Kebetulan yang Memusingkan

Ternyata Tuhan memang bisa menghukum manusia secepat itu. Menanamkan rasa bersalah dalam-dalam sampai-sampai jiwanya terasa sesak. Seperti yang dirasakan oleh Ben saat ini.

Pria yang semalam melakukan dosa besar itu, sekarang berlari-lari di lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Wajahnya luar biasa panik, dengan mata membelalak setengah basah dan pikiran yang kacau-balau. 

"Istri Bapak berhasil ditangani tanpa harus masuk ke ruangan ini, Pak." Petugas yang berjaga di garda ICU memberitahu begitu Ben bertanya.

Tidak masuk ICU?  Ben membatin. Sedikit lega tapi tidak puas dengan penjelasan. Telepon dari rumah sakit tadi sudah membuat hidupnya penuh kesesakan. Untuk memastikan, kembali langkahnya terayun cepat ke ruang di mana istrinya dirawat selama ini.

Begitu Ben membuka pintu ruang inap di mana Fara berada, dirinya disambut dengan keheningan. Ben hanya bisa mendengar suara halus dari patient monitor, melihat seorang perawat yang sedang mengatur selang infus yang menggantung dan tersambung pada pergelangan tangan istrinya.

Ben segera mendekat pada ranjang, membuat si perawat segera menyadari kehadirannya. Wanita berseragam itu tersenyum saat melihat wajah cemas yang menatapnya seolah-olah meminta penjelasan.

 "Tadi Mbak Fara kesakitan, jadi dokter harus segera mengambil tindakan." Si Perawat menjelaskan dengan perlahan.

"Terus ...?" Ben tidak puas dengan penjelasan. Matanya terlihat haus akan penjelasan.

"Kami pikir perlu ada tindakan krusial, sehingga salah seorang segera menghubungi Bapak. Kalau-kalau diperlukan persetujuan ...."

"Lalu ...?" Ben masih belum puas, dahaganya masih menjadi-jadi. Wajahnya terus menatap si perawat, sementara telapak tangannya sudah bergerak untuk menggengam salah satu telapak tangan Fara.

"Tapi ternyata tidak perlu, Pak." Si perawat tersenyum. "Dokter menanganinya dengan baik, dan sekarang Mbak Faranya sedang tidur. Efek obat yang diberikan mungkin akan membuat Mbak Fara beristirahat agak panjang hari ini. Kami masih akan terus mengawasi Mbak Fara secara intensif."

Ben menghela napas lega, lalu memalingkan wajahnya pada Fara yang sedang tertidur dengan paras yang damai. Sama sekali tidak terlihat bekas kesakitan di wajah itu. Padalah Ben tahu bagaimana Fara akan menjerit setiap kali rasa sakit melanda. 

"Maaf karena telah membuat Bapak khawatir."

Tetapi Ben tidak peduli lagi. Yang penting Fara telah menjadi baik-baik saja. Dia bahkan tidak tahu kapan si perawat keluar dari ruangan, meninggalkannya berdua dengan kekasih hatinya. Yang dilakukannya hanya memandangi Fara, mengelus-elus telapak tangan lembut milik istrinya, berulang kali mengusap kening dan menciumi wajah yang dicintainya.

Mungkin tidak secepat itu Tuhan menghakimi. Mungkin ....

***

Sementara di sisi dunia lain--yang tingkat kecemasannya tidak lebih sedikit dari yang dirasakan Ben, mobil milik Ollie baru saja masuk ke pekarangan rumah Gantari. Ollie yang berada di belakang kemudi menatap khawatir pada sahabatnya.

"Kita hanya perlu menyamakan cerita," bilang Gantari dengan penuh keyakinan. Keyakinan yang diharapkan mampu menutupi kegalauan yang luar biasa.

"Fyi, semalam gue ada kencan buta di restoran. Bagaimana kalau ...." Ollie sungguh khawatir dengan berbagai kemungkinan.

Gantari menggeleng dengan cepat. "Ben ada di rumah sakit waktu gue telepon minta izin semalam. Dia lembur. Jadi lo hanya perlu mengatakan apa yang gue bilang. Kita shooting konten, dan gue tidur di rumah lo." Selebgram itu meyakinkan si manager.

Ollie masih bergeming. 

"Percaya sama gue. Lagian, bukan lo yang bakal kena hajar kalau ternyata dia tau gue bohong."

"Gue juga ga suka dia ngehajar lo!" Ollie menyahut sewot. Kesal rasanya mendengar ucapan Gantari barusan. "Cepat turun! Gue enggak akan pulang sampai yakin lo aman."

