Aku Jatuh!
Eric Kavaya
Gantari duduk di ujung ranjang. Kedua telapak tangannya mencengkeram sisi-sisi sprei dengan kuat. Rambutnya berantakkan, sementara ujung-ujung dari bibir nan indah yang tadi pagi menebar senyum, kemerahan nyaris membiru sekarang.
Wanita itu mengenakan gaun tidur merah bertali satu, yang satu talinya sudah turun ke lengan. Matanya memerah dan basah, tapi masih dengan berani menatap ke arah suaminya yang mondar-mandir di hadapannya dengan bertelanjang dada.
Ketika Eric tiba-tiba berhenti dan menatapnya sengit, cengekeraman Gantari pada sprei semakin menguat. Selebgram itu tahu benar bahwa dia harus mengumpulkan kekuatan dan keberanian saat ini. Benar saja, tak lama sebuah pukulan dengan tangan terbuka, kembali mendarat di wajahnya. Kali ini mengenai pelipis kanannya dengan keras, hingga cengkeraman tangannya pada sprei tidak sanggup menahan guncangan. Tubuhnya limbung ke kanan, lalu ambruk kasur.
"Kamu membuatku kesal dan malu!" Eric berteriak. "Apa kamu enggak bisa melakukan segala sesuatu dengan benar?! Sekali aja! Sekaliiii aja, Gantari Maha sempurna" Lalu, sebuah tendangan mendarat di tulang kering kaki kiri Gantari.
Gantari tidak menyahut, matanya menatap kosong. Pandangan nanar dengan mata yang berair. Tubuhnya memang sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.
Eric masih memaki. Dia terus berteriak dengan marah, bahkan sampai saat kekuar dari kamar dan membanting pintu menutup.
Perlahan Gantari memejamkan mata, menikmati perih di sekujur tubuh. Ini bukan pertama kali Eric memperlakukannya seperti ini. Setiap kali pria itu merasa kesal, tubuh indah semampai miliknya akan menjadi korban. Tetapi Gantari mencintai pria itu. Dirinya bahkan tidak sanggup membayangkan hidup tanpa seorang Eric. Menyedihkan memang. Namun, begitulah adanya.
***
Suara bel di pintu depan membuat Gantari kalang kabut. Dia baru saja merapikan piring bekas sarapan Eric tadi. Segera dirinya berlari ke kamar, mengganti pakaian dengan kaus berlengan panjang dan juga celana panjang. Ketika tubuhnya melewati cermin besar di kamar, terlihat bagaimana matanya lebam, serta ujung bibir kebiruan.
Tidak akan sempat ber-makeup untuk menutupi memar. Siapa pun orang di depan pintu sana, pasti bertamu karena ada hal penting. Pasalnya, dentingan bel tidak juga berhenti.
Segera Gantari membuka laci bufet teratas yang ada di kamar itu, dan menemukan kaca mata hitam yang cukup lebar kacanya. Bisa untuk menutupi lebam mata. Dipakainya kaca mata itu dan melesat untuk membuka pintu.
"Kenapa lama sekali?!" Itu ucapan pertama yang didengarnya setelah membuka pintu. Suara si cempreng yang sahabatnya itu. Ollie, wanita itu terlihat melipat kedua tangannya di bawah dada dengan bibit menekuk turun.
"Sorry ...." Segera Gantari menutup bibir dengan telapak tangannya. Dia melakukannya dengan gaya dan lucu, berharap Ollie tidak melihat memar-memar di wajahnya.
Namun, bukan Ollie namanya jika tidak menyadari hal yang aneh. Mata wanita itu semakin menyipit, tangannya bergerak gesit menarik lepas tangan Gantari yang menutupi mulut.
Gantari mencoba berkelit, tapi gerakan Ollie begitu cepat. Dia tidak bisa mengatakan dan melakukan apa pun ketika Ollie menarik paksa kaca mata yang dikenakannya. Menarik naik lengan bajunya, menarik naik kaki-kaki celana panjangnya.
"Si Gila!" Si Sipit mengutuk, wajahnya terlihat prihatin dan kesal sekaligus.
"Gue jatuh ...," bilang Gantari.
"Ngomong gitu ke orang-orang bodoh yang enggak kenal siapa Eric. Jangan ke gue!" Serta merta Ollie menarik pergelangan tangan Gantari. "Kita ke rumah sakit, lo mesti diobati ...."
