Bab XXVIII

Satu tahun berlalu. Tak terasa hari demi hari telah mereka lalui. Rey merasa bersyukur dipertemukan kembali dengan sang ibu. Meski kenyataan yang baru saja ia dapat menjadi pukulan telak baginya. Ayah kandungnya alias mantan manager Saras telah meninggal dunia empat tahun yang lalu. Kenyataan yang baru saja ia dengar melalu nenek dari ayah kandungnya lansung.

Walaupun begitu, Rey tetap merasa bersyukur. Hubungan mereka semua telah membaik. Bahkan sangat baik. Hubungannya dengan Qilla pun semakin dekat. Rey juga tak pernah absen menghubungi bunda juga Leo dan Say.

Yang lebih membuatnya bersyukur adalah ia diterima kuliah di salah satu perguruan tinggi imipiannya di Kuala Lumpur, Malaysia. Besok, adalah hari keberangkatannya. Sebelum itu, hari ini, ia sekeluarga berangkat ke Surabaya, berpamitan kepada seluruh anggota panti termasuk bunda.

Tak lama lagi, mereka akan sampai di panti. Rey sudah menyiapkan berbagai oleh-oleh untuk mereka, terutama Airin dan Ucup. Tak lupa surat untuk Leo, Say dan Ucup. Sedangkan surat untuk Qilla, akan ia bagi nanti saat Qilla akan mengantarnya ke bandara. Gadis itu sudah berjanji padanya.

Sambutan luar biasa mereka berikan saat Rey sekeluarga tiba di panti. Hiasan balon serta ucapan selamat datang terpampang jelas di pintu masuk panti. Bahkan taman juga dihias sedemikian rupa, menyambut Rey sekeluarga.

Omong-omong, beberapa saat setelah Rey ikut Saras ke Jakarta, keberadaannya langsung disorot media. Saras pun tak keberatan jika karirnya akan hancur saat ia membeberkan semua. Karir Saras memang sempat meredup beberapa bulan, bahkan ia sampai diberhentikan dari sinetronnya yang saat itu tengah naik daun.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Karirnya justru meroket saat salah satu sutradara memintanya untuk menjadi pemeran pendamping di sebuah film yang sangat sukses saat penayangannya. Dan Saras yakini, itu adalah balasan untuknya kareka telah menerima kembali Rey dalam keluarganya.

Kembali lagi pada Rey, cowok itu kini tengah membagikan bungkusan yang memang sengaja ia beli untuk anak panti. Lengkap beserta surat kecil di dalamnya.

Sesaat setelah itu, ia bangkit permisi. Meminta Leo yang saat itu juga tengah berada di panti untuk membantunya.

"Mau ngapain sih?"

"Bikin kejutan."

"Buat siapa?" Dahi Leo berkerut.

"Buat Qilla."

"Astaga. Jadi lo beneran mau nembak dia? Gue kira apa yang lo bilang semalem itu cuma akal-akalan lo doang."

Rey tersenyum puas saat selesai memasukkan kotak hadiah yang lumayan besar itu di lubang yang ia buat di samping ayunan. Cowok jangkung nan tampan itu segera menutupnya dan memberinya tanda agar tidak hilang.

"Jadi lah. Gue serius sama dia. Bahkan kalau bisa, gue lamar dia saat ini juga."

"Aw. Babang Rey, totuit banget sih." Leo menoel dagu Rey.

"Najisin bego." Leo tertawa lepas.

"Terus kalau misal Qilla udah baca tuh surat sama buka isinya. Apa yang bakal lo lakuin?"

Rey bersidekap, lantas dengan pandangan menerawang ia berkata. "Gue nyuruh dia nunggu gue sampai balik lagi ke sini dengan gelar sarjana, baru gue nikahin dia."

Leo mengangkat jempolnya. "Ajib brooh."

Rey menepuk-nepuk dadanya bangga.

"Lo kapan bikin kek ginian buat si Say? Gue capek dengerin Qilla curhat masalah kalian. Say juga bilang kalau lo itu cowok yang sama sekali enggak romantis. Najisin iya."

"Weh, serius lo?" Leo terperangah. Benarkah Say berkata demikian? Leo tak percaya, kekasihnya saja tak pernah menyinggung masalah ia tidak romantis.

"Kalian tuh, udah pacaran selama hampir sembilan bulan, tapi Say bilang dia enggak pernah dapet hal yang istimewa dari lo. Ah, sayang. Coba kalau hati gue belum digembok sama Qilla, udah gue pacarin si Say."

"Wah ... Kurang ajar."

"Canda bro." Rey merangkul Leo yang lebih tinggi darinya. Mereka berdua tertawa sembari kembali mengingat masa kecil mereka.

.

Hari ini datang. Hari di mana Rey kembali meninggalkan orang-orang yang dia sayang. Semuanya telah berkumpul. Ada Leo dan Say, pasangan paling tak romantis yang pernah Rey lihat. Lalu bunda panti. Aran, Saras, Anji, Khayra. Dan tak lupa Qilla.

Sungguh! Ini kali pertama Rey kembali melihat Qilla setelah setahun lamanya. Gadis itu jauh lebih cantik dari tahun kemarin. Jauh lebih cantik pula saat mereka melakukan VC.

Sembari menunggu panggilan, Rey menarik Qilla menjauh dari kerumunan. Rey senantiasa menggenggam tangan Qilla. Seolah hari ini adalah hari pertemuan terakhir mereka. Ya, Rey memang tak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Ia hanya tak ingin menyia-nyiakan waktu.

