Yasmin 13
Nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan sosis bakar, sebagai menu sarapan Yasmin dan juga Reza, sudah tersedia di atas meja. Seteko teh manis hangat tertata di samping kerangjang buah di atas meja makan. Anak lelaki yang berusia lima tahun menjelang enam tahun itu, masih asik dengan legonya. Sambil menunggu amihnya keluar dari kamar.
"Makan duluan aja, Bang. Nanti abang telat," ajak Bik Narsih sambil mengambilkan nasi dan juga teman-temannya ke dalam piring Reza.
"Gak ah, Bik. Abang tunggu Amih aja," sahut Reza sambil memainkan legonya.
Yasmin keluar dari kamar dengan rambut basah yang sepertinya baru saja dikeringkan dengan menggunakan hairdryer. Dengan menggunakan kemeja bewarna biru tua dan celana bahan bewarna putih tulang, penampilan Yasmin tampak memesona dan terlihat segar.
"Cuci dulu tangannya, Bang! Setelah itu mainannya dirapikan," titah Yasmin sambil menarik kursi tepat di depan Reza duduk. Anak kecil itu mencuci tangan di wastafel dapur, setelah menaruh kembali mainannya di keranjang mainan.
"Sudah bersih, Amih." Reza mengangkat telapak tangannya, memperlihatkan kepada Yasmin.
"Pinter anak Amih, ayo sekarang kita makan." Yasmin mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Reza pun ikut menyendokkan nasi ke dalam mulutnya, sebelumnya sudah membaca doa terlebih dahulu.
"Amih tadi mimpi apa, Mih?" tanya Reza di tengah suapannya. Yasmin terdiam, wajahnya merona malu.
"Amih tidak mimpi apa-apa, Bang. Emangnya kenapa?"
"Masa sih, tapi tadi Amih ngigo. "Ja, saya boleh pegang, gak. Gitu!"
Huk!
Huk!
Huk!
Yasmin tersedak mendengar suara Reza yang menirukannya.
"Ini, Mih. Minumnya." Reza menyodorkan segelas teh hangat kepada Yasmin. Kemudian Yasmin meminumnya dengan perlahan dan hati-hati. Tenggorokannya yang tadi tercekat sakit, akhirnya mereda. Ia mencoba mengatur nafas, kemudian minum lagi.
"Amih mau pegang apanya Bang Jaja?"
Huk
Huk
Yasmin tersedak kembali.
Puk!
Puk!
Dengan keras ia menepuk-nepuk dadanya yang sakit. Lalu cepat ia menghabiskan teh yang tersisa di gelas.
"Amih pelan-pelan minumnya."
Yasmin tersenyum sambil mengangguk.
"Tapi Amih tidak mimpi apa-apa kok, Bang!" Yasmin mengelak sambil menggeleng. Ia memang merasa tidak memimpikan siapapun, almarhum suaminya juga sudah tiga hari ini absen tidak hadir di mimpinya.
"Oh gitu. Kirain Abang, Amih mimpiin Abang Jaja." Reza menyeringai. Sambil melanjutkan makannya. Yasmin sudah kehilangan nafsu makan, masa iya dirinya mengigau menyebut nama lelaki itu.
Selesai sarapan, Yasmin pun mengantar Reza ke sekolah. Hari ini dia mengendarai mobil Pajero keluaran terbaru untuk beraktifitas. Ada tiga mobil di rumahnya dan semua sudah atas namanya. Suaminya yang memberikan. Rumah, pabrik, restoran bahkan lima pintu kontrakan semua atas namanya. Yasmin hidup bergelimang harta peninggalan suaminya, untuk itu begitu banyak pria yang berusaha mendekatinya.
****
"Kamu yakin bisa menaklukan hati Yasmin?" tanya seorang pria berambut putih pada anak sulungnya.
"Bisa, Pa. Papa harus percaya Dimas. Jikalau tidak berhasil, kita gunakan cara sedikit licik, bolehkan, Pa?" Lelaki tinggi tampan itu menyeringai jahat.
"Boleh saja, tapi harus cantik. Dan, yang terpenting semua aset Harisman berpindah kepada kita."
"Siap, Pah. Dimas jalan dulu. Mau ketemu calon istri."
"Ha ha ha ...." Keduanya tertawa gembira, sepertin sebentar lagi akan menyambut kemenangan mereka.
****
Yasmin kini sudah berada di pabrik, fokus pada layar laptopnya setelah cukup lama berkeliling di ruang produksi. Ada banyak PR dari kualitas produk yang ia jual. Rata-rata konsumen mengeluhkan jahitan yang tidak terlalu kokoh, padahal dari segi harga, tas-tas yang dipasarkan harganya lumayan mahal, disekitaran harga 80.000-200.000.
Disaat kepalanya pusing, Nita sekretarisnya memberi tahu, bahwa ada tamu bernama Dimas yang ingin bertemu.
"Iya, suruh saja masuk!" titah Yasmin dari sambungan telepon.
