Bab XIV
Selain Senin, Rabu adalah hari yang lumayan menjengkal bagi Rey. Hari ini pelajaran di kelasnya paling banyak. Rey harus membawa berbagai buku paket beserta LKSnya. Ia juga dituntut aktif dalam pelajaran terutama Sejarah dan Sosiologi.
Dan hari ini ia lupa ada hafalan beberapa materi terkait sosiologi. Hafalan yang akan menjadi tugas terakhir sebelum melaksanakan Ujian Tengah Semester. Mau tak mau Rey harus menghafalkannya jika tak ingin nilainya di mata pelajaran sosiologi berkurang dan terancam tidak dapat mengikuti ujian. Jangan sampai hal itu terjadi.
Seperti saat ini, Rey tengah komat-kamit menghafalkan materi-materi di dalam angkot. Membuatnya menjadi perhatian para penumpang termasuk Qilla. Sebenarnya ia ingin menyalahkan Qilla karena semalam mengajaknya melaksanakan misi. Tapi Rey sadar, ini tak sepenuhnya salah Qilla. Toh, Qilla juga membantunya mencari kebenaran dengan data-data yang sampai sekarang belum ketemu itu.
"Gue mau ngomong," bisik Qilla, membuat Rey mengatupkan bibirnya. Tak lagi komat-kamit.
Qilla tiba-tiba menangkup tangan Rey yang sedari tadi tidak tinggal diam. Terus bergerak seiring bibirnya yang terus melafalkan berbagai materi. Sengatan aneh seketika menerpa tubuh Rey. Jantungnya berdegub kencang. Ada rasa tak nyaman saat Qilla melakukan hal ini padanya, seperti ada sesuatu aneh di dalam perutnya yang menjalar hingga ke pipi. Sial, Rey rasa pipinya bersemu kali ini.
"Gue cuma mau bilang, kalau dalam misi itu kita sama-sama dilarang berharap banyak. Gue maupun lo sama-sama enggak tahu, siapa yang dimaksud donatur itu. Bisa jadi lo, bisa jadi gue. Gue mohon kerja samanya."
Rey terhenyak. Tak lagi fokus pada gelenyar aneh yang menerpa tubuhnya. Perkataan Qilla membuat hatinya mencelos, merasa sedikit kecewa. Mengapa di saat ia sangat berharap, harapan itu sering kali pupus di tengah jalan? Seperti saat ini. Ia merasa dirinya baru saja terbang tinggi bersama pesawat mewah lalu tiba-tiba pesawat itu hilang kontak dan jatuh ke bawah. Hancur bahkan mati. Apa salahnya jika ia berharap lebih? Meski belum tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, setidaknya harapan membuatnya semangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dan Qilla baru saja mematahkan semangatnya.
Angkot yang membawanya juga Qilla akhirnya berhenti tepat di depan sekolah. Rey dan Qilla turun perlahan. Mereka terdiam, tak ada lagi celotehan atau pertengkaran yang biasa mereka lakukan.
Bukannya ia tega. Qilla hanya memikirkan jalan yang terbaik di antara mereka berdua. Dan menurutnya, tidak banyak berharap adalah jalan keluarnya. Terkesan egois, tapi Qilla benar-benar tak mau harapan yang mereka junjung tinggi, jatuh begitu saja dihantam kenyataan. Qilla tak mau jika hal itu sampai terjadi.
Secara tidak langsung, Qilla berkata bahwa harapanlah yang membuat seseorang merasa sakit hati. Dan Qilla tak mau sakit hati itu mampir ke hidupnya.
Sedangkan Rey yang awalnya berpikir bahwa Qilla selalu berlaku seenaknya saja. Menyuruhnya tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi. Kini paham, Qilla berkata demikian demi menjaga perasaannya. Qilla memintanya untuk tidak berharap banyak agar saat kenyataan itu datang dan tidak berpihak padanya, intensitas sakit hati yang ditimbulkan tidak berdampak banyak.
"Hai Bro."