"Lie ...," Gantari merajuk, "gue enggak mau bikin masalah."
Ollie menghela napas keras, kembali mengamati setiap lebam di wajah dan tubuh Gantari yang sudah disingkapnya tadi. Dirinya merasa kasihan dan merasa seharusnya bisa melakukan sesuatu untuk sahabatnya itu.
Kembali dipasangkannya pada Gantari kaca mata hitam yang dilepasnya tadi, kemudian tersenyum. "Kalau lo mau kita temenan sampai seribu tahun lagi, lo harus nurut sama gue, sekali ini aja." Diraihnya telapak tangan halus Gantari dan digenggam. "Hmm?"
"Lie ...." Gantari masih berusaha menolak.
"Sekali ini aja, Ri ...." Ollie berkata lembut, bahkan sedikit memohon. Tidak ada lagi yang bisa Gantari katakan selain menuruti kemauan asistennya tersebut.
Namun, yang membuat Gantari terkejut adalah ketika Ollie mengarahkan mobil memasuki halaman Rumah Sakit Sehat Sejahtera, rumah sakit tempat Eric bekerja.
"Ngapain ke sini?" Gantari bertanya panik. "Gue enggak mau ke sini, Lie!"
"Kita akan, dan harus ke sini." Ollie menghentikan mobilnya tepat di depan lobi. "Orang-orang di rumah sakit ini harus tau bagaimana kelakuan Eric Kavaya yang sebenarnya."
Gantari meringis, hatinya berdebar karena takut dan gelisah.
"Biar mereka tau hobi Eric adalah mukulin istri. Terus dipecat!" Ollie melepas sabuk pengamannya dari pengait. Ketika dilihatnya Gantari tidak melakukan hal yang sama, maka dengan penuh inisiatif dilepasnya sabuk pengaman sahabatnya itu.
Ollie masih memaksa Gantari turun, sementara Gantari terus menolak. Namun, ketukan di jendela membuat adu mulut antara keduanya berhenti. Segera Ollie menurunkan jendela bagian penumpang, membuat Gantari segera menunduk agar lebam di wajahnya tidak terlihat.
"Tidak bisa berhenti lama di sini, Bu," ujar petugas keamanan yang mengetuk jendela.
"Mau turun, kok, Pak. Bisa vallet, kak, ya?" Ollie tersenyum.
"Bisa, nanti dibantu sama petugas di sana." Si Petugas menunjuk ke arah teras lobi. Di sana ada seorang petugas berpakaian batik yang berdiri di balik meja bertuliskan vallet.
Ollie mengangguk. Dia segera turun dan begegas mengitari mobil untuk membuka pintu untuk Gantari.
Gantari mau tidak mau turun. Wanita itu berjalan menunduk sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Hatinya mengutuk Ollie karena memaksanya untuk datang ke rumah sakit ini. Karena meskipun tidak ada yang berani menyapa di sepanjang perjalanan mereka ke unit gawat darurat, Gantari yakin akan ada segudang pertanyaan dari siapa pun dokter yang bertugas di unit itu nanti.
Dan semua yang dikhawatirkannya itu benar adanya. Dr. Jeremy, dokter muda yang sedang merawat lukanya saat ini terlihat penasaran.
"Bagaimana bisa terluka sebanyak ini, Mbak?" Jeremy terlihat berhati-hati mengoleskan cairan obat pada luka di sudut bibir.
Gantari berdesis karena nyeri yang terasa menyanyat. Sementara Ollie berdiri di depannya dengan wajah mengernyit, seakan-akan turut merasakan sakit di wajahnya.
"Di mana lagi lukanya? Lebamnya?" Jeremy kembali bertanya.
"Di kaki dan lengannya ...." Ollie yang menyahut. Repot-repot dia menunduk hanya untuk menarik celana bagian bawah Gantari naik.
Seketika lebam kebiruan terlihat, membuat Jeremy menganga. Lebam itu cukup besar berada di beberapa bagian kaki kanan dan kiri selebgram ternama itu.
"Dia dipu ...."
"Aku jatuh!" Cepat Gantari memotong apa yang hendak diucapkan Ollie, membuat mata sahabatnya yang sipit itu, membulat sempurna.
