Bab XXX
Tiga bulan berlalu. Tapi tetap saja hari itu tak akan pernah mereka lupakan. Hari di mana mereka kehilangan sosok tersayang. Terutama bagi Saras, Aran, Anji dan juga Qilla. Mereka baru saja menjalani kehidupan baru bersama Rey. Namun takdir tak menginginkan hal itu berlangsung lama. Takdir membawa Rey pergi, dari orang-orang tersayangnya.
Kendati demikian mereka sudah merasa ikhlas. Ikhlas menerima kepergian Rey yang terlalu mendadak. Bahkan, mendiang cowok itu tak pernah meninggalkan tanda-tanda jika ia ingin pergi. Kecuali wajah pucatnya yang selalu Saras kira bahwa Rey sedang sakit. Tapi memang Rey tak pernah bilang jika ia sedang sakit. Saat ditanya saja ia selalu bilang tidak.
Mengingat hal itu, membuat Saras kembali sedih. Ia masih ingat saat dua hari sebelum Rey pergi. Ia masih bisa tertawa bersama Rey, bercanda, bermain bersama Khayra bahkan menyanyi bersama. Kematian Rey seolah mimpi baginya. Terasa tidak nyata. Sampai sekarang pun Saras masih sering menganggap bahwa Rey masih ada.
Kadang, ia lupa kalau Rey sudah tiada. Saras sering menanyakan keberadaan Rey pada asisten rumah tangganya.
Pelukan Rey, tawa Rey, senyum Rey bahkan masih teringat jelas oleh Saras. Wanita itu juga sering kali mampir ke kamar anaknya. Mencium wangi khas Rey. Memeluk bajunya hingga membaca kembali surat terakhir dari mendiang anaknya itu.
Seperti sekarang, Henny Saraswati tengah berada di kamar anaknya. Tertidur di sana saat pulang syuting tadi. Selepas terjaga, Saras segera bangun dari tidurnya. Duduk diam menatap segala aksesoris ataupun barang pengisi kamar anaknya.
Semua masih sama. Masih sama ketika Rey belum meninggalkan dunia ini. Ia mengambil salah satu baju yang belum sempat ARTnya cuci. Masih berbekas wangi tubuh Rey di sana. Saras memeluk baju itu, sambil menangis. Menyayangkan bertapa berharganya waktu. Menyesal, mengapa tidak dari dulu ia menjemput anaknya. Menyesal karena kebersamaan mereka yang bisa dibilang singkat.
Ah, andai waktu bisa diputar. Saras akan merekam segala aktifitas Rey. Merekam apapun yang mendiang anaknya itu lakukan. Agar saat rindu datang menyapa, ia tak lagi perlu bersusah payah mengingat semuanya.
Saras mengeluarkan ponselnya sembari mengusap air mata. Ia lupa jika di ponsel canggihnya itu, ada beberapa video yang merekam aktifitas Rey saat mereka menghabiskan waktu bersama.
Wanita itu tersenyum saat salah satu video menayangkan Rey yang tak suka dirinya direkam oleh sang ibu. Cowok itu terus saja menghalangi wajahnya dengan tangan. Sambil berkata jika ia malu.
Satu tetes air mata kembali jatuh saat tak sengaja ia mendengar video Rey yang sedang menyanyi. Video yang ia ambil ketika anaknya itu latihan untuk yang terakhir kali sebelum tampil di acara wisudanya. Di sana Rey tengah menyanyikan lagu Bunda milik Melly Goeslow.
"Masih sedih?" Pertanyaan yang terlontar dari Anji membuat Saras terkejut. Ia tersenyum kala melihat suaminya itu berjalan mendekatinya.
"Enggak. Lagi keinget aja."
Anji memeluk Saras. "Kamu boleh rindu. Tapi jangan biarkan air matamu mengalir lagi. Rey enggak butuh air mata, Rey butuh doa dari ibunya."
Saras mengangguk. Membenarkan dalam hati.
"Tugasmu sekarang adalah berdoa untuk Rey dan membesarkan Khayra," ujar Anji.
Saat tengah dibicarakan, Khayra muncul dengan wajah khas bangun tidurnya. Ia melangkah perlahan mendekati kedua orang tuanya. Merangkak naik meminta digendong.
"Ibu, kak Rey mana? Kok belum pulang-pulang?" Anak kecil itu bertanya dengan lugunya. Tak menampik pada ibunya yang kini tengah tersenyum pedih.
"Kak Rey pergi ke suatu tempat yang jauh ... Dan enggak akan kembali lagi."
"Kok gitu? Kok Kak Rey enggak ngajak Aya sih?"
"Karena Kak Rey maunya sendiri."
"Oh, gitu, ya." Khayra menggangguk.
Anji benar. Tugasnya sekarang hanya berdoa untuk anaknya dan membesarkan Khayra. Hanya itu. Dengan tekad kuat, Saras berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan bersedih lagi, walaupun rindu datang menerpa.
.
