Penulis, Pembaca, dan Janji
Fara
"Mengapa orang-orang yang bersedih, selalu dipertemukan dengan yang sepenanggungan?" Ben menghela napas. "Apa karena keduanya ditakdirkan untuk saling menghibur dan memberi kekuatan?"
Gantari terdiam. Dadanya serasa sesak seketika. Ini adalah kutipan dari The Stars, novel favoritnya. Dia hapal sekali. Setiap kata, tiap tanda baca yang ada pada tiap kalimat yang baru saja disebutkan pria asing di hadapannya.
Mata keduanya saling mengunci. Ben dengan senyum yang mencoba menguatkan, sementara Gantari dengan kening yang berkerut.
"Kamu baca The Stars juga?" Gantari akhirnya bertanya memecah keheningan.
Ben berkedip, sadar kalau wanita di hadapannya tahu kalimat yang diucapnya tadi. "Kamu tau novel buruk itu?"
Kening Gantari semakin mengerut, menunjukkan bahwa dia tidak setuju dengan apa yang diucapkan. "Novel itu, setahuku, nyaris terjual satu juta eksemplar. Bagaimana bisa dibilang enggak laku?"
Ben tertawa.
"Apa yang lucu?" Gantari terlihat tidak senang, Wanita itu bangkit berdiri dengan sebal. Bisa-bisanya buku yang begitu laris dan mengena di hatinya itu, dihina-dina oleh seseorang yang bahkan--mungkin--hanya mengetahui kalimat tersebut dari kutipan-kutipan yang beredar di jagad maya.
"Aku mendapatkan banyak makian di email-ku karena novel itu ... hmm ...." Ben menghela napas panjang, lalu mendongak menatap Gantari yang tidak jadi melangkah pergi.
"Kenapa kamu di maki? Kamu bahkan bukan Ben Danurdara ...." Wanita itu penasaran.
"Penggemar gila ...."
"Kamu bukan Ben, kenapa mereka memaki kamu?"
Pria yang hari ini mengenakan jaket kulit warna hitam itu, turut bangkit berdiri. Keduanya otomatis berdiri berhadapan. Perbedaan tinggi keduanya terlihat manis. Gantari bahkan harus mendongak untuk dapat menatap wajah Ben dengan jelas.
Namun, Ben segera menyadari sesuatu. Serta-merta tangannya bergerak tergesa menyampirkan beberapa helai rambut yang menempel di wajah Gantari, membuat wanita itu menggeleng-gelengkan wajahnya karena risih. Lalu, pria itu segera mengambil ponsel dan membuka instagram mencari profil yang tadi ditunjukkan istrinya di kamar. Kemudian, dia ternganga.
Ben tersenyum semringah. Bergantian menatap layar ponsel dan wajah Gantari bergantian. Tidak percaya dengan siapa dirinya berhadapan saat ini.
"Aku tau kamu! Selebgr---"
Secepat kilat Gantari menutup mulut Ben dengan telapak tangan. Panik. Bagaimana kalau ada yang mendengar dan menemukannya yang penuh lebam di tangga darurat ini?
"Keh ... nhaa ... phaahhh ...." Bahkan Ben tidak bisa bicara dengan baik karena mulutnya yang tertutup.
"Psssttt!" Gantari berdesis. "Aku enggak mau ada orang yang menemukanku di sini." Matanya menatap penuh peringatan pada Pria yang deru napasnya terasa di telapak tangannya saat ini.
Kelopak mata Ben mengedip berkali-kali. Aroma wangi dari telapak tangan wanita berambut cokelat itu, terendus jelas di indera penciumannya.
"Janji dulu jangan berisik, baru aku lepasin." Gantari meminta pria itu berjanji.
Sebenarnya Ben ingin tertawa. Karena kalau saja ia ingin, dirinya bisa dengan mudah melepaskan tangan kecil itu dari mulutnya. Toh kedua tangan Ben terlepas bebas tanpa dihalangi apa pun. Tetapi, melihat bagaimana kepanikan yang terpampang jelas pada wajah Gantari, membuatnya mengurungkan diri untuk menjadi kuat. Wanita ini terlihat lucu, kuat, dan berani secara bersamaan.
