Kehidupan Tak Sempurna si Maha Sempurna
Gantari masih merasakan denyut di pipi, sementara Eric mencekal tangan istrinya itu dengan kencang. Napas neurologist itu memburu, sementara lawannya sedang menahan agar air mata tetap bertahan di pelupuk dan tidak jatuh. Setidaknya, Gantari tidak ingin menangisi harga dirinya sekarang. Wanita itu sedang menahan rasa malu yang teramat sangat. Ditampar di depan seorang Ben Danurdara.
Ben menatap Gantari dengan miris, kemudian melempar pandangan pada Eric. "Ini tidak seperti yang Anda bayangkan, Dokter," katanya dengan suara rendah, mencoba meredam amarah sang dokter.
Eric sama sekali tidak memedulikan ucapan Ben barusan, menoleh pun tidak. Yang dilakukannya adalah menarik ponsel dari tangan Gantari, dan segera mencari kontak Ben di sana. Senyum kecutnya segera terulas saat melihat bagaimana Gantari menulis nama Ben di sana. "Ben - The Stars," bilangnya menahan tawa.
Gantari nyaris tidak dapat menahan air mata karena takut. "I-Ini tidak seperti yang kamu bayangkan ... Sayang ....''
"Ini benar-benar tidak seperti yang Anda bayangkan, Dokter." Ben menimpali. "Kami tidak pernah diam-diam bertemu."
Eric tidak peduli. Segera dihapusnya kontak Ben dari ponsel Gantari dan setelahnya mendorong ponsel itu ke dada istrinya sambil berkata, "Jangan pernah menemuinya lagi." Dia tidak berteriak, tapi suara beratnya sudah sanggup meruntuhkan pertahanan Gantari. Air mata jatuh menetes juga dari pelupuknya.
***
"Dia sangat cantik!" Fara tidak habis-habisnya memuji idolanya sejak tadi. "Kulitnya bagus sekali. Kepribadiannya menyenangkan ...." Senyumnya melebar, menular pada Ben yang duduk di tepi ranjang. Pria itu turut melebarkan senyum.
"Kamu sesuka itu sama dia?" Ben bertanya, tangannya bergerak mencuil hidung istrinya.
Fara mengangguk. "Suaminya juga baik," katanya lagi. Perkataan yang membuat senyum Ben nyaris pudar. "Setauku, dia dokter spesialis di sini. Termasuk dokter favorit. Kadang wajahnya muncul di reels atau insta story-nya Gantari." Dia menjelaskan.
Ben hanya mengangguk. Entah apa yang akan dipikirkan istrinya, andai saja dia tahu bagaimana si dokter memperlakukan Gantari.
"Mereka pasangan sempurna ...."
Apa Fara masih berpikir bahwa Gantari dan Eric adalah pasangan sempurna, jika istrinya itu tahu bahwa beberapa saat lalu si Dokter mendaratkan tamparan di pipi si Maha Sempurna? Well, si Maha Sempurna yang hidup dalam ketidak sempurnaan.
Bagaimana nasib selebgram itu saat ini? Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlintas di benak Ben. Dalam bayangannya, Eric yang terlihat dingin tadi, sepertinya tidak akan segan melakukan hal buruk pada istrinya sendiri. Segera dirinya teringat bagaimana babak-belurnya Gantari di tangga darurat beberapa waktu lalu. Sepertinya dirinya tahu siapa pelakunya sekarang.
"Kenapa kamu diam aja?" Fara bersungut, saat menyadari bahwa sejak tadi Ben tidak mengatakan apa pun saat dirinya sedang bercerita panjang lebar. Tidak ada tanggapan sama sekali. "Ben!" serunya saat Ben hanya mematung menatapnya dengan senyuman, tanpa bereaksi.
"Ya!" Ben berseru terkejut karena suara Fara yang keras. Sepertinya dirinya terlampau larut pada pikiran mengenai Gantari barusan. "Ya, Sayang?" suaranya melembut, menatap pada Fara.
Fara menghela napas pasrah. Akan bertele-tele dan melelahkan jika harus berbicara ulang mengenai hal yang sama lagi. "Lupain aja!" sungutnya, lalu merosot ke dalam selimut.
