Yasmin 14

Dengan peluh masih bercucuran, Jaja terus saja mengemudi mobil Yasmin dengan kecepatan sedang. AC mobil seharusnya membuat Jaja menggigil, namun tidak kali ini. Hawa dingin berubah menjadi panas, apalagi tangan telapak tangan Yasmin masih berada di atas milik Jaja. Sedangkan tubuh Yasmin miring ke kanan menghadap Jaja dengan mata tertutup. Benar-benar pulas, bahkan tidak ada gerakan refleks sama sekali.

Jaja mengambil beberapa lembar tisu yang ada di dashboard. Mengelap keringatnya yang semakin bercucuran. Tanpa sadar, jemari Yasmin bahkan menggaruk milik Jaja. Membuat Jaja melotot dan menahan nafas. Ada rasa geli sekaligus tegang, ia yakin sepuluh detik lagi si untung akan terbangun, jika Yasmin terus saja menggaruk bagian risleting celananya.

Untung saja sudah sampai di gerbang rumah Yasmin.

"Bu, maaf, sudah sampai!" Jaja berusaha membangunkan Yasmin dengan suaranya, namun Yasmin tetap terlelap, begitu nyenyak. Jaja tidak berani menyentuh lengan atau tangan Yasmin, ia tidak ingin dibilang mengambil kesempatan.

"Bu," panggil Jaja lagi. Yasmin tetap tidak menyahut.

Huukk! Huk!

Jaja sengaja terbatuk, agar Yasmin bangun. Dan benar saja, wanita itu terbangun, dengan tangan masih di atas risleting celana bahan milik Jaja.

"Allahu akbar!" Pekik Yasmin sambil melotot. Dengan gemetar ia cepat mengangkat tangannya. Jaja tersenyum kecut, ia menepan salivanya sangat susah saat melihat wajah Yasmin yang berubah merah karena malu.

"Udah sampai ya, terima kasih," Ucap Yasmin dengan kikuk, ia tidak berani menatap wajah Jaja.

"Mau parkir sampai di dalam, atau di sini saja, Bu?" tanya Jaja ragu. Ia pun tidak berani melirik Yasmin.

"Di sini saja, kamu bisa turun. Jangan lupa motor restoran yang tadi kamu tinggal," pesan Yasmin dengan pandangan ke depan.

"Baik, Bu. Saya permisi!" Jaja melepas seatbelt lalu keluar dari mobil dengan kaki gemetar.

Dduuar!

Suara petir tiba-tiba menggelegar. Jaja melihat langit begitu pekat tanpa bintang. Mobil Yasmin sudah masuk ke dalam pekarangan rumah besarnya, sedangkan Jaja berada di bawah pohon besar. Mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu memesan aplikasi ojek online.

Yasmin masuk ke dalam rumah, menggunakan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Karena rumah sudah dalam keadaan remang, yakinlah Yasmin jika Reza dan bik Narsih sudah tidur.

Ia naik ke lantai dua rumahnya, masuk ke dalam kamar. Melepas satu persatu pakaiannya, saat hendak membuka celana miliknya, ia melihat kembali telapak tangannya.

"Astaghfirulloh, kok bisa ada di situ ya!" Yasmin menggerutu sendiri, sambil mengibaskan tangannya, bergegas ia masuk kamar mandi. Sebelum membasuh tubuhnya, Yasmin terlebih dahulu mencuci tangan dengan sabun antiseptik. Teutama tangan yang tadi ada di atas celana Jaja.

Suara petir di luar sana sudah saling sahut menyahut, bahkan disertai hujan yang turun cukup deras. Yasmin bahkan memekik kaget saat suara petir cukup keras menggema.

"Amih!" Teriak Reza berlari masuk ke dalam kamar Yasmin.

Yasmin yang baru saja keluar dari kamar mandi tentu saja kaget.

"Takut ya, Nak. Ayo tidur sama Amih saja di sini," Ajak Yasmin sambil memeluk Reza. Yasmin menuntun anaknya untuk naik ke kasur. Reza masih setengah tersadar naik ke kasur amihnya dan kembali terlelap.

Yasmin mencium kedua pipi Reza dengan gemas, lalu ia berjalan ke lemari untuk mengambil baju ganti.

"Deras sekali hujannya," ujar Yasmin saat menyingkap gorden jendela kamarnya.

"Ya Allah,bukannya itu si Jaja!" Yasmin kaget saat melihat Jaja dengan tubuh basah kuyup berlindung di balik pohon. Pemandangan dari jendela kamar Yasmin di lantai dua, memang langsung mengarah ke pekarangan depan. Lampu jalan juga cukupnterang, sehingga kita bisa dengan jelas melihat siapa yang ada disana, walau saat malam seperti ini.

