Skenario

"Apa kamu baik-baik saja, Gantari?"

"Sudah lebih dari satu minggu dan tidak ada satu pun konten!"
"Gantari! Kami merindukanmu!"

Gantari menghela napas. Memejamkan mata untuk menetralisir kecamuk rasa dalam dada.

Lebih dari satu minggu belakangan dirinya memang tidak mengunggah apa pun di media sosial, karena tidak mungkin tampil dengan lebam masih membiru. Make up tidak pernah berhasil menyembunyikan lebam yang keterlaluan. Bahkan saat ini, ketika lebam itu tidak lagi terlihat, denyut sakitnya masih terasa.

Setelah helaan napas yang panjang, mata Gantari kembali pada laptop di meja kerjanya. Lagi disisirnya pesan yang menumpuk pada kotak pesan Instagramnya. Kebanyakan mencemaskan keadaannya, lalu memberikan semangat. Pesan semangat yang membuatnya merasa harus segera kembali ke dunianya, tempat di mana orang-orang menganggapnya penting.

Namun, sebuah pesan yang membuat jantungnya nyaris copot tertangkap olehnya,"Apa itu benar? Eric memakimu di rumah sakit? Artikel itu benar? Jika benar, tinggalkan dia!" Pertanyaan itu, disertai dengan tautan sebuah artikel.

Tiba-tiba saja jantungnya berderap tak keruan. Kepalanya juga mendadak sakit. Tangannya sampai gemetaran saat menekan tautan yang dilampirkan. Dan benar saja, ketakutannya benar-benar nyata. Sebuah artikel berjudul, Gantari Ayunda Dimaki Suami? Kemesraan Selama Ini Adalah Kepalsuan? muncul pada layar.

Kepala Gantari semakin berdenyut ketika membaca isi dari artikel. Jelas sekali bahwa adegan yang direka dalam tiap paragraf dari artikel itu adalah saat Eric memakinya di dalam ruang praktek. Juga pada saat dirinya ditarik paksa ke dalam mobil beberapa hari lalu. Apa bentakan dan makian suaminya terdengar sampai ke balik pintu hari itu? Apa ada mata yang melekat pada kejadian yang terjadi tempo hari?

Gantari masih mereka-reka dengan cemas saat ponselnya yang berdering keras, membuatnya setengah terlonjak dari duduk. Nama Ollie tertera pada layar, membuatnya serta-merta menyahut panggilan.

"Ollie!"

"Gantari!"

Keduanya berseru bersamaan. 

"Bagaima---"

"Bagaimana ini, Gantari?!" Seperti biasa, Ollie berbicara lebih cepat tanpa putus. "Media udah menghubungi gue sejak semalam. Ponsel gue enggak berhanti berdering. Apa kalian bertengkar secara terang-terangan? Eric maki lo di depan umum dan terang-terangan? Gosipnya tersebar luar biasa!"

Gantari bahkan tidak sempat berpikir. Entah tidak sempat atau tidak mampu. Sementara di seberang telepon Ollie terus mennerus berdecak, mendesah, menggeram saking paniknya.

"Begini!" Tiba-tiba saja Gantari berseru, membuat suara Ollie yang meresahkan terhenti. 

"Lo punya ide?" tanya si sipit di seberang telepon dengan bersemangat.

"Kita diamkan saja. Gue yakin semua akan berlalu dengan sendirinya." Gantari menggigit bibir bawahnya, tanda bahwa dia sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja dikatakannya.

Ollie sepertinya mendesah keras di seberang telepon. Gantari bisa mendengar napas asistennya itu terhela keras.

"Ini bukan yang pertama kali. Lo inget?" Gantari mengingatkan Ollie. Dulu memang dia pernah tersandung gosip dengan seorang youtouber terkenal, Kendo. Gosip tentang dirinya selingkuh dengan Kendo berembus seiring kolaborasi konten yang mereka buat bersama. Namun, saat itu dirinya memilih diam, dan rumor tersebut segera hilang seiring waktu. "Gosip gue sama Kendo waktu itu, juga ilang seiring waktu. Lo enggak usah terlalu khawatir. gue yakin kalau rumor yang sekarang juga bakal lenyap seiring waktu."

"Tapi ini bukan rumor, Gantari!" Ollie menyanggah. "Kasus Kendo dan Kasus Eric benar-benar berbeda ...."

