Bab XVII
Asmanya kambuh, sesaat setelah kembali dari ruang kepala yayasan. Untungnya Rey bisa mengendalikan diri hingga sesak napas itu bisa ia atasi sendiri.
Kini cowok itu masih meringkuk di bawah selimut. Kembali merasa demam setelah adzan subuh berkumandang. Beruntung ia masih bisa menjaga sholatnya. Meski tak bisa menjadi Imam seperti biasa, yang penting ia masih bisa melakukan ibadah wajib itu.
Bunda tengah berada di sampingnya. Mengompres dahi cowok itu dengan penuh kelembutan. Ini yang Rey syukuri karena telah berada di panti, kasih sayang bunda membuatnya merasa seolah memiliki ibu yang sebenarnya.
"Masih sesak?"
Rey ingin menjawab iya tapi takut, ia memilih untuk menggeleng. Rey merasa semakin merepotkan bunda. Lagipula sesaknya sudah tidak separah tadi. Cowok itu tak ingin membebani bunda lebih banyak lagi.
"Makan ya? Atau ke dokter aja?"
"Nanti aja Bun. Enggak usah ke dokter." Rey menjawab dengan suara seraknya.
Rey tak tahu apa yang membuat penyakitnya sering kambuh akhir-akhir ini. Padahal sudah lama asmanya jarang kambuh, tapi tiba-tiba datang lagi.
"Ke dokter aja ya, Bunda enggak tenang kalau kayak gini." Bunda meminta dengan nada syarat akan kepedulian. Ini yang membuat Rey semakin merasa bersalah. Bunda terlalu peduli sedangkan ia tak bisa apa-apa.
"Jangan."
Bunda pamit beberapa saat kemudian. Rey hanya bisa mengangguk sembari mencoba untuk tidur. Untung saja sesaknya sudah berkurang. Rey bersyukur karena di sini telah tersedia oksigen portabel, jadi ia tak perlu diuap jika inhallernya tidak berdampak banyak.
Sorakan anak panti membuatnya tak bisa tidur. Ia menatap ke arah pintu. Qilla berdiri di sana dengan napas terengah. Mungkin saja cewek itu telah berlari. Entah hal apa yang bisa membuat cewek itu berlari.
"Lo kok bisa sakit sih? Semalem enggak apa-apa ini," cerocosnya ketika sampai di samping Rey.
Ia tadi dengar dari beberapa pembantu panti jika Rey tengah sakit. Hal yang membuatnya heran karena memang semalam Rey masih baik-baik saja. Bahkan masih bisa membuatnya kesal.
"Ya bisa lah. Dikira orang sakit enggak bisa tiba-tiba sakit gitu?"
"Lo kan udah jarang kambuh. Kemaren kan cuma deman biasa, kenapa bisa kambuh lagi?"
"Mana gue tau."
"Mau gue panggilin dokter enggak?" tanya Qilla prihatin. Cowok itu seperti kepompong, terbalut dengan selimut tebal.
"Berisik."
"Ye, gue serius juga. Kasihan lo-nya."
"Lo suka sama gue ya? Perhatian gitu." Rey tak tahu mengapa bisa kalimat itu meluncur bebas dari mulutnya. Bahkan akibat yang ditimbulkan juga tak bisa Rey prediksi. Jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena sakit. Entah karena apa.
"Ngaco!" jawab Qilla sambil menunduk. Malu jika memang pipinya bersemu.
"Kali aja beneran. Gue pastiin lo bakal ditolak."
"Dih, PD. Kualat rasain. Entar lo-nya yang malah suka sama gue."
"Enggak bakal."
"Lihat aja nanti."
.
Qilla berangkat sekolah tanpa ditemani Rey. Rasanya agak aneh jika ia harus berangkat sendiri. Terlalu biasa bersama Rey, membuatnya merasa sedikit sepi saat Rey tak lagi di sampingnya. Qilla akui Rey memang mempunyai pesonanya tersendiri. Yah, meski wajahnya tak bisa dikatakan melebihi tampannya Manu Rios, tapi tetap saja wajahnya lumayan jika dipandang lama.
Cewek itu menatap jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, dan ia masih berada di setengah perjalanan. Ia sedikit telat karena terlalu banyak mengobrol dengan Rey tadi.
