Sang Raja Yang Terlahir Kembali

Suara lonceng yang menggema dari puncak menara kastil menandakan jika salah satu keluarga kerajaan Vortimer ada yang meninggal. Namun, dentingan loncengnya cukup janggal. Tak biasanya dentingannya berjumlah tiga belas kali. Beberapa dewan kerajaan yang tinggal di komplek istana menyadarinya jika Raja Rhazien yang tak terkalahkan telah meninggal. Lebih mengenaskannya lagi, ia meninggal terpenggal oleh adik tirinya sendiri.

Siapa yang akan menyangka jika rupanya adik tiri raja lebih kuat? Padahal ia hanyalah darah campuran yang sangat dibenci oleh vampir karena mereka terlalu lemah.

Hari itu juga, Rothven naik takhta. Walau banyak yang tidak terima, Vortimer tak punya pewaris lain selain dia.

Melihat adik tirinya naik takhta, roh Rhazien berdecak kesal. Tangannya mengepal kuat, dan rahangnya mengeras. Ia tak sudi tanah Vortimer dipimpin oleh seorang darah campuran seperti Rothven, terlebih lagi dia adalah anak haram ayahnya Rhazien. Karena baginya, Vortimer harus dipimpin oleh darah murni, bukan vampir setengah manusia yang bahkan hidupnya lebih singkat ketimbang vampir murni.

Rhazien berdecak, rohnya yang tak bisa dilihat oleh siapa pun melayang di ruang takhta. Kala semua orang di sana menunduk hormat pada Rothven, Rhazien meludah. "Lihat saja nanti. Kau pasti akan terbunuh juga oleh seseorang yang ingin jadi raja."

"Kalau begitu, kau mau kembali hidup?" tanya suara seseorang, tetapi wujudnya tidak ada.

Rhazien yang dilimuti amarah dan dendam mengangguk, tak memedulikan jika si empunya suara tidak ada wujudnya. Lagi pula, ia menginginkan dirinya hidup lagi kemudian memenggal Rothven sama seperti yang adik tirinya lakukan.

"Kesempatan kedua dimulai dari sekarang."

~o0o~

Suara ledakan terdengar jelas seolah-olah peluru meriam baru saja ditembakkan dari dekat. Rhazien yang sedang tertidur pulas jadi terbangun dan dengan sigap menegapkan tubuh. Matanya membesar tatkala melihat jendela kamarnya sudah berlubang dengan rangka yang sudah rusak. Pecahan kaca berserakan di sana. Tatkala ia mengedarkan pandangan, rupanya bola meriam itu memang mendarat sempurna melewati dinding sampai meninggalkan lubang besar dan tembok retak.

Rhazien ingat, kejadian ini sama persis seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Jadi, dia hanya terduduk sambil memutar kembali memori lama. Ketika tidurnya terganggu karena meriam nyasar yang katanya tak sengaja tertembak, lalu dirinya mengungsi ke kamar lain, tidur lagi, barulah bangun karena asisten pribadinya mengguncang tubuhnya. Setelah itu, Rhazien meminum segelas darah yang disajikan setiap pagi, dan tak sengaja menelan batu hitam kecil yang membuatnya lumpuh. Di malam harinya, Rothven memenggal kepalanya.

"Tunggu sebentar, bukannya aku sudah mati?" Ia terdiam sejenak. "Lho, kok aku masih hidup? Jadi, dewa mengabulkan keinginanku? Ini kesempatan kedua, aku tak boleh menyia-nyiakannya."

Karena tak mau mati untuk yang kedua kalinya—mengingat Rhazien yakin dirinya seharusnya sudah mati, maka dia hendak meloncat dari ranjang. Alangkah terkejutnya begitu menyadari jika jarak ranjang dan lantai cukup tinggi. Padahal, ia yakin tingginya tidak seperti itu sebelum ia kembali hidup untuk kedua kalinya.

Rhazien terdiam, hanyut dalam pikirannya menebak alasan jarak ranjang dan lantai bisa setinggi itu. Sampai-sampai suara pelayan yang memanggilnya tidak terdengar. Ia baru menyadari kehadiran pelayan yang sangat khawatir ketika berdiri di hadapannya.

"Oh, itu kau Nyonya Ver—" Begitu menengadah, Rhazien tercengang. Tinggi pelayan melebihi tingginya, bahkan terlihat seperti tiang berjalan. "Astaga, bagaimana bisa kau jadi lebih tinggi dariku? Nyonya Verren, jelaskan ini!"