Gantari tersenyum. Setelah menarik napas dalam, ditariknya tubuh Ollie untuk dipeluk erat. "Seharusnya Eric udah jalan kerja jam segini. Semoga dia enggak di rumah." Lalu, kata amin terselip di ujung lidah keduanya. Berharap monster itu benar-benar tidak berada di dalam rumah.

Setelah sekali menghela napas panjang dan dalam untuk mengumpulkan segenap kekuatan dan keberanian, akhirnya Gantari turun juga. Langkahnya terayun ringan dan pasti menuju teras. Dirinya sangat yakin Eric sudah berangkat ke rumah sakit. Tidak perlu cemas. Dia hanya perlu masuk, mandi, kemudian berdandan rapi untuk menyambut Eric pulang sore nanti. Sepertinya, bahkan masih ada kesempatan juga untuk tidur siang atau menonton drama di teve.

Senyum Gantari merekah hanya dengan memikirkan kemungkinan menyenangkan itu. Senyum yang segera pudar ketika pintu rumah tiba-tiba terbuka lebih dulu dari dalam saat dia hendak meraih kenop.

Wajah Eric yang tersenyum terlihat menyambutnya. Pria itu bahkan hanya bertelanjang dada dan sepertinya baru saja mandi karena rambut yang masih terlihat basah. Namun, senyum itu terlalu menakutkan bagi Gantari. Senyum yang seakan menangkapnya hidup-hidup untuk rajam dan dikuliti.

"E-Eric ...." Gantari bahkan tidak mampu mengontrol nada gugupnya. Dia benar-benar terkejut karena suaminya masih berada di rumah.

"Terkejut?" Eric membuka pintu lebih lebar. Senyum lebar tidak lepas dari bibir. Senyum yang justru membuat Gantari berdebar cemas setengah mati.

Secepat kilat Gantari menggelengkan kepala. "Be-belum berangkat?"

"Nungguin kamu dulu," sahut Eric.

Gantari merasa ragu harus bagaimana. Semua rencana indah di benaknya tadi mendadak porak-poranda. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Eric bahkan tidak memberikan perintah untuknya untuk masuk atau apa pun itu.

"Hmm ...." Gantari mencoba menarik senyum, berusaha untuk terlihat santai. "Aku shooting content kemarin, dan ketiduran di rumah Ollie." Ditunjuknya kendaraan Ollie yang masih berada di halaman.

Eric melongok, kemudian melambaikan tangannya pada Ollie. Yang di mobil turut melambaikan tangan.

"Bagaimana kencannya semalam?!" Tiba-tiba Eric berseru bertanya pada Ollie, membuat dunia Gantari gelap seketika.

Eric tahu ....

"Lain kali coba steak-nya. Medium. Itu menu paling populer di sana!" Eric menambahkan.

Eric benar-benar tahu, dan itu membuat Gantari merasakan gemetar di kakinya. Ollie pun telah menurunkan lambaian tangannya setelah menjawab Eric dengan basa-basi. Ollie tahu, dia harus segera melakukan sesuatu. Apalagi ketika dilihatnya Eric telah menarik Gantari masuk, menutup pintu dengan keras hingga suara debumnya terdengar kencang. Sahabatnya ... harus segera di selamatkan!

Secepat kilat Ollie turun dari mobil dan berlarian menuju teras. Diraihnya kenop pintu, mendorong berkali-kali mencoba membuka pintu untuk menerobos masuk. Tetapi, pintu itu terkunci.

Ollie bisa mendengar suara jeritan minta ampun dari Gantari. Dia tahu persis di dalam sana sahabatnya itu sedang dihajar habis-habisan karena ketahuan berbohong.

"Gantari! Gantari! Buka pintunya! Lo baik-baik aja?!" Digedor-gedornya pintu dengan panik, tapi percuma. Yang ada suara jeritan terdengar makin menjadi. "Eric jangan gila! Dia bini lo, Sialan!"

Untuk beberapa saat suara teriakan berhenti. Ollie mencoba membuka pintu lagi, tapi masih terkunci.

"Gantari ... Gantari, buka pintunya." Ollie benar-benar cemas. Apalagi dirinya masih bisa mendengar suara isak sahabatnya itu.

Ollie benar-benar merasa cemas dan takut sekaligus. Bagaimana kalau sahabatnya mati kali ini? Atau Eric yang berhenti memukul di dalam, karena Gantari sekarat? Isak itu adalah isak di ujung kematian?