Kleekk
"Hallo cantik," sapa Dimas ramah, dengan langkah tegap ia menghampiri Yasmin yang juga ikut tersenyum kepadanya, bahkan Yasmin menyambutnya dengan berdiri. Mereka bercipika-cipiki. Layaknya teman yang sudah biasa saling bertemu.
"Hallo, Dim. Tambah gendut aja," celetuk Yasmin sambil tertawa kecil.
Dimas pun ikut terkekeh. Bahkan kini Dimas menarik tangan Yasmin ke pangkuannya. Yasmin sebenarnya sedikit risih, namun sepupu jauhnya ini memang sering seperti ini jika berkunjung.
"Hatinya sudah lebih baikkan?" tanya Dimas lemah lembut. Yasmin tersenyum.
"InsyaAllah sudah."
"Makan malam yuk!" ajak Dimas to the point. Ia harus bergerak cepat sebelum Devano, anak relasi papahnya yang mendekati Yasmin.
"Pulang kantor aja ya."
Dimas mengangguk senang. Semoga rencananya berhasil. Setelah setengah jam mengobrol, akhirnya Dimas pamit untuk kembali ke kantornya. Yasmin pun ikut melanjutkan aktifitasnya.
Saat jam di dinding menunjukkan pukul lima sore, Yasmin bersiap untuk pulang. Ia memakai kembali blazernya dan merapikan sedikit riasannya.
Beeep...beepp...
Ponsel Yasmin berbunyi. Ada pesan masuk dari Alex, Andre dan bahkan dari Malik yang tidak ia balas satu pun. Ia hanya membaca satu pesan dari Dimas, yang mengatakan dimana ia harus bertemu dan sudah menunggu Yasmin.
Yasmin pun meluncur ke tempat yang dituju, karena jalanan cukup padat. Sehabis magrib ia baru sampai di restoran yang dimaksud. Sudah ada Dimas disana yang menunggunya dengan tenang.
"Hai, Dimas. Sorry lama ya. Macet banget," ujar Yasmin sambil meletakkan bokongnya di kursi yang sudah disediakan oleh Dimas.
"Tidak apa-apa, Yas. Ga bete juga kok, aku sambil main ini!" Dimas tersenyum, memperlihatkan layar ponselnya yang terpampang game mobil legend yang sedang ia mainkan.
"Oh, syukurlah. Aku kira kamu ubanan kelamaan nunggu," jawab Yasmin sambil terkekeh.
"Aku sudah pesankan sup jamur daging kesukaanmu."
"Wah, terimakasih Dimas. Kamu memang sepupu aku yang paling baik."
"Kalau lebih dari sekedar sepupu gimana?" Pancing Dimas yang membuat Yasmin terdiam, Yasmin tahu arah pembicaraan ini.
"Maksudnya?" Yasmin berpura-pura tidak paham. Matanya serius menatap Dimas.
"Ah, bukan apa-apa. Ayo makan dulu!" Disaat yang bersamaan, hidangan yang dipesan oleh Dimas sudah datang.
Mereka makan dalam diam, hanya sesekali Yasmin menjawab pertanyaan yang Dimas ajukan, karena jujur saja. Ucapan Dimas tadi membuat nafsu makannya hilang. Padahal ia tidak pernah menolak jika sudah dihidangkan sup jamur dengan daging.
"Makan yang banyak, tidak usah dipikirkan ucapanku yang tadi. Oke cantik!" Dimas merasakan raut wajah Yasmin berubah. Yasmin hanya tersenyum, menyahuti ucapan Dimas.
Satu jam berlalu, Yasmin mencoba biasa kembali. Dia beranggapan Dimas mungkin hanya menggodanya, mengingat dirinya yang seorang janda dan banyak didekati pria. Mereka banyak berbincang tentang keluarga dan juga pekerjaan. Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul delapan tiga puluh malam.
"Saya balik ya, kasian Reza kalau kelamaan menunggu." Yasmin memeriksa tasnya lalu mengeluarkan kunci mobilnya.
"Ayo, sudah malam juga." Dimas membantu Yasmin berdiri. Di tengah keremangan lampu restoran, Yasmin berjalan bersisian dengan Dimas, bahkan Dimas merangkul pundak Yasmin akrab. Yasmin membiarkannya karena memang sedari dulu, sikap Dimas seperti ini padanya. Layaknya sikap seorang abang pada adiknya.
Tanpa disadari oleh Yasmin, Jaja melihatnya saat baru kembali dari supermarket. Dengan menggunakan motor restoran. Jaja diminta chef Rahman untuk membeli bawang bombay, paprika serta jeruk nipis di supermarket terdekat.
Tepat setelah Yasmin selesai cipika-cipiki dengan Dimas, disaat itu juga Jaja melihat Yasmin dengan Dimas di area parkir restoran.
Brreemm
"Lha...kok mogok!" Jaja melotot pada motor yang ia kendarai, tiba-tiba saja mesin motor itu mati. Tepat Yasmin akan keluar dari parkiran restoran.
"Jaja....!" Panggil Yasmin, ia membuka kaca mobilnya.