"Apa bedanya? Semuanya sama, semuanya adalah isu yang digembar-gemborkan oleh medi ...."

"Dengan Kendo, itu benaran gosip, lo emang benaran enggak selingkuh sama dia. Tapi dengan Eric ...." Suara Ollie terdengar tercekat, tidak ada lagi lanjutan dari kalimatnya.

Gantari menahan napas, mengepal telapak tangan kirinya yang bebas kuat-kuat di atas meja. Andai saja ada benda yang bisa digenggamnya saat ini, mungkin benda itu akan remuk saking kuatnya ia menggenggam. Ollie benar, dengan Kendo ... selingkuh itu memang benar-benar tidak terjadi. Namun, dengan Eric ... makian dan seretan itu sungguh benar adanya.

"Gue bakal diam," Ollie menyahut pelan. "Jadi pastiin supaya kalian enggak kelepasan bertengkar lagi di tempat terbuka ...." Lalu, panggilan telepon diputus.

***

Air pancuran yang dingin segera membasahi kepala Gantari. Hari masih siang, tapi dirinya memutuskan untuk mandi sekali lagi. Padahal aroma sabun dan lotion-nya pagi tadi, masih tercium jelas di kulitnya. Namun, Gantari sungguh berharap cipratan air dingin bisa segera menghilangkan sakit di kepala dan gundah di hatinya.

Bayangan tentang bagaimana Eric memaki dan menyeretnya ke mobil, sebagaimana yang dibacanya pada artikel tadi, berkelebat jelas di pelupuk mata. Membuatnya segera memejamkan mata, karena sungguh-sungguh terasa nyata. Pejaman di mata pun semakin menguat, saat kelebat Eric yang menambar dirinya di ranjang tempo hari turut menari-nar di benaknya.

Apa semua wanita merasakan hal sama sepertinya? Pasrah, tidak ada perlawanan, atas nama kesetiaan?

Ollie pernah bilang, kalau seharusnya tidak begitu. Tetapi temannya itu bahkan belum pernah menikah, dan hanya pernah berpacaran satu kali seumur hidup. Tahu apa dia tentang arti komitmen?

Gantari menengadah, membiarkan kucuran air menerpa wajahnya. Saat suara pintu terbuka yang keras membuatnya terlonjak. Nyaris terpeleset ke lantai kamar mandi, andai saja keseimbangannya tidak segera kembali.

Segera ditolehkannya kepala ke arah pintu kamar mandi yang terbuka, terlihat Eric berdiri dengan mata membelalak dan napas yang terengah-engah. Mengapa suaminya kembali ke rumah siang ini? Bukankah seharusnya Eric berada di rumah sakit?

"Sa-Sayang?" Gantari tergagap, mematikan pancuran dan segera menarik handuk yang tergantung dan menutup tubuh telanjangnya. "Kamu udah pulang?" Dicobanya bersikap setenang mungkin. Karena setelah ini pasti ada hal yang akan membuat dunianya jungkir balik. Eric, tidak akan pulang ke rumah sesiang ini jika tidak ada hal yang penting.

"Sejak tadi ...." Eric berbicara dengan geraman tertahan, membuat Gantari mengurungkan langkah untuk mendekat. Tiba-tiba, Eric meraih ponsel dari saku jas putihnya. Ponsel itu berdering, tapi tidak digubris. Dibiarkan berdering begitu saja hingga berhenti dengan sendirinya.

"Ke-Kenapa?" Gantari mencengkeram handuk pada bagian dada. Air masih menetes-netes dari rambut dan tubuhnya.

"Heh!" Eric menghela napas kencang, kemudian menatap istrinya. "Sejak tadi, ponselku tidak berhenti berdering. Semua menanyakan apakah aku benar-benar memaki dan menyeretmu di ruamh sakit ...."

Cengkeraman Gantari pada handuk semakin mengerat. Dirinya tidak menyangka kalau orang-orang itu juga akan bertanya pada Eric terkait isu pada artikel.

"Karena itu Gantari ...." Suara Eric melemah. Meninggi. "Aku minta kamu jangan membuatku darah tinggi setiap kali datang ke tempatku bekerja!" Dan dan semakin tinggi. "Aku minta kamu tidak berulah pada saat aku bekerja! Lihat sekarang! Semua orang mengatakan aku penjahat?! Apa aku jahat?! Jahat?! AKU JAHAT?!"

