Bab XXII

Kesehatan Rey membaik dengan cepat. Dadanya tak lagi sesak, demamnya sudah turun. Dan wajahnya yang kembali berseri. Itu semua semata-mata karena ia ingin cepat-cepat menemui bunda lalu menanyakan kebenarannya. Ya, meski tak tahu apa yang akan terjadi juga apa yang akan bunda katakan nantinya, Rey masih tetap berusaha yakin.

Kini Rey dan Qilla masih bersiap diri. Bukan merias wajah atau apa pun itu. Mereka hanya menyiapkan mental juga jiwa, agar tak down saat bunda bercerita atau bahkan mereka mendapat penolakan nantinya.

"Gimana?" Rey menyikut bahu Qilla.

Qilla menoleh. "Antara siap enggak siap."

"Ini kesempatan kita. Mumpung Bunda belum keluar kamar. Dan kita bisa leluasa buat nanyain." Qilla mengangguk, membenarkan apa yang Rey ucapkan.

Rey tersenyum lembut. Lalu menatap Qilla dalam. Tidak. Kali ini ia tidak mencoba menjahili Qilla. Rey benar-benar tulus tersenyum untuk Qilla. Sebenarnya berusaha menguatkan gadis itu apa pun yang akan terjadi nantinya.

Tangan kurus nan besar milik Rey bertengger di bahu Qilla. Sembari tetap mempertahankan senyum lembut juga manisnya, ia berkata, "Kita hanya perlu keyakinan dan kepercayaan. Yakin dan percaya apa pun yang akan kita dapatkan nantinya, itu yang terbaik buat kita."

Qilla menunduk saat Rey menatapnya. Tak kuat sebenarnya menatap mata hitam itu. Rey pun begitu. Jantungnya terus saja berdegub kencang. Ia gugup saat ingin menatap mata Qilla. Tapi tetap ia lakukan demi membuat gadis itu siap.

"Gimana?" Rey masih tetap mempertahankan senyumnya. Dan Qilla yang tengah menunduk menggangguk, berusaha siap.

Mereka berdua memasuki kamar bunda setelah mengetuk pintu juga mendapatkan ijin dari empunya. Bunda menatap mereka dengan raut heran. Tak tahu apa yang mereka berdua maksud hingga berani masuk ke kamarnya. Bunda sebenarnya heran, karena sebelumnya mereka jarang sekali menemuinya di kamar.

"Kenapa?" Meskipun begitu, bunda tetap memasang senyum lembut nan teduhnya.

Rey menyikut perut Qilla, begitupun Qilla lakukan pada Rey. Mereka gugup dan tak tahu harus memulai dari mana. Bunda yang menyadari bagaimana situasinya, bangkit berdiri, kemudian meraih salah satu tangan mereka dan menggiring mereka berdua untuk duduk.

"Ada apa?"

Keduanya menunduk. Benar-benar tak tahu harus memulai dari mana.

Dengan menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan, Qilla memutuskan untuk memulai. Meski gugup, ia harus melakukan hal ini.

"Bunda, kami mohon maaf sebelumnya kalau udah buat Bunda bingung. Maaf juga kalau kami lancang nanyain hal ini." Qilla menatap bunda yang dibalas senyuman oleh wanita paruh baya itu.

"Bunda mungkin udah tau, apa yang Rey dapatkan waktu rapat donatur itu. Tapi Bunda, hal itu yang buat kami bingung. Kami bingung kenapa Rey bisa mendapatkan barang mewah itu. Rey udah nanya sama Bunda ataupun Bu Tika tapi tetap mendapatkan jawaban yang kurang puas." Rey menunduk. Malu sebenarnya.

Bunda mengangguk mengerti. Sudah ia duga, semua ini pasti akan terjadi. Mereka sudah dewasa, dan bunda tahu, mungkin ini saatnya mereka mengetahui segalanya.

"Menurut kami, di jaman sekarang, mendapatkan barang mewah tanpa usaha apapun terdengar sedikit aneh. Kecuali kalau mereka sudah dekat, atau bahkan mempunyai ikatan darah. Tapi kami enggak tahu, jawabannya seperti apa," ujar Reynaldi.