Membayangkan hal itu membuat Ollie lemas hati. Namun, suaranya kembali melengking. "Buka pintu, Eric! Atau gue lapor polisi!" Tapi masih belum juga dibuka. "Gue beneran bakal lapor---"

Pintu yang mendadak terbuka membuat omongan Ollie terputus. Eric muncul dengan sudah berkemeja rapi, matanya berkilat menatap manager istrinya.

"Sebaiknya tidak ada polisi, Nona. Atau gudang uangmu akan menghilang diam-diam." Eric memperingatkan dengan senyum penuh peringatan. "Paham?" Ditepuknya pundak Ollie pelan, menghikangkan senyum di wajah, lalu beranjak keluar dari rumah.

Ollie tidak mengatakan apa pun, tubuhnya mengeras mencoba mencerna ucapan menakutkan Eric barusan. Apa pria itu mengancam untuk memperburuk keadaan Gantari jika ia melapor?

Namun, isak dari dalam rumah segera mengembalikan kesadarannya. Secepat kilat Ollie masuk dan melihat bagaimana Gantari meringkuk di sudut ruang. Tubuh sahabatnya itu gemetar dengan luka di sudut-sudut bibir dan pelipis.

Serta-merta Ollie mendekat dan memeluk Gantari. Yang dipeluk meringis, menahan nyeri saat tubuhnya yang penuh memar tertekan akibat pelukan.

***
Ben masih bertahan di sisi Fara. Wanitanya itu masih tertidur seperti tadi. Sesekali disentuhnya tangan sang istri dengan lembut.

Heningnya kamar sedikit terusik dengan ponsel yang tiba-tiba berdering di saku Ben. Pria itu segera menatik ponsel ke luar dari saku, dan menggeser icon jawab tanpa sempat melihat siapa yang menelpon. Dia sangat tergesa, takut dering mengganggu tidur Fara.

"Halo?" sahutnya setengah berbisik.

"Ini gue. Ollie."

Sedetik cukup untuk Ben mengingat siapa Ollie.

"Gue butuh bantuan lo. Gantari dihajar. Lagi ...."

Tidak ada basa-basi dalam percakapan telepon itu. Begitu panggilan selesai, yang dilakukan Ben adalah menatap Fara. Sedikit berat hatinya meninggalkan istrinya meski sejenak, tapi Gantari juga membutuhkan bantuannya. Dipastikannya Fara masih terlelap saat dirinya menitipkan istrinya itu pada perawat.

Ben tidak segera menuju ke alamat yang baru saja dikirimkan Ollie lewat whatsapp messenger. Pria itu dengan sengaja mengunjungi ruang kerja Eric, dan merasa sebal saat ruangan itu ternyata kosong. Maka, segera dia berlari menuju area parkir untuk menjangkau kendaraannya dan menuju ke lokasi yang diinformasikan oleh Ollie.

Begitu tiba di alamat yang dimaksud, Ben langsung menyadari bahwa rumah bercat putih itu adalah kediaman Gantari. Pintu rumah sepertinya sebgaja dibiarkan terbuka, sehingga Ben dapat segera masuk tanpa harus mengetuk lebih dulu.

Hal pertama yang dilihatnya saat masuk adalah, rumah yang berantakkan. Jelas sekali ada pertikaian yang menyebabkan bebera barang tidak berada pada tempat yang semestinya. Meja yang bergeser, vas yang pecah, sofa---di mana saat ini Gantari dan Ollie berada---yang tidak lurus penempatannya.

Ben segera menghela napas. Pandangannya segera jatuh pada Ollie yang terlihat sedang mengoleskan obat luka pada wajah Gantari.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Ben dengan prihatin seraya mendekat.

Gantari melirik ke arah Ben tanpa berkata sepatah kata pun. Namun, jelas sekali kalau wanita itu terlihat bingung dengan kedatangan penulis favoritnya itu.

"Gue yang minta dia ke sini. Gue bingung harus minta bantuan siapa, dan nomor dia ada pada list panggilan terakhir gue." Ollie menjelaskan tanpa diminta.

Gantari menghela napas. Membiarkan Ollie mengoleskan obat yang terakhir pada lukanya. Setelah sahabatnya itu selesai, ia mendongak menatap Ben.

"Maaf merepotkan," katanya. "Padahal, entah bantuan apa yang Ollie butuhkan. Aku ... baik-baik aja."