Rey melewati Leo yang menyapanya. Fokusnya terbagi, hingga membuat cowok itu tak lagi fokus terhadap sekeliling. Keberadaan Qilla yang terus berjalan di sampingnya saja tak ia hiraukan.
Leo yang heran melihat tingkah laku teman dekatnya, terus mengikuti Rey dari belakang. Sembari berpikir ada apa gerangan hingga membuat sahabatnya ini gagal fokus?
Baru ketika ia menepuk bahu Rey sedikit keras, cowok itu langsung menoleh ke belakang. Menatap heran Leo yang kini tengah menyengir lebar. Sedangkan Qilla tetap tak acuh, lalu pergi meninggalkan Rey dengan tatapan kosongnya.
"Kenapa?" tanya Rey dengan nada tidak santai. Tapi Leo tahu, sahabatnya itu tak bermaksud begitu. Leo tahu jika Rey tengah banyak pikiran.
"Santai mas bro. Gue cuma mau mastiin kalau lo baik-baik aja dan enggak lagi ngelindur pas jalan. Kan kasihan tiangnya kalau lo tabrak gitu aja." Leo merangkul Rey yang beberapa senti lebih pendek darinya.
"Gue enggak lagi ngelindur. Sadar 100 persen." Rey mengelak.
"Alah enggak ngelindur gimana, orang gue panggil enggak nyahut tuh."
"Eh, masa?"
Leo menggangguk. "Lagian lo kenapa lagi sih? Masih merasa enggak enak sama Bunda panti? Masih merasa terlalu menyusahkan? Atau masih mau pergi dari panti?"
Apa yang Leo tanyakan bukan sekedar lelucon yang terlontar dari bibirnya saja. Rey pernah merasa itu semua. Rey bahkan pernah berniat kabur dari panti hanya karena merasa tidak enak pada bunda. Namun Leo lah yang membuat semua perasaannnya tentang itu lenyap oleh perkataan tajam nan pedasnya. Sisi dewasa Leo akan terlihat jika berasa di saat-saat seperti itu.
"Enggak, bukan itu."
"Terus apa?"
"Gue rasa orang tua kandung gue masih hidup," kata Rey pelan. Meskipun begitu masih dapat didengar oleh Leo.
Leo yang mendengarnya terlonjak kaget. Dapat dari mana Rey hingga pemikiran seperti itu keluar dari bibirnya? Leo mengecek jam di pergelangan tangan kanannya. Merasa jam masuk masih cukup lama, Leo menyeret Rey menuju taman yang Leo yakini pasti sepi.
"Lo serius? Gimana lo bisa tahu?" tanya Leo sesaat setelah mendudukkan dirinya di kursi taman di samping Rey.
"Gue dapet Hp sama Laptop pas rapat kemaren." Satu kalimat itu mampu membuat Leo terperangah, antara percaya tidak percaya. Sebelum Rey mengeluarkan Hp barunya kemudian menunjukkannya pada Leo.
"Gue enggak tahu kenapa gue bisa yakin kalau orang tua gue masih hidup. Selain ini, gue juga baru dapet informasi bahwa salah satu donatur memiliki ponakan di panti yang berusia 17 tahun. Yang artinya antara gue atau Qilla. Di sisi lain gue berharap bahwa yang dimaksud oleh donatur itu adalah gue. Tapi Qilla bilang gue jangan banyak berharap. Dan sampai sekarang gue masih belum tahu kebenarannya."
Leo tak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Jujur saja ia kaget dan tak percaya. Tapi Rey ada benarnya. Donatur tak mungkin memberi fasilitas mewah seperti yang Rey bilang. Dan itu artinya bisa jadi Rey masih memiliki keluarga, tapi Leo masih ragu, sama seperti Rey.
Dan yang bisa dilakukan Leo saat ini adalah mendukung Rey serta menguatkan cowok itu. Hal yang biasa dalam pertemanan, bukan. Dengan menepuk bahu Rey, Leo seolah berkata bahwa ia akan selalu berada dekat dengan Rey apa pun dan bagaimanapun kondisinya.
Bersambung...
140818
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top