Bab XVIII

Siang berganti sore. Karena sekolahnya bebas, Qilla maupun Say diperbolehkan pulang terlebih dahulu. Hal itu yang menjadikan mereka berdua memiliki waktu santai yang lebih. Seperti saat ini, mereka tengah menonton sebuah infotaiment di televisi panti.

Rey masih demam, hingga tak bisa keluar sekedar menikmati kebersamaan seperti yang lalu-lalu. Anak panti lainnya pun sibuk bermain dengan mainannya. Termasuk Ridwan, Emil dan Ryan yang kini tengah bermain monopoli. Meski usia mereka telah memasuki angka 15, tak menampik permainan apa yang akan mereka mainkan.

Lain dengan mereka bertiga, lain pula dengan Qilla dan Say. Namanya gadis, mereka pasti suka menonton hal-hal berbau gosip. Padahal bunda sering mengingatkan Qilla untuk tidak terlalu sering menonton acara TV yang tidak berbobot itu. Namun Qilla masih saja sering mencuri kesempatan ketika bunda sibuk dengan lainnya. Seperti saat ini.

Infotaiment itu tengah menayangkan kegiatan salah satu artis ternama ibu kota, Henny Saraswati. Yang merupakan idola Rey juga Qilla. Kecantikan wajahnya juga tutur katanya, membuat dua anak adam itu terpesona.

Berbeda dengan biasanya. Qilla kini terfokus pada sosok di sebelah Henny Saraswati. Sosok lelaki tampan yang wajahnya tak asing di mata Qilla. Seperti ... Astaga, Qilla baru ingat. Sosok itu merupakan salah satu donatur panti. Ada hubungan apa mereka?

"Say." Qilla menyenggol lengan Say yang sedang asyik dengan keripik pisangnya.

"Apwa?" balasnya dengan mulut penuh keripik pisang.

"Lihat itu." Qilla menunjuk sosok di samping Henny Saraswati yang masih saja disorot kamera.

"Siapa?"

"Lo enggak inget ya?" Pertanyaan Qilla membuat Say memicingkan matanya.

"Astaga. Itu salah satu donatur panti kan? Kenapa bisa ada di situ?"

"Ya, mana gue tau."

"Atau jangan-jangan mbak Saras itu adiknya donatur? Atau pacarnya? Eh, maksudnya suami."

"Ngaco! Suaminya Saras bukan dia." Say menyengir lebar.

Qilla bangkit berdiri, lantas berlari meninggalkan Say yang saat itu tengah meneriakan namanya. Heran karena tiba-tiba Qilla berlari. Cewek itu berlari menuju kamar Rey. Entah mengapa Qilla merasa ia harus memberitahu Rey apa yang dilihatnya tadi. Bisa jadi itu merupakan petunjuk, bukan.

Dengan sabar Qilla membangunkan Rey yang tengah tertidur pulas. Sebelumnya ia menengok kondisi Rey terlebih dahulu, dengan menempelkan telapak tangannya di dahi cowok itu. Untungnya demam Rey sudah lebih baik dibanding tadi.

Sebenarnya Qilla tak tega membangunkan Rey sekarang. Tapi karena takut penyakit lupanya kambuh, lebih baik sekarang ia beritahu.

"Rey."

Cowok itu menggeliat. Terusik, lalu mencoba membuka matanya. Perlahan namun pasti Rey membuka matanya.

"Kenapa?" tanya cowok jangkung itu dengan suara serak khas bangun tidur.

"Gue mau ngasih tau sesuatu. Di sini aja ya."

Rey sontak menggeleng. Bisa gawat jadinya kalau sampai ia dan Qilla kepergok berada di dalam kamar berdua. Meski tak ngapa-ngapain tapi tetap saja. Spekulasi orang bahkan bunda bisa saja buruk.

"Ke taman aja. Enggak enak." Qilla ingin menolak karena tahu Rey pasti masih merasa tak enak badan. Tapi mau bagaimana lagi, jika berada di dalam kamar berdua, bisa jadi menimbulkan fitnah.

"Lo masih kuat enggak?"

Rey mendelik. "Lo pikir gue sekarat sampe enggak bisa ngapa-ngapain?"

"Ah, sensitif amat lo. Maksud gue enggak gitu. Takut aja tiba-tiba lo ambruk. Kan gue juga yang repot."

Rey tak menjawab. Lantas mencoba berdiri meski sedikit kesusahan. Mereka keluar panti dengan langkah pelan. Melewati Say yang saat itu tengah bersiap pulang. Cewek itu bahkan belum pulang ke rumahnya sama sekali. Untung tetangga.

Cowok bertubuh tinggi nan kurus itu mendudukkan dirinya di salah satu ayunan. Qilla pun melakukan hal yang sama.

"Ada apa?"

Qilla terdiam sejenak. "Tadi gue sama Say nonton acara infotaiment. Di situ beritanya tentang Henny Saraswati. Tapi gue fokusnya sama orang yang ada di samping Saras. Lo tahu orang itu siapa?"

"Enggak. Kan lo belum ngasih tau."

"Ish. Jangan memotong pembicaraan orang."

Rey melengkungkan senyum di balik wajah pucatnya. Ia lebih suka Qilla yang seperti ini daripada Qilla yang galak nan serius. Melihat cewek itu kesal, seperti ada rasa senang yang menyelinap ke hatinya.

Rey menatap wajah Qilla yang bersih, tanpa jerawat. Baru kali ini ia mau dengan suka rela dan tanpa niatan jahil menatap Qilla. Debaran di jantungnya semakin cepat. Rey masih belum bisa mengartikan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

"Lo ngapain liatin gue?"

Rey gelagapan sebelum menggeleng. "Gue enggak liatin lo kok."

"Jangan bilang lo mau jahil lagi. Dasar." Qilla menggeplak lengan Rey keras. Membuat cowok itu mengaduh kesakitan, perih karena cewek itu menggeplaknya dengan keras, tak kalah dengan tenaga kuli.

"Dih. Yang mau jahil itu siapa sih? PD amat."

Qilla merengut. Mengapa Reynaldi ini sangat membuatnya kesal? Selalu saja begitu. Di mana pun mereka berada, tanpa kejahilan Rey merupakan hal yang langka. Cowok itu memang terkenal dengan kejahilannya.

Pernah suatu hari, satu panti dibuat geger gara-gara Rey. Cowok itu menyembunyikan sebelah sandal seluruh penghuni panti di gudang. Membuat seluruh isi panti mengamuk dan berakhir dirinya dihukum membersihkan panti selama satu minggu. Sungguh kejailan yang tak patut ditiru.

"Gue enggak jadi ngomong deh." Qilla merajuk.

"Yah, ngambek. Sorry deh. Gue bercanda tadi. Sekarang lo mau ngomong apa?"

Qilla menudingnya. "Awas ya kalau jahil lagi."

"Bawel."

"Orang yang gue maksud itu Pak Aran. Donatur panti. Makanya gue bangunin lo buat nyuruh lo cari tahu tentang Pak Aran. Siapa dia? Dan apa hubungannya dengan Henny Saraswati? Lewat hape baru lo. Udah dibeliin kuota kan?"

"Oh, gitu ... Gampanglah. Kuota mah tenang, gue baru ngisi kemaren."

Qilla mengangguk. Lantas berdiri lalu pergi meninggalkan taman, diikuti Rey.

Semoga usaha kita berhasil Qill.

Bersambung...

180818

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top