Bab II

Reynaldi menyisir rambutnya ke belakang. Meski tak mengubah gaya rambut tipis nan pendeknya, ia tetap melakukan hal itu. Jika ditanya mengapa? Rey menjawab, jika tidak disisir rambutnya akan mengembang. Padahal semua tahu, jika rambut Rey tak pernah mengembang.

"Bang ... Cepetan. Ditunggu anak-anak di bawah." Ucup menyembulkan kepalanya di pintu yang tengah terbuka sedikit. Jika saja Rey tidak menatapnya lama tadi, sudah dipastikan cowok itu akan terkejut karena Ucup terlihat seperti hantu di film-film horor biasanya. Hanya kepalanya saja yang terlihat.

Rey mengangguk sekilas sebelum mengambil tasnya. Kemudian melangkah mengikuti Ucup yang berada beberapa langkah di depannya.

Sampai di meja makan, semua telah berkumpul. Kecuali Qilla. Rey tidak melihat keberadaan cewek itu di antara mereka semua. Bahkan kini, kepala Yayasan, Bu Tika, ikut sarapan bersama mereka. Hal yang jarang terjadi.

Rey mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi, dekat dengan Ucup. Saat ia hendak mengambil piring kesukaannya, tiba-tiba sebuah tangan mungil juga hinggap di sebelah tangannya. Sama-sama menggenggam piring cantik itu.

"Gue pakai piring yang ini." Qilla. Pemilik suara sekaligus tangan yang kini tengah menggenggam piring kesukaan Rey.

"Enggak! Gue duluan." Rey menggeleng keras. Mengeratkan pegangannya pada piring.

Jika saja piring itu bukanlah piring kesukaannya, dengan motif bunga yang terukir rapi, apik, dan cantik, juga piring yang sering ia pakai. Pasti dengan mudah Rey melepasnya dan merelakan piring itu dipakai Qilla. Tapi kali ini tidak bisa. Piring itu sudah ia cap sebagai miliknya, anak panti lainnya pasti tahu.

"Kasih gue, enggak!" Qilla tetap bersikeras ingin memakai piring cantik itu.

"Enggak!" Begitu pula Rey. Ia tak bisa melepas begitu saja, barang yang sudah ia cap kepemilikannya.

Piring kaca tersebut menjadi barang perebutan Qilla dan Rey. Mereka berdua tak henti menarik ulur piringnya, sambil berdebat sengit. Kelakuan mereka tak luput dari perhatian anak panti lainnya. Mereka menatap aneh Rey dan Qilla sambil melanjutkan makan. Ada yang bahkan tertawa terang-terangan saat melihat betapa kekanakannya Rey dan Qilla ini, salah satunya Ucup.

Ibu Tika hanya menggelengkan kepala berkali-kali, sembari berdecak. Dengan sekali gebrakan di meja, semua aktifitas seketika terhenti. Aura tegang menguar dari setiap anak, terutama Rey dan Qilla. Bahkan piring yang mereka perebutkan telah tergeletak di meja, tak lagi tersentuh.

"Makan! Dan jangan banyak tingkah," gertaknya.

Mungkin jika bunda panti ataupun ibu dapur yang berkata demikian, dampaknya tidak akan sedahsyat ini. Karena kepala yayasan yang mengucapkannya, tanpa disuruh dua kali mereka diam.

"Cowok kok suka bunga. Banci," sinis Qilla tak suka. Ia merasa kalah kali ini, karena piring perebutan mereka kini berada di tangan Rey.

"Bodo amat." Rey membalasnya dengan ketus.

.

Rey melangkah terburu-buru ke depan teras. Memakai sepatunya dengan cepat, setelah itu bangkit berdiri menyusul Qilla. Meski tengah kesal karena ia dikata banci tadi, Rey tetap mengejarnya. Mau bagaimanapun keadaannya, Qilla adalah cewek, bahaya jika cewek seperti Qilla ditinggal sendiri.