"Kenapa, Rey?"

Rey tersenyum lembut sembari menatap dalam bola mata Qilla. Yang ditatap malah bersemu merah. Rey suka Qilla yang tengah blushing ini.

"Gue mau jujur. Tentang semua perasaan gue. Mungkin cara ini memang enggak romantis, tapi gue berusaha untuk menyatakannya sebelum terlambat." Qilla maupun Rey sama-sama merasakan degup jantung yang kian cepat. Sama-sama gugup, juga bersemu.

"Ekhem. Gue, eh aku. Aku ... I love you Qilla," kata Rey dengan gugup. Meskipun begitu, ia merasa lega karena telah menyatakannya.

"Ini ada beberapa surat di dalamnya, gue harap lo baca ini. Gue juga mau denger jawabannya dari mulut lo sendiri Qil. Gue harap itu jawaban yang terbaik. Gue sayang sama lo, banget. Tapi gue enggak tau, sampai kapan rasa sayang ini hadir, gue harap selamanya. Sampai maut memisahkan kita. Dan sampai gue mati pun, rasa ini enggak akan pudar Qil. Percayalah." Rey menyerahkan sebuah godiebag yang berisi surat dan benda lainnya.

Rey memeluk Qilla erat dan lama. Ingin menghafal bagaimana wangi tubuh Qilla. Ah, Rey bakal rindu semua hal yang menyangkut Qilla. Sedangkan Qilla balas memeluk Rey erat. Sangat erat. Ia juga ingin menghirup aroma tubuh Rey lebih lama. Berada dalam dekapannya lebih lama pula.

Rey melepas pelukannya lalu tersenyum teduh. Kembali menatap mata coklat terang Qilla. "Gue pamit dulu ya. Jaga diri baik-baik. Dan jangan rindu gue. Berat, lo enggak akan kuat. Biar gue aja. Hahaha."

Rey lalu meninggalkan Qilla. Berpamitan satu per satu pada orang-orang tersayangnya sebelum masuk ke ruang tunggu.

.

Cowok jankung itu tengah tersenyum kendati hatinya terasa tak karuan. Antara takut, cemas, senang dan juga sedih. Senang karena akhirnya bisa pergi ke tempat tujuannya, senang karena telah mengungkapkan perasaannya pada Qilla. Takut akan tak selamat sampai tujuan. Dan sebagainya.

Rey memang merasa ada yang aneh saat memasuki pesawat ini. Itu berarti perasaan aneh yang menyelimutinya sudah setengah jam. Kini ia merasa semakin aneh saat masker oksigen tiba-tiba turun dan alarm tiba-tiba berbunyi.

Ini gawat. Benar-benar gawat.

Riuh suasana dalam kabin pesawat tak membuat Rey ikut memperkeruh suasana. Ia tetap diam dalam tempat sembari memakai masker oksigen itu.

Tatkala semua penumpang panik dan berhamburan mencari pertolongan padahal para pramugari sudah mengingatkan, agar mereka tetap tenang. Rey masih diam di tempat. Berusaha untuk tidak ikut terprovokasi dan berusaha untuk tetap tenang. Hanya ketenangan yang dapat membuatnya lega, kendati dalam hati merasa luar biasa takut.

Semua penumpang pesawat sama-sama menyerukan takbir. Bersama-sama mereka berdoa jika mereka akan tiba dengan selamat. Rey pun akhirnya berbuat demikian. Bayangan keluarga, teman, Qilla, serta anak-anak panti mulai menghantui.

Ia akan pernah mau membuat mereka sedih. Tak mau membuat mereka merasa kehilangan. Takdir tak ada yang tahu, bukan. Rey bukan siapa-siapa hingga bisa menebak sebuah takdir.

Harapan-harapan yang semula membumbung tinggi, kini terasa hilang dihempas angin. Angan yang sempat ia junjung tinggi ikut terhempas. Hilang dan tak bersisa. Hanya doa dan doa, yang mampu Rey panjatkan dalam keterdiamannya ini.

Tiba-tiba pesawat oleng sebelum akhirnya Rey berspekulasi bahwa pesawat ini akan terjatuh. Rey tak bisa apa-apa selain berdoa dan terus berdoa semoga mereka semua selamat.

"Allahuakbar!" Takbir menggema ke seluruh bagian pesawat. Berkali-kali, hingga tak bisa dihitung berapa jumlahnya.

Semua menyerukan kata itu. Rey termasuk, meski hanya mengucap dalam hati.

Mereka yang ada di dalam kabin pesawat, hanya bisa menyerukan kalimat takbir. Memeluk anggota keluarga mereka, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Menangis dalam seruan takbirnya sembari memeluk dan menenangkan orang tersayang.

Rey tetap diam. Menyerukan takbir dan doa dalam hati, sembari mengingat semua kenangan manis maupun pahit dalam hidupnya. Mengingat wajah ibunya, ayah tirinya, bunda, anak panti, Qilla dan sahabatnya.

Rey memejamkan matanya. Dalam bayangannya, ia seolah sedang ingin pergi jauh dengan baju serba putih. Disambut tangisan pilu dan lambaian tangan mereka yang seolah tak ikhlas melepasnya pergi.

Sebelum akhirnya gelap. Rey merasa semuanya gelap.

Selamat tinggal, semua.

Bersambung...

Dua bab... Wkwkwk.

280818

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top