Gantari membeku di tempatnya berdiri. Eric terlihat menakutkan saat ini. Wajah tampan pria itu bahkan terlihat menyeramkan dengan mata membelalak, dan kedua tangan yang bertolak pada pinggang.

"Astaga, Gantari! Bahkan aku tidak punya kekuatan untuk menghukummu sekarang karena kamu benar-benar keterlaluan." Eric memainkan gigi-giginya dengan cemas. Suara gigi yang beradu seolah-olah hendak mengoyak siapa pun yang ada di dekatnya saat ini. Dan orang yang ada di dekatnya saat ini adalah Gantari.

Gantari menyadari hal itu, tapi dirinya terjebak dalam kamar mandi dan tidak bisa bergerak ke mana pun. Jadi dia hanya mematung, dengan hati yang melemah karena takut. Bentakan Eric membuat nyalinya jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Lakukan sesuatu ...." Suara Eric kembali melemah. Pria itu mengusap wajahnya sendiri dengan kesal. "Jangan membuatku terlibat dalam hal yang akan membuat citraku berantakan. Jadi, lakukan sesuatu .... Bisa?"

Kepala Gantari yang terasa penuh, dipaksa untuk berpikir. Apa yang bisa dilakukannya untuk Eric? Ketika itu hanya menyangkut dirinya, dan media tidak menyangkut-pautkan suaminya, dia sudah pasti akan memilih diam. Diam, sebagaimana yang disampaikannya pada Ollie tadi. Tetapi kali ini media sepertinya sudah keterlaluan. Bisa-bisanya mereka melibatkan dan bahkan mengusik Eric karena hal itu?

Apa yang bisa dilakukannya untuk membebaskan Eric dari siatuasi ini? Apa yang ....

Tiba-tiba sebuah ide muncul dengan segera di benaknya. Ide yang sepertinya akan sangat bagus jika dilakukan, dan Eric mau berkompromi.

"Aku ide ...." Gantari tersenyum. "Tapi ... aku minta kamu mau berkompromi kali ini ...."

"Apa ide itu bagus?" Eric mendekati istrinya, matanya menyipit.

Gantari mengangguk yakin.

"Apa itu akan mengembalikan nama baikku?" Eric semakin dekat, matanya naik turun memperhatikan tetes-tetes air yang masih menetes dari tubuh sang istri, jakunnya bahkan bergerak meneguk liurnya sendiri.

"Pa-Pasti ...." Gantari mempertahankan senyum, meski dirinya gelisah melihat Eric yang semakin mendekat.

"Kalau begitu ...," tangan Eric terulur, "aku tidak khawatir lagi." Ditariknya handuk yang membalut tubuh Gantari, dan membiarkan benda itu luruh jatuh ke lantai.

***

Pagi ini, Gantari turun dari mobil di lobi rumah sakit. Dia menggunakan setelan blazer hitam bergaris putih, dipadankan dengan celana panjang hitam yang cocok di tubuhnya. Sebuah tas tangan terlihat  menggantung di tangan kanannya. Tidak lama tiba-tiba Eric bergabung dengannya. Pria itu menggunakan jas putih dokternya dan celana panjang hitam yang terlihat pas membalut kaki. Sontak, jepretan-jepretan blitz terlihat menyilaukan di mana-mana.

Gantari yang mengundang para wartawan. Dirinya sengaja mengundang mereka, agar isu yang beredar bisa segera terluruskan.

Dengan anggun dan sedikit manja, Gantari yang hari itu ber-make up dengan cantik, segera meraih lengan kanan suaminya. Eric menoleh sejenak pada istrinya, tersenyum, dan memberi kecupan singkat di kepala sang istri.  Lalu, keduanya saling menatap dan tersenyum untuk beberapa saat, sebelum akhirnya memutuskan melangkah masuk dengan saling bergandengan tangan. 

Tujuan mereka adalah kamar di mana Ben Danurdara dan istrinya, Fara, berada. Gantari mengirim pesan pada penulis favoritnya itu semalam, mengatakan bahwa dirinya akan mengunjungi Fara hari ini. 

Mata Fara segera berbinar pada saat pintu kamarnya terbuka dan Gantari masuk. Namun, segera ia meraih lengan Ben yang berdiri di samping ranjangnya, saat kamera berusaha mengambil gambar mereka. 