Ollie memberengut, sebal mendengar kata baik-baik saja keluar dari mukut Gantari. Apanya yang baik-baik saja dengan memar di sekujur tubuh.

Ben menggigit bibir bawahnya dan mengamati Gantari dengan seksama. Apanya yang baik-baik saja?

Segera diraihnya lengan Gantari, dan ditariknya wanita itu agar bangkit perlahan dari duduknya.

"Kamu bisa jalan?" tanyanya, khawatir memar dan luka yang diderita Gantari membuat selebgram itu lemah. "Kamu harus istirahat. Kamar kamu di mana? Mau aku gendong?"

Sialnya, sentuhan Ben malah membuat Gantari tidak nyaman. Ingatan tentang kejadian semalam, membuat wanita itu segera melepas genggaman Ben di lengannya dengan segera.

"Aku bisa jalan sendiri," ujarnya seraya menundukkan wajah. "Ollie salah nelepon kamu. Kalau tidak ada yang harus kamu kerjakan di sini, mending kamu pulang aja."

Ben berdeham. Sikap Gantari sedikit banyak mengingatkannya juga pada kejadian di ranjangnya semalam. Maka dirinya mundur selangkah.

"Aku bakal kembali ke rumah sakit, setelah mastiin kamu istirahat," bilangnya dengan kaku. Atmosfer di ruangan ini yang tadinya mencengkam, berubah menjadi penuh rasa gusar dan berdosa.

Gantari mengangguk tanpa mengangkat wajah. Segera dilangkahkannya kaki melewati Ben menuju kamar yang letaknya tidak jauh dari sana.

Ben memperhatikan dari tempatnya berdiri, dan segera mengalihkan pandang pada Ollie begitu pintu kamar ditarik menutup.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya pada si sipit.

Ollie mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Eric mengancam agar tidak menelepon polisi, dan itu men-trigger aku untuk menelepon seseorang. Panik. Dan nomor kamu ada diurutan teratas."

Ben menganga mendengar penjelasan Ollie.

"Well ... lo bisa kasih bantuan moril dan doa."

Mulut Ben semakin lebar ditambah dengan hela napas tak percaya. Apa-apaan?

"Maaf ...." Akhirnya Ollie mengeluarkan kata keramat itu. Kata-kata yang membuat nganga Ben menutup.

"Seharusnya kamu nelepon polisi aja. Biar mereka segera mengusut dan menyesaikan masalah ini dengan cepat. Kasian Gantari ...." Ben menoleh ke pintu kamar yang tertutup. Membayangkan bagaimana Gantari harus menghadapi pukulan demi pukulan membuat hatinya terasa nyeri. Padahal mereka tidak ada hububgan apa pun, tapi entah mengapa sakit yang harus ditanggung Gantari, membuat hatinya turut merasa perih.

"Eric ngancam akan melakukan yang lebih buruk kalau sampai gue lapor polisi ...."

Segera pandanga Ben kembali pada Ollie. Keningnya berkerut dalam. Pertanyaan tentang apakah Eric benar mencintai Gantari, memenuhi benaknya.

Melihat Fara yang sakit saja, Ben sebagai suami merasa sakit juga. Itu karena Ben merasa sangat mencintai istrinya itu.

Tapi Eric? Dia yang membuat sakit di tubuh Gantari. Wanita yang sudah berikat sumpah setia dengannya. Apa yang dipikirkan lelaki itu saat tangannya menghajar sang istri dengan keras?

"Lo tau kenapa Gantari suka sama The Stars?" Ollie menyebut novel karya Ben. "Karena tokoh utamanya, sama dengan keadaannya. Tidak dihargai oleh pasangannya."

Entah mengapa, jantung Ben mulai memompa lebih cepat mendengar Ollie bercerita.

"Namun, akhir cerita itu malah membuatnya bertahan dalam hubungan ini. Toxic. Sama persis kayak tokoh dalam cerita kamu, yang ujung-ujungnya memaafkan." Ollie mencibir.

Debar di dada Ben semakin menjadi.

"Seharusnya kamu biarkan tokoh utamanya bahagia dengan pria itu. Pria yang tidur dengannya tanpa disengaja. Biarkan pria itu menyelamatkan dan membawanya pergi ...."

Kepala Ben mendadak pening. Sadar ada kebetulan-kebetulan dalam novelnya, yang nyaris sama dengan kebetulan-kebetulannya dengan Gantari. 

"Pria itu ... harusnya menyelamatkan si tokoh utama, dan tidak membiarkannya mati perlahan dalam hubungan yang gila ...."

.
.
.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top