Gantari menyadari perubahan mimik Ollie dan melanjutkan perkataannya. Terlebih ketika dilihatnya kening Jeremy turut mengkerut. "Dari tangga di rumah. Cukup keras sampai semua badanku lebam-lebam ...."
"Heh?" Jeremy menghela napas setelah terdiam beberapa saat. "Apa Dokter Eric tidak mengetahui hal ini?" Dia bertanya sambil menempelkan sesuatu yang terasa dingin di kulit Gantari.
Ollie berkali-kali menghela napas karena kesal. Tidak habis pikir mengapa Gantaru tidak mengatakan yang sebenarnya. Sebalnya, Gantari sejak tadi memberi kode dengan tangan, mata, dan bibirnya. Kode agar Ollie tidak mengatakan apa pun. Rasanya dadanya mau meledak karena amarah. Terlebih ketika terdengar suara berat di balik punggungnya.
"Astaga, Sayang! Kamu enggak apa-apa?" Lalu sosok itu muncul dan segera memeluk Gantari. "Maaf, aku enggak ada di rumah saat kamu jatuh." Ucapan itu terdengar penuh penyesalan.
Kemudian, Eric menoleh pada Ollie dan tersenyum. "Terima kasih karena sudah membawa istriku ke rumah sakit, Lie."
Gigi geligi Ollie gemeletuk di dalam mulut. Menahan sebisa mungkin agar tidak terjadi keributan. Dia hanya berkata, "Whatever." Sebelum berbalik dan meninggalkan pasangan paling toxic yang pernah dilihatnya selama hidup itu.
Eric kembali menatap Gantari dengan lembut. Jari telunjuknya menyetuh luka di ujung bibir istrinya dengan pelan. Wajahnya segera berubah sendu.
Sesuatu di balik dada Gantari bergemuruh. Dia tahu persis apa yang akan terjadi setelah ini.
"Are you okay?" tanya Eric perlahan, sambil menatap tepat ke mata Gantari. Membuat degup di dada wanita itu semakin tak keruan.
Gantari bahkan tidak berani berkedip ketika meyahuti ucapan suaminya. "I'm okay ...," katanya.
***
"Apa kamu enggak bisa diam aja di rumah?" Eric mondar-mandir di hadapan Gantari yang berdiri di ruang prakteknya. Tadi, dia membawa Gantari ke ruang kerjanya setelah Jeremy merawat luka dan lebam di tubuh istrinya.
"A-aku ...."
"Apa kamu sengaja mau menunjukkan pada dunia bahwa kamu terluka? Kamu mau dibela? Hah?!" Eric mendekatkan wajah pada wajah istrinya.
Gantari bisa merasakan panas embusan napas Eric di wajahnya. Embusan napas tersengal menahan amarah.
"Aku marah karena kamu salah! Dan sekarang pun rasanya mau meledak! Apa aku sebaiknya menghukummu di sini?!" Mata pria itu membelalak.
"A-aku ...." Gantari tidak sanggup mengatakan apa pun. Bahkan meski dia hendak memutus tatapan tajam Eric, wanita itu tidak sanggup menundukkan kepala.
Eric tiba-tiba saja menarik lepas ikat pinggang yang dikenakan. "Hukuman? Sekarang? Biar sekalian semua orang tau ...." Dililitkannya ikat pinggang beberapa kali ke telapak tangan.
Air mata yang sejak tadi menggantung di pelupuk mata Gantari pun, luruh akhirnya. Pundak wanita itu mulai terguncang, dan isak mulai terdengar dari mulut berbibir tipis itu.
Eric berdecak. "Ribut!" kesalnya. "Pulang! Jangan berisik!" Perintahnya. Perintah yang segera dipatuhi oleh Gantari.
Gantari segera keluar dari ruangan Eric tanpa perlu diperintah sekali lagi. Namun, menyadari air mata dan isaknya ternyata sulit dihentikan, wanita itu memutuskan mendorong pintu darurat dan duduk di anak tangga darurat.
Wanita itu kembali menutup wajah dengan telapak tangan seperti kemarin. Menangis dengan suara isak yang tidak berusaha ditahannya lagi. Meluapkan sesak dan takut yang ditahannya sejak tadi. Sampai-sampai, dirinya tidak menyadari ada yang mengikutinya masuk ke balik pintu darurat. Seseorang yang mengamatinya menangis dalam diam. Seseorang yang berdiri di belakangnya dengan rasa iba.
*
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top