"Janji ga?" Gantari bertanya lagi.
Ben mengangguk. Mencoba memasang pandangan memelas agar dikasihani.
Gantari menyidik mata Ben lagi. Memastikan bahwa pria itu tidak berbohong untuk tidak berisik. Dirinya tidak mau ambil resiko. Bukan karena orang-orang yang mengenalnya akan ribut. Di atas segalanya, apa yang akan dilakukan oleh Eric jika mengetahui dirinya membuat keributan lagi di rumah sakit, membuatnya merinding.
Perlahan Gantari menarik telapak tangannya lepas. Sudut-sudut matanya masih mengerut penuh peringatan, semetara pandangannya tak lepas dari Ben.
Ben mendekatkan wajahnya pada Gantari, membuat wanita itu terkejut untuk sepersekian detik. Tetapi segera merasa lega ketika Ben mengalihkan letak wajahnya ke sisi telinga.
Pria itu berisik, "Istriku adalah penggemarmu. Dia kanker hati stadium akhir. Apa kamu bersedia menemuinya?" Kemudian Ben menarik mundur wajahnya untuk melihat reaksi si selebgram. "Dia pasti akan senang sekali," tambahnya.
"Penggemarku?" Entah mengapa ada rasa malu menelusup ke ruang hati Gantari saat mendengar kata itu. Segera dikenakannya kembali kaca mata hitam yang sejak tadi ada pada genggamannya.
"Dia bilang auramu sangat positif. Dia suka banget sama kamu ...." Suaranya masih berbisik-bisik.
Gantari terdiam menatap Ben, liurnya terteguk mendengar apa yang diucapkan pria itu barusan. Istrinya bilang apa? Aura positif? Aura positif apanya? Segera ditundukkannya kepala, memperbaiki letak kaca mata yang sesungguhnya tidak berubah letak. Dia malu sekali. Apa yang akan dikatakan istri pria di hadapannya jika mengetahui bahwa orang yang diidolakannya lebam di seluruh tubuh?
"Apa kalian, memang dipertemukan dengan takdir? Untuk saling menghibur dan memberi kekuatan satu sama lain?" Ben turut menunduk, tapi ia menunduk agar bisa melihat raut wajah Gantari. Membuat tundukan Gantari semakin dalam karena risih.
"Jangan suka ngutip-ngutip!" Gantari merasa kesal, "Kalau kamu bahkan nggak memahami maksud dari tulisan i---" Ucapannya terhenti ketika sebuah tanda pengenal muncul tepat di depan matanya. Lalu, dia tersedak. Kemudian melotot. Berikutnya, refleks merebut tanda pengenal, mengangkat naik kaca mata ke kepala, dan membaca apa yang tertulis di sana dengan sangat hati-hati.
Ben Danurdara? Ben Danurdara! Rasanya Gantari mau melompat saking kegirangannya. Penulis favoritnya? Yang benar saja!
"Aku akan menandatangani novelku yang kamu beli, baca, dan pahami itu ... hmm ... namanya barter." Ben nyengir. Disadarkannya punggung ke pegangan besi tangga darurat, kemudian menatap Gantari dengan tersenyum. Raut wajah yang dipancarkan selebgram itu saat ini--kalau dia mau--bisa digambarkannya dalam sebuah paragraf panjang.
Gantari menunduk, mengulum bibir, menatap Ben dengan tidak yakin, kemudian menunduk lagi. Bibirnya bergerak-gerak karena grogi, giginya gemeletuk. Tetapi jika benar yang di hadapannya adalah seorang Ben Danurdara, ini adalah luar biasa! The Stars benar-benar membuatnya bertahan dengan kesakitan, meski akhir dari cerita itu bukanlah sebuah happy ending.
