9 - JAZMINE
Untuk kedua kalinya, niat Jaz membalas kalimat Richard tertahan karena pria itu terlanjur berjalan meninggalkannya. Tawa kecilnya terdengar menggema di koridor hotel tempat mereka melakukan audisi. Menelan ludah, Jaz teringat adegan ketika Sebastian mengabaikan Mia sewaktu perempuan itu ingin memuji permainan piano Sebastian di La La Land. Dia menoleh, dan mendapati Richard berjalan dengan santai menuju lift.
"Audisi gue baik-baik aja. Thank you for not asking," ujar Jaz pelan membayangkan jawaban yang mungkin akan keluar dari mulutnya jika Richard benar-benar menanyakan tentang audisinya.
Namun dia benar-benar tidak peduli.
Ceramah yang dihujankan kepadanya oleh Anggi pagi tadi, selama beberapa menit tersisih. Padahal Jaz sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan membiarkan kehadiran Richard memprovokasi emosinya. Namun dia belum punya imun yang cukup untuk bersikap biasa saja saat pandangannya dengan Richard bertemu.
Menarik napas panjang seraya memejamkan mata, Jaz berusaha menetralkan perasaannya sebelum naik ke kamar. Dia ingin melupakan audisinya tadi. Bukan karena penampilannya jelek, tapi Jaz enggan menjejali pikirannya dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang hanya akan mendatangkan stres. Dia percaya, apa pun hasilnya, itu adalah yang terbaik.
Begitu memasuki lift yang diisi beberapa pria berdasi, Jaz memilih diam setelah memencet nomor lantai kamarnya berada. Begitu lampu menyala pada nomor yang dituju, Jaz keluar dari lift dan berjalan dengan lunglai menuju kamar.
"Gimana audisinya, Jaz?"
Pertanyaan itu didapatkan Jaz tepat ketika dia membuka pintu kamar dan mendapati Anggi sudah berdiri dengan wajah sumringah, seolah telah menanti sejak tadi demi memberikan Jaz sambutan. Jaz tertawa kecil karena menyadari betapa ekstra asistennya tersebut.
"Rasanya sih baik-baik aja, cuma gue nggak mau terlalu mikirin apakah gue bakal dapet perannya apa nggak." Jaz lantas mendekati tempat tidur dan melemparkan tubuhnya dengan bebas. "Casting director-nya sih nggak nuntut macem-macem tadi, at least gue bisa penuhin semua emosi yang mereka minta."
Jaz memandang langit-langit kamar hotelnya sembari memikirkan percakapan yang terjadi antara dirinya dan Richard tadi. Dia masih menimbang apakah harus menceritakan pertemuan keduanya ke Anggi atau tidak. Dia menoleh dan menyaksikan Anggi sudah duduk di kursi sementara pandangannya terfokus pada Jaz.
"Terus?"
Tawa kecil Jaz terdengar. "Lo mau gue cerita apa lagi?"
"Ya apa aja, Jaz. Kan ini audisi pertama kamu setelah aku jadi asisten, jadi aku nggak tahu audisi itu kayak gimana."
Dengan malas, Jaz mendudukkan tubuhnya dan menyilangkan kaki menghadap ke Anggi. Cepat atau lambat, Jaz tahu dia akan bercerita juga ke asistennya itu. Lebih baik menumpahkannya sekarang daripada menunggu.
"Gue papasan sama Richard lagi."
Mata Anggi membelalak. Mungkin terkejut mendapati Jaz pada akhirnya menyebut nama pria yang selama ini haram diucapkan di antara mereka. Jika bukan karena Jaz sudah mengenal Anggi dengan baik, dia pasti menganggap asistennya itu tidak peduli dengan informasi yang baru disampaikannya.
"Jadi dia beneran ikut audisi? Kabar yang aku dapet berarti bisa dipercaya." Anggi mengangguk pelan seolah bangga dengan informasi yang didapatnya. "Terus?" tanya Anggi santai.
"Gue sih pengen nurutin ucapan lo dengan nggak ngebiarin dia ngatur emosi gue, tapi gue nggak bisa, Nggi!" jelas Jaz sedikit menunjukkan frustasinya. "Liat mukanya itu gue udah anti duluan. Nafsu buat nggak ngata-ngatain dia itu nggak bisa ditahan."
"Kamu bilang apa memangnya?"
Jaz mendengus pelan, tidak ingin mengulang percakapan penuh tuduhan yang terjadi belum setengah jam lalu itu. Namun jika dia tidak bercerita, Anggi akan terus mendesak pengakuannya.
"Ya bilang tumben dia nggak gengsi mau audisi buat film rom-com, dan juga gue nggak perlu kenal dia buat tahu dia itu cowok macem apa. Dan gue juga bilang, reputasi dia suka tidur sama cewek itu udah terkenal, jadi dia nggak bisa ngelak lagi." Jaz menggeleng heran, tidak memahami ada perempuan yang mau ditipu oleh pria seperti Richard. "Dia juga berharap audisi gue ancur. Emang udah bener gue benci sama manusia kayak gitu. Cowok modal otot doang, tapi nggak punya manner dan tanggung jawab."