Rey memelankan langkahnya ketika melihat Qilla berjalan tak jauh di depannya. Langkah cewek itu terlihat kesal. Sesekali ia menendang apa pun yang ada di depannya. Sepertinya, pertengkaran tadi membuat mereka dalam mood yang buruk.

Tiba-tiba Qilla berbalik. Membuat Rey terkejut karena gadis itu tiba-tiba menodongnya dengan jari telunjuk.

"Lo ngikutin gue ya?!" tanyanya sarkas.

"Enggak! Gue mau sekolah, bukan ngikutin lo."

"Ngaku lo!" Qilla menajamkan tatapannya.

"Lo amnesia ya? Sekolah kita sama. Enggak ada istilahnya gue ngikutin lo."

Rey menghela napas sejenak, sebelum akhirnya berjalan cepat mendahului Qilla sembari memasukkan tangannya ke kantong.

"Dasar sok cool!" cibir Qilla dari belakang.

Rey tertawa dibuat-buat. "Hahaha. Gue emang cool."

Dalam diam, mereka sama-sama melangkah menuju halte depan. Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Bahkan ketika memasuki angkutan umum, keduanya masih bungkam.

Sampai akhirnya tiba di sekolah, mereka masih diam. Enggan mengeluarkan suara. Berbeda ketika Rey melihat Leo, teman dekatnya, menghampiri. Wajah yang tadinya kusut, kini mendadak cerah. Rey merasa atmosfer di antara ia dan Qilla tak lagi tegang saat Leo hadir.

"Hai bro." Leo menganggkat kelima jarinya. Ber-highfive ria dengan Rey, mengabaikan Qilla dengan wajah masamnya.

Jika Rey menganggap rasa hening antara ia dan Qilla sirna saat Leo hadir, berbeda dengan Qilla. Ia merasa campur aduk sekarang. Leo adalah seseorang yang ia kagumi, aneh rasanya jika harus berdekatan dengannya.

Tak berani menatap Rey dan Leo yang kini tengah mengobrol asik, Qilla berlalu, meninggalkan mereka dengan wajah tertunduk dalam.

Rey yang merasa Qilla tak lagi mengikutinya, berbalik. Benar saja, Qilla tak ada. Entah apa yang dibicarakannya dengan Leo tadi, hingga tak menyadari jika Qilla telah berlalu sedari tadi.

"Tu anak emang ya," gumam Rey. Leo yang mendengarkannya menoleh, dengan mengernyitkan dahi.

"Kenapa?"

Rey menggeleng. "Enggak. Si Qilla ngilang, padahal gue mau ngomong sesuatu."

"Lo mau nembak dia ya?" tanya Leo penuh selidik.

"Gue enggak minat jadi pembunuh."

"Bukan itu maksud gue bego."

Rey diam. Tak lagi membalas perkataan Leo. Ia berjalan sembari memperhatikan sekeliling, mengabaikan Leo yang sejak tadi terus mengajaknya bicara. Rey melihat satu persatu siswa-siswi yang tengah lalu lalang di depannya, kali aja ada siswa yang satu kelas dengan Qilla. Ia harus menyampaikan pesan ini pada Qilla dengan cara apapun.

Senyumnya terbit ketika melihat Diana, teman sekelas Qilla, melintas di depannya. Sesegera mungkin Rey menarik lengan cewek itu dan membawanya jauh, lalu menyampaikan pesan yang harusnya ia sampaikan langsung pada Qilla.

.

Qilla mendengarkan dengan seksama saat guru Bahasa Indonesianya menerangkan. Mengabaikan colekan dari teman yang duduk di belakang bangkunya.

"Psst...," bisiknya. Qilla tetap mengabaikan.

"Qilla."

Qilla tetap diam. Takut ketahuan jika ia akan menoleh.

"Kata Rey, nanti sepulang sekolah lo disuruh belanja bahan dapur." Temannya terpaksa memajukan badan, berbisik pada Qilla yang hanya dibalas anggukan oleh cewek itu.

Bersambung...

Hari kedua. Masih semangat. 😄😄

020818

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top