Namun, alih-alih menjawab pertanyaan sang raja, pelayan itu malah terus memanggilnya. Seolah-olah kehadiran Rhazien di sana tidak terlihat. Hal inilah yang membuat ia yakin jika dirinya tidak memiliki raga. Hanya roh yang kebetulan terjebak di masa lalu belasan jam sebelum kematiannya.

"Kalau memang aku masih jadi arwah penasaran, ya sudah. Kita lihat saja sampai kapan pelayan bodoh itu menyadari jika rajanya sudah mati," ucap Rhazien sembari mengikuti gerak-gerik pelayan.

Setelah Nyonya Verren berputar sekeliling kamar raja, netra merahnya menatap ke arah Rhazien yang terduduk di atas ranjang. Dari ekspresinya, ia yakin sekali jika pelayan itu sudah menyadari kehadiran raja.

Seulas senyuman tersungging di wajah Rhazien sebelum berkata, "Oh, rupanya aku tidak transparan amat. Akhirnya kau menyadari kehadiranku."

Nyonya Verren langsung menghampiri ranjang, matanya masih fokus pada Rhazien yang mulai senang karena prediksinya tentang menjadi arwah salah.

"Astaga, kenapa kau di sini, Kino?" tanya pelayan tersebut sembari mengangkat tubuh Rhazien. "Pangeran Rothven mencarimu."

"Hah? Kino? Dasar kurang ajar. Aku ini rajamu!" sentak Rhazien begitu tubuhnya digendong Nyonya Verren. "Dan turunkan aku! Aku bukan anak kecil!"

Alih-alih melakukan apa yang dikatakan Rhazien padanya, Nyonya Verren malah berujar, "Ya ampun, tak biasanya kucing ini memberontak saat kugendong. Kau ini kenapa, Kino?"

Mendengar ucapan pelayannya, Rhazien terdiam. Setelah dipikir-pikir, Kino adalah nama peliharaan Rothven yang paling disayangi, sebab kucing itu satu-satunya pemberian ibunda Rothven yang sudah meninggal. Kucing itu juga satu-satunya hal yang dibenci Rhazien karena suka mendesis acap kali bertemu dirinya, padahal dia tak melakukan apa pun.

Barusan pelayan ini memanggilku Kino? Aku tak mengerti.

Nyonya Verren keluar sembari berlari tergopoh-gopoh, menyusuri koridor sampai melihat dua penjaga yang sedang berjalan ke arahnya. cepat-cepat wanita pelayan itu memberitahu penjaga kalau rajanya tidak ada di kamar, ditambah kamar penguasa Vortimer baru saja kena hantaman peluru meriam. Setelah diberitahu tentang itu, dua penjaga pergi dan Nyonya Verren kembali berjalan menyusuri koridor.

Dari jendela, Rhazien bisa melihat jika matahari mulai terbit. Beberapa pelayan istana tengah membukakan tirai agar koridor tidak begitu gelap. Sesekali, ia mendengkus kesal karena Nyonya Verren masih menggendongnya seperti bayi.

"Nyonya Verren, kudengar ada suara ledakan," ucap seorang pelayan muda. Sama seperti yang lain, pelayan itu masih tak menyadari Rhazien.

"Iya, aku tidak tahu siapa yang melakukan penembakan meriam, tapi pelurunya menyasar kamar Yang Mulia Raja."

Rhazien mengerling, tak suka berada di tengah-tengah gosip. Begitu ia menoleh ke samping kanan di mana cermin besar berada, ia terkejut melihat pantulan Nyonya Verren, pelayan muda, dan seekor kucing putih bermata ungu di gendongan Nyonya Verren.

"Lho? Kino?" gumam Rhazien sambil mengangkat tangan kirinya. Di cermin, refleksi kucing itu juga mengangkat kaki depan sebelah kiri. Kemudian, Rhazien menyentuh telinganya, dan refleksinya mengikuti.

"AKU JADI KUCING SIALAN ITU? APA-APAAN INI! TIDAK ADIL!"

Alih-alih terdengar teriakan Rhazien yang merutuk wujudnya, Nyonya Verren dan pelayan muda malah mendengar suara geraman kucing marah.

"Ya ampun, kau lapar ya? Baiklah, karena sudah pagi, aku akan memberimu makan dulu sebelum Pangeran Rothven menemuimu," ucap wanita itu sebelum berjalan menyusuri koridor lagi.

"DEMI BULAN MERAH, AKU TIDAK MAU MAKAN MAKANAN KUCING!"