"Hmm ...." Gantari menatap Ben, bibirnya nyaris mengucapkan sesuatu, tapi urung kemudian. Dia melepas kacamata, meremas tangkainya. Andai saja frame-nya bukan terbuat dari bahan yang lentur, mungkin sudah patah.
Ben bahkan turut menganga ketika melihat Gantari membuka mulut, dan mengatup dengan kecewa saat melihat wanita itu gagal mengutarakan apa yang ada di benaknya. Masalahnya dia sangat berharap Gantari mau menemui Fara. Menambahkan kobar semangat pada diri istrinya. Tidak ada hal lain yang membuatnya bahagia saat ini selain melihat Fara bahagia. Jika dirinya tidak bisa membuat kesakitan istrinya lenyap, setidaknya dia bisa menoreh senyum di wajah orang yang dicintainya itu.
"Begini ...."
Segera Ben kembali fokus pada Gantari ketika sebuah kata tiba-tiba terlontar dari bibir wanita itu.
"Begini." Gantari mengulang katanya. "Aku tidak mungkin menemui istrimu dalah keadaan begini ...." Dibentangkannya tangan, meminta Ben melihat bagaimana berantakan dirinya saat ini.
Ben paham. Melihat bagaimana selebgram favoritnya dalam keadaan sekarang akan membuyarkan semua citra Gantari di mata seorang Fara. Maka, dia mengangguk.
"Kapan?" tanyanya.
Gantari meraih ponsel. "Sebutkan nomor ponselmu ...."
"Eh?" Ben mengernyit.
"Aku akan menghubungimu ...." Gantari memaksa, menbalas kernyitan dengan alis yang terangkat naik. "Janji!"
***
"Kamu enggak bakal percaya dengan apa yang akan aku katakan sekarang!"
Fara yang sedang menahan sakit di ranjang, menoleh ke arah pintu untuk menemukan suara yang dirindukannya. Ben terlihat masuk dengan mata berbinar, menghampirinya dengan senyum terlebar yang pernah dilihatnya. Namun, beberapa langkah sebelum mencapainya, raut wajah itu berubah.
"Sakit? Apa yang sakit?" Ben sedikit berlari, menyentuh tangan kemudian wajah istrinya dengan panik. Wajah cantik yang pucat itu berkeringat sangat banyak. Ben tahu persis jika Fara sedang menahan sakit. "Mau pereda sakit? Aku bisa meminta perawat--"
"Sudah. Udah dikasih pereda sakit." Fara mengelus lengan suaminya, menenangkan.
"Fara ... Fara ...." Ben masih juga panik.
"Ben!" Suara Fara serak, tapi sanggup menarik perhatian Ben. Seketika prianya menatapnya dengan mata membelalak ketakutan. "Udah. Udah enggak sakit ...," lirihnya.
Ben menatap Fara lagi, meyakinkan dirinya sendiri bahwa istrinya tidak berbohong. Sebelum akhirnya luluh di dada wanita itu. Menangis dengan cengeng. Merasa bersalah karena harus meninggalkan wanitanya sekian lama, dan tidak berada di sisi Fara saat istrinya itu kesakitan.
Sementara itu di halaman parkir, terlihat Gantari ditarik tangannya dengan keras menuju sebuah mobil. Dengan tergesa tangan besar yang menariknya meraih kenop pintu dan mendorong tubuh semampai itu masuk.
"Jangan membuatku menghajarmu di sini!" Suara itu menggeram dan membanting pintu mobil menutup.
Ollie yang berada di mobil, segera memeluk sahabatnya yang gemetar. "Salah gue," getirnya, "seharusnya gue enggak bawa lo kemari ...."
Gantari mungkin masih gemetar dan ketakutan, tapi bibirnya menyungging senyum. Hatinya masih melompat kegirangan seperti tadi, saat mengetahui bahwa Ben bersamanya.
Argghh! Andai tadi Eric tidak memergokinya saat keluar dari pintu darurat, kebahagiaannya pasti tidak akan tercoreng dengan rasa takut seperti sekarang. Ck!
*
*
*
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top