Wanita itu berlari keluar kamar, turun ke bawah menuju dapur, ia mengambil dua buah payung lalu berjalan keluar rumahnya.

Walaupun memakai payung, namun pakaian tidurnya ikut kebasahan saat ia berjalan menuju gerbang rumah untuk membukanya. Angin berhembus sangat kencang.

Ggrreeengg

Jaja menoleh saat pintu gerbang besar itu terbuka.

"Jaja, ayo masuk dulu! Hujannya deras banget," suara Yasmin sayup terdengar karena tersapu derasnya air hujan. Yasmin memberikan payung besar pada Jaja.

Lelaki muda itu membuka payungnya dan berjalan mengekori Yasmin. Tubuh Jaja sudah menggigil hebat kedinginan. Selesai menggembok kembali gerbangnya, Yasmin berjalan ke dalam rumah yang diikuti oleh Jaja.

Tepat disaat kaki beralaskan sendal jepit basah itu sampai di teras, pandangan Jaja kabur.

Buuuggh

Jaja pingsan.

****
"Bagaimana keadaannya, Ver?" tanya Yasmin pada dokter Vera, tetangga sekaligus temannya yang berprofesi sebagai dokter umum itu.

"Dia hanya kedinginan, saya rasa tubuhnya hari ini terlalu lelah, sehingga saat kehujanan seperti ini, tubuhnya tidak kuat bertahan dan ia pingsan," terang Vera pada Yasmin. Jaja masih terlelap dengan baju yang sudah diganti oleh Vera.

Yasmin tidak nekat untuk melihat Vera saat mengganti pakaian basah Jaja. Jaja memakai baju kaos dan celana milik almarhum Arman yang masih tersimpan di dalam lemari. Jaja pingsan cukup lama.

"Oh, begitu."

"Siapa sih, Yas?"

"Karyawan restoran gue, dia tadi nolongin nganter gue pulang, karena perut gue keram. Lo tahu sendiri kalau gue haid pertama itu bagaimana?

"Terus, ya gue ga tahu kalau dia masih di bawah kehujanan."

"Cakep lho ini anak." Ekor mata Vera mengarah pada Jaja yang masih pingsan.

"Biasa aja sih," sahut Yasmin dengan menahan senyumnya.

"Bukan calon papanya Rezakan?" tanya Vera sambil mencolek lengan Yasmin.

"Gila lu ah! Mana ada pikiran ke situ ,Ver. Makam Arman aja masih basah, tidak mudah mencari lelaki seperti Arman. Lagian ini ya bukan selera gue," elak Yasmin sambil menatap Vera dengan cemooh.

"Huuh! awas kemakan omongan!" Yasmin memutar bola mata malasnya saat Vera terus saja menggodanya.

"Kalau lu tidak mau, buat gue aja ya. Barangnya gede banget, Mak." Mata Vera sampai melotot mengekspresikan betapa takjubnya Vera.

"Aduh, bisa jerit-jerit itu mah, kalau masuk sarang," celetuk Vera lagi sambil memperhatikan Jaja. Yasmin semakin merinding, ia mengusap lengannya dengan cepat lalu membuang pandangannya, agar Vera tidak melihat gelagat kikuk dari dirinya.

"Celana dalam almarhum aja sampe ga nampung. Ha ha ha ...," lanjut Vera sambil terbahak.

"Husstt!" Yasmin melotot, lalu menarik tangan Vera membawanya ke ruang tamu. Jika terus-terusan berada di ruang tengah, dan Jaja terbangun dengan ocehan tidak jelas Vera, bisa repot nanti.

"Tadi gue mau ganti plester yang ada di keningnya, pas gue buka, ternyata tidak ada luka. Aneh juga," ujar Vera sambil mengerutkan keningnya.

"Memang dia aneh." Lebih aneh lagi gue, kenapa bisa deg-deg an kalau deket ini bocah?Gumam Yasmin pada dirinya sendiri.

"Ini tehnya saya taruh di mana, Bu?" Bik Narsih datang dengan membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat.

"Terimakasih, Bik. Tetapi saya tidak minum teh, Bik. Berikan saja pada dia, siapa namanya Yas?"

"Jaja."

"Oh, nama yang lucu." Vera tertawa kecil, sekali lagi ia melirik Jaja sebelum akhirnya pamit pulang, tetapi Vera tetap meninggalkan obat yang harus diminum Jaja, begitu Jaja sadar.

Yasmin mengantar Vera sampai ke depan gerbang. Hujan sudah mulai reda. Dengan memakai payung besar, Vera berjalan keluar dari rumah Yasmin.

Jaja tersadar dari pingsannya, bahkan ia merasa bukan pingsan, Ttetapi tertidur sangat nyenyak. Mata Jaja melotot kaget, saat menyadari kini dirinya berbaring di sofa. Matanya juga memperhatikan keadaan sekelilingnya, ada foto pernikahan bosnya, ada juga foto Reza yang sangat besar terpampang di dinding ruang tengah itu.

