Bab IX

Bab IX

Rey berusaha menerimanya dengan ikhlas. Namun tetap saja pikirannya tak tenang. Ia merasa tak pantas mendapat barang-barang mahal seperti itu. Ia memang ingin memilikinya, tapi aneh saja rasanya jika tiba-tiba mendapat seperti apa yang ia impikan dengan usaha yang bisa dibilang nol.

Dengan langkah ragu ia memutuskan untuk menemui Qilla. Siapa tahu cewek galak itu bisa membantunya. Tapi jika jawaban yang ia dapat sama. Mau tak mau Rey harus bisa menerima meski hatinya sulit. Tetap pada persoalan yang sama, ia masih merasa belum pantas.

Ia bertemu Qilla saat hendak menuju kawasan anak perempuan. Rey menarik lengan cewek itu pelan, membuat Qilla berusaha berontak karena tak nyaman.

"Apa?" sewot gadis itu saat Rey berhenti menyeretnya.

"Gue dapet laptop sama hp." Qilla terkejut mendengarnya. Ada selipan rasa iri mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Rey. Namun Qilla tak mau langsung percaya. Bisa jadi cowok itu tengah mengerjainya dengan membuatnya iri terlebih dahulu.

"Ya terus?"

Rey gugup untuk jujur sebenarnya. Ia takut Qilla menganggapnya sombong karena berbicara seperti itu tadi. Ia juga takut jika Qilla tak mempercayainya. Entah mengapa bisa demikian yang jelas Rey takut saat ini.

"Udah lah, terima aja. Kali aja itu rejeki lo." Qilla mengucapkannya dengan nada yang terkesan meremehkan. Lalu pergi meninggalkannya. Rey dengan sigap menahan. Untung Rey peka terhadap nada. Ia tahu jika Qilla tidak percaya padanya.

Lagi, Rey menarik lengan Qilla. Berbeda dengan yang tadi, Rey kini merasa aneh. Seperti ada sengatan aneh yang menjalar ke setiap titik tubuhnya saat ia menyentuh lengan Qilla. Qilla juga tidak berontak saat Rey menggiringnya menuju kamar. Cewek itu diam saja sembari menunduk.

Rey memutuskan untuk menggenggam tangan Qilla, tak lagi memegang lengannya. Sentuhan yang terasa aneh di otaknya. Jantungnya berdegup kencang. Yang jelas Rey merasa gugup berkali-kali lipat dari yang tadi. Ia tak tahu perasaan apa yang hinggap dalam dirinya, hingga terasa begitu nyaman saat menyentuh tangan mungil itu.

Sorakan ramai dari dalam kamar Rey terdengar keras begitu Qilla dan Rey memasuki kamar. Rey yang tak tahu jika kamarnya dijadikan tempat berkumpul adik pantinya hanya bisa menggeleng sembari melepas genggaman tangannya pada tangan Qilla.

Qilla pun hanya bisa tersenyum kikuk, padahal sebenarnya malu. Lebih malu dari tertangkap basah mengemil makanan pada malam hari, seperti yang biasa ia lakukan jika tengah malam dilanda kelaparan.

Rey menggiring Qilla menuju kasurnya. Kasur paling pojok dari empat kasur lainnya. Ya, setiap kamar, diisi oleh empat sampai enam orang. Khusus kamar Rey hanya terisi empat orang dari 12 anak laki-laki.

Laptop dan ponsel yang baru saja ia dapatkan tergeletak begitu saja di atas kasur. Qilla terperangah, benar-benar terkejut barang mahal yang tak pernah bisa ia miliki kini berada di depannya. Nyata, sampai ia sendiri masih merasa tak percaya.

Qilla sebisa mungkin menutupi rasa terkejutnya. Tak mau sampai Rey tahu jika kini rasa iri memenuhi hatinya. Ya, Qilla iri karena Rey mendapat benda yang juga ia inginkan meski tak pernah terbayang ia akan mendapatkannya secara cuma-cuma seperti ini.

"Gimana? Masih enggak percaya?" tanya Rey di tengah bisingnya suasana kamar. Bagaimana tidak bising jika semua anak panti bergender laki-laki berkumpul seperti tengah menggelar acara arisan. Berisik.

"Iya, gue percaya." Jawaban Qilla membuat Rey bertepuk tangan sebentar. Melihat apa yang Rey lakukan membuat Qilla mengernyit heran.

Apa yang perlu ditepuktangankan?

"Gue emang jahil, tapi gue enggak pernah berbohong atas suatu hal yang memang harus gue nyatakan dengan jujur."

Qilla mengangguk. "Gue agak heran sih sebenernya, kenapa manusia seperti lo mendapat suatu hal yang istimewa."

Qilla melangkahkan kakinya menuju kasur sebelah ranjang Rey, kemudian duduk di sana.

"Ya, karena gue emang spesial. Udah cakep, beruntung lagi."

"Ck. Pede banget lo." Qilla mendengkus.

"Orang kalau mau sukses harus pede, dong."

"Ya, ya. Terserah lo aja. Tapi gue masih merasa heran aja. Kenapa bisa gini? Lo udah tanya Bunda belum?"

Rey tersenyum lebar. "Lo iri ya. Gue udah tanya Bunda kok. Bunda bilang, udah terima aja bla bla bla," katanya menjelaskan secara singkat.

Qilla mengangguk-angguk. Seperti sedang mengiyakan padahal nyatanya sedang berpikir.

"Apa mungkin orang tua lo masih ada? Terus ngirim ini semua lewat orang-orang terpercayanya. Terus nanti pas udah tua, lo diambil lagi, lo marah, kabur dan ... The end."

Rey melongo mendengarkan rentetan kalimat yang sebenarnya tak asing di telinganya. Seperti alur dalam sebuah ftv-ftv di suatu chanel.

"Heh! Lo kira hidup ini kayak ftv. Drama begitu."

Qilla tergelak. "Jangan salah ya, ftv itu terinspirasi dari kehidupan nyata. Ya, kalau ftvnya terkesan drama banget berarti kehidupannya penuh drama juga dong."

Rey memutar bola matanya jengah.

"Dasar, korban ftv."

Qilla mengibaskan tangannya kemudian bangkit berdiri dan berlalu dari hadapan Rey tanpa kata. Padahal di dalam hatinya, cewek itu juga berharap mendapat apa yang Rey dapat. Juga berharap dirinya masih memiliki orang tua seperti apa yang ia katakan pada Rey tadi. Meskipun ia tahu, kemungkinannya sangat kecil jika hal itu terjadi.

Sedangkan Rey terdiam di tempatnya. Memikirkan apa yang baru saja Qilla katakan dengan matang-matang. Apakah benar orang tuanya masih hidup dan mereka yang mengiriminya barang-barang mahal ini? Entahlah Rey tidak tahu pasti kebenarannya. Yang jelas ia berharap jika hal itu benar adanya. Ia berharap akan hadirnya sosok keluarga dalam hidupnya.

Bersambung...

090818

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top