mulai hari ini ia bertekad akan melupakan Yasmin, wanita yang sudah mencuri hatinya, sekaligus wanita yang membencinya.

Apalah dirinya, hanya orang tak punya dan selalu saja membuat kesalahan. Takkan mungkin semut mampu berlari ke atas langit.

Ia pasti bisa melupakan semua. Senyum optimis itu terbit bersama langkahnya menapaki masa depan yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa jadinya. Saat ini mungkin suram, tapi esok, tak ada satupun yang mengetahui kehendak Tuhan pada makluknya.

Ku menangis...
Menangisku karena rindu

Ku bersedih...
Sedihku karena rindu...

Ku berduka...
Dukaku karena rindu..

Ku merana...
Meranaku karena rindu...

Jaja bernyanyi sambil bermain gitar, begitu juga Bonar. Suara bagus mereka berdua, mengundang pengunjung cafe untuk memperhatikan mereka. Pengamen yang tidak asal bernyanyi dan memainkan gitar, petikan gitar dan nyanyian selalu seirama.

"Yasmin, dengar deh!  Suara pengamennya bagus ya."

"Oh, iya. Tumben ya." Sahut Yasmin tanpa  mengalihkan pandangan. Yasmin masih terpaku pada buku menu, ia memilih snack dan varian rasa kopi apa yang akan ia pesan.

"Hei, kamu bukannya Jaja?" Sapa ramah seorang wanita cantik pada Jaja. Lelaki itu dan temannya, sampai melongo tidak paham.

"Ish, pasti kamu tidak tahu! Saya yang gantiin baju kamu waktu kebasahan di rumah Yasmin. Saya dokter Vera Aristya." Vera mengulurkan tangan pada Jaja. Namun Jaja hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Jangan mba dokter, tangan saya kotor. Maaf ya! Iya saya Jaja. Salam kenal, Mba!" Lagi-lagi Jaja mengangguk. Vera ikut tersenyum manis pada Jaja, memperhatikan penampilan Jaja dari atas sampai bawah, namun berhenti sejenak di tengah celana Jaja. Vera menelan salivanya dengan susah payah, jika mengingat benda itu. Vera seakan kehabisan nafas.

Tanpa mereka sadari, dari kejauhan Yasmin tertegun melihat Jaja yang memegang gitar dan sedang berbicara ramah dengan Vera, tetangga sekaligus temannya.

"Itu pengamen yang barusan nyanyi?" Tanya Yasmin pada Disti temannya.

"Iya, itu yang nyanyi. Dan suara yang paling bagus." Puji Disti sambil melirik keluar, tempat dimana Jaja sedang berbincang dengan Vera.

"Woow...cakep juga cewek yang diajak ngobrol." Celetuk Disti hingga membuat Yasmin menoleh kembali pada Jaja. Entah kenapa ia merasa tidak enak hati dengan pemandangan disana. Vera dan juga Jaja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top