Ben terkekeh. Menyingkap selimut yang menutupi wajah istrinya, dan memberi kecupan manis nan lembut pada bibir yang kering. Ben tahu, bagaimana istrinya berjuang sangat keras menghadapi penyakitnya, dan dia merasa bangga. Hari ini pun, meski kenyataan di belakang layar tidak seindah yang tertangkap kamera wartawan, dirinya merasa bahagia melihat bagaimana semangat hidup Fara bertambah lagi berkat seorang Gantari.
Saat Ben hendak menarik bibir dari bibir istrinya. Fara justru memanggut bibir itu lebih lama, membuat Ben mau tidak mau ikut dalam irama. Membaui tubuh istrinya yang wanginya berbaur dengan bau rumah sakit. Tubuhnya naik ke atas ranjang, mencoba naik pada tubuh yang sudah lama tidak dibelainya. Ben merindukan istrinya, melebihi dari apa pun saat ini. Dia telah menahan diri sekian lama, dan terbuai karena Fara memancingnya.
Kecupan itu pun turun pada dagu, leher, selangka, dan ....
"Erghh ...."
Ben segera berhenti, matanya melebar, wajahnya terangkat naik demi melihat wajah Fara. Terlihat wanita itu memejamkan mata dengan kening berkerut. Wajahnya terlihat sedang menahan sakit.
"Sayang ...." Ben panik sekarang. Segera dia turun dari ranjang, dadanya berdebar kuat. "Sayang ... kamu baik-baik aja? Fara ...." Dia mengusap wajah wanitanya, menyisir rambut-rambut yang jatuh pada wajah yang berkeringat.
Fara tidak menjawab, dia masih mengerang. Sementara Ben mengutuki diri, mengapa bisa menuruti keinginan dagingnya. Fara tidak siap, dia belum siap. Astaga!
Hampir Ben menekan bel untuk memangil bala bantuan dari perawat. Tetapi wajah kesakitan yang perlahan mengendur, membuatnya mengurungkan niat. Kepala penulis itu pun jatuh pada dada istrinya, menyesal.
"Kenapa kamu mancing aku tadi? Kamu tau seharusnya kita tidak melakukan hal seperti tadi. Kamu kesakitan." Ben berbicara di dada istrinya, tidak sanggup menatap.
"Karena aku tau kamu mau," lirih Fara. "Dan aku tau, aku juga mau ...." Masih saja wanita itu berkelakar.
Ben diam saja. Dia tidak sanggup untuk tertawa. Dirinya masih mencoba meredam debar takut di dadanya.
"Tau enggak, Ben ...." Fara mengusap kepala prianya. "Kalau aku enggak ada nanti, cari yang seperti Gantari. Yang baik, lembut, sehat, sukses ... seperti Gantari."
Ben mencoba mencerna apa maksud perkataan Fara. Apa kekasihnya itu sedang mencoba menawar masa depan tanpa kehadirannya?
"Jangan bilang gitu," sahut Ben masih dengan kepala menempel di dada istrinya. "Jangan membicarakan wanita lain, saat aku masih ingin sama kamu. Jangan bilang begitu ...."
Fara tersenyum. Tangannya terus bergerak mengusap kepala pria yang disayangnya itu. Lalu air matanya menetes begitu saja. Dirinya merasa bersalah karena sadar-sesadarnya. Bahwa sepertinya, Ben akan segera menjadi sendirian karena dirinya yang sudah terlalu lelah.
***
Hari sudah berganti malam. Fara sudah tertidur--Ben sudah memastikan tadi--dan laptop berisi naskah novel yang tidak selesai-selesai milik Ben sudah menyala di atas meja. Namun, Ben sama sekali tidak mood.
Pria itu menghela napas, kemudian membaringkan tubuh pada sofa yang sedang didudukinya. Pada tangannya terdapat ponsel yang sedang menampilkan laman instagram. Instagram milik Gantari. Pasalnya, bagaimana pun, entah mengapa, ada kecemasan mengenai nasib selebgram tersebut.