Lalu mata Jaja beralih ke tubuhnya sendiri, karena merasa sangat nyaman dengan pakaian yang ia kenakan. Eh...tunggu dulu. Lalu dimana seragam yang ia tadi kenakan? Dan siapa yang menggantinya. Jaja bangun dari posisi tidurnya, ia melihat ada tiga cangkir teh di atas meja.

"Mas Jaja sudah sadar, syukur deh."

"Minum tehnya, Mas," ujar bik Narsih mempersilakan sambil membawakan sepiring kecil roti tawar berlapis selai.

"Kamu sudah sadar, Ja. Baguslah, cepat habiskan teh, lalu makan rotinya. Setelah itu kamu minum obat ini, biar saya antar kamu kembali ke restoran." Ujar Yasmin sambil tersenyum tipis, tangannya mengulurkan dua stripe obat kepada Jaja.

"Ya Allah, terimakasih, Bu. Maaf saya jadi merepotkan Ibu," ujar Jaja sungkan sambil menerima obat dari Yasmin.

"Saya tinggal dulu, kamu makan saja dengan cepat ya." Yasmin berjalan meninggalkan Jaja yang masih merasa lemas.

Jaja melihat jam di dinding, sudah pukul sepuluh malam. Duh, satu jam lagi restoran tutup. Ia harus bergegas, agar bisa segera kembali ke restoran. Jaja mengecek ponselnya yang tergeletak di atas meja, ternyata ponselnya mati kehabisan baterai.

Jaja makan dengan lahap, bahkan ia menghabiskan empat lembar roti lapis tersebut. Jujur ia belum makan sore ini, karena seharian restoran sangat ramai, karena ada pelanggan yang menyewa restoran mereka untuk acara pertunangan.

Yasmin memperhatikan Jaja yang makan dengan lahap. Apa dia belum makan? Sehingga lahap seperti itu. Kasian sekali, pikirnya.

Yasmin turun dengan memakai sweeter dan juga celana training. Tanpa riasan, ia menguncir rambutnya tinggi. Sehingga wajah cantiknya terlihat lebih natural.

"Kalau sudah selesai, ayo kamu saya antar," suara Yasmin membuat Jaja menoleh, lalu dengan cepat meminum obat yang diberikan Yasmin tadi.

"Sudah, Bu." Dengan perlahan Jaja berdiri, masih aga sempoyongan. Namun ia bisa menahannya.

"Bajunya bagaimana, Bu?" tanya Jaja memperhatikan pakaiannya.

"Buat kamu saja, itu punya almarhum suami saya."

"Ya Allah, maaf ya, Bu. Saya jadi merepotkan."

"Memang, kamu selalu saja merepotkan saya." Yasmin menghela napas panjang, lalu berjalan terlebih dahulu keluar rumah. Jaja semakin merasa sungkan, dengan berjalan pelan, Jaja mengekori Yasmin.

Bik Narsih sudah berjaga di depan rupanya, membukakan pintu pagar untuk nyonya rumahnya. Jaja membuka pintu belakang mobil Yasmin, ia merasa sungkan kalau duduk berduaan dengan Yasmin di depan.

"Hei, memangnya saya sopir kamu! Sini duduk di depan!" Yasmin menatap Jaja jengah, mana mau ia dikira sopir. Jaja tersentak.

"Saya jalan ke depan saja, Bu. Tidak usah diantar." Jaja menolak halus, ia merasa sangat sungkan dengan Yasmin.

"Sudah ayo masuk!" Titah Yasmin sedikit tak sabar, ia sangat lelah hari ini, dan perutnya juga masih terasa sakit. Namun, gara-gara Jaja, dia masih terjaga jam segini.

Yasmin membelah jalan menuju restoran tempat Jaja meninggalkan motornya tadi, untung saja jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga saat sudah sepi seperti ini, cukup memerlukan waktu lima belas menit sudah bisa sampai di sana. Tidak ada percakapan apapun sepanjang perjalanan, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga tanpa sadar, Jaja kembali terlelap.

Yasmin menoleh sedikit. Wajah lelap Jaja membuat Yasmin sedikit kasian. Sangkin lelapnya, Jaja sampai terdengar mengorok. Benar kaya Vera, Jaja lelaki tampan. Mungkin jika Jaja orang kaya, lelaki muda di depannya ini pastilah terlihat sangat keren. Yasmin kembali fokus pada kemudinya, pelataran restoran sudah semakin jelas terlihat.

Puukkk!

Yasmin kaget. Ia bahkan melotot dengan sangat mengerikan.

"Jaja!" Teriak Yasmin histeris.

Tangan Jaja sudah ada di pay*daranya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top