Sampai di sekolah, ia terlambat beberapa menit. Tapi anehnya gerbang sekolah tidak tertutup seperti biasanya. Mungkin karena Pak satpam lupa atau bagaimana, Qilla tak tahu. Yang jelas keberuntungan masih berpihak padanya hari ini.
Qilla berlari menelusuri koridor demi koridor hingga akhirnya sampai pada kelasnya. Ramai seperti biasa, meski kelasnya merupakan kelas IPA, kalau kata orang kelas yang berisi anak rajin, tapi menurut Qilla tidak. Kelasnya sama seperti kelas anak IPS. Ramai dan tak terkendali jika sedang tak ada guru seperti ini. Kalau kata Say, anak IPA jiwa IPS.
Qilla menghela napas lega. Sambil mengatur napasnya yang tersenggal, Qilla berjalan menuju bangkunya. Di sana sudah terdapat Say yang kini mengernyit menatapnya.
"Tumben telat."
Qilla mengangguk sembari mendudukkan tubuhnya di kursi. "Kebanyakan ngobrol sama Rey tadi."
"Ngobrol? Bukannya tengkar terus ya?"
"Ya gitu lah pokoknya."
Cewek berambut sebahu itu menatap kelasnya seksama. Ia merasa ada yang aneh sedari tadi. Pertama, gerbang tidak terkunci padahal ia telat. Kedua, tumben kelasnya ini mengalami jamkos di jam pertama. Nyaris tiga bulan tidak menghadapi jamkos di awal pelajaran seperti ini.
"Say...," panggil Qilla.
Say yang tengah mencorat-coret halaman belakang bukunya berhenti, lalu menatap Qilla heran. "Apa?"
"Hari ini ada apa sih? Kok kayak bebas ya?" Qilla memasang wajah polosnya.
"Astaga. Lo enggak tahu hari ini hari apa? Tanggal 12 Oktober kan memang sekolah kita bebas. Selain persiapan buat UTS, guru-guru kita juga lagi rapat tahunan. Makanya bebas."
"Lah, tapi kan bukan hari Sabtu Say."
"Ye, emangnya kudu hari Sabtu buat bebas ya?"
"Enggak juga sih. Tapi agak aneh aja kalau hari Kamis bebas. Padahal Kamis kan harinya IPA. Semua mapel IPA ada di hari kamis."
Say menggelengkan kepalanya. "Ya harusnya lo seneng dong, khusus hari ini kita bebas dari IPA."
Qilla tiba-tiba berkata jika ia ingin curhat. Say mempersilakan, memasang telinga baik-baik. Kali ini perannya dibutuhkan, sebagai seorang teman dekat sekaligus pendengar yang baik. Qilla pun menceritakan semuanya. Mulai dari bingkisan yang Rey terima, hingga spekulasi-spekulasi dirinya juga Rey. Say mengangguk-anggukkan kepala, paham dengan keresahan yang tengah dirasakan oleh sahabatnya.
"Jujur gue kaget dengernya. Tapi gue rasa opini yang lo maupun Rey sampaikan ada benarnya. Kalau menurut gue ya, kalian enggak perlu cari data-data itu. Tinggal tanya ke Bunda dan masalah akan beres."
Cewek itu menggeleng. "Kita perlu bukti Say. Rey juga udah nanya ke Bunda masalah bingkisan itu, bahkan dia nanya ke Bu Tika. Tapi tetep aja, jawaban dari mereka enggak memuaskan."
"Susah kalau gitu. Tapi apa pun yang kalian lakukan, gue bakal dukung sepenuh hati. Kalau misal dengan cara itu yang menurut kalian terbaik, gue pasti dukung. Tetap semangat, Tuhan tau apa yang terbaik buat kalian."
Qilla hanya menggangguk sembari memeluk Say singkat. Mengucap banyak terima kasih, lantaran selalu ada di samping Qilla kapan pun cewek itu butuh. Dan Qilla bersyukur mempunyai sahabat sebaik Say.
Bersambung...
Dirgahayu Republik Indonesia ke 73. Semoga di tahun yg ke 73 ini Indonesia merdeka. Tanpa jajahan, sekecil apa pun jajahan itu.
Merdeka!!!
170818
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top