Bab XIX
Selepas syuting, Henny Saraswati diperbolehkan pulang. Kini, ia tengah berada di rumah mewahnya ditemani oleh Zahran Zahir, adik kesayangannya yang biasa ia panggil Aran. Jarang sekali Aran bisa menemaninya di sini. Menjadi sebuah manager di perusahaan produksi, membuat adiknya itu selalu sibuk menghandle karyawannya.
Tak mau membuat waktu berharga dengan sang adik terbuang sia-sia, Henny Saraswati memintanya untuk menginap. Beruntung adiknya itu mau dan suka rela mengiyakan ajakannya.
Dengan secangkir kopi di ruang keluarga sang kakak, ia memulai pembicaraan. "Pas waktu ada liputan dari infotaiment, aku kelihatan kayak bodyguardnya mbak ya?"
"Hahaha, tampang kayak kamu mana bisa jadi bodyguard?"
"Soalnya aku diem aja pas mbak gini-gitu."
Saras mengibaskan tangannya sembari tertawa, kebiasaan yang sering ia lakukan ketika sedang senang. "Ya, enggak pa-pa. Lagian lumayankan masuk tv. Siapa tau ada yang suka sama kamu. Mbak enggak mau kamu jadi perjaka tua ya."
Aran tertawa lepas. "Mbak bisa aja. Lagian aku udah punya calon kok. Mbak tenang aja. Aku kan udah pernah janji, kalau mbak jemput dia, aku baru mau nikah."
Ucapan Aran membuat Saras terdiam. Ia teringat lagi dengan dia. Dia yang pernah bertempat tinggal di dalam rahimnya. Dia yang pernah ia timang. Dan dia yang secara tidak langsung Saras sakiti.
"Kok diam mbak? Aran salah ya?"
"Eh, enggak kok. Aran enggak salah. Seharusnya mbak yang banyak berterima kasih sama kamu karena telah bersedia memantau anak mbak."
"Itu tugas aku sebagai Omnya mbak. Mbak enggak perlu khawatir."
Saras menatap ke arah depan dengan pandangan menerawang. Seandainya ia tak perlu malu. Seandainya ia bisa menerima semua dan mengikhlaskan karirnya hancur demi sang anak, semuanya tak akan berakhir seperti ini. Semuanya pasti baik-baik saja. Ia dapat berkumpul bersama sang anak, bercanda bersama bahkan menikmati hari-hari bersama.
Ah, semuanya pasti indah jika tak ada kata seandainya. Saras tak perlu merasa cemas, khawatir. Wanita paruh baya itu tak perlu merasa menyesal, seperti sekarang.
Aran yang tahu kakak perempuannya sedang memikirkan anaknya, menghela napas berat. Sedari dulu, ia memang tak setuju jika mbaknya itu memutuskan untuk menitipkan anaknya di panti. Tapi akhirnya tetap mengiyakan ketika melihat kakaknya menangis memohon bahkan bersujud di kakinya.
"Udah lah mbak, enggak perlu ada yang disesali. Semuanya telah berlalu. Mbak enggak akan pernah bisa memutar waktu dan mengulang semuanya." Aran mengusap bahu kakaknya itu.
Mau sekesal apa pun Aran pada Saras, ia tak pernah bisa membenci kakaknya. Sesayang itu Aran pada Saras. Sama seperti ia menyayangi almarhum ibunya dulu. Aran tak mau kakak kesayangannya itu terluka atau pun sedih. Cukup beberapa tahun yang lalu Saras memohon sembari menangis di hadapannya. Ia tak mau hal itu sampai terjadi kembali.
"Mbak enggak tau harus apa saat ini Ran. Mbak menyesal, sangat. Tapi mbak enggak bisa apa-apa. Kamu boleh meminta mbak untuk menjemput dia, tapi mbak enggak bisa. Mbak udah punya suami, udah punya anak. Apa kata orang jika tiba-tiba mbak udah punya anak yang usianya dewasa."
Aran menggelengkan kepalanya. Kakaknya ini tetap saja selalu memikirkan apa kata orang. Apalagi sebagai publik figure, ia selalu memerhatikan setiap perkataan orang. Entah yang baik atau pun yang buruk, semua Saras emban.
"Mbak, Aran kan udah bilang berkali-kali bahwa mbak enggak usah mikirin perkataan orang di luar sana. Orang itu enggak tau siapa mbak sebenarnya. Yang orang tau mbak hanyalah seorang artis."
"Mau bagaimanapun perkataan mereka tetap memengaruhi kehidupan mbak, Aran. Tanpa mereka, mbak enggak bisa menjadi lebih baik. Tanpa cacian bahkan makian mereka, mbak enggak akan sekuat ini."
Paham. Aran sangat paham itu. Tapi apakah bisa sang kakak memikirkan anaknya? Setidaknya membayangkan bagaimana hidup darah dagingnya sendiri di luar sana. Ia tahu, kakaknya pasti memikirkan semua. Mengemban beban berat yang sama sekali tak bisa Aran kurangi barang sedikit pun.
"Mbak, Aran mohon. Jemput lah dia sesuai yang mbak janjikan padanya dulu. Walaupun berat, Aran yakin mbak bisa. Mbak enggak perlu takut karir mbak akan hancur. Masih ada Aran yang bersedia menjadi rumah mbak jika semua orang meninggalkan mbak."
Saras memeluk adiknya erat. Sangat. Terharu dengan apa yang selama ini Aran berikan padanya. Sebesar itu mengorbanan adiknya untuknya, dan ia? Ia bahkan tak bisa sekedar mengabulkan permintaan adiknya. Saras belum siap. Bahkan sampai kapanpun rasa-rasanya kesiapan itu belum mau menghampiri dirinya.
"Akan mbak pikirkan itu nanti," katanya setelah melepaskan pelukan.
"Aku harap, secepatnya mbak memberi keputusan. Aran hanya enggak mau mbak mendapat penolakan lebih besar dari darah daging mbak sendiri."
Saras mengangguk mengerti. Hal itu yang membuat Saras tak pernah siap. Ia takut menghadapi penolakan anaknya. Ia takut sang anak membencinya hingga tak mau mengakui dirinya sebagai ibu. Ya, Saras tahu ia jahat. Ia jahat karena telah menelantarkan anaknya sendiri. Ia jahat karena tak mau mengungkapkan semuanya dan membiarkan karirnya hancur.
Saras terlalu jahat sebagai ibu dari anak yang sama sekali tidak bersalah. Sarah tak pantas menjadi ibunya. Saras terlalu merasa buruk akan dirinya sendiri. Dan ia tak akan pernah siap dibenci oleh anaknga sendiri.
"Mbak takut, Rey benci sama mbak. Mbak takut Aran."
"Aran ngerti. Aran paham. Mbak enggak akan mendapat semua itu jika mbak lebih cepat menjemputnya. Percaya sama Aran."
Dan tanpa mereka sadari, seseorang di balik pintu mendengarkan semuanya. Ia adalah Anji, suami Henny Saraswati.
Bersambung...
11 Bab lagi, tamat.
190818
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top