Tiga bulan yang terasa berat, terutama bagi Qilla. Meski setahun lamanya ia dan Rey tidak bertemu, tapi tetap ada komunikasi di antara mereka. Rey maupun Qilla sama-sama sering saling menghubungi. Tapi kini, tak ada. Tak ada lagi telfon dari seseorang yang membuat Qilla memekik kegirangan. Tak ada lagi suara yang mampu membuat Qilla tersenyum bahkan hanya dengan mengingatnya.
Qilla sedih, tentu saja. Ia merasa dunianya seakan ikut hancur saat melihat jenazah Rey secara langsung. Wajahnya memang bersih dengan sedikit luka di beberapa bagian. Tapi itulah yang membuat Qilla tak sanggup. Tak sanggup melihat tubuh orang yang ia cintai terkapar kaku di hadapannya. Qilla bahkan tak menghadiri acara pemakamannya.
Dengan langkah pelan, Qilla memasuki panti. Disambut oleh pelukan bunda yang tengah menangis juga anak panti lainnya yang ikut menangis.
"Yang sabar ya Nak." Bunda menepuk bahu Qilla beberapa kali setelah melepas pelukannya.
Kini semuanya sudah tahu, bahwa Rey masih sempat melamarnya. Meskipun hanya lewat tulisan tangan. Semuanya tahu bahwa mereka saling mencintai.
Ucup mendekatinya. Duduk di samping Qilla saat Qilla duduk di salah satu sofa. "Ini, waktu itu abang nitip. Buat kak Qilla katanya," ucap Ucup sembari menghapus air matanya.
Cowok yang menginjak usia 10 tahun itu begitu merasa kehilangan. Terlebih Rey merupakan teman sekamarnya selama tujuh tahun. Rey juga telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Sebagai panutannya selama ini. Kehilangan Rey, membuat Ucup benar-benar merasa hancur. Meski cowok itu telah satu tahun hidup bersama keluarga kandungnya, Ucup tetap sering berkomunikasi dengannya.
Kembali lagi ke Qilla. Cewek itu melangkah menuju ayunan yang Rey sebutkan dalam suratnya tadi. Dengan air mata yang sudah tergenang, Qilla duduk di atas ayunan. Masih belum membaca surat Rey secara keseluruhan.
Seketika ia teringat, pada ucapan Rey ketika mereka masih berusia 10 tahun. Di ayunan itu, Qilla dan Rey duduk. Bercanda bersama hingga tertawa bersama. Meski tak luput dengan kejailan yang Rey lakukan.
"Kamu tau enggak. Suatu saat nanti, aku akan jadi bintang. Bintang yang paling terang di langit sana." Rey menunjuk kumpulan bintang di atas langit kala itu. Qilla hanya mengangguk antusias mendengarnya.
Dan kini, ucapan itu benar-benar terjadi. Rey telah pergi dan mungkin saja menjadi bintang terang di atas sana. Qilla membuka surat itu kembali.
Di bawah ayunan itu, ada sesuatu. Coba lo buka. Sebelumnya digali dulu tanahnya.
Qilla menurut. Menunduk sembari berusaha menggali tanah tepat di bawah ayunan itu dengan sebuah cangkul kecil yang memang berada di samping ayunan. Sesaat kemudian, sesuatu terlihat. Sebuah kotak yang sepertinya lumayan besar. Qilla mengangkat kotak kado yang ternyata benar, berukuran lumayan besar.
Ia mendudukkan tubuhnya ke ayunan sambil memangku kotak kado itu. Sebuah boneka berukuran sedang dan sebuah kotak musik. Juga note kecil bertuliskan will you marry me.
Ternyata memang benar, Rey serius ingin memilikinya. Namun sayang, keinginan itu harus kandas dikarenakan kepergian cowok itu. Qilla kembali menangis sembari memeluk boneka pemberian Rey erat. Membayangkan yang ia peluk adalah sosok Rey sendiri bukan boneka pemberiannya.
Kini cintanya, harapannya, angannya dan citanya yang sempat Qilla torehkan harus pupus di tengah jalan. Keinginan hidup bersama Rey seperti apa yang mendiang cowok itu katakan harus hilang ditelan takdir.
Adegan demi adegan kebersamaannya dengan Rey, terputar jelas dalam ingatan. Suara Rey. Tawa Rey. Bahkan senyum cowok itu seolah film yang terus-menerus diputar. Qilla tak bosan mengingat kembali apa yang telah mereka lakukan semasa bersama.
Dengan tangan gemetar, Qilla membaca seluruh isi surat itu. Mirip seperti surat yang Rey berikan langsung padanya. Surat yang berisi sebuah ungkapan betapa Rey mengagumi Qilla. Juga betapa seriusnya Rey ingin memiliki Qilla. Qilla tak sanggup lagi. Ia menangis dengan surat itu sebagai penutup wajah.
Rey-nya, cintanya, angannya, harapannya. Telah pergi jauh. Tanpa kata dan tanpa tanda.
SELESAI.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top