Ben paham, maka dia meminta semua awak media tidak mengambil foto. "Tidak ada foto, saya mohon," katanya. "Istriku tidak suka di foto, dan wajahku sebagai penulis yang mencoba bersembunyi di balik karya, merasa belum siap untuk di ekspos." Dia mencoba sedikit berkelakar. 

Syukurnya para wartawan setuju. Mereka semua menurunkan kamera mereka.

"Terima kasih." Ben tersenyum. "Tapi, ini masih terlalu ramai," katanya lagi hati-hati. Fara masih mencengkeram lengannya, meminta Ben tidak menjauh. Ben tahu, istrinya masih belum merasa nyaman.

"Sebaiknya kalian menunggu di luar," ucap Gantari sopan. "Benar begitu, Sayang?" Gantari menoleh ke arah Eric, meminta pria itu mengambil tindakan.

"Sebenarnya, keramaian seperti ini tidak diizinkan di rumah sakit." Eric menyahut, mengikuti kode dari Gantari. "Sebaiknya bisa menungu di luar, dan mengambil gambar dari kejauhan. Kami bisa membuka pintu kamar, dan kalian bisa melihat interaksi kami dari sana." Ia menyarankan. Melepas genggaman pada tangan Gantari, dan membuka lebar pintu ruangan. "Tanpa blitz tentunya ...."

Tidak lama, tinggal mereka berempat yang ada di kamar itu. Gantari tidak melepaskan genggaman tangannya dari Eric sama sekali, mereka bercengkerama dengan Ben dan Fara sambil mempertahankan kemesraan. Lalu mereka berfoto bersama, dan Gantari dengan senang hati memberikan tandatangannya pada buku catatan milik Fara.

Dan sepertinya skenario ini berhasil. Bahkan pada sesi wawancara setelah selesai menjenguk Fara, tidak ada satu pun wartawan yang menyinggung tentang artikel sebelumnya. Sepertinya, kemesraan yang ditunjukkan oleh Gantari dan Eric, berhasil menyurutkan kehebohan yang terjadi sebelumnya.

Seluruh wartawan sudah pergi, saat akhirnya Gantari dan Eric memutuskan untuk kembali ke rumah. Sama seperti kedatangan mereka tadi, saat ini pun keduanya bergandengan tangan menuju lobi. Takut-takut masih ada wartawan yang tersisa.

Namun, langkah Gantari terhenti ketika teringat akan sesuatu. Dirinya teringat bahwa tadi pagi dia memasukkan The Stars ke tasnya untuk meminta Ben menandatangani novel itu. 

"Aku lupa sesuatu." Gantari mengambil ponsel dan menelepon Ben. "Kamu di mana? Aku melupakan sesuatu." Lalu, dia menoleh ke arah Eric yang sedang memperhatikannya. "Tunggu sebentar, ya, Sayang." katanya pada suaminya. "Aku harus ke Ben dulu, ada yang kelupaan. Sebentar aja ...."

"Oke ...." Eric mengangguk.

Gantari tersenyum, lalu menyahut Ben yang masih ada di ujung telepon. "Aku ke sana. Tunggu sebentar." Kembali dia menoleh pada Eric. "Aku ke taman belakang sebentar, ya." Kemudian dengan sedikit tergesa menuju taman belakang.

Ben terlihat sudah menunggunya di sana. Senyum pria itu melebar ketika melihat Gantari berjalan ke arahnya. 

Gantari membalas senyum, sambil melangkah dirogohnya tas untuk mengambil novel yang favoritnya. Dirinya merasa sangat beruntung karena dapat menuaikan janjinya dan Ben tempo hari,  hari ini. Janjinya untuk menemui Fara, dan janji Ben untuk menandatangani novel.

Sudah semakin dekat pada Ben, ketika tiba-tiba ada yang menarik lengan kirinya. Tanpa ada pikiran dan perasaan curiga apa pun, Gantari segera menoleh untuk melihat siapa yang menarik lengannya. Namun, sebuah tamparan segera mendarat dengan keras di pipi kanannya.

Gantari membelalak, menyentuh pipinya yang kesakitan telapak tangan. Eric terlihat menatapnya dengan tatapan menghunjam.

"Kalian sudah sering melakukan ini, 'kan?" Neurologist itu menuduh dengan geram. "Betemu di belakangku diam-diam, hingga saling bertukar nomor ponsel. Sialan!"
.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top