"Oleh karena itu, kami berspekulasi bahwa salah satu di antara kami memiliki orang tua kandung. Dan hal itu diperkuat saat kami enggak sengaja denger salah satu donatur panti bilang bahwa beliau memiliki keponakan yang berusia 17 tahun. Yang bisa jadi adalah di antara kami. Maaf Bunda udah nguping waktu itu.

"Kami ke sini dateng buat cari tau apa kebenarannya. Kami juga yakin bahwa Bunda menyembunyikan sesuatu. Jadi, kami mohon beritahu kami, Bunda."

Bunda mengangguk, mengerti. Mungkin, sudah saatnya mereka tahu segalanya. Dan untuk akibatnya nanti, biarlah ia saja yang menanggung. Untuk bunda, anak asuhnya di atas segala saat ini.

Bunda menangkup kedua tangannya di atas tangan mereka. Lalu tersenyum lembut sembari mengelus tangan anak asuhnya. Memberi ketenangan sebelum ia menjelaskan semua.

"Bunda paham, lambat laun kalian akan menyadari hal ini. Dan mungkin, ini saat yang tepat untuk memberitahu semuanya pada kalian. Tapi Bunda mohon, terima apapun yang akan Bunda jelaskan sebentar lagi." Raut wajah mereka mulai menengang dan bunda masih mengelus tangan mereka agar dapat tenang.

"Dua puluh Januari 2002, Bunda kedatangan tamu. Tamu yang sebenarnya spesial buat Bunda. Bunda kira tamu itu hanya ingin berniat menjadi donatur panti ini. Tapi Bunda salah. Tamu itu menyerahkan bayi yang saat itu masih dia gendong, untuk Bunda rawat. Tentu saja Bunda terkejut. Bukankah anak itu masih memiliki orang tua, yang bahkan bisa dikatakan kalangan berada, tapi mengapa dititipkan ke Bunda?

"Tamu itu menceritakan semuanya dan akhirnya Bunda paham, apa yang membuatnya bisa bertindak demikian. Dia juga bilang, dia akan menjemput anaknya ketika telah berumur 17 tahun. Itu berarti tahun ini, kan? Bunda udah tunggu-tunggu tapi sampai sekarang dia belum datang menjemput anaknya. Dan anak itu adalah ... Kamu Rey. Reynaldi, putra pertama Henny Saraswati. Kalian pasti sudah tau siapa Henny Saraswati itu.

"Tapi Bunda mohon, terutama buat kamu ... Rey. Jangan pernah membenci ibumu, Nak. Ibumu orang yang baik, sangat baik. Kalian juga pasti sudah tau siapa Pak Aran, dia itu paman kamu Rey. Dan karena hubungan ini, kamu pantas mendapat hadiah mewah seperti itu, Rey. Bunda harap, kamu bisa menerima semuanya dengan ikhlas. Bunda juga harap kebencian tidak pernah hinggap untuk ibumu." Bunda tersenyum menatap mereka yang kini tengah menunjukkan ekspresi terkejut.

Meski hanya menjelaskan singkat dan hanya pada intinya, mereka tetap merasa terkejut. Terlebih Qilla yang awalnya percaya diri jika orang tuanya masih hidup.

"Bunda pamit dulu ya, kata Bu Tika ada tamu." Bunda melangkah perlahan meninggalkan mereka berdua yang masih berada di ranjangnya.

Rey, cowok itu kini tengah termenung dengan pandangan kosong. Apa yang ia yakini memang benar kenyataannya. Tapi tetap saja Rey masih belum percaya. Pertanyaan-pertanyaan mengapa dirinya sampai berada di sini, memenuhi otaknya. Ia tak habis pikir, mengapa semua ini bisa terjadi di hidupnya.

Sedangkan Qilla, yang juga ikut terdiam kini tertunduk malu karena telah begitu percaya diri menganggap jika dirinya bisa jadi memiliki orang tua kandung, tapi ternyata salah.

Ah, sekenario Tuhan memang tak bisa ditebak. Terlalu mengejutkan dan tiba-tiba. Tapi baik Rey maupun Qilla percaya, bahwa hal ini adalah hal yang terbaik untuk mereka.

Bersambung...

8 bab lagi.

Ada yang bisa nebak, gimana endingnya?

220818

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top