Bab XV
Terdiam dengan pandangan kosong di atas kasurnya, kini tengah Rey lakukan. Ia masih memikirkan apa yang Leo katakan setelah menepuk bahunya tadi. Kalimat panjang yang cukup membuat Rey merasa lebih yakin dari sebelumnya.
"Gue enggak tahu sebenernya harus ngomong apa. Tapi gue rasa lo ada benarnya. Jaman sekarang, jarang ada orang membuang uangnya cuma-cuma hanya buat beliin lo laptop dan hp. Tapi yang gue heranin, kalau lo masih punya orang tua, kenapa orang tua lo malah nitipin elo ke panti? Gue rasa ada yang enggak bener di sini."
Apa yang Leo katakan memang ada benarnya. Jika memang orang tuanya masih ada, lalu mengapa mereka membuangnya ke panti? Ah, membuang Rey rasa terlalu kasar. Menitipkan maksudnya. Apa jangan-jangan ia adalah anak haram? Tapi mengapa donatur itu sampai rela menghabiskan uangnya demi dia?
Suasana kamar yang ramai karena lagi-lagi anak cowok panti tengah berkumpul bersama, tak membuat Rey terusik sedikit pun. Berbagai macam pertanyaan selalu saja menghantui otaknya silih berganti. Ia bahkan tak sadar jika Qilla telah berada di ambang pintu kamarnya.
Sorakan ramai terdengar setelah mereka melihat Qilla tengah mematung di ambang pintu. Rey masih belum menyadari, hingga sorakan yang lebih ramai memenuhi kupingnya. Ia mendelik pada anak-anak itu, meski masih belum sadar jika Qilla tengah berada di kamarnya.
"Mbak Qilla nyariin pujaan hatinya ya? Cie...," ujar Ucup diiringi sorakan 'cie' dari lainnya.
"Bocah diem aja deh! Mbak ada perlu sama Rey."
"Alasan itu mah. Jangan percaya Bang. Mbak Qilla mau pedekate." Rey mendelik tajam. Baru menyadari jika Qilla berada di kamarnya.
Delikan Rey berubah menjadi pelototan. Ucup terlalu dewasa di usianya yang masih menginjak sepuluh tahun. Rey mengakui jika kepintarannya masih di bawah Ucup. Entah memang terlahir pintar atau karena terlalu sering bergaul dengannya, membuat Ucup terlihat lebih 'tua' dari usia sebenarnya.
Rey bangkit dari kasurnya. Sorakan 'cie' kembali terdengar, jauh lebih nyaring. Rey bahkan sampai menutup kupingnya. Sedangkan Qilla, melolot sembari membentak agar mereka diam. Ajaib! Dalam sekali gertakan serta serentetan kalimat pedas, berhasil membuat mereka mengatupkan bibir. Rey sampai menggeleng. Qilla memang Ajaib.
"Ikut gue bentar," titahnya. Rey hanya bisa menurut, tak mau mendapat kalimat pedas darinya. Qilla memang begitu galak jika sesuatu telah mengganggunya. Dan Rey biasanya menjadi sasaran empuk kalau Qilla sedang dalam mode galak.
Ruang kosong di lantai dua, yang terlihat seperti ruang keluarga. Di situ lah Qilla memberhentikan langkahnya yang otomatis diikuti Rey yang berada di belakangnya. Tumben Qilla tidak mengajaknya ke taman, Rey hanya mengendikkan bahu tak acuh.
"Kenapa?" tanya Rey setelah mendudukan diri di atas karpet. Ya, di sini memang tidak disediakan sofa seperti pada lantai bawah.
"Gimana kalau kita lanjutin pencarian yang sempet gagal itu, nanti malam?"
"Gue mah terserah. Itu kan gagal gara-gara lo yang terlalu gegabah.
Qilla melotot. "Apa lo bilang? Gue yang salah?"
Rey seketika menggeleng sambil berkata tidak dengan tegas. Bisa gawat jika ia terus terang di saat Qilla dalam mode galak seperti ia. Ah, macam suami takut istri saja ia.
"Tapi gue masih bingung deh Qil. Buat apa sih data-data itu?"
"Lo mau gue bantuin enggak? Nyari data itu buat nyocokin sama datanya donatur. Biar jelas, dan kebenarannya terbukti."
Rey masih dengan ekspresi bingung. "Nyocokin gimana dah? Orang data itu cuma berisi nama dan tanggal masuk panti aja. Asal usulnya kita aja enggak tahu, gimana mau nyocokin?"
"Gini, data donatur panti kan berupa nama dan identitas donaturnya, juga mulai dari kapan Pak Aran menjadi donatur tetap panti. Ntar kita cocokin tanggal kita masuk panti, sama mulai dari kapan Pak Aran jadi donatur, kalau misal tanggalnya enggak jauh beda ya berarti bener. Salah satu di antara kita memang benar kepokanannya."
Rey menganggukkan kepalanya mengerti. "Tapi terdengar agak gimana gitu ya. Maksud gue kurang begitu meyakinkan. Kan bisa jadi Pak Aran jadi donatur saat umur kita 10 tahun atau dalam rentang waktu jauh dari saat kita ada di panti ini. Agak enggak masuk akal menurut gue."
Qilla terdiam. Apa yang Rey katakan ada benarnya juga. Tapi enggak ada salahnya kan kalau mencoba?"
"Iya juga sih. Tapi enggak ada salahnya kita mencoba."
"Oke deh, gue setuju-setuju aja. Asalkan ada hasilnya nanti."
"Lagian data anak panti enggak kayak gitu juga kok. Banyak isinya, tapi gue lupa apaan."
Rey bangkit berdiri, kemudian membantu Qilla untuk berdiri. "Gue setuju."
Qilla mengangguk, ingin berlalu namun lengannya di tahan oleh tangan Rey. Sesaat kemudian, Rey malah menatapnya dalam. Dalam hatinya sudah terangkai bagaimana kejahilannya kali ini. Lama tak berbuat jahil pada Qilla, membuatnya ingin kembali merasakan bagaimana puasnya saat berhasil membuat Qilla tertipu.
"Qill." Rey mengangkat dagu Qilla dengan jari telunjuknya. Membuat Qilla menatapnya tepat di mata hitamnya.
Gelenyar aneh mulai Rey rasakan saat mata itu bertabrakan dengan matanya. Walaupun begitu niat jahilnya belum runtuh. Ia malah tersenyum lebar sembari menatap mata cewek itu.
Sedangkan Qilla hanya bisa terdiam meskipun jantungnya tengah berdegub kencang. Rey menatapnya dengan sorot teduh penuh kenyamanan. Qilla bahkan tak bisa menebak niat apa yang Rey lakukan saat ini. Yang jelas pipinya memanas saat ini.
"Qilla, mata lo...," ujar Rey mematung. Qilla bahkan menunggu lanjutannya dengan alis tertaut juga pipi memerah. Malu ditatap seintens ini oleh lawan jenis. Sebenarnya Qilla ingin melepaskan diri, tapi entah kenapa ia merasa terhipnotis oleh mata hitam kelam milik cowok itu.
"Mata lo belekan. Hahaha," lanjut Rey kemudian terbahak.
Qilla yang menyadari jika dirinya kembali tertipu, menjerit kesal lalu memukul lengan kurus cowok itu dengan keras. "Candaan lo enggak lucu," katanya sembari berlalu.
Rey sebenarnya masih ingin berlama-lama menatap mata indah milik cewek itu. Tapi Rey tak ingin kesehatan jantungnya terganggu karena terus berdetak lebih cepat.
Bersambung...
Masih jelek. :')
150818
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top