"Eh, bu Yasmin." Sahut Jaja sambil tersenyum sungkan.
"Ini bukannya motor restoran?"
"Iya, Bu. Saya habis belanja disuruh chef Rahman, eh malah mogok." Terang Jaja, sambil membuka jok motor. Maksud hati ingin mencari alat pertukangan yag barangkali ada tersimpan di jok motor.
Mobil Dimas yang tepat berada di belakang mobil Yasmin pun ikut berhenti. Yasmin meminggirkan mobilnya agar Dimas bisa mengeluarkan mobilnya.
"Kamu kenal?" Tanya Dimas pada Yasmin, saat Yasmin keluar dari mobilnya hendak menghampiri Jaja.
"Iya, karyawan restoran aku. Udah balik duluan aja, aku tidak apa-apa," sahut Yasmin pada Dimas. Dimas pun mengangguk, sebelumnya ia sempat melirik wajah Jaja yang masih tertutup helm.
"Yakin kamu bisa memperbaikinya?" tanya Yasmin mendekati Jaja.
"Tidak tahu, Bu. Saya coba dulu. Sudah malam, Ibu sebaiknya pulang saja. Saya tidak apa-apa di sini."
"Ya sudah saya pulang dulu." Yasmin berbalik, berjalan mendekati mobilnya.
"Bu...maaf!" seru Jaja sedikit berteriak memanggil Yasmin.
"Ada apa?" tanya Yasmin dengan kening berkerut.
"Ibu, celananya berdarah."
Yasmin melotot, lalu refleks tangannya memeriksa bokongnya. Ya Allah ternyata benar ia datang bulan. Duh, malunya. Mana ia tidak membawa perbekalan pembalut, kalau ia tetap duduk di jok mobil, nanti jok mobilnya kotor dan amis kena darah.
Pantesan sedari tadi ada yang aneh dengan perutnya.
"Saya minta tolong bisa gak,Ja?"
"Iya, Bu. Bisa, tolong apa?"
"Tolong belikan saya pembalut yang ada sayapnya." Yasmin mengeluarkan uang dari saku celananya, satu lembar uang seratus ribuan ia berikan pada Jaja.
"Oke, Bu. Tunggu ya!" Jaja setegah berlari menyebrang jalan, karena lokasi mini market ada di seberang dan jaraknya lumayan jauh.
Yasmin menunggu dengan sabar, ia hanya bisa bersandar di mobilnya, sambil melirik jam tangan. Sudah pukul sembilan malam, pasti Reza sudah tidur. Duh, dia kemaleman pulang.
"Ini, Bu." Jaja menyerahkan satu kantong berisi pembalut dengan sayap. Yasmin meraihnya cepat dam berjalan kembali masuk ke dalam restoran untuk meminjam toilet.
Jaja masih sibuk dengan motornya, sedangkan chef Rahman sudah kebakaran jenggot menunggu Jaja yang tidak kunjung kembali. Yasmin keluar dari restoran dengan memegang perutnya. Kening Jaja berkerut, ada apa lagi dengan bu Yasmin.
"Kenapa, Bu?" Tanya Jaja menghampiri Yasmin yang terlihat meringis.
"Perut saya...ssst...sakit, Ja."
"Waduh, bisa bawa mobilnya gak, Bu?"
Yasmin menggeleng.
"Ya sudah saya antar Ibu dulu, baru saya balik ke restoran," ujar Jaja cepat, ia menitipkan motornya di petugas parkir restoran. Yasmin hanya bisa pasrah, memberikan kunci mobil kesayangannya pada Jaja.
"Ayo, Bu." Jaja membukakan pintu penumpang untuk Yasmin. Lalu ia pun berbalik untuk duduk di kursi pengemudi.
"Kamu bisa bawa mobil, Ja?"
"Tidak bisa, Bu. Berat atuh kalau dibawa." Jaja menyeringai, lalu menyalakan mesin mobil matic milik bosnya.
Baru lima menit berjalan, Yasmin sudah terlelap. Jaja yang sedari tadi fokus pada jalan, akhirnya melirik Yasmin. Betapa beruntungnya ia hari ini, dapat dengan puas memandangi wajah bos wanitanya. Jaja kembali fokus pada jalanan. Sangat hati-hati ia membawa mobil Yasmin, jangan sampai lecet apalagi bertabrakan. Untung saja jalanan sudah lebih sepi, sehingga Jaja tidak perlu terlalu khawatir.
Puk
Jaja melotot, melihat ke bawah. Dimana tangan cantik seorang Yasmin berada di tengah celananya. Jaja menahan napas, bahkan salivanya susah ia telan. Keringat dingin mengucur deras. Kalau ia singkarkan tangan Yasmin, nanti dia dibilang kurang ajar. Tapi kalau dibiarkan tangan Yasmin tetap di situ, Ia akan kembali pingsan, namun raksasanya akan terbangun.
****
Hayo, apa yang kira-kira terjadi?apakah tangan Yasmin akan membangunkan raksasa Jaja?🤣
Tinggalkan jejak vote dan komentarnya yaa🥰😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top