Namun, Ben tidak mungkin menghubungi Gantari langsung ke ponselnya. Khawatir jika si Dokter Gila itu mengetahui hal itu, dan menghajar lagi idola istrinya tersebut.
"Argh! Sinting!" Dia mendesah dengan kesal. "Gimana caranya menghubungi perempuan bodoh itu?"
Bodoh. Begitu Ben memutuskan untuk melabeli seorang Gantari. Karena kalau wanita itu cerdas, seharusnya dia sudah melarikan diri dari pria gila itu. Kebodohan Gantari, membuat Ben merasa kasihan pada Fara. Istrinya itu, sama sekali tidak tahu menahu tentang bagaimana sang idola menderita selama ini.
Tangannya bergerak naik turun pada laman instagram yang isinya melulu tentang bagaimana seorang Gantari menjalani hari-harinya. Tentang selera fashion, tentang apa yang wanita itu makan, beberapa endorsement, dan juga suaminya.
Ben tidak habis pikir, karena semua yang terlihat pada postingan-postingan itu melulu tentang kehidupan tanpa cela. Gantari terlihat luar biasa pada setiap postingan. Itukah sebabnya wanita itu dijuluki si Maha Sempurna?
Sempurna apanya!
Ben menarik halaman kembali sampai yang teratas, dan matanya menangkap sesuatu. Bibirnya mengulas senyum saat melihat nomor manager sebagai contact person tertera di sana.
***
"Halo ...." Ben segera menyapa saat panggilan ponselnya disahut.
Saat ini Ben sudah berada di halaman belakang rumah sakit. Lampu taman sudah menyala semua, memantulkan cahaya-cahaya kekuningan yang temaram.
"Benar ini Ollie, manager dari Gantari Ayunda?" Ben bertanya. "Saya melihat nomor Anda sebagai contact person di instagram-nya." Tambah Ben, kalau-kalau Ollie penasaran bagaimana dirinya bisa mendapat nomor telepon ini. "Saya Ben Danurdara ... kamu tau ... Ben yang---"
"Argh! Kamu yang muncul di tayangan gosip tadi! Penulis favorit Gantari!" Ollie memotong omongan Ben.
"Tayang ... tayangan apaaa?" Ben takut salah dengar. Mengapa dirinya harus ada pada tanyangan gosip?
"Penyelamatnya Gantari!" Ollie berseru. "Istri kamu lebih tepatnya. Dia menyelamatkan Gantari. Terima kasih karena kalian telah mau bekerja sama."
"Penyelamat?" Ben benar-benar tidak mengerti.
Ollie terkekeh sesaat. "Kamu dan istrimu menyelamatkannya dari rumor yang mengatakan bahwa suaminya memakinya di rumah sakit. Kamu tau, kan, rumor seperti itu bisa menjatuhkan nilai seorang selebgr---"
"Tapi suaminya benar-benar memakinya." Ben memotong ucapan Ollie, membuat sang manager hening di seberang sana. "Dia juga menamparnya. Di depanku."
"Di-Dia ... Eric melakukan itu?" Suara Ollie terdengar tercekat.
Ben menghela napas dalam-dalam. "Saya menelepon kamu justru untuk mencari tau bagaimana keadaan Gantari. Apa dia baik-baik saja? Karena sepertinya dokter itu marah sekali tadi. Aku agak khawatir, karena sedikit banyak itu melibatkanku juga."
"Dia baik-baik saja," sahut Ollie dengan nada suara pelan penuh dengan beban.
Kembali Ben menghela napas, kali ini karena rasa lega. "Syukurlah," sebutnya dengan penuh kelegaan. "Terima kasih," katanya lagi, "kalau begitu---"
"Apa kamu tertarik menulis tentang sebuah kisah nyata? Aku bisa memberikanmu sebuah cerita yang sangat menarik." Ollie menawarkan.
"Kisah nyata tentang?" Ben penasaran, karena tawaran ini sangat tiba-tiba.
"Tentang kehidupan seorang Gantari Ayunda."
Kening Ben segera mengernyit. "Apa yang harus aku tulis tentang Gantari?"
"Kamu bisa menulis tentang ... Kehidupan tidak sempurna si Maha Sempurna. Menarik, kan?"
*
*
*
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top