Alis Anggi terangkat. "Jaz, kamu tahu kan, reputasi dia sebagai player itu bukan urusan kamu dan nggak ada sangkut pautnya dengan profesinya sebagai aktor? Kenapa kamu justru bawa-bawa hal yang sebenernya nggak penting?"
Mulut Jaz sudah terbuka, berniat menanggapi keingintahuan Anggi dengan alasan yang diyakininya benar. Namun dia lantas menyadari bahwa susunan kalimat yang dicarinya tidak berhasil dia temukan. Dia memandang Anggi yang tampaknya menunggu jawaban dengan sabar. Namun usaha Jaz justru membuatnya frustasi karena menemui jalan buntu.
"See? Kamu nggak punya tanggapan buat pertanyaanku, kan?"
Kali ini, Jaz benar-benar mati kutu alias terdiam. Asisten Jaz itu terlalu mengenalnya hingga mudah bagi Anggi membaca ekspresi wajahnya. Tidak peduli betapa besar keinginan Jaz menjaga rahasia dari Anggi, usahanya tersebut selalu gagal. Mungkin salah satu alasannya adalah karena Anggi dengan tepat mampu—dan benar—menebak isi pikirannya.
"Sebelum aku ngasih ceramah," Anggi berdeham pelan, "aku seneng kamu udah bisa nyebut namanya. Itu berarti kamu nggak lagi ngasih dia kekuatan buat ngontrol emosi kamu." Anggi membasahi tenggorokannya. "Cuma Jaz, aku jadi semakin yakin kalau rasa nggak suka kamu sama Richard itu alasannya bukan lagi soal Mina. Kalau kamu benci karena dia ngehamilin Mina dan nggak mau bertanggung jawab, sikap kamu nggak akan kayak begini. Ini tuh apa, ya? Aku ngerasanya jauh lebih personal. Mungkin dia pernah bilang sesuatu yang bikin kamu beneran nggak suka sama dia?"
Jaz bangkit dari duduknya dan menuju mini bar. Tangannya dengan cekatan membuka kulkas kecil tersebut dan mengeluarkan satu botol air mineral. Sambil berusaha tidak meluapkan kekesalannya—karena sekali lagi tebakan Anggi tepat—Jaz mengaliri tenggorokannya dengan air dingin yang langsung menghapus dahaganya. Dia lantas membalikkan badan untuk menatap Anggi.
"Satu, dia nyebut gue preman waktu nampar dia pertama kali dulu. Dia bilang sikap gue kasar. Dua, dia bilang, 'cewek kayak lo,' tapi nggak ngasih penjelasan maksudnya gimana. Tiga, emang dia cowok brengsek, Nggi. Gue nggak tahu gimana jelasinnya ke lo alasan ngeliat dia aja, darah gue langsung naik. Udah otomatis aja."
"Jadi kamu ngaku kalau kebencian kamu itu memang bukan karena Mina?"
"Ya awalnya memang karena Mina. Lo bayangin deh, sahabat lo hamil sama cowok yang nggak mau ngaku, apalagi tanggung jawab, lo pasti marah, kan? Tapi kemudian, pas tahu dia demen nidurin cewek, ditambah kelakukannya yang seolah-olah dia cowok paling ganteng semuka bumi, gue makin jijik dan antipati. Yang dia tunjukkin di medsos sama media lainnya itu sama sekali nggak sesuai sama aslinya. Sumpah, dia bikin gue muak!"
Jaz tahu, yang baru saja dia ungkapkan tidak cukup kuat mendasari kebencian mendalam yang dirasakannya kepada Richard. Namun dia benar-benar jujur mengakui bahwa sulit bagi Jaz menemukan cara agar Anggi paham tentang rasa tidak sukanya.
"Jaz, dengerin aku, ya. Kamu masih inget nggak obrolan kita di mobil waktu kamu akhirnya setuju buat ikut audisi?"
Jaz mengangguk. "Hubungannya apaan?"
"Richard ikut audisi, jadi kemungkinan dia yang dapet peran Brian juga terbuka, sama besarnya dengan kamu ngedapetin peran Claudia. Mungkin ini saatnya kamu bener-bener mengevaluasi kebencian kamu ke Richard karena apa yang bakal kamu lakuin misalnya kalian sama-sama lolos audisi? Ngelepas kesempatan yang udah kamu tunggu lama? Atau berkompromi demi karir? Pertanyaanku bukan lagi sebuah skenario tanpa alasan. It's something that can happen. Don't you think so?"
Ketakutan Jaz tentang skenario yang pernah diungkapkan Anggi sekarang mulai menemukan bentuknya. Dia tentu tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun dia juga bisa menyimpan jawaban itu tanpa harus menyuarakannya di depan Anggi.
Sekarang gue bener-bener takut kalau ucapan Anggi jadi nyata, batin Jaz.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top