~o0o~

Setelah sedikit pemberontakan karena tak mau memakan makanan kucing, Nyonya Verren yang menyerah akhirnya membawa Rhazien atau Kino ke ruangan Rothven. Ia ditinggalkan di sana, bersama adik tirinya yang sedang mengotak-atik sesuatu di atas meja. Karena penasaran, Rhazien melompat dan terkejut tatkala melihat batu-batu hitam kecil di atas mangkuk. Batu-batu ini yang nanti melumpuhkannya.

"Oh, jadi kau memang sudah menyiapkan pembunuhanku sejak lama, ya?" kata Rhazien dengan dengusan pelan. "Jangan bilang bola meriam itu juga ulahmu!"

Mau seberapa keras Rhazien mengoceh, yang didengar Rothven hanyalah suara kucing yang imut. "Kudengar kau tidak mau makan, Kino."

"Ya tentu saja, dasar gila. Yang masuk ke tubuh kucing sialanmu itu aku!"

"Berhenti mengeong. Makan yang banyak, sebentar lagi aku jadi raja. Nanti, kau akan mendapatkan kalung baru dan kamar yang lebih bagus," sahut Rothven sambil menuangkan setetes cairan bening dari botol kecil.

"Mengeong apanya, sialan!" geram Rhazien yang lagi-lagi didengar oleh Rothven hanyalah desisan kucing. "Padahal kau sedekat ini, tapi aku bahkan tak bisa mencekikmu!"

Setelah selesai urusannya, Rothven langsung memasukkan beberapa batu-batu hitam ke dalam botol kaca berisi cairan merah. Pria itu berbicara sendiri seolah tengah menjelaskannya pada Kino Si Kucing tentang botol tersebut yang nantinya diminum oleh kakak tirinya. Suara tawa puas juga terdengar, membuat Rhazien mendengus seraya mendekati Rothven. Suara mengeongnya terdengar lebih keras, sampai-sampai si empunya kucing mengernyit.

"Kau kenapa akhir-akhir ini? Biasanya kau diam."

"Kenapa katamu! Aku ini marah karena kau membunuhku!" Rhazien menatap Rothven tajam. "Kucakar-cakar juga mukamu menggunakan kuku kucing sialan ini."

Setelah berkata demikian, Rhazien melompat ke arah Rothven, bermaksud mencakarnya. Cakar-cakar mungil nan tajam itu mendarat persis di mata Rothven hingga berdarah. Kemudian, Rhazien melompat ke meja, menjatuhkan semua barang di atas sana menggunakan kaki-kaki depannya, kecuali botol merah darah yang seharusnya digunakan untuk melumpuhkan raja.

Mendengar suara gaduh dari kamar pangeran, seorang pelayan masuk. Ia tercekat melihat Rothven menutup kedua matanya yang berdarah. Karena panik, cepat-cepat pelayan menghampiri pria itu.

"Pangeran, Anda kenapa?" tanya pelayan.

"Bodoh! Ambilkan aku darah. Aku butuh itu untuk menyembuhkan mataku," timpal Rothven yang masih mengerang kesakitan.

Tanpa pikir panjang, pelayan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Begitu melihat botol kaca berisi darah di atas meja, ia langsung mengambilnya dan menyerahkan pada Rothven. Sementara itu, Rhazien yang kini berada di lantai menatap adik tirinya yang meneguk isi botol dengan rakus.

Aku tahu darah campuran seperti dia tak memiliki kemampuan penyembuhan vampir. Dia butuh darah manusia untuk menyembuhkan lukanya, pikir Rhazien sambil tersenyum senang.

Duduk manis di dekat ambang pintu, Rhazien yang terlihat oleh orang-orang sebagai kucing kesayangan Rothven tengah menyaksikan adik tirinya menyambut kesialan. Bak senjata makan tuan, efek dari batu-batu kecil aneh hasil eksperimen berhasil melumpuhkan Rothven. Siapa yang mengira jika rupanya efek dari batu kecil aneh itu cukup mematikan untuk darah campuran sepertinya. Dalam beberapa jam ke depan, Rothven sesak napas dan tewas hanya karena awalnya dicakar kucing peliharaannya lalu menegak darah beracun.

Penghuni istana tak bisa menemukan Raja Rhazien, dan pewaris terakhir telah tiada. Kini, Vortimer sedang berada dalam masalah menentukan siapa yang harus menggantikan raja sampai Rhazien ditemukan. Satu hal yang tidak mereka tahu, jika raja mereka saat ini bersemayam di tubuh kucing putih kesayangan Rothven. Menikmati hidupnya di istana karena dendamnya terbalaskan, tetapi merutuki karena merasa terkekang